Share

Untuk Mencari Jawaban

Gia merapikan selimut yang menyelimuti papinya di kamar rumah sakit. Setelah jatuhnya Willy hari itu di rumah Jesatya, ia sempat tak sadarkan diri seharian.

Willy pernah operasi dan pemasangan ring pada jantungnya sekitar sembilan bulan yang lalu. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sedang menurun dan sering mengeluh kepada istrinya, Liana. Rupanya, pembicaraan yang cukup serius di rumah Jesatya itu mampu membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri.

Gia memandangi papinya dengan nanar. Melihat Willy terbaring lemah membuat air matanya menetes lagi dan memori terpaksa membawanya kembali ke tiga hari yang lalu saat mereka membawa Willy ke rumah sakit bersama keluarga Jesatya juga.

Pertama kali melihat papinya tak sadarkan diri membuat Gia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar dan jantungnya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal-hal yang mungkin dapat terjadi kepada Willy. Gia bahkan tidak menangis karena tak ingin menambah ketakutan pada dirinya dan juga Liana.

Ketika pikiran negatif dan positifnya seolah sedang bertengkar di dalam benaknya, Jesatya tiba-tiba menggenggam tangannya dan membawa ketenangan sendiri pada dirinya.

Everything will be fine,”

Gia tidak menangis dalam perjalanan membawa Willy ke rumah sakit. Gia juga tidak menangis ketika melihat Liana panik. Tapi, Gia menangis, saat merasakan lembut dan amannya tangan milik Jesatya. Tanpa memikirkan segala egonya, Gia langsung memeluk Jesatya dan menangis sejadinya, melupakan kenyataan bahwa beberapa jam yang lalu, ia baru saja memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungannya bersama Jesatya.

Jesatya membalas pelukannya, mengusap rambut panjang Gia dengan lembut. Tanpa mengatakan apa pun, Jesatya kembali diragukan dengan perasaannya sendiri.

Perasaannya untuk Gia, dan perasaan Gia untuknya.

-ooo-

“Kenapa kamu masih di sini, Gi? Kamu enggak ngantor?” Liana keluar dari kamar mandi rawat inap dan terheran saat melihat Gia masih ada di sana.

“Iya, sebentar lagi Gia berangkat, Mi.”

Liana mengusap punggung Gia. “Papi bakalan baik-baik aja, kok. Kamu enggak usah khawatir.”

“Walau gitu, Gia tetap mikir ini salah Gia. Kalau aja Gia tahu Papi lagi enggak baik-baik aja, Gia enggak akan ngomong kayak gitu, Mi.”

Liana menghela napasnya, menarik satu kursi dan duduk di dekat Gia, menggenggam tangan anaknya erat. “Kamu jangan ngomong gitu, Gi. Ini bukan salah Gia, kok.”

Gia kemudian menatap Liana, tersenyum kecil. “Sekarang kamu ke kantor, ya? Papi bisa marah kalau lihat kamu di sini lagi.”

Gia menganggukkan kepalanya pelan dan akhirnya bangkit dari kursi serta meninggalkan kamar itu.

Selama perjalanan ke kantor dengan transportasi daring, Gia lebih banyak diam daripada mengajak berbicara supir seperti biasanya. Masalah seolah tidak ingin meninggalkan Gia begitu saja. Masalahnya dengan Jesatya jelas saja belum selesai. Dan sekarang, papinya justru jatuh karena ulahnya.

Gia seketika merasa bahwa ia membawa sial dan tak sepatutnya memutuskan masalahnya kemarin sendirian.

“Makasih ya, Pak.” ucap Gia ramah kepada si supir dan turun dari mobilnya.

Gia berjalan masuk ke dalam gedung kantornya dan bergeming ketika netranya menangkap sosok Jesatya di sana. Gia mengusap matanya, merasa tidak yakin bahwa itu adalah Jesatya. Sebab setelah kejadian itu, ia tak banyak berkomunikasi dengan Jesatya lagi.

Jesatya hanya menanyakan kabar Willy beberapa kali dan memberikan kata-kata penyemangat kepada Gia. Setelah itu, tak ada lagi. Begitu pula dengan Gia yang enggan menghubunginya lebih dulu.

Jadi sekarang, apa yang Jesatya lakukan di kantornya? Harusnya, Jesatya tidak memiliki alasan apa pun lagi, kan?

“Kalau kamu mikir kamu salah lihat, boleh dipakai dulu kacamatanya, Gi.” kata Jesatya yang menghampiri Gia lebih dulu.

Gia melunakkan pandangan matanya dan terdiam. Lalu memberanikan diri untuk menatap Jesatya lagi. “Kamu ngapain di sini?”

“Aku tadi jalan ke rumah sakit dan nelepon Tante Liana. Nanyain kamu gimana.” balas Jesatya. “Tante Liana bilang kamu baru aja berangkat. Jadi, aku langsung ke sini. Untung aja kamu belum ke atas.”

“Harusnya kamu nelepon aku aja. Ngapain ke Mami segala?”

Jesatya menggaruk kepalanya. “Kamu juga enggak bisa hubungin aku duluan, kan? Aku juga gitu, Gi. Susah.”

Gia menghembuskan napasnya, menghindari tatapan Jesatya yang selalu tenang. Gia bingung, Gia tidak tahu apa yang sedang ia rasakan sekarang terhadap Jesatya. Sekarang, harus bagaimana?

“Aku cuma mau mastiin kamu baik-baik aja, Gi.” ujar Jesatya, sadar dengan kebingungan yang tengah Gia hadapi sekarang. “Nanti ... kalau semuanya udah baik-baik aja, kita ngobrol lagi.”

“Sekarang kita apa?”

Jesatya terdiam, menatap Gia nanar. “Kamu maunya apa?”

Enggak tahu, Je. Gia bergeming, bahkan dirinya sendiri pun tidak tahu apa yang sedang ia rasakan. Gia tidak yakin dengan isi hatinya, Gia merasa bimbang. Di sisi lain, berada di dalam pelukan Jesatya yang hangat hari itu justru menenangkan dirinya. Gia tidak yakin, dengan hatinya sendiri.

Jesatya menghembuskan napas. “Mungkin kita break aja.” Gia mengangkat wajahnya, menatap Jesatya lekat. “Kita enggak bisa gini terus kan, Gi? Ayo break ... supaya kita tahu, sebenernya kita kenapa.”

Gia kembali menurunkan pandangannya dan mengepalkan kuat tangannya. Gia ragu dengan keputusan itu. Tapi, mungkin itu adalah jalan yang terbaik untuk dirinya dan Jesatya yang tengah bimbang untuk menentukan pilihan.

“ ... Ya udah,”

-ooo-

Jarak kantor Gia dan kantornya tidak begitu jauh. Hanya berbeda beberapa gedung-gedung tinggi saja. Karena itu pula, Jesatya menyempatkan dirinya untuk melihat Gia pagi ini di kantor perempuan itu.

Sebenarnya, Jesatya tidak menyangka dapat bertemu dengan Gia pagi ini. Sebab awalnya ia hanya berencana untuk memperhatikan perempuan itu dari jauh. Siapa yang sangka, ia malah bertemu dengan Gia di depan gedung dan berbicara tentang hubungan mereka ke depannya.

Bukan hanya Gia yang merasa bingung setengah mati, Jesatya pun sama. Melihat Gia rapuh dan menangis tersedu-sedu hari itu membuat hatinya ikut sakit. Jesatya tidak ingin melihat Gia menangis. Harusnya, jika perasaan keduanya telah hilang, ia tidak perlu merasakan hal seperti itu, bukan?

“Gue lihat-lihat tiap pagi lo kayak enggak punya semangat hidup, Je.”

Jesaya menghembuskan napasnya, terkekeh pelan karena ucapan Haris. “Jelek banget ya muka gue, Ris?”

“Banget. Gimana sama Gia? Masih?”

“Gue break sama dia.”

Haris tidak tampak terkejut, seolah sudah menduga kata itu akan keluar dari mulut Jesatya. “Enggak jadi putus beneran?”

Jesatya menggeleng. “Bokap Gia beberapa hari lalu tumbang setelah gue dan Gia ngomong kalau pengin putus. Gia sekarang ngerasa bersalah. Jadi gue bilang aja, mending break dulu. Daripada kepikiran mulu.”

Haris menganggukkan kepalanya paham. “Enggak apa, Je. Daripada lo buru-buru dan nantinya nyesel. Kali aja yang lo dan Gia butuhin memang waktu. Mungkin, lo berdua bosen dan butuh disenggol dulu biar sadar.”

“Semoga, deh.” balas Jesatya. “Ngomong-ngomong, kok gue enggak lihat Ezra sama Danish di luar?”

“Oh, mereka kerja di Haz hari ini, sekalian interview Hazel.”

Mata Jesatya langsung membulat begitu mendengar nama coffee shop itu disebut. Tubuhnya yang tadi bersandar di kursi langsung terangkat. “Gue boleh kerja di sana juga enggak sih, Ris? Kayaknya gue butuh kopi.”

“Enggak.” Haris menolak mentah-mentah, membuat Jesatya mengernyitkan dahi. “Lo bisa bikin kopi di pantry. Lagian, lo enggak ada gunanya buat Danish dan Ezra di sana.”

“Anjing lo.”

Haris tertawa puas lalu berjalan menuju pantry untuk menyeduh kopi yang akan menemaninya bekerja hari ini.

Jesatya kembali bersandari di kursi dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Sumpah, Jesatya langsung merasa bersalah kepada Gia detik itu juga karena keinginan kuatnya untuk ke Haz—yang ingin menemui Daisi.

“Enggak tahu, ah.” gerutu Jesatya dan menyusul Haris ke pantry untuk ikut membuat kopi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status