Share

Maybe, We Should

“Minggu ini kita ke rumah Jesa.”  Gia tidak pernah merasa sefrustrasi ini ketika mendapatkan pesan dari sang mami. Gia sudah menduga, cepat atau lambat, Mami dan Papinya akan mengetahui tentang hubungannya dan Jesa yang berada di ujung tanduk.

Sudah beberapa hari sejak akhir pekan kemarin, Gia dan Jesatya masih belum bertukar kabar. Entah keduanya saling menunggu mengabari atau malah memang sengaja membiarkan semuanya berakhir dengan sendirinya.

Sambil menyesap es kopi yang baru saja ia pesan di coffee shop lantai dasar kantornya, Gia menatap handphone-nya, memandangi pesan yang ia terima dari maminya pagi ini tanpa mengirimkan sebuah balasan. Gia yakin, Jesatya sudah mengetahui tentang ini lebih dulu darinya. Akan tetapi, pria itu tetap saja bungkam. Harusnya, ia membicarakan itu dengan Gia, bukan?

Masih dengan memegang dan melihat handphone-nya di tangan, Gia mulai melangkahkan kaki menuju lift untuk kembali ke ruangannya.

“Gia!”

Perempuan itu berhenti, menoleh ke arah suara yang baru saja meneriaki namanya. Ia terperangah dan perlahan, sebuah senyuman manis terukir di wajahnya.

“Ezra ... kok di sini lagi, sih?”

Ezra, dengan senyuman lebarnya menghampiri Gia. “Gue ngasih draft ke Clarissa sebelum dicetak, Gi.”

“Yang kayak gitu bukannya bisa di email aja ya, Zra?”

“Enggak mau dia. Udah gue bilang di Email aja. Eh, malah disuruh dateng.”

Gia tersenyum. “Jangan-jangan dia naksir lo lagi, Zra!”

“Enggak!” Ezra langsung menolak mentah-mentah. Membayangkannya saja, Ezra sudah ngeri sendiri. “Gue enggak suka sama yang lebih tua.”

“Alah, cuma beda lima tahun doang, Zra.”

Ezra langsung menggeleng cepat. “Mau lebih tua tiga atau lima kek, tetap ogah.”

Gia tertawa lagi. Melihat bagaimana Ezra dengan terang-terangan menolak ditaksir oleh bosnya itu, tentu saja menjadi candaan tersendiri baginya. Sebab, Clarissa memang benar-benar tipikal seorang wanita karir yang masih betah menyendiri.

Gia kemudian menatap Ezra lekat. Empat tahun yang lalu saat pertama kali berkenalan dengan Ezra—hingga sekarang, Ezra juga belum memiliki seorang perempuan di hatinya. Setiap kali ditanya, Ezra juga akan memberikan jawaban yang serupa yang selalu diberikan oleh Clarissa, yaitu, masih betah sendirian.

“Zra,”

“Ya?” balas Ezra, merogoh isi ranselnya entah mencari apa.

“Jesa di kantor gimana? Lagi sibuk, ya?”

Ezra mendongak, menatap Gia. “Gi, gue tuh kerjanya di lapangan. Jarang banget ketemu sama Bang Jesa. Kalau lo tanya Danish gimana, gue bisa jawab. Tapi, kalau lo tanya Bang Jesa, gue enggak bisa jawab. Mending tanya Bang Raga atau Bang Haris aja.”

Gia berdecak sebal. “Iya, sih. Tapi, gue kan deketnya sama lo, Zra ... bukan sama mereka.”

“Ya udah,” balas Ezra. “Mending lo tanya orangnya langsung. Kenapa sih? Masih enggak baik setelah sabtu kemarin?”

Gia menggeleng pelan. “Enggak. Bahkan gue sama dia enggak ada kontakan lagi setelah itu, Zra.”

“Gemes gue lihat lo berdua,” kata Ezra. “Daripada menduga-duga, mending diomongin lagi. Ketemu, selesaiin. Daripada kayak gini.”

Gia menipiskan senyumnya melihat reaksi Ezra yang biasa saja. Sejak berpacaran dengan Jesatya, Gia hanya memiliki dua teman untuk mendengarkan keluh kesahnya. Dua orang tersebut adalah Ella dan Ezra. Ella, sebagai teman akrabnya di kantor dan Ezra, sebagai orang ia kenal lebih dulu daripada Jesatya dan kebetulan satu kantor dengan pria itu.

Selama Gia bercerita dengan Ezra, Gia tidak pernah menduga-duga apakah Ezra bosan dengan cerita ketidakjelasan hubungannya bersama Jesatya. Namun hari ini, melihat Ezra memberikan reaksi seperti itu, sepertinya Gia tahu bahwa ia sudah sedikit kesal karena masalah yang Gia ceritakan selalu saja sama.

“Zra, lo bosen ya gue ceritain masalah ini terus?”

Ezra menoleh, tampak terkejut mendengar pertanyaan yang Gia lontarkan. “Ngomong apa sih, Gi? Kapan gue bilang gue bosen? Jangan suka berprasangka buruk deh, Gi.”

“Tapi lo kayak kesel kalau gue cerita.”

“Bener, gue kesel.” Ezra mengakui. “Kesel karena gerak lo cuma di situ doang, Gi. Jesa juga sama. Padahal sebenernya, kalau lo berdua mau memperbaiki hubungan lo itu, bisa aja. Tapi, semuanya balik ke diri lo masing-masing lagi.”

Gia menghela napas. Sungguh, Gia juga bingung dengan apa yang ia inginkan. Di sisi lain, tuntutan dari orang tuanya dan Jesatya lebih menjadi beban daripada dengan ketidakjelasan hubungan yang ia miliki bersama Jesatya. Gia merasa seperti dikontrol dan ucapan mereka adalah mutlak.

Orang tuanya merasa apa yang mereka putuskan untuk Gia sudah yang terbaik, tetapi Gia dan Jesatya merasa sebaliknya. Ini kehidupan Gia, seharusnya, ia yang paling tahu apa yang ia rasakan.

“Hei, Ezra!”

Gia dan Ezra sama-sama menoleh kepada Clarissa yang baru saja keluar dari lift bersama sekretarisnya. Wanita berambut panjang berwarna cokelat itu ia biarkan terurai. Jangan lupakan bagaimana modisnya seorang CEO Produk Kecantikan. Oh, dan juga, tas tangannya yang bermerk mahal itu.

“Lo belum pulang?” sapanya ketika ia menghampiri Gia dan Ezra. Matanya menatap lurus ke Ezra dan seolah menganggap Gia tidak ada di sana sama sekali.

“Belum, Bu. Ngobrol sama Gia dulu.” balas Ezra sopan.

Clarissa mengernyitkan dahinya, tidak menyukai bagaimana cara Ezra memanggilnya di luar pekerjaan. “No, no—jangan panggil gue Ibu. Clarissa aja.”

Gia mengalihkan pandangannya, berusaha untuk menahan senyum agar tidak terlalu jelas bahwa ia sedang menertawai Ezra sekarang. Sementara itu, Ezra tampak terkejut dan salah tingkah.

“Oke.” kata Ezra singkat. Pria itu sampai bingung harus mengatakan apa lagi.

Clarissa tersenyum lalu menyentuh bahu Ezra dan berkata, “Gue duluan ya. Hati-hati lo pulangnya.”

Ezra mengerjap dan Clarissa pergi melewatinya entah ke mana bersama sekretarisnya itu. Setelah Clarissa sudah cukup jauh, tawa Gia langsung meledak.

“Gue bilang juga apa, Zra! Dia beneran naksir lo!”

“Gi, sumpah … gue merinding!”

“Selamat ya, Zra … bentar lagi lo jadi kaya!”

“Amit-amit!”

***

Jesatya baru saja mengistirahatkan matanya setelah berkutat selama tiga jam penuh di depan komputer. Ia bersandar pada sandaran kursi, menatap langit-langit ruangannya dan memutar kursinya itu. Sambil memejamkan mata, Jesatya sedang membayangkan menu makanan yang akan ia santap sepulang kerja nanti dan membawanya pulang ke rumah Raga.

“Sakit pinggang kalau meeting selalu berjam-jam kayak gini.”

Jesatya membuka matanya lalu melihat Raga dan Haris yang baru saja masuk ke ruangan dengan mengeluh. Memang, Jesatya belum melihat Raga dan Haris lagi sejak pergi ke ruangan divisi lain tiga jam yang lalu untuk menghadiri rapat.

Raga tampak begitu lelah sambil meletakkan Ipad-nya di kubikel dan duduk di kursi sambil bersandar, melakukan apa yang Jesatya lakukan.

“Lama amat? Bahas apa sih?” tanya Jesatya.

“Biasa lah. Ditanyain mau release yang mana supaya bisa disamain dengan konten untuk I*******m.” Haris yang menjawab sambil membawa dua gelas air putih untuknya dan Raga. “Eh, sorry ya, Je, lo ambil sendiri aja.”

Jesatya tentu saja tidak memperdulikan itu dan berencana untuk kembali memejamkan matanya sebelum kembali berkeja.

“Eh, Si Hazel makin-makin sukses aja, nih.” Tahu-tahu saja, Raga menyahut. Mendengar nama Hazel dibuat membuat Jesatya mengurungkan niatnya untuk kembali mengistirahatkan matanya.

“Kenapa sama Hazel?” tanya Jesatya penasaran.

“Iya. Tadi, diminta buat wawancara Haz supaya dimuat di majalah terus kalau bisa mau ada Live I*******m bareng gitu. Itu juga kalau Hazel mau, sih.” jelas Raga.

Membicarakan Hazel, tentu saja membuat Jesatya teringat dengan Daisi. Entah ada setan apa yang merasuki Jesatya siang itu, ia tiba-tiba bersemangat untuk mendengarkan rencana ini lebih lanjut. Gilanya lagi, ia ingin ikut dengan Ezra jika Hazel memang bersedia untuk di-wawancarai.

Sadar dengan apa yang sedang ia pikirkan, Jesatya langsung menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus tentang Daisi dari kepalanya. Terlepas dengan ketidakjelasan hubungannya bersama Gia, status Gia di dalam hidupnya masih sama. Masih sebagai pacarnya dan Jesatya jelas tidak ingin menjadi laki-laki yang brengsek.

“Astaga … kayaknya gue udah gila deh.” gumam Jesatya, mengundang tanda tanya dari Raga dan Haris.

“Kenapa lo?” tanya Haris kemudian.

Jesatya menggeleng lagi dan bangkit dari duduknya lalu mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. “Gue ngopi ke bawah dulu ya.”

Jesatya kemudian pergi meninggalkan ruangannya, masih membuat penasaran kedua temannya. Namun, tidak mau banyak bertanya, Raga dan Haris pun kembali ke pekerjaan masing-masing dan membiarkan Jesatya mengambil waktunya sebanyak mungkin untuk beristirahat.

***

Hari-hari saat berpacaran dengan Gia di awal-awal tahun terasa mengasyikkan. Jesatya selalu tidak sabar untuk bertemu Gia. Tidak sabar untuk memeluknya, menciumnya, atau hanya sekadar bergandengan tangan saja. Namun sekarang, terasa sulit untuk dilakukan. Belum lagi, Jesatya tidak bisa menghentikan kepalanya yang sibuk memikirkan Daisi.

Jesatya tahu, bahwa ia sedang tertarik dengan perempuan yang baru saja ia kenal itu. Rasa ketertarikannya itu membuatnya merasa bersalah kepada Gia. Jesatya menatap ponselnya, melihat satu per satu fotonya bersama Gia yang sudah disimpan sejak berbulan-bulan yang lalu. Jesatya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Gia mau berfoto bersamanya.

Setelah tidak menghubungi Gia selama beberapa hari, hari ini, Jesatya memutuskan untuk meneleponnya duluan.

“Halo?” sapa Gia di seberang sana.

Jesatya tersenyum. “Hei. Lagi kerja?”

“Iya. Tapi enggak sibuk banget kok. Kenapa?”

Weekend ini kita bakalan dinner. Tahu?”

Gia terdiam sejenak sebelum akhirnya hanya bergumam untuk membalas.

“Jadi … ayo kita putus, Gia.”

“Hah?”

“Putus … di depan orang tua kita. Supaya semuanya jelas.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status