Jesatya sudah memantapkan hatinya bahwa ia tidak akan marah kepada Ezra ketika bertemu lelaki itu di kantor. Hanya saja, setelah melihat wajah Ezra, ia justru teringat dengan Gia dan perasaan marah itu kembali muncul. Jesatya merasa dikhianati oleh keduanya.Padahal, belum tentu perasaan keduanya sama. Bisa saja hanya Gia yang menyukai Ezra. Sementara Ezra tidak demikian. Sejujurnya, Jesatya tidak masalah jika Gia menyukai orang lain. Tapi dari banyaknya orang lain, kenapa lelaki itu harus Ezra? Orang yang hampir setiap hari ia lihat di kantor di pagi hari.Mata Jesatya tidak berhenti mengikuti Ezra yang baru saja datang dan duduk di mejanya. Lelaki itu kemudian berdiri, pergi ke pantry dan duduk lagi membawa secangkir kopi. Ketika ia duduk, matanya bertemu pandang dengan Jesatya, tidak sadar bahwa lelaki berkacamata itu sejak tadi memperhatikannya.“Ngopi, Bang?” tanya Ezra.Jesatya menggeleng lalu menurunkan pandangannya, meremas kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ia menghe
“Kita putus aja, Je.” Jesatya mengerjap, ucapan Gia, pacar empat tahunnya itu terdengar mutlak. Makan siang yang sedang ia santap dengan lahap beberapa menit lalu tidak lagi membuatnya berselera. “Wa—wait, wait, maksudnya apa sih? Tiba-tiba banget.” Jesatya meletakkan sendok dan garpunya di atas piring lalu menatap Gia lekat. Gadisnya itu tidak tampak bercanda sedikit pun. “You heard me,” balas Gia. “Kita putus aja, Je. Apa kamu enggak capek? The sparks is gone.” Jesatya menggeleng, menyanggah ucapan Gia itu. “Putus bukan jalan keluarnya, Gia. Kita udah pernah ngelewatin ini, ‘kan?” Gia menggeleng pelan. Tidak seperti Jesatya yang beberapa menit lalu bisa menyantap makan siangnya dengan santai, Gia sama sekali tidak berselera sejak ia datang menemui Jesatya di restoran ini. Butuh keberanian yang banyak untuknya menemui Jesatya di sini dan mengatakan tujuan awalnya—walau, itu terasa begitu sulit untuk diungkapkan. Setelah berpikir matang selama tiga malam, Gia kemudian memantapkan
Gia merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu ke kanan dan kiri dan sedikit menghela napas ketika akhirnya waktu kerja untuk hari ini telah selesai. Gadis itu sedikit melirik ke atas dari kubikelnya, memperhatikan beberapa rekan kerja yang juga melakukan hal yang sama dengannya. Percayalah, bekerja di depan laptop hampir seharian itu jauh lebih melelahkan. Karena itu pula, Gia harus menggunakan kacamata untuk bekerja.Gia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sebenarnya, Gia bisa saja pulang sebelum jam tujuh. Namun, pekerjaan hari ini terpaksa membuatnya mengundur waktu pulang.Satu notifikasi khusus yang Gia buat untuk Jesatya tiba-tiba terdengar. Gia terkesiap, membuka satu pesan yang baru saja Jesatya kirimkan untuknya. Random—tapi akan selalu membuat Gia tersenyum, karena itu adalah tipikal seorang Jesatya Sejati.Jesa: Gia, masa tadi aku ketemu setanGia semakin melebarkan senyumnya dan dengan cepat mengetikkan sebuah balasan
Jesatya sangat menantikan akhir pekannya minggu ini. Semua dikarenakan janjinya bersama Gia untuk makan siang bersama di Belle’s, tempat pertama kali mereka mulai menyandang status sebagai sepasang sekasih.Salah satu faktor hambarnya hubungan ia dan Gia adalah kesibukan masing-masing yang menghambat waktu untuk menghabiskan waktu bersama. Jesatya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia mengajak Gia untuk pergi bersama di akhir pekan.Menyadari bagaimana ia pun merasa semangat hari ini, Jesatya yakin bahwa perasaannya kepada Gia masih tersimpan di lubuk hatinya yang paling dalam. Perasaannya seperti dulu—yang selalu tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama dengan Gia.“Jadi juga lo pergi?”Jesatya yang baru saja menuruni tangga di kediaman rumah Ardhias langsung disambut oleh Raga—si pemilik rumah yang sedang bersantai menikmati secangkir kopi hangat di ruang keluarga. Sadar dengan pertanyaan Raga yang sedikit sarkas, Jesatya tersenyum.“Jadi. Semoga,” ujarnya sambil menilik rum
Tanpa ada pesan, pun telepon dari Gia sore itu, membuat Jesatya menghela napas saat ia melihat Instagram Story milik Gia bersama Ezra dan Danish. Tidak, Jesatya sama sekali tidak cemburu dan marah melihat kedua teman satu kantornya makan siang bersama kekasihnya. Yang ia sesalkan, harusnya Gia dapat mengabari ke mana ia akan pergi kesibukannya hari ini.Jesatya meringis, membuka kacamata dan meletakkan benda itu ke atas meja di samping tempat tidur. Ia menatap lurus langit-langit kamarnya—di rumah Raga.Seharusnya, Jesatya memikirkan Gia dan juga rencana mereka hari ini. Tapi anehnya, wajah yang terbayang sore itu bukan milik Gia, melainkan milih Daisi yang memberikannya senyuman kecil sesaat sebelum mereka berpisah siang tadi.Dengan cepat, Jesatya menggeleng dan bangkit dari tidurnya. “Anjir, kenapa gue jadi mikirin dia? Udah sinting.”Di saat yang bersamaan, handphone Jesatya berdering dan mengagetkannya. Jesatya langsung meraih benda itu dan melihat ibunya menelepon. Tanpa menungg
“Minggu ini kita ke rumah Jesa.” Gia tidak pernah merasa sefrustrasi ini ketika mendapatkan pesan dari sang mami. Gia sudah menduga, cepat atau lambat, Mami dan Papinya akan mengetahui tentang hubungannya dan Jesa yang berada di ujung tanduk.Sudah beberapa hari sejak akhir pekan kemarin, Gia dan Jesatya masih belum bertukar kabar. Entah keduanya saling menunggu mengabari atau malah memang sengaja membiarkan semuanya berakhir dengan sendirinya.Sambil menyesap es kopi yang baru saja ia pesan di coffee shop lantai dasar kantornya, Gia menatap handphone-nya, memandangi pesan yang ia terima dari maminya pagi ini tanpa mengirimkan sebuah balasan. Gia yakin, Jesatya sudah mengetahui tentang ini lebih dulu darinya. Akan tetapi, pria itu tetap saja bungkam. Harusnya, ia membicarakan itu dengan Gia, bukan?Masih dengan memegang dan melihat handphone-nya di tangan, Gia mulai melangkahkan kaki menuju lift untuk kembali ke ruangannya.“Gia!”Perempuan itu berhenti, menoleh ke arah suara yang ba
Perjalanan menuju rumah orang tua Jesatya berlangsung hening. Tidak ada satu kata yang terucap dari Gia pun Jesatya. Setelah hari di mana Jesatya menghubunginya dan mengajak untuk berpisah di depan orang tuanya, Jesatya dan Gia tidak lagi saling menghubungi dan benar-benar seperti orang lain.Selama itu pula, Gia sama sekali tidak merasa merindukan atau memikirkan Jesatya. Tetapi ketika bertemu hari ini, Gia merasa sedih, sebab sejak Jesatya menjemputnya ke apartemen, tidak ada konversasi apa pun yang terjadi di dalam mobil.Mobil Jesatya kemudian berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat dua, di mana pagarnya langsung terbuka secara otomatis ketika satpam rumah mengenali mobil milik Jesatya. Gia menatap rumah orang tua Jesatya itu dalam diam, ia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke rumah ini.“Hei,” panggil Jesatya, membuat Gia menoleh. “Nanti kita dengerin mereka ngomong dulu. Kalau udah, baru giliran kita.”
Gia merapikan selimut yang menyelimuti papinya di kamar rumah sakit. Setelah jatuhnya Willy hari itu di rumah Jesatya, ia sempat tak sadarkan diri seharian.Willy pernah operasi dan pemasangan ring pada jantungnya sekitar sembilan bulan yang lalu. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sedang menurun dan sering mengeluh kepada istrinya, Liana. Rupanya, pembicaraan yang cukup serius di rumah Jesatya itu mampu membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri.Gia memandangi papinya dengan nanar. Melihat Willy terbaring lemah membuat air matanya menetes lagi dan memori terpaksa membawanya kembali ke tiga hari yang lalu saat mereka membawa Willy ke rumah sakit bersama keluarga Jesatya juga.Pertama kali melihat papinya tak sadarkan diri membuat Gia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar dan jantungnya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal-hal yang mungkin dapat terjadi kepada Willy. Gia bahkan tidak menangis karena tak ingin