"Nyonya, makan malam sudah siap," suara lembut Ammy, pelayan setianya, membuyarkan lamunannya.
Emily mengangkat wajahnya, menatap Ammy dengan tatapan kosong sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Apakah Felix sudah pulang, Ammy?"
Pelayan itu menggeleng pelan, senyum simpati terlukis di wajahnya. "Belum, Nyonya. Tapi, Tuan berpesan pada saya agar menyiapkan segala kebutuhan Nyonya selama Tuan tidak ada."
Emily menghela napas panjang, seolah berat untuk menghembuskannya kembali. Matanya kembali menerawang ke luar jendela, menatap gelapnya langit yang mulai diselimuti bintang.
Ke mana sebenarnya pria itu? Kenapa hingga kini dia belum juga kembali?
Saat ia melangkah menuju ruang makan, langkahnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menggantung di pikirannya.
Saat duduk di kursi panjang yang berhadapan dengan meja makan yang megah, ia kembali menoleh pada Ammy, ingin tahu lebih banyak.
"Apakah dia selalu pergi dan tidak pulang ke rumah, Ammy?" tanyanya, suaranya terdengar lelah.
Ammy meletakkan piring dengan hati-hati, kemudian menatap Emily dengan ragu sebelum menjawab, "Ya, begitulah. Tuan jarang sekali ada di rumah. Bahkan setelah menikah dengan Nyonya sekalipun. Padahal kalian masih menjadi pengantin baru. Tapi, sudah ditinggal-tinggal."
Emily tersenyum miris. Benar juga. Padahal pernikahan mereka baru berlangsung beberapa minggu lalu, namun kebersamaan mereka bisa dihitung dengan jari.
Felix selalu pergi entah ke mana, meninggalkannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung terjawab.
Tangannya mengaduk sup di hadapannya dengan malas, lalu tanpa sadar ia melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengusik pikirannya.
"Ammy, apakah Felix sering membawa Marsha ke rumah ini?" tanyanya pelan. "Atau wanita lain yang menemaninya di sini?"
Ammy menggelengkan kepala dengan mantap. "Selama saya menjadi pelayan Tuan Felix selama lima tahun lamanya, saya tidak pernah melihat Tuan membawa seorang wanita kemari."
Emily terdiam, berusaha mencerna jawabannya. Ia tahu bahwa sebelum pernikahan ini terjadi, Felix dan Marsha memiliki hubungan yang cukup erat. Bahkan semua orang mengira bahwa merekalah yang akan menikah.
Namun, kenyataannya justru berbeda. Ia yang akhirnya berdiri di altar bersanding dengan pria itu, bukan Marsha.
"Bukankah Felix dan Marsha sudah merencanakan pernikahan ini cukup lama?" tanyanya lagi, mencoba mencari celah di balik misteri yang mengungkungnya.
Ammy tampak ragu. "Kalau itu, saya tidak tahu, Nyonya. Bahkan saya pun tidak tahu jika pengantinnya digantikan oleh Nyonya."
Emily tersenyum tipis, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menyendok makanan dengan pelan, tetapi rasanya hambar di lidahnya.
Malam semakin larut, tetapi pikirannya semakin dipenuhi pertanyaan. Siapa sebenarnya Felix? Apa yang sedang disembunyikannya?
"Apakah Felix jahat pada kalian?" tanya Emily dengan suara pelan, hampir seperti bisikan yang enggan keluar dari bibirnya.
Ammy, yang sedang mencuci peralatan masak, tertawa kecil mendengar pertanyaan itu. Ia menoleh sekilas ke arah Emily, matanya berbinar seakan pertanyaan itu sama sekali tidak masuk akal.
"Tentu saja tidak, Nyonya." Nada suaranya terdengar ringan, seolah Emily baru saja menanyakan sesuatu yang mustahil.
"Tuan memang terlihat tegas. Tapi, beliau tidak pernah marah atau bersikap kejam pada orang yang tidak punya salah padanya."
Emily hanya tersenyum tipis, meskipun jauh di dalam hatinya, ia merasa pernyataan itu tidak sepenuhnya benar.
Felix mungkin tidak kejam terhadap orang yang tak bersalah, tetapi siapa yang bisa memastikan siapa yang dianggap bersalah olehnya?
Tangannya bermain di tepi mangkuk sup yang ada di hadapannya. Aroma kaldu ikan yang masih mengepul memenuhi udara, memberikan sedikit kehangatan di tengah pikirannya yang terasa dingin.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari arah pintu. Emily mengangkat kepalanya, dan matanya langsung bertemu dengan sosok tinggi yang baru saja memasuki ruang makan.
Felix.
Pria itu berjalan dengan langkah mantap, wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun saat ia menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Emily.
"Felix? Kau sudah pulang?" Emily berusaha menyambutnya dengan senyum, meskipun ada kegelisahan yang menjalar di dadanya.
Namun, Felix hanya menatapnya dengan datar. Tatapan yang tak bisa ia artikan—bukan kemarahan, bukan juga keramahan. Tatapan itu seperti belati dingin yang menusuk tanpa harus mengeluarkan kata-kata.
Emily langsung menciut, seolah udara di sekitarnya mendadak menipis. Ia menunduk, berpura-pura sibuk dengan sup ikan yang kini terasa hambar di mulutnya.
Felix mendengus kecil sebelum membuka suara. "Kau menunggu kepulanganku, hm?" Sebuah seringai tajam tersungging di bibirnya, menambahkan nada ejekan dalam pertanyaannya.
Emily mengangguk perlahan. Namun, ia tak bisa mengangkat kepalanya, tak sanggup menatap wajah pria yang kini duduk di hadapannya.
Felix menatapnya lebih lama sebelum akhirnya berucap, "Lihat aku, Emily!"
Nada suaranya dingin, perintahnya tak bisa ditawar.
Emily menggigit bibir bawahnya sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dengan gerakan pelan.
Mata hazel miliknya kini bertemu dengan mata kelam Felix—mata yang selalu terlihat seperti jurang tanpa dasar, penuh misteri dan ancaman terselubung.
"Ya. Aku menunggu kepulanganmu." Suaranya terdengar ragu. "Aku… aku hanya bingung harus melakukan apa di rumah sebesar ini."
Felix menatapnya tanpa berkedip, lalu mengangkat sudut bibirnya, entah sebagai senyuman atau seringai mengejek.
"Itulah kenapa aku memintamu untuk segera hamil." Ucapannya begitu santai, seolah ia sedang membahas cuaca. "Agar kau tidak kesepian saat menungguku pulang."
Emily merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Kata-kata itu menggantung di udara, membebani pikirannya yang sudah cukup berat.
Felix dengan tenang mengambil sendok, menyendok nasi dan lauk ke piringnya, lalu mulai makan. Namun, matanya tetap menatap Emily—tatapan yang membuat bulu kuduknya meremang.
Hening melingkupi mereka, hanya terdengar suara dentingan sendok yang beradu dengan piring.
Kemudian, tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya, Felix berbicara lagi, suaranya rendah tetapi cukup untuk membuat Emily menegang.
"Kau ingin tahu apa yang sudah aku lakukan di luar sana, bukan?"
Emily mengerjapkan matanya, menatapnya dengan bingung sekaligus takut.
Felix menaruh sumpitnya, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mendekati Emily.
"Kau menunggu kepulanganku untuk mencari tahu siapa yang baru saja kubunuh, kan?"
Cahaya senja membias di jendela kaca besar kantor pusat Felix Corporation.Di dalam ruangannya yang luas dan kini terasa jauh lebih tenang, Felix berdiri memandangi kota Meksiko yang tengah sibuk menjelang malam. Di tangan kirinya tergenggam selembar laporan penahanan atas nama Marsha Estrella Germain.Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan udara masuk perlahan ke dalam paru-parunya. Semua terasa nyata—dan berakhir. Setelah berbulan-bulan permainan kotor dan manipulasi, akhirnya satu per satu kepingan masalah itu runtuh.Di sisi lain kota, Marsha baru saja dibawa menuju ruang tahanan wanita dengan wajah kusut dan rambut berantakan.Tuduhan atas pemalsuan identitas, pencemaran nama baik, serta keterlibatannya dalam konspirasi pemalsuan hasil DNA, kini resmi menjatuhkan vonis yang akan lama membelenggunya.Saat pintu sel tertutup di belakang punggungnya, Marsha terduduk di lantai. Ia memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah jeruji besi yang dingin. Tak ada lagi senyum licik, tak ad
Pagi yang biasanya penuh ketenangan di rumah besar keluarga Felix berubah menjadi hiruk-pikuk.Berita di layar televisi menampilkan laporan mendesak tentang proyek konstruksi milik Felix yang tiba-tiba dihentikan oleh pihak berwenang karena tuduhan pemalsuan dokumen legal dan ketidaksesuaian struktur bangunan.Emily yang tengah menyusui bayi mereka, Oliver, langsung menoleh pada Felix dengan wajah penuh tanya.“Ada apa ini, Lex?” tanyanya, suaranya serak karena cemas.Felix berdiri di tengah ruang keluarga, wajahnya tegang, jemarinya menggenggam ponsel erat.“Ini ulah Harland,” gumamnya lirih, namun penuh keyakinan.Emily berdiri perlahan, menggendong bayi mereka. “Dia belum selesai juga, ya?”Felix mengangguk, matanya penuh bara. “Dia tahu dia kalah dalam permainan sebelumnya. Sekarang dia mengincar reputasiku di mata publik.”Tak berselang lama, Axl masuk tergesa-gesa membawa se
Pagi itu, udara Meksiko berhembus sejuk ke halaman depan rumah Felix dan Emily. Burung-burung bernyanyi di kejauhan, dan aroma kopi segar memenuhi ruang makan tempat Emily duduk santai sambil memandangi halaman dari jendela kaca.Baru saja ia akan menyeruput minuman hangatnya, suara ketukan keras terdengar dari arah depan. Tak seperti biasanya—suara itu terdengar menantang, kasar, dan tidak sabar.Salah satu pelayan berlari masuk dan berkata pelan, “Nyonya... ada tamu di gerbang depan. Seorang wanita... menyebut namanya Marsha.”Emily meletakkan cangkir dengan tenang. Matanya menajam.Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu depan. Tak lama, pintu utama terbuka, dan sosok yang sudah sangat dikenalnya berdiri di sana dengan senyum mengejek di wajahnya.Marsha mengenakan gaun putih elegan yang terlalu mencolok untuk pagi hari. Di gendongannya, seorang anak laki-laki duduk tenang, tak tahu apa-apa tentang badai yang sedang bergulir di a
Hujan turun lembut membasahi atap kantor Felix malam itu. Di dalam ruang kerjanya yang gelap dan hening, Felix menatap jendela kaca besar dengan pandangan kosong.Sudah lima hari sejak hasil tes DNA pertama keluar—dan ia masih tidak bisa mempercayainya. Ada yang janggal. Ada yang tidak bisa ia terima begitu saja.Namun di balik semua itu, ada seseorang yang bekerja diam-diam: Noah.Tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan Felix, Noah telah membawa sampel DNA yang sama ke laboratorium independen lain. Ia tahu, kakaknya tidak akan pernah bisa tenang bila tidak menemukan kebenaran sejati.Dan sore itu, hasilnya datang.Noah langsung menjemput berkasnya sendiri, mengamankannya seperti harta karun.Ia membuka amplop itu dengan tangan dingin, membaca isinya cepat namun teliti. Begitu selesai, ia menghela napas panjang—antara lega dan marah.Hasilnya negatif. Anak itu bukan darah daging Felix.Di tempat lain, di sebuah apartemen mewah yang disediakan Harland, Marsha duduk bersandar di sofa denga
Langit Meksiko tampak cerah pagi itu, tetapi hati Emily sebaliknya—gelap, suram, dan penuh keraguan. Ia duduk diam di ruang kerja rumah mereka, menatap amplop putih di atas meja. Di sana tertulis dengan huruf tebal:“Hasil Pemeriksaan DNA – Confidential.”Jantungnya berdetak keras. Tangan Emily gemetar saat membuka amplop itu, dan begitu matanya membaca isi laporan laboratorium, tubuhnya seketika kaku.“Kecocokan DNA antara subjek A (Felix Ricardo) dan subjek B (anak laki-laki bernama Mateo): 99,98%. Kemungkinan sebagai ayah biologis: Sangat Tinggi.”Emily menatap lembaran itu lama. Satu per satu kata seakan membakar matanya. Sangat tinggi. Kata-kata itu menghujam seperti paku ke dalam hatinya.Saat Felix pulang tak lama kemudian, ia langsung menghampiri Emily yang masih duduk terpaku.“Sudah datang?” tanyanya sambil menunjuk amplop yang digenggam Emily.Emily mengangguk pelan. “Kau ingin membacanya sendiri?” tanyanya tanpa intonasi.Felix mengambil lembaran itu, membacanya cepat, lal
Dunia bisnis tidak pernah tidur. Begitu pula dengan ancaman yang bersembunyi di balik senyuman formal dan jabat tangan hangat. Hari itu, ruang rapat Ricardo Corporation lebih sunyi dari biasanya.Felix duduk di ujung meja besar berlapis kaca hitam, matanya menatap dokumen pembatalan kerja sama dari dua perusahaan Eropa yang selama ini menjadi klien utama.Felix mengernyit, lalu meletakkan kertas itu di atas meja dengan suara pelan namun tegas. “Ini yang kedua minggu ini,” gumamnya pelan.Noah, yang duduk di sebelahnya, menatap Felix dengan wajah tegang. “Kita dapat kabar bahwa beberapa mitra merasa reputasimu mulai dipertanyakan, Lex. Rumor di luar... menyebar cepat.”Felix mengangkat wajahnya, rahangnya mengeras. “Mereka bilang apa?” tanyanya ingin tahu.Noah menunduk sesaat sebelum berkata, “Bahwa kau telah menelantarkan anakmu, darah dagingmu sendiri. Bahwa kau tidak bertanggung jawab dengan apa yang telah kau lakukan pada Marsha.”Brak!Felix menghantam meja itu dengan keras. Ia k