MasukNggak lama sosok yang ditunggu akhirnya datang. Nura mendorong pintu cafe, suasana hangat dan semerbak aroma kopi langsung menyeruak ke hidungnya. Di salah satu sudut, Arthur udah menunggu dengan senyum tipis, nggak lupa buku catatan kecil juga sudah setia menemani.
“Hai… datang juga akhirnya,” ucapnya ramah, sambil bangkit untuk menyapa Nura. “Hi… iya, maaf ya agak lama, tadi ada urusan kecil dulu di kelas,” jawab Nura sambil tersenyum malu. "iya gapapa ra, santai aja kali", lalu mereka duduk, dan Arthur langsung memanggil pelayan. “Satu cappuccino untuk saya… dan satu latte manis untuk teman saya,” katanya sambil tersenyum pada Nura. Nura menelan ludah tipis, hatinya berdebar. Tapi begitu minuman datang dan ia mencicipi sedikit, ekspresinya berubah. Latte itu terlalu manis untuk seleranya. “Oh… ini… hmm… manis banget,” gumam Nura pelan sambil menahan senyum malu. Arthur menatapnya penasaran. “Hah? Manis? Aku kira kamu suka kopi manis…, gimana apa mau aku ganti aja yang sesuai selera kamu?” Nura menggeleng kecil, menatap cangkirnya. “Sebenarnya aku nggak terlalu suka kopi yang manis, Arthur… gausah gausah gapapa ko, makasih ya, kopinya gausah diganti, aku tetap minum dikit,” ucapnya sambil tersenyum tipis. Arthur tersenyum hangat, sedikit tersipu. “Ah… aku baru tahu… berarti aku harus ingat rahasia kecil ini, supaya lain kali nggak salah beli lagi,” ucapnya santai, tapi matanya terlihat hangat penuh perhatian. .. Mereka mulai ngobrol santai. Nura cerita sedikit tentang tugas kuliah dan hafalan matkul Aransemen & Orkestrasi tadi pagi, sementara Arthur sesekali menyelipkan komentar ringan, membuat Nura tersenyum malu. “Eh… waktu kemarin di perpustakaan, aku lihat kamu serius banget ngerjain catatan. Aku nggak nyangka kamu bisa setenang itu,” kata Arthur sambil menyesap cappuccino-nya. Nura menunduk sebentar, tersipu. “Hah… aku… ya, cuma berusaha fokus aja… tapi ternyata nggak terlalu berhasil sih, masih kepikiran hal lain,” ujarnya lirih. Arthur menatapnya, senyumnya lembut. “Aku ngerti… aku juga kadang susah fokus kalau mikirin hal-hal yang bikin senang. Hehe.” Nura menoleh sekilas, hatinya berdebar mendengar ucapannya. Ada kedekatan yang terasa nyaman, tapi mereka masih ngerasa malu satu sama lain. Mereka lanjut ngobrolin tentang hal-hal ringan lain: kafe favorit, musik yang mereka suka, sampai sedikit cerita lucu waktu SMA. Sesekali Nura menatap latte-nya, masih tersipu memikirkan rahasia kecilnya soal kopi. "ohiya ra, aku mau nanya deh boleh? sebenernya dari pertemuan pertama kita waktu itu aku kepikiran mau nanya ini tapi aku kelupaan hehe" pertanyaan arthur tadi memecah sedikit hening yang sempat tercipta "mmm.. iya boleh kok, emang nya kamu mau nanya apa?" "apa sih alasannya kamu milih masuk jurusan musik? ya aku percaya kamu tuh sosok yang berbakat, cuma kan dibalik keputusan pasti ada pemicunya" Arthur menatap dalam wajah Nura menunggu jawabannya "sebenernya sih aku milih jurusan musik karna ya hobi aja awalnya, tapi ternyata semakin di jalani aku jadi semakin nyaman, semakin cinta.. bahkan aku punya panggilan sendiri loh buat biola kesayangan aku ☺" "Waah beneran ra? Biola kamu punya nama?" Arthur reflek jadi semangat mendengar cerita Nura "Iya beneran, jadi dulu waktu aku smp karna orangtua ku tau aku suka musik, pas aku ulang tahun ibu kasih aku hadiah byeol - iya biola ini yang selalu aku bawa kemanapun.. jadi ya bisa dibilang byeol ini sahabat setiaku jauuuh sebelum aku kenal Mecca.. makanya kenapa aku sesayang itu sama byeol" Nura tanpa sadar tersenyum kala menceritakan tentang biolanya "Kereeen.. keren ra.. aku bangga banget bisa kenal sama kamu, semoga nanti kamu bisa jadi pemusik terkenal ya" "Makasih ya, arthur.. kamu pun yaa" Di luar, tanpa mereka sadari ada sosok yang lagi fokus mengintai mereka dari jauh. Mecca sengaja ngikutin Nura dari kampus sampe ke cafe, tujuannya mastiin kalo sahabatnya itu aman tapi sebenernya tujuan utama dia bela-belain ngikutin sampe ngintip dari celah jendela cafe itu; ya supaya dia yakin kalo suatu saat nanti dia bener-bener dapet jatah jadian. Lucu emang ya punya sahabat sejenis Mecca ini, kadang jago banget ngehiburnya, kadang bikin kesel banget karna usilnya yang nggak ada obat, tapi apapun tingkahnya Mecca akan selalu jadi orang yang paling berarti buat NuraSetelah menemukan musholla, Nura langsung bergegas mengambil wudhu, tapi sebelum itu ia sempat berkata pada Arthur, "Thur aku sholat dulu ya, kamu mau nungguin aku sampe beres sholat atau mau langsung pulang duluan?""Sans aja Ra, aku nggak buru-buru banget pulang kok lagian di rumah suasana nya lagi ngga kondusif, kan kamu tau sendiri wkwk.. Nikmatin aja waktu kamu berdua sama Tuhan ya, aku nunggu kamu disini..""Ooh okee kalo gitu.. wait yaaa""Ra.. raa, aku sekalian nitip doa yaa hehe"Cuma jempol yang jadi jawaban untuk Arthur, selanjutnya sosok Nura sudah hilang di balik tembok.Sembari menunggu Nura, Arthur sibuk menelaah kembali semua yang terjadi padanya belakangan ini.. mulai dari pertemuan pertama mereka, kejadian di cafe, gosip yang sempat menyebar seantero kampus, kecanggungan mereka, kekaguman Arthur sama Nura waktu liat perform nya di acara kampus, sampe masalah dia dan ayahnya dan hari ini pertemuan kesekian mereka, semuanya terputas jelas di otak Arthur, dan dia menyad
Langit sore kali ini berwarna jingga keemasan, seolah sedang melukis ketenangan setelah hari-hari kemarin yang penuh hiruk pikuk.Burung-burung kecil melintas di antara pohon cemara yang mulai gugur, sementara semilir angin membawa aroma tanah dan daun basah sisa hujan tadi siang.Di bangku taman yang agak tersembunyi di sudut barat, Nura duduk sambil memainkan gantungan kunci berbentuk treble clef, kesayangannya. Ia melirik jam tangan, lalu tersenyum kecil ketika sosok yang ditunggunya akhirnya muncul — Arthur, dengan kemeja biru muda yang digulung sampai siku dan rambut sedikit berantakan. Iya, setelah 2 hari yang lalu mereka bertukar cerita via telepon, akhirnya hari ini mereka memutuskan untuk bertemu secara langsung di taman kota. “Maaf ya ra aku telat dikit hehe” katanya sambil mengangkat dua gelas minuman dingin. “Aku tadi sempet nyasar soalnya taman ini ternyata luas banget ya.” Nura terkekeh. “Padahal aku udah kasih shareloc, loh thur.” Arthur duduk di sampingnya, m
Sudah beberapa hari berlalu sejak obrolan panjang malam itu, tapi setiap kali Nura mengingatnya, bibirnya selalu tanpa sadar tersenyum. Percakapan lewat telepon yang awalnya hanya basa-basi ringan kini berubah jadi kebiasaan kecil yang ia tunggu setiap malam.Namun sore itu, ada sesuatu yang terasa berbeda. Notif pesan yang ia tunggu, tidak juga muncul. Padahal biasanya Arthur selalu rajin mengiriminya chat seperti "kamu lagi apa ra? “udah makan belum?” atau “hari ini pulang jam berapa? bareng yuk”. "Arthur kemana ya? ko tumben banget seharian ini dia nggak ada ngehubungin"Nura menatap layar ponsel nya yang tetap sepi, lalu menghela napas. Ia mencoba mengalihkan diri dengan latihan biola, tapi fokusnya buyar setiap beberapa menit. Nada-nada yang seharusnya lembut malah terdengar goyah.“Udah gapapa nura kamu harus tetep fokus, positif aja mungkin dia ketiduran, sibuk atau gaada kuota.. mending lanjut lagi deh latihannya” gumamnya, separuh kesal pada diri sendiri.Ketika lagi fokus l
"seharian ini aku capek banget, kayanya minum coklat panas sambil nonton enak kali yaa.. etapi bentar deh, coklat yang kemaren itu masih ada sisa ga ya? aku cek dulu kali" tanpa menunda, Nura langsung pergi ke dapur. "Alhamdulillah masih ada stok wkwk, kalo abis males banget aku harus jalan dulu ke warung Mang Sobur, jauh.. hihii rezeki anak sholehah, emang nggak kemana.." setelah menyeduh cokelat, Nura langsung balik lagi ke kamar. Dia duduk di depan laptop dan sibuk milih-milih film apa yang mau dia tonton, akhirnya pilihannya jatuh ke Jurassic World. Di awal film mulai, dia emang keliatan banget seriusnya, tapi di pertengahan entah kenapa fokus itu sepertinya hilang, Nura tampak sedang memikirkan sesuatu dibanding menikmati alur film. "Di acara tadi sore, aku kayanya liat arthur deh.. tapi ko sampe beres acara dia ga nemuin aku ya? etapi aku juga nggak yakin sih dia beneran ada disana apa nggak" ternyata yang membuat Nura hilang fokus adalah kejadian acara tadi sore di kampus. S
Hari itu, suasana aula fakultas musik sangat berbeda dari biasanya. Banyak mahasiswa dan mahasiswi dari fakultas lain memenuhi ruangan, karena tepat sore ini ada kegiatan yang diadakan. Acara konser mini tahunan lebih tepatnya, ya memang bukan acara yang besar, tapi cukup bergengsi. Semua mahasiswa jurusan musik diwajibkan untuk tampil, entah itu solo ataupun grup, hal itu sebagai bentuk tambahan nilai semester sekaligus ajang unjuk diri.Nura sejak pagi sudah gelisah. Tangannya dingin, kertas partitur yang dipegangnya berulang kali ia lipat lalu dibuka lagi. Byeol, biola kesayangannya, entah sudah berapa puluh kali ia gesek, bagi yang mendengar mereka merasa permainan Nura sudah sangat bagus walaupun ini masih dalam sesi latihan. Tapi, Nura sendiri masih merasa begitu tegang. Ia takut penampilannya nanti nggak maksimal.Mecca duduk di sampingnya, sibuk ngemil wafer seolah nggak ada beban. “Santai aja kali, Ra. Nggak usah tegang banget kaya gitu, aku yakin kok penampilan kamu nanti ba
Hari-hari di kampus akhirnya kembali tenang bagi Nura. Setelah Mecca menjelaskan dan meluruskan gosip yang sempat ramai, perlahan bisik-bisik di sekitar mereka mereda. Kini, Nura bisa berjalan di koridor tanpa harus merasa jadi pusat perhatian, meskipun sesekali masih ada teman yang meledek. Namun, ada satu hal yang belum ia selesaikan: buku tebal yang beberapa hari lalu ia pinjam dari Arthur. Bukan buku musik, melainkan buku hukum dasar—Arthur bilang buku itu lumayan untuk menambah wawasan. Nura awalnya hanya menerima dengan ragu, tapi ternyata setelah sempat membaca beberapa bab ia merasa tertarik. Ia jadi sedikit tahu tentang bab hak cipta yang bisa berkaitan dengan musik, dan itu cukup membuka pikirannya.Siang itu, usai kelas, Nura memutuskan untuk mengembalikan buku tersebut. Ia menunggu momen yang pas, dan akhirnya melihat Arthur sedang berdiri di dekat loker, sibuk merapikan barang. Dengan langkah hati-hati, ia menghampiri.“Arthur,” panggil Nura pelan.Arthur menoleh, wajahn







