MasukSejak hari itu, gosip antara Nura dan Arthur semakin panas. ya meskipun nggak semua orang percaya, tapi hampir setiap kali Nura masuk kelas, selalu aja ada tatapan-tatapan yang membuatnya ngerasa nggaknyaman. Bisikan-bisikan samar sering terdengar, dan meski Nura udah berusaha cuek, hatinya tetap gelisah.
Mecca yang biasanya paling cerewet dan jahil, justru mulai merasa ada yang salah. Ia ingat jelas bagaimana gosip itu awalnya muncul dari celetukan kecilnya sendiri. Semakin hari, rasa bersalah itu kian menumpuk. Pagi itu, sebelum jam kuliah dimulai, Mecca udah duduk di kursinya sambil memainkan pulpen. Wajahnya tak seperti biasanya—murung dan penuh pikiran. Saat Nura masuk kelas dengan langkah pelan, Mecca langsung menatapnya. “Ra…” panggilnya lirih. Nura menoleh, sedikit heran. “Kenapa Ca? Tumben banget mukanya serius gitu.” Mecca menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku… mau ngaku sesuatu, tapi kamu janji dulu ya nggak akan marah?" "loh emang kenapa aku harus marah sih ca? emang kamu ngapain?" "ya pokonya kamu janji dulu sama aku.. Janji?! pleaseeee ra 🥹, kalo kamu ga janji aku gamau cerita" "iyaa..iyaa bawel, aku janji gaakan marah. Sekarang kamu mending cepetan cerita deh, ada apa sih?" " hehe ra.. ginii sebenernya, gosip tentang kamu sama Arthur itu… awalnya mulai dari aku. Aku yang pertama kali nyeletuk sama anak kelas 😅.” Nura diam, memandang sahabatnya itu dengan tatapan tenang namun menusuk. “oh pantesan dari kemaren feeling aku nggak enak, sebenernya aku juga udah agak curiga sih ca sama kamu, soalnya cuma kamu doang kan yang tau detail soal aku sama Arthur di café itu.” Mecca menggigit bibir, lalu cepat-cepat berkata, “ hehehe 😁 tapi aku sama sekali nggak ada maksud jahat kok, Ra. Aku cuma mikir itu lucu, kayak bahan candaan aja. Tapi ternyata dipikir-pikir aku salah ya, aku nggak kepikiran kalau akhirnya bisa bikin kamu jadi bahan omongan satu kelas. Maaf yaa ra” Nura menarik napas dalam. Ada rasa kesal, tapi juga lega karena akhirnya Mecca jujur. “Ca… aku ngerti kok. Aku tau kamu bukan orang jahat, kita kenal udah lama dan aku tau banget kamu tuh orangnya kaya apa. Tapi kamu paling tau aku kan? aku tuh nggak suka ca jadi pusat perhatian, apalagi buat hal-hal kayak gini. Aku aja sampe sekarang masih bingung sama perasaan aku sendiri.” Mecca menatap Nura, wajahnya benar-benar menyesal. “Aku janji, Ra. Mulai hari ini aku bakal beresin semuanya, gosip itu bakal aku klarifikasi. Aku nggak akan usilin kalian lagi, kalau nanti ada yang tanya, aku yang bakal jawabin semuanya. Biar mereka berhenti godain kamu.” Nura akhirnya tersenyum tipis. “bener yaa? janji loh ca.. oke sekarang aku maafin. Tapi janji ya, jangan diulangin lagi.. kamu nggak boleh asal ngomong sesuatu yang belum pasti. Kamu kan tau, sekali kamu ngomong, efeknya bisa bikin heboh sekelas malah ini hampir satu kampus loh, ca.” Mecca terkekeh kecil, meski wajahnya masih malu. “Iya Ra iya.. Maaf ya bestie.” Jam istirahat tiba. Seperti biasa, beberapa mahasiswa berhamburan ke kantin untuk mengisi perut. Di tengah kerumunan, tiba-tiba ada suara yang menyahut “Eh, nuraa.. arthur nya mana nih? ko sendirian aja” "iya nih, ko ga bareng sih nura? kan pasangan baru biasanya kemana-mana berduaan hahaha" Nura hanya diam, dalam hati nya ia sangat malu tapi gimana lagi semua gosip sudah terlanjur menyebar keseluruh penjuru kampus, Mecca yang merasa salah atas semua ini pun langsung maju dan mencoba mengklarifikasi. "Kalian mending udahan deh, stop gosipnya. Mereka tuh sebenernya nggak ada apa-apa kok. Kan kasian jadinya Nura sama Arthur kalau kalian terus gangguin, mereka jadi nggak nyaman.” Teman-temannya sempat terdiam, tidak menyangka Mecca yang biasanya paling jahil malah jadi orang pertama yang membela. Nura yang melihat hanya bisa tersenyum, hatinya terasa hangat. Ia sadar, meskipun Mecca sering bikin ulah dan bikin dirinya pusing, tapi sahabatnya itu punya hati yang tulus. Arthur dari jauh sempat mendengar kabar bahwa gosip itu perlahan mereda. Meski tidak tahu detailnya, ia bisa menebak kalau Nura dan sahabatnya sudah saling bicara. Dan untuk pertama kalinya setelah berhari-hari merasa tertekan, Nura bisa bernapas lega. Ia tahu, perasaan antara dirinya dan Arthur mungkin masih samar. Tapi setidaknya, beban gosip yang mengekang sudah mulai reda. Mecca tersenyum kecil sambil menatap Nura. Dalam hati ia bertekad, kali ini ia akan benar-benar jaga ucapannya. Bagaimanapun, sahabat bukan untuk dijatuhkan dengan gosip, tapi dijaga, meski dengan cara yang sederhana.Setelah menemukan musholla, Nura langsung bergegas mengambil wudhu, tapi sebelum itu ia sempat berkata pada Arthur, "Thur aku sholat dulu ya, kamu mau nungguin aku sampe beres sholat atau mau langsung pulang duluan?""Sans aja Ra, aku nggak buru-buru banget pulang kok lagian di rumah suasana nya lagi ngga kondusif, kan kamu tau sendiri wkwk.. Nikmatin aja waktu kamu berdua sama Tuhan ya, aku nunggu kamu disini..""Ooh okee kalo gitu.. wait yaaa""Ra.. raa, aku sekalian nitip doa yaa hehe"Cuma jempol yang jadi jawaban untuk Arthur, selanjutnya sosok Nura sudah hilang di balik tembok.Sembari menunggu Nura, Arthur sibuk menelaah kembali semua yang terjadi padanya belakangan ini.. mulai dari pertemuan pertama mereka, kejadian di cafe, gosip yang sempat menyebar seantero kampus, kecanggungan mereka, kekaguman Arthur sama Nura waktu liat perform nya di acara kampus, sampe masalah dia dan ayahnya dan hari ini pertemuan kesekian mereka, semuanya terputas jelas di otak Arthur, dan dia menyad
Langit sore kali ini berwarna jingga keemasan, seolah sedang melukis ketenangan setelah hari-hari kemarin yang penuh hiruk pikuk.Burung-burung kecil melintas di antara pohon cemara yang mulai gugur, sementara semilir angin membawa aroma tanah dan daun basah sisa hujan tadi siang.Di bangku taman yang agak tersembunyi di sudut barat, Nura duduk sambil memainkan gantungan kunci berbentuk treble clef, kesayangannya. Ia melirik jam tangan, lalu tersenyum kecil ketika sosok yang ditunggunya akhirnya muncul — Arthur, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku dan rambut sedikit berantakan. Iya, setelah 2 hari yang lalu mereka bertukar cerita via telepon, akhirnya hari ini mereka memutuskan untuk bertemu secara langsung di taman kota. “Maaf ya ra aku telat dikit hehe” katanya sambil mengangkat dua gelas minuman dingin. “Aku tadi sempet nyasar soalnya taman ini ternyata luas banget ya.” Nura terkekeh. “Padahal aku udah kasih shareloc, loh thur.” Arthur duduk di sampingnya, m
Sudah beberapa hari berlalu sejak obrolan panjang malam itu, tapi setiap kali Nura mengingatnya, bibirnya selalu tanpa sadar tersenyum. Percakapan lewat telepon yang awalnya hanya basa-basi ringan kini berubah jadi kebiasaan kecil yang ia tunggu setiap malam.Namun sore itu, ada sesuatu yang terasa berbeda. Notif pesan yang ia tunggu, tidak juga muncul. Padahal biasanya Arthur selalu rajin mengiriminya chat seperti "kamu lagi apa ra? “udah makan belum?” atau “hari ini pulang jam berapa? bareng yuk”. "Arthur kemana ya? ko tumben banget seharian ini dia nggak ada ngehubungin"Nura menatap layar ponsel nya yang tetap sepi, lalu menghela napas. Ia mencoba mengalihkan diri dengan latihan biola, tapi fokusnya buyar setiap beberapa menit. Nada-nada yang seharusnya lembut malah terdengar goyah.“Udah gapapa nura kamu harus tetep fokus, positif aja mungkin dia ketiduran, sibuk atau gaada kuota.. mending lanjut lagi deh latihannya” gumamnya, separuh kesal pada diri sendiri.Ketika lagi fokus l
"seharian ini aku capek banget, kayanya minum coklat panas sambil nonton enak kali yaa.. etapi bentar deh, coklat yang kemaren itu masih ada sisa ga ya? aku cek dulu kali" tanpa menunda, Nura langsung pergi ke dapur. "Alhamdulillah masih ada stok wkwk, kalo abis males banget aku harus jalan dulu ke warung Mang Sobur, jauh.. hihii rezeki anak sholehah, emang nggak kemana.." setelah menyeduh cokelat, Nura langsung balik lagi ke kamar. Dia duduk di depan laptop dan sibuk milih-milih film apa yang mau dia tonton, akhirnya pilihannya jatuh ke Jurassic World. Di awal film mulai, dia emang keliatan banget seriusnya, tapi di pertengahan entah kenapa fokus itu sepertinya hilang, Nura tampak sedang memikirkan sesuatu dibanding menikmati alur film. "Di acara tadi sore, aku kayanya liat arthur deh.. tapi ko sampe beres acara dia ga nemuin aku ya? etapi aku juga nggak yakin sih dia beneran ada disana apa nggak" ternyata yang membuat Nura hilang fokus adalah kejadian acara tadi sore di kampus. S
Hari itu, suasana aula fakultas musik sangat berbeda dari biasanya. Banyak mahasiswa dan mahasiswi dari fakultas lain memenuhi ruangan, karena tepat sore ini ada kegiatan yang diadakan. Acara konser mini tahunan lebih tepatnya, ya memang bukan acara yang besar, tapi cukup bergengsi. Semua mahasiswa jurusan musik diwajibkan untuk tampil, entah itu solo ataupun grup, hal itu sebagai bentuk tambahan nilai semester sekaligus ajang unjuk diri.Nura sejak pagi sudah gelisah. Tangannya dingin, kertas partitur yang dipegangnya berulang kali ia lipat lalu dibuka lagi. Byeol, biola kesayangannya, entah sudah berapa puluh kali ia gesek, bagi yang mendengar mereka merasa permainan Nura sudah sangat bagus walaupun ini masih dalam sesi latihan. Tapi, Nura sendiri masih merasa begitu tegang. Ia takut penampilannya nanti nggak maksimal.Mecca duduk di sampingnya, sibuk ngemil wafer seolah nggak ada beban. “Santai aja kali, Ra. Nggak usah tegang banget kaya gitu, aku yakin kok penampilan kamu nanti ba
Hari-hari di kampus akhirnya kembali tenang bagi Nura. Setelah Mecca menjelaskan dan meluruskan gosip yang sempat ramai, perlahan bisik-bisik di sekitar mereka mereda. Kini, Nura bisa berjalan di koridor tanpa harus merasa jadi pusat perhatian, meskipun sesekali masih ada teman yang meledek. Namun, ada satu hal yang belum ia selesaikan: buku tebal yang beberapa hari lalu ia pinjam dari Arthur. Bukan buku musik, melainkan buku hukum dasar—Arthur bilang buku itu lumayan untuk menambah wawasan. Nura awalnya hanya menerima dengan ragu, tapi ternyata setelah sempat membaca beberapa bab ia merasa tertarik. Ia jadi sedikit tahu tentang bab hak cipta yang bisa berkaitan dengan musik, dan itu cukup membuka pikirannya.Siang itu, usai kelas, Nura memutuskan untuk mengembalikan buku tersebut. Ia menunggu momen yang pas, dan akhirnya melihat Arthur sedang berdiri di dekat loker, sibuk merapikan barang. Dengan langkah hati-hati, ia menghampiri.“Arthur,” panggil Nura pelan.Arthur menoleh, wajahn







