Share

Takut Dengan Penyesalan

Perjalanan menuju rumah orang tua Jesatya berlangsung hening. Tidak ada satu kata yang terucap dari Gia pun Jesatya. Setelah hari di mana Jesatya menghubunginya dan mengajak untuk berpisah di depan orang tuanya, Jesatya dan Gia tidak lagi saling menghubungi dan benar-benar seperti orang lain.

Selama itu pula, Gia sama sekali tidak merasa merindukan atau memikirkan Jesatya. Tetapi ketika bertemu hari ini, Gia merasa sedih, sebab sejak Jesatya menjemputnya ke apartemen, tidak ada konversasi apa pun yang terjadi di dalam mobil.

Mobil Jesatya kemudian berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat dua, di mana pagarnya langsung terbuka secara otomatis ketika satpam rumah mengenali mobil milik Jesatya. Gia menatap rumah orang tua Jesatya itu dalam diam, ia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke rumah ini.

“Hei,” panggil Jesatya, membuat Gia menoleh. “Nanti kita dengerin mereka ngomong dulu. Kalau udah, baru giliran kita.”

Gia bergeming, memandangi punggung Jesatya yang sudah akan berjalan masuk ke dalam rumah. Di pekarangannya, Gia melihat mobil milik papinya yang sudah tiba duluan. Gia tahu, bahwa papi dan maminya pasti sedang asik berbicara dengan orang tua Jesatya di dalam sana.

Gia mendadak merasa sangat gugup. Takut, jika keputusannya dan Jesatya tidak dapat diterima oleh orang tua mereka.

“Gia?” suara Jesatya terdengar, menatap Gia yang tak beranjak dari posisinya berdiri. Melihat itu, Jesatya menghampirinya. “Kenapa, Gi?”

“Kenapa kamu bisa tenang-tenang aja?”

“Jadi aku harus gimana?” Jesatya menghela napasnya. “Ini yang kamu mau, kan?”

Gia mengernyitkan dahi, tidak senang dengan nada bicara Jesatya. “Maunya aku? Bukannya kamu juga sama? Kenapa seolah-olah ini cuma salahnya aku, Jes?”

Jesatya mengernyit, mulai tak suka arah pembicaraan ini. “Didn’t I try to fix it several times?”

You asked me to break up!” balas Gia dengan nada tinggi.

“Udah lah,” tutur Jesatya. “Enggak ada gunanya berdebat sekarang. Kita masuk aja, udah ditungguin.”

Do you have someone else?”

Jesatya langsung membalikkan tubuhnya. “What? Seriously, Gia? Sekarang, kamu nuduh-nuduh aku?”

“Aku enggak bisa maafin kamu kalau kamu punya someone else, Jes.”

That’s mean you’re still love me, Gianina.”

“Bukan itu—”

Jesatya mengibaskan tangannya, terlalu malas untuk mendengarkan ucapan Gia lagi. “Udah. Enough. Ayo kita masuk.”

Sejujurnya, Jesatya merasa tersinggung dengan tuduhan Gia tentang dirinya yang—mungkin memiliki seseorang yang lain di hatinya. Ini bukan karena Jesatya menyukai Daisi atau pun orang lain. Tetapi tentang Jesatya yang sudah tidak dapat lagi membendung ketidakjelasannya hubungan mereka.

Tidak ingin terlalu larut dalam ketidakjelasan itu, Jesatya mengambil sebuah keputusan yang mungkin saja akan ia sesali. Namun, Jesatya yakin, itu akan menjadi keputusan terbaik untuknya dan Gia.

Melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah ini bersama Gia, membuat Jesatya teringat dengan pertama kali ia berencana membawa Gia ke rumah itu.

Jakarta, September 2017

Malam itu hujan, tidak deras pun tidak biasa saja. Cuaca malam itu cukup menjadi alasan bagi Gia untuk berada di dalam pelukan Jesatya yang tengah memejamkan mata, beristirahat karena baru saja tiba di apartemen setelah lembur dari pekerjaannya. Sedangkan Gia, gadis itu memang berada di sana sejak jam kerjanya selesai.

Sambil menunggu kepulangan sang kekasih, Gia tertidur dan tidak sadar ketika sudah membuka mata, Jesatya tidur di sebelahnya. Dengan seulas senyum cantik terpatri di wajah, Gia memeluk erat Jesatya.

“Malem ini enaknya makan apa ya?” gumam Jesatya dengan suara serak karena baru terbangun dari tidurnya.

Sambil mengencangkan pelukannya dan memejamkan mata, Gia menjawab, “Makan Indomie kuah kayaknya enak, Yang.”

“Hmm … good idea.” balas Jesatya.

“Lepasin dulu dong. Aku mau ke dapur.”

Jesatya tersenyum. “Kamu juga dong lepasin.”

Senyuman Gia pun bertukar menjadi sebuah kekehan kecil yang akan selalu terdengar indah di telinga Jesatya. “I miss you so much.”

I miss you more, Sayang. Seharian ini aku cuma mikirin kamu.” kata Jesatya.

Ucapan itu terdengar tidak serius di telinga Gia. Namun karena Jesatya yang mengatakannya, maka Gia akan percaya walau hanya sedikit. Dengan perut yang sudah berteriak untuk diisi, Gia melepas pelukannya dan bangkit dari tempat tidur menuju dapur.

Jesatya yang kini sudah sadar seratus persen pun mengekorinya dan duduk di salah satu kursi di meja makan, memperhatikan Gia yang tengah mempersiapkan dua mangkok Indomie kuah.

“Telurnya satu atau dua?”

“Dua dong. Punyaku setengah matang.” jawab Jesatya.

“Baik, Pak. Minumnya mau apa, nih?” balas Gia sambil bercanda.

Jesatya tertawa dan berjalan sendiri ke kulkas sebelum menatap Gia lagi. “Minumannya air putih dingin aja, enggak apa ya, Bu?”

Gia mendengus, mengulum senyum dan kembali memotong bawang dan sedikit cabe sebagai penyedap makan malam mereka.

“Ah… ngomong-ngomong soal makan malam,” Jesatya menyahut, menggantungkan ucapannya. “Mama mau ketemu kamu.”

Karena ucapan itu, Gia menghentingkan tangannya yang sedang sibuk sejenak lalu membalikkan tubuh, menatap Jesatya lekat. “Mami juga sama, mau ketemu kamu. Mami bilang kamu mirip sama—”

“Mama bilang kamu mirip sama—”

Gia dan Jesatya sama-sama menghentikan ucapan mereka ketika tersadar betapa miripnya kalimat yang terucap dari keduanya. Setelah itu, mereka tertawa dengan kompak.

“Kamu dulu,” kata Jesatya.

“Mami bilang kamu mirip sama temannya. Jadi… dia penasaran dan mau ketemu kamu.” jelas Gia.

Jesatya mengernyit. Sebab ucapan maminya Gia itu sama persis dengan ucapan mamanya kemarin. “Loh, Mama juga ngomong kayak gitu,”

Keduanya kembali terdiam, mencoba mencerna omongan kedua ibunya masing-masing. Tak lama, Jesatya menyengir kaku.

Don’t tell me …”

“Itu bakalan jadi kebetulan yang mengerikan, Jes. Trust me.” tambah Gia.

I know!” Jesatya tertawa pelan. “Gimana kalau kita bikin janjinya di luar aja? Kamu ajak Mami dan aku ajak Mama.”

That’s a good idea.” Gia tersenyum dan berjalan ke belakang Jesatya selagi merebus air untuk dimasak. Gia kemudian melingkarkan tangannya di dada Jesatya. “Enggak sabar kalau ternyata mereka emang saling kenal. Menurut kamu… itu kebetulan atau takdir?”

I believe it’s destiny…” gumam Jesatya, menarik tangan Gia dan membuat gadis itu terduduk di pangkuannya. Jesatya menatap Gia lekat, pandangannya turun kepada bibir merahnya. “Because it’s you, Gianina.” katanya dan mencium Gia dalam.

-ooo-

Gia duduk di hadapan orang tuanya dalam diam, membiarkan orang tua mereka saling bercengkerama, sedangkan dirinya dan Jesatya lebih memilih untuk diam. Jelas sekali, bahwa orang tua mereka hanya saling melepas kerinduan karena sudah lama tidak bertemu.

Lucy, mamanya Jesatya—dan Liana, maminya Gia, ternyata adalah sahabat semasa kuliah yang sempat tidak berkomunikasi lagi. Ketika Lucy sering kali melihat anak laki-lakinya memposting foto Gia di I*******m, Lucy langsung teringat dengan Liana, sahabatnya itu. Begitu pula dengan Liana, yang merasakan hal yang sama. Sebab menurut keduanya, anak mereka memiliki kemiripan dengan diri mereka.

Maka hari itu, ketika Lucy dan Liana bertemu, mereka benar-benar sangat heboh dalam mengekspresikan kebahagiaan karena sudah lama tidak bertemu. Dekatnya kembali mereka pun membuat peluang bisnis bagi Andre—papanya Jesatya, dan Willy—papinya Gia untuk menjalin hubungan baik.

Dan mungkin karena itu pula lah, mereka bersikeras membuat Jesatya dan Gia menikah agar hubungan Lucy dan Liana, serta bisnis keduanya berjalan dengan baik.

Jesatya tidak pernah merasa sekesal ini saat mendengar suara tawa dari orang tuanya yang bahkan tidak menanyakan apakah dia dan Gia sedang baik-baik saja atau tidak. Mereka hanya membicarakan diri sendiri tanpa tahu bagaimana perasaan anak-anaknya. Itu semua membuat Jesatya muak.

Setelah menarik napas dalam-dalam, mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, Jesatya yakin bahwa ia bisa melakukan ini. Suka atau tidak, Jesatya ingin segera menyelesaikan semuanya.

“Aku sama Gia mau putus.”

Suara Jesatya yang tiba-tiba mengudara itu tidak hanya membuat semuanya hening, tetapi juga Gia yang terkejut karena lelaki itu tidak memberikan aba-aba sebelumnya.

“Jesa… kamu ngomong apa, sih?” Lucy mencoba mencairkan suasana dengan kekehan kecil. “Kamu laper banget ya, sampai-sampai ngomong gitu—”

“Enggak, Ma.” Jesatya menatap Lucy lurus. “Aku sama Gia benar-benar mau putus. Itu keputusan kami.”

“Jesa—” Andre mencoba bersuara, namun Jesatya segera menyanggah ucapan papanya lagi.

“Pa, it’s over. Aku sama Gia, udah enggak bisa sama-sama lagi.”

Liana tiba-tiba tertawa dan menggenggam tangan Gia, menarik perhatian anak satu-satunya itu. “Kalian kenapa sih? Lagi berantem, ya?”

“Daripada ngomong yang enggak-enggak, Jes, mending kita ngomongin pertunangan kalian aja.” Willy pun tidak mau ketinggalan.

Gia mengernyit, memejamkan matanya. “Mami… Papi… Kali ini Gia benar-benar mau putus sama Jesa. Gia udah enggak bisa lanjut lagi sama Jesa. Tolong ngertiin kami.”

“Gia… kamu yakin enggak bakalan nyesel?” tanya Lucy. “Kamu yakin ini keputusan terbaik?”

Gia menatap Lucy dan terdiam. Gia tahu, bahwa keputusan ini nantinya akan mengarah kepada sebuah penyesalan. Entah itu hanya penyesalan sesaat atau pun penyesalan selamanya. Namun lebih dari semua asumsinya itu, Gia yakin bahwa ia hanya akan menyesal sesaat. Sebab, ia dan Jesatya memang tidak akan bisa melanjutkan hubungan ini lagi.

“Mungkin Gia bakalan nyesel,” ucap Gia. “Tapi itu lebih baik daripada bikin Jesa dan Gia gini-gini terus. Kita enggak bahagia.”

Jesatya menoleh kepada Gia dan terhenyak. Begitu pula dengan orang-orang yang ada di sana, menyaksikan bagaimana Gia mengatakan itu dengan sejujur-jujurnya.

“Gia… coba pikir-pikir lagi.” kata Willy berusaha membujuk.

Gia lantas menoleh kepada papinya dengan sorot mata kecewa. “Gia sama Jesa udah mikirin ini matang-matang, Pi! Gia sama Jesa udah capek kayak gini terus. Tapi… Mami, Papi, Tante Lucy, sama Om Andre cuma mikirin diri sendiri. Enggak pernah mikirin anaknya bahagia atau enggak!”

“Gia!” tegur Liana. “Kita tentu aja mikirin kamu dan Jesa. Makanya kita enggak sabar nunggu kabar pertunangan kamu, kan?!”

“Gia enggak bisa tunangan sama Jesa kalau engak punya perasaan apa-apa lagi buat Jesa!” jelas Gia.

Jesatya menurunkan pandangannya dan tersenyum miris. Meski ia tahu bagaimana perasaannya dan Gia sudah mulai pudar, tetapi mendengar itu secara langsung dari mulut Gia membuat hatinya perih.

So, this is it ya, Gi.

Gia sudah mulai meneteskan air matanya karena menahan emosi sedari tadi. Melihat itu, Willy mengedarkan pandangannya. Suasana yang hidup beberapa menit lalu hilang sudah. Willy kemudian bangkit dari duduknya. “Kita pulang, Mi. Kamu juga, Gia.”

“Ta—tapi, Pi…”

“Pulang, Mi.” kata Willy lagi sambil menarik tangan Gia.

Sambil berlinang air mata, Gia beranjak dari duduknya dan mengikuti Willy yang menariknya. Ketika Gia berpikir bahwa semuanya bisa diselesaikan dengan baik, tentu saja ia tahu bahwa itu salah besar.

Begitu juga saat Willy yang menarik tangannya tiba-tiba jatuh ke lantai sambil memegang dadanya. Gia terkesiap, memandangi papinya terjatuh dan mendengar teriakan Liana di belakangnya.

“Papi!”

Begitu cepat, hingga Gia tidak dapat memproses apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status