Share

Hati Biru Affa
Hati Biru Affa
Author: Affad DaffaMage

Bab 1

Kedisiplinan adalah sebuah standar yang susah dimiliki.

“Jadi, tidak ada lagi yang ingin ditanyakan?” tanya Yusuf kepada semua asisten yang hadir saat itu. Sebenarnya ada topik wisuda, namun mengingat dua wisudawan sedang hadir di lab, akan merusak kejutan jika dibocorkan sekarang.

“Aku rasa itu cukup, Yusuf,” komentarku. Asisten lainnya tidak ada yang membantahku, dan sebagai moderator, Yusuf mengakhiri rapat malam itu.

“Karena tidak ada yang perlu dibahas lagi, kita akhiri dengan do’a,” ucap Yusuf. Do’a kafaratul majelis menutup rapat malam itu. Para asisten pun kembali ke pekerjaan mereka masing-masing. Aku sendiri masih berkutat dengan skripsi milikku yang berhubungan dengan perekaman data besar untuk permainan dan melakukan adjustment dari data tersebut.

“Skripsimu masih lanjut?” tanya Yusuf tidak percaya melihatku yang sibuk dengan angka-angka itu. Oke. Kalau aku mengetahui bahwasanya mengembangkan sistem perekapan seperti ini hingga selesai adalah satu semester, aku sudah mencicil ini dari semester 6.

“Iya. Prof Hari bilang minggu depan kalau bisa sudah mulai pengambilan datanya. Ini sudah semester kedua soalnya. Kalau telat, bakal hangus,” jawabku tanpa mengalihkan perhatianku. Yusuf memang cukup menyebalkan karena suka bertanya terus-menerus. Tapi, itu masih tidak seberapa dengan Mas Arrow, seorang senior sekitar 7 tahun di atasku, kala aku masih numpang di lab ini sebagai freeloader.

“Semangat ya. Aku juga mulai kerjakan milikku. Baru tahu kalo data bisa ngeselin seperti ini,” komentarnya. Aku berdecih, siapa suruh mengambil pengumpulan data hasil wabah untuk analisis dan simulasi prediksi penyebaran wabah serupa usulan Prof Murfid. Topik Prof Murfid notabene menyusahkan semua siswanya, dan aku pastikan bukan sesuatu yang bisa selesai dalam satu semester dengan mudah. Lagipula, topikku ini usulan beliau juga.

“Kamu kan ahlinya sekarang di bidang analisis data. Jadi ya kalau struggle kamu bakal kesulitan. Mulai dikerjakan aja. Fauzan di 206 mungkin bisa bantu dikit-dikit,” balasku.

“Makasih,” komentarnya, “aku ngurus skripsiku dulu,” lanjutnya. Akhirnya, dia berhenti menggangguku. Aku memegang kembali laptopku dan mengerjakan sisa komponen skripsiku yang belum tuntas.

Kakak yakin ambil penelitian itu?” tanya Rahima.

Dilihat dari kebermanfaatannya kelak, aku yakin,” jawabku.

Kalau tahu bakal sesusah ini- lupakan. Sudah terjadi. Aku hanya melanjutkan pekerjaanku. Salah satu calon wisuda, Mas Yahya, mendekati tempat aku duduk.

“Pak Ketua, saya pulang dulu,” pesannya. Aku menganggukkan kepalaku, tanpa memberikan pesan maupun balasan. Jam menunjukkan angka 10 malam. Rapat yang mulai semenjak jam 8 itu sudah memakan total 2 jam penuh.

“Mas Faux gak pulang?” tanyaku melihat ke senior calon wisudawan yang lain. Dia menggelengkan kepala.

“Lagi mau nyolong wifi. Kosan gak wifi ya gini. Gak kek Shad yang udah nikah,” komentar sang calong wisudawan. Aku terkekeh kecil sebelum kembali mengerjakan tugas akhirku.

“Rahima gak datang?” tanya Mas Faux lagi. Aku menggelengkan kepala. Perempuan itu pasti menghindari senior bernama Mas Yahya tadi, apalagi setelah pernikahan Mas Yahya dengan maba tahun ini, Zihan Azizah.

“Kenapa emangnya Mas?” tanyaku. Mas Faux tidak memberikan penjelasan. Dia mengalihkan pembicaraan. Sayang, aku menangkap jernih apa alasannya.

“Kurang apa lagi penelitianmu?” tanya Mas Faux. Aku menghela nafas.

“Tinggal sedikit sih. Kalau sudah selesai, bisa sidang semester ini,” jawabku seraya melihat ke laptopku. Sebuah notifikasi dari klien proyekan muncul di laptop.

Aristy: Mohon maaf Kak, untuk aplikasinya kira-kira bagaimana ya kak? Kami perlu buat demonstrasi kepada dosen minggu depan.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Belum tugas akhir, mana proyekan juga dikejar. Seharusnya aku lempar saja ke si Dekker ini proyek. Ah sudahlah, terlanjur basah.

Affa: Bisa selesai senin depan.

Ya. Artinya hanya tiga hari untuk menyelesaikan sisa tetek bengek kemarin. Mungkin aku harus benar-benar menawarkan Dekker.

Aristy: Terima kasih Kak. Bayaran dari kelompok kami akan seperti kesepakatan kemarin.

Affa: Oke. 400 ribu.

Aristy: Benar Kak.

400 ribu untuk pekerjaan seperti ini? Kepala perusahaan dimana Rahima bekerja akan tertawa mendengarnya. Kalau pekerjaannya untuk sistem data seperti sistem wabah atau analisis, mungkin lebih mudah bagiku.

“Ah sudahlah,” keluhku kesal. Aku melanjutkan pekerjaanku lagi. Ini semua menyebalkan.

“Kalau Kak Hamid bakal gimana ya?” gumamku seraya terus mengetik. Malam ini akan panjang, sangat panjang. Sebuah notifikasi masuk ke laptopku.

Aini: Kak Affa!

Aku menghembuskan nafas berat.

“Bocah ini lagi,” celetukku kesal. Aku menutup notifikasi itu.

“Legend, kamu kapan bimbingan?” tanya salah satu asisten dengan nama laboratorium Life_Bond. Aku menoleh ke arah laki-laki itu.

“Dengan Prof Hari atau Prof Murfid, Zul?” tanyaku balik.

“Prof Hari. Kan gue ogah sama Prof Murfid. Susahnya kek cari bola sakti,” jawabnya seraya menggibahkan professor legendaris di kampus kami. Sudah rahasia umum mahasiswa bimbingan Prof Murfid bahwa harus ada ‘anak ajaib’ supaya beliau mudah ditemui.

“Kalau Prof Hari rencananya selasa ini,” balasku. Dia melanjutkan pertanyaannya.

“Sudah janjian?” tanyanya.

“Sudah. Bukannya Prof Hari gak susah toh diajak janjian?” tanyaku balik. Zul menggelengkan kepala. Eh?

“Kalau kamu atau Rahima, gampang. Kalau yang lain, centang biru gan. CENTANG BIRU!” teriak Zul tidak terima. Itu mengejutkanku. Mungkin karena selama ini selalu aku yang menjadi komting kelas Prof Hari, aku tidak terpikir itu yang sebenarnya terjadi. Rumor soal Prof Hari saja tidak pernah masuk telingaku.

“Kok aku baru tahu?” tanyaku heran.

“Anak-anak biasanya pasti nunggu depan ruangan beliau. Cuma lama-lama ogah juga sekarang, apalagi Prof Hari makin sering keluar kota dadakan. Itu medsos update bilang lagi di luar negeri pas hari rencana bimbingan tiba-tiba njir,” jawab Zul kesal. Oke, ini sepenuhnya baru. Mungkin aku harus lebih aware dengan sekitarku. Aku kira, hanya Prof Murfid yang susah, karena rumornya sudah mendarah daging dari tujuh tahun lalu. Aku meletakkan tanganku di atas dagu.

“Begitu ya... anyway, sudah aku pinta ke beliau. Jadi, bilang ke yang lain,” komentarku. Zul menganggukkan kepalanya, lalu dia mulai berbalik namun berhenti.

“Oh ya,” ucapnya seraya kebali menghadap ke arahku, “kamu harusnya di grup anak bimbingan Prof Hari,” lanjutnya. Aku menganggukkan kepala.

“Undang saja. Aku tidak terlalu peduli dengan grup-grup. Kamu tahu sendiri semenjak maba aku dan Rahima sangat terisolir?” tanyaku balik. Zul hanya menganggukkan kepala. Dua orang yang dikecualikan dari sistem regenerasi kampus. Itu pun atas permintaan dosen laboratorium, karena waktu itu aku dan Rahima memegang beberapa proyek krusial di kampus. Bahkan, angkatanku sendiri banyak yang memusuhiku, seperti contohnya-

“Oh ya, Legend!” teriak Yusuf. Baru akan disebut namanya, dasar. Yusuf termasuk yang paling vokal tidak suka dengan special privilege yang aku dan Rahima miliki, terutama kepadaku. Oh ayolah, itu privilege lebih seperti penderitaan. Situ mending diteriakin ama senior, aku gagal bisa kena puluhan juta pertanggungjawaban.

“Kamu ada rencana konsul sama Prof Murfid?” tanya Yusuf. Zul tampak terganggu Yusuf tiba-tiba nyemplung masuk.

“Rabu,” jawabku datar. Aku kembali melihat ke laptop. Sebuah notifikasi masuk, bahwa aku diundang ke grup bimbingan Prof Hari. Undangan itu diterima otomatis.

“Oh ya, kamu sudah masuk grup anak Prof Murfid?” tanya Yusuf. Aku menggelengkan kepala.

“Pantesan selama ini kek neraka. Gak kepikir selama ini loe belum ada,” jawab Yusuf seakan menyadari kebodohannya. Ya. Pada akhirnya, aku juga diundang.

Mungkin bukan hanya Mas Yahya yang merasa dimanfaatkan dulu. Mungkin, itu yang juga Rahima rasakan. Dan tentunya, itu adalah yang aku rasakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status