Share

Bab 2

Jangan cari aku kala hanya diperlukan, lalu kamu campakkan begitu saja.

Hari sabtu pagi, setelah subuh di masjid kampus, aku memutuskan untuk pulang dari laboratorium. Rahima sudah mengirimkan pesan dia akan lembur di kantor perusahaan Pak Arrow, salah satu dari teman Kak Hamid dulu, sampai minggu.

Sebuah rumah kecil yang diberikan oleh Pak Arrow kepada kami aku masuki. Rumah itu tampak bersih, dan tentunya karena tidak sering dihuni. Biarpun aku dan Rahima punya rumah ini sekarang, laboratorium sudah seperti rumah bagi kami. Hanya untuk mandi saja biasanya aku pulang.

Aku mandi dan mengganti pakaianku. Ada satu rencana pada sabtu ini, yaitu mengunjungi suatu tempat yang harusnya aku kunjungi lagi. 1 Maret adalah senin depan, tapi aku tidak bisa berkunjung pada hari itu. Jadi, aku pilih sabtu ini.

Suasana hening tempat itu tentunya menjadi pengingat bahwasanya kita hanyalah manusia yang akan berakhir sendiri. Ribuan gundukan tanah menandakan tempat akhir persemayaman manusia. Aku berjalan di setapak kecil menuju satu pusara. Seharusnya, ada Rahima bersamaku. Sayangnya, kali ini aku harus meminta maaf kepada dia, dan kakakku.

“Assalamu’alaikum, Ya Ahlil Kubur,” ucapku pada angin yang berhembus. Sebuah salam untuk para penghuni yang telah beristirahat menunggu hari pengadilan. Semua manusia akan mengalaminya.

Aku berhenti di dekat satu pusara. Tertulis nama itu, nama yang sudah lama tidak ada, tapi legacy yang dia ciptakan akan terus berlanjut. Entah, apakah dia bangga, atau sedih karena tidak bisa menyaksikan hasil usahanya, aku tidak tahu. Aku duduk di dekat makam itu.

“Assalamu’alaikum Kak,” ucapku lemah. Ku keluarkan buku kecil dari tas slempang yang ku bawa. Tulisan-tulisan Kalam Allah terlihat begitu aku membukanya.

Setengah jam aku membacakan ayat-ayat di sana. Ini adalah sebuah kebiasaan bagiku dan Rahima, dan aku tahu dia merasa berat meninggalkannya. Jujur saja, aku dan Rahima sebenarnya sering ke sini, baik sendiri maupun berdua. Tapi, 1 Maret berarti berbeda. Hari kelahiran kami. Masih ingat aku hadiah terakhir Kak Hamid kepada kami, dua buah jam tangan kecil yang dia buat sebisanya. Aku tahu, dia mempelajari bidang yang bukan kekuatan utamanya untuk memberikan hadiah itu. Jam sederhana yang masih kami simpan sampai sekarang.

“Maaf Kak. Aku harus pergi dulu. Assalamu’alaikum,” ucapku terakhir sebelum pergi dari pusara itu. Rasanya sedih, tapi tetap harus kuat dan tabah. Aku dan Rahima telah mencapai lebih jauh daripada dahulu, sayang kakak kami tidak bisa menyaksikan. Aku pun kembali ke rumah.

Hari tujuh tahun itu masih membekas di ingatanku. Namun, aku selalu tidak ingin menyimpan kenangan suram itu. Selama belum ada yang melindungi Rahima secara menyeluruh, selama itu pula dia harus pantang menjatuhkan air dari matanya. Itulah pinta akhir kakak.

Hari pengangkatan itu penuh dengan drama. Banyak air mata, pukulan, dan rasa sakit. Namun, tidak ada satu air mata jatuh dariku. Hari itu, pengangkatan nyaris kacau karena dirinya seorang. Melihat adiknya dibuat menangis oleh senior-senior yang dimatanya tidak bertanggung jawab. Hanya demi sebuah tradisi. Kalau bukan karena salah satu senior asisten lab di sana menahannya, mungkin akan menjadi baku hantam keras malam itu.

Meskipun semuanya rekayasa, emosi itu nyata. Mereka memukul membabi buta, kekerasan yang tidak terkendali dengan baik untuk rekayasa. Dan fakta bahwa kami dipaksa angkatan sendiri untuk hadir pada hari itu membuat sebuah garis sekat pasca hari itu. Air yang jatuh dari mata Rahima dan luka yang dia alami karena fisiknya yang lemah itu berakhir menjadi sebuah bencana bagi himpunan.

Rahima sering menangis, bahkan untuk hal-hal terkecil. Menjadi sebuah beban bagi aku, untuk memastikan dia selalu tersenyum. Bahkan, banyak yang harus aku lakukan untuk merawat senyuman itu. Rahima selalu berusaha kuat, tapi bahkan dia sendiri mengakui bahwa dirinya sangatlah cengeng.

“Memang, kami dilindungi, dianggap sebagai benda berharga. Selama mutiara belum menghitam, selama itu kami berharga,” gumamku kala aku tiba di rumah. Ya, itulah yang aku pikirkan sekarang soal hari itu. Aku menggelengkan kepala.

“Sudahlah, sudah berlalu.” Aku memutuskan untuk membersihkan diriku.

Ponselku terus berdering. Aku yang baru selesai mengganti baju memutuskan untuk tidak mengabaikan. Dosen-dosen suka menelpon diriku jika aku tidak menjawab dalam lima menit dari pesan mereka. Jadi, aku tahu aku punya sedikit waktu. Aku segera memeriksa ponsel setelah selesai.

Aini: Kak Affa!

Aini: Kak Affa! Balas dong!

Aini: Iiih! Kak Affa kok gak balas sih.

Aini: Kak Affaaaaaaa!

“Menyebalkan,” komentarku seraya menghapus pesan itu. Aku memutuskan untuk kembali berangkat ke kampus. Semoga Dekker bersedia membantu dengan pekerjaan dari klien kemarin. Aku perlu waktu lebih untuk menyelesaikan proses pengolahan data.

Sebuah pesan muncul di grup laboratorium. Langkahku untuk berangkat terhenti, dan membuka pesan yang masuk di ponselku.

Zul: Oi! Gimana wisuda?

Yusuf: Affa katanya minta si May ya yang ngurus kan? May, laporan.

May: Iya Kak. Ini banner baru selesai saya desain. Plakatnya juga sudah.

Dekker: Gak ada buat kek semacam snack gitu?

May: Ada kok Ker. Ini sudah diatur rencananya apa saja. Lab kan semester ini cuma 3 orang. Mas Faux. Mas Shad. Mba Smile.

Dekker: Iya sih.

Yusuf: Segerakan ya bannernya. Minggu depan pasti ramai.

Affa: Jangan seperti Yusuf tahun lalu, panik jadinya.

Yusuf: JANGAN DIINGETIN!

Zul: Yusuf sih sok santuy banget.

Affa: Ya sudah. Segera diselesaikan ya May. Aku tunggu laporannya di rapat koordinasi hari rabu, biar memastikan gak terlalu mepet.

Zul: Ya kali rapat dadakan kek kemarin lagi.

Affa: Maaf. Dosen-dosen baru kasih spesifikasi buat praktikum. Aku kemarin gak bisa mulai karena belum fix siapa aja mahasiswanya. Jadi terpaksa Jum’at bahasnya. Buat praktikum minggu depan hari Kamis sesuai kesepakatan sudah TM.

Zul: Iya. Gue ingat kok Fa. Tak pastiin kelar kok.

Affa: Kalau gak sesuai timeline bisa kena tegur kita. Jangan teledor ya.

Zul: Siap bos.

Yusuf: Modul revisi kemarin sudah selesai btw. Setor kapan?

Affa: Senin aja. Nanti aku bantu.

Aku memutuskan untuk menutp grup dan mengirimkan pesan pribadi ke Dekker. Tentunya, membicarakan proyek.

Affa: Dekker. Di lab?

Dekker: Iya mas. Ada apa ya?

Affa: Perlu orang buat proyekan. Kamu mau ga?

Dekker: Proyek apa mas? Kalau aplikasi sih boleh aja.

Affa: Aplikasi. Aku perlu bantuan buat polishing aja kok, gak dari nol. Ini sudah ready sebagian besar. Deadlinenya senin.

Dekker: UI UX atau fungsional?

Affa: UI UX.

Ya. Setelah bergelut tadi malam sampai subuh, aku selesai dengan fungsionalnya. Namun, kualitas antarmukanya masih berantakan.

Dekker: Boleh lah mas. Bisa kalau gak terlalu banyak.

Affa: Oke. Aku ke kampus sekarang.

Dekker: Sampean sudah rehat belum mas? Seingat saya mas kan lembur kata anak-anak.

Affa: Biasa aja.

Meskipun aku sebenarnya sedikit mengantuk. Tidak apa. Aku masih bisa membawa motor tanpa oleng. Aku pun menutup pesan itu. Waktunya untuk berangkat kembali ke kampus.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status