Setelah beberapa saat ngobrol dan tertawa di kafe, Nura dan Arthur duduk di sudut yang lebih tenang. Di luar, suara orang lalu-lalang dan mesin kopi tetap terdengar samar, tapi di meja mereka seolah ada “ruang hening” sendiri.
Arthur menyandarkan tubuh ke kursinya, kedua tangannya melingkari cangkir kopi hitamnya yang masih mengepul. “Ra… aku suka tempat kayak gini,” katanya dengan nada santai. “Bukan cuma karena kopinya, tapi karena suasananya. Tenang, nggak ribut kayak kantin.” Nura menatap secangkir latte di depannya, menggulirkan jarinya di atas tutup gelas. “Aku juga suka… ruang yang tenang. Kayak gini tuh bikin aku bisa mikir lebih jernih. Walau…” ia berhenti sebentar, menarik napas pelan, “kadang hening itu malah bikin aku kepikiran hal-hal yang bikin jantung deg-degan.” Arthur tersenyum, matanya tak lepas dari wajah Nura. “Deg-degan yang baik kan?” Nura melirik sekilas lalu buru-buru menunduk. “M-mungkin…” jawabnya pelan, wajahnya mulai memanas. Ada jeda. Tapi bukan jeda yang canggung, melainkan hening yang terasa hangat. Hening yang seolah menjadi bahasa mereka sendiri. Nura memainkan ujung hijabnya, pura-pura fokus pada bukunya, padahal sebenarnya ia merasakan tatapan Arthur yang begitu lekat. “Eh, Ra,” Arthur membuka obrolan lagi. “Kamu kalau belajar musik, paling suka bagian mana? Main, nyanyi, atau… ngaransemen?” Nura tampak berpikir sebentar, lalu tersenyum tipis. “Aku paling suka ngaransemen. Rasanya kaya kita lagi nyusun puzzle. Suara ini ketemu suara itu, jadi harmoni. Kalau pas cocok… rasanya lega banget.” Arthur mengangguk. “Keren. Aku tuh sering kagum sama orang yang bisa bikin aransemen. Soalnya butuh telinga yang detail kan? Harus tahu kapan nada ini pas, kapan nggak. Aku jujur aja lebih sering ngandelin feeling waktu main gitar.” “Feeling itu justru penting, Thur,” Nura menimpali. “Kadang teori doang nggak cukup. Kalau nggak ada rasa… musiknya jadi hambar.” Arthur terdiam sejenak, lalu tersenyum hangat. “Kamu benar. Sama kayak ngobrol gini ya, kalau tanpa rasa… cuma sekadar kata-kata kosong.” Ucapan itu membuat dada Nura berdesir. Ia meneguk sedikit latte manisnya untuk menutupi wajahnya yang memerah. Sayangnya, rasa manis berlebihan itu kembali menyerang lidahnya. Ia meringis tipis tanpa sadar. Arthur menangkap ekspresi itu. “Kenapa? panas ya?” “Eh, ngga kok… cuma… terlalu manis aja,” jawab Nura cepat, lalu buru-buru menutup mulut dengan tangan. Ia menyesal sudah jujur, takut menyinggung Arthur yang tadi sengaja memesankan menu itu. Tapi alih-alih tersinggung, Arthur tertawa kecil. “Oh gitu… yaudah lain kali aku beliin ya takarannya pas sama selera kamu ya" Deg. Kata lain kali itu membuat Nura seketika menunduk lagi. Ada rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, bercampur dengan gugup yang tak bisa dijelaskan. Di sisi lain ruangan, Mecca sebenarnya sudah duduk sejak tadi, memperhatikan dengan mata jahilnya. Tangannya menopang dagu, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Asiiik, asiiik… kayaknya bentar lagi bakalan ada yang jadian nih" batinnya sambil terkikik sendiri. Sementara itu, Arthur dan Nura kembali larut dalam percakapan. Mereka membahas hal-hal kecil: musik yang akhir-akhir ini sering mereka dengar, drama kampus yang lucu, bahkan mimpi aneh yang pernah dialami Nura sebelum ujian. Tawa mereka sesekali pecah, tapi tetap dalam nada yang hangat dan tidak berlebihan. Waktu berjalan lebih cepat dari yang mereka sadari. Nura menyadari betapa mudahnya ia merasa nyaman, padahal baru beberapa kali bertemu Arthur di luar kampus. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Arthur memperlakukannya. Tidak berlebihan, tidak memaksa, hanya sederhana dan tulus. “Ra…” Arthur berkata lagi dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Makasih ya udah mau duduk bareng sama aku disini. Rasanya… gatau kenapa, nyaman banget.” Nura menunduk, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Aku juga…” Sekali lagi, ruang hening itu tercipta. Tapi kali ini, heningnya lebih dalam, lebih bermakna. Seolah kata-kata tidak lagi dibutuhkan. Di tengah aroma kopi, tatapan malu, dan senyum yang saling berbalas, sebuah awal kecil perlahan terbentuk—awal dari kisah yang nantinya tidak selalu mulus, karena di balik rasa nyaman ini, ada kesalahpahaman kecil yang siap menanti…Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Sejak gosip kecil tentang dirinya dan Arthur beredar, Nura jadi merasa seluruh mata di kelas menyorotinya. Awalnya ia berusaha cuek tak mau peduli, tapi ternyata gosip yang tadi nya kecil itu sudah menyebar lebih jauh dan menjadi besar.Terlebih lagi, ketika ada mata yang melihat Arthur menunggu Nura di depan kelas. Ia sengaja membawa buku partitur yang tadi dibelinya untuk diberikan pada Nura. Hal itu pun memicu kesalahpahaman lain“Eh, itu kan Arthur, nungguin siapa sih?”“Liat deh… oh, kayaknya Nura. Wah, jangan-jangan mereka…?”Bisikan itu tidak luput dari telinga Mecca. Ia yang kebetulan lewat, langsung memasang ekspresi penuh arti. “Hmm… cocok juga ya,” batinnya sambil melirik.Gosip yang awalnya hanya berupa celetukan ringan, berubah menjadi percakapan serius saat masuk ke grup chat kelas.“Kayanya bener deh apa yang dibilang Mecca kemaren, soalnya tadi ada anak-anak yang liat Arthur nungguin di depan kelas kita sambil bawa sesuatu
Setelah cukup lama menikmati waktu berdua, mereka pun memutuskan untuk kembali ke kampus, kebetulan Arthur masih ada mata kuliah yang harus ia ikuti dan Nura pun ada janji dengan sahabatnya.Jalanan sore itu ramai oleh segerombolan mahasiswa yang baru saja selesai kelas, angin semilir berhembus, membawa aroma tanah basah karena gerimis yang sempat turun siang tadi, menambah suasana syahdu antara mereka. Arthur berjalan bersisian dengan Nura disamping kanan nya, menenteng segelas kopi yang hampir habis isinya.. sementara Nura, ia lebih banyak diam, mencoba mengatur langkah agar tak terlalu dekat tapi juga tak terlalu jauh.. Sayangnya langkah ringan mereka tak luput dari pandangan Mecca, dari kejauhan ia sudah berdecak kecil sambil mengangkat alis "wuiih beneran nih udah jalan pulang berdua doang? jangan jangan..."Yah tentu aja, seperti yang bisa kita tebak, Mecca gadis itu gabisa menahan diri, ia buru-buru mengeluarkan ponselnya, dan mengetik sesuatu di grup kelasMecca : "Guys, brea
Setelah beberapa saat ngobrol dan tertawa di kafe, Nura dan Arthur duduk di sudut yang lebih tenang. Di luar, suara orang lalu-lalang dan mesin kopi tetap terdengar samar, tapi di meja mereka seolah ada “ruang hening” sendiri.Arthur menyandarkan tubuh ke kursinya, kedua tangannya melingkari cangkir kopi hitamnya yang masih mengepul. “Ra… aku suka tempat kayak gini,” katanya dengan nada santai. “Bukan cuma karena kopinya, tapi karena suasananya. Tenang, nggak ribut kayak kantin.”Nura menatap secangkir latte di depannya, menggulirkan jarinya di atas tutup gelas. “Aku juga suka… ruang yang tenang. Kayak gini tuh bikin aku bisa mikir lebih jernih. Walau…” ia berhenti sebentar, menarik napas pelan, “kadang hening itu malah bikin aku kepikiran hal-hal yang bikin jantung deg-degan.”Arthur tersenyum, matanya tak lepas dari wajah Nura. “Deg-degan yang baik kan?”Nura melirik sekilas lalu buru-buru menunduk. “M-mungkin…” jawabnya pelan, wajahnya mulai memanas.Ada jeda. Tapi bukan jeda yang
Nura mendorong pintu cafe, suasana hangat dan semerbak aroma kopi langsung menyambutnya. Di salah satu sudut, Arthur sudah menunggu dengan senyum tipis, tak lupa buku catatan kecil juga sudah setia menemani.“Hai… datang juga akhirnya,” ucapnya ramah, sambil bangkit untuk menyapa Nura.“Hi… iya, maaf ya agak lama, tadi ada urusan kecil dulu di kelas,” jawab Nura sambil tersenyum malu."iya gapapa ra, santai aja kali", lalu mereka duduk, dan Arthur langsung memanggil pelayan.“Satu cappuccino untuk saya… dan satu latte manis untuk teman saya,” katanya sambil tersenyum pada Nura.Nura menelan ludah tipis, hatinya berdebar. Tapi begitu minuman datang dan ia mencicipi sedikit, ekspresinya berubah. Latte itu terlalu manis untuk seleranya.“Oh… ini… hmm… manis banget,” gumam Nura pelan sambil menahan senyum malu.Arthur menatapnya penasaran.“Hah? Manis? Aku kira kamu suka kopi manis…, gimana apa mau aku ganti aja yang sesuai selera kamu?”Nura menggeleng kecil, menatap cangkirnya.“Sebenar
Keesokan paginya, Nura sampai di kelas jam 7 kurang 15 menit, sebenarnya jadwal tetap matkul aransemen & orkestrasi itu dimulai jam 8 tapi gadis itu sengaja datang lebih awal ke kampus karna hari ini ada ujian tertulis, dan kejadian di perpustakaan kemarin tentu aja bikin dia ngga fokus untuk belajar, jadilah di pagi yang tenang ini Nura, si gadis cantik bertubuh mungil itu sibuk mengulang lagi hafalannya..Baru saja ingin membuka lembar berikutnya, kehebohan menghampiri, merusak ketenangan batin pagi itu.. ya siapa lagi kalau bukan ulah Mecca Wulandari"Ra.. raa.. Nuraa" tapi si pemilik nama enggan menyahuti, Semua orang di kelas menoleh saat suara lantang Mecca terdengar.“NURAA ALFIANDRI~!” teriaknya, membuat Nura hampir meloncat dari kursi karena kaget.Nura menatap Mecca dengan mata setengah kesal, setengah ingin menahan tawa.“Ca… ya ampun… bisa diem sebentar nggak sih? Aku lagi mau fokus ujian nih!”Mecca hanya tersenyum jahil, melangkah ke bangku sebelah Nura sambil menepuk m
Nura duduk di depan Arthur, masih sedikit gugup tapi berusaha terlihat santai. Arthur menutup bukunya perlahan, menatap Nura dengan senyum tipis yang hangat.“Ra aku ga nyangka kamu bakalan dateng, aku pikir kamu bakalan sibuk sama latihan musik di kelas, ternyata bisa nyempetin datang juga,” ucap Arthur, suaranya tenang tapi ada nada senang yang sulit disembunyikan.Nura tersenyum malu-malu, “Iya… aku sempat kepikiran juga sih. Lagipula, aku penasaran sama buku-bukunya, siapa tahu bisa ngebantu tugas kita nanti.”Mereka mulai membuka buku-buku, membicarakan tugas dan referensi yang harus dicari. Tapi percakapan mereka perlahan bergeser ke hal-hal ringan, seperti kebiasaan unik teman-teman kuliah, cerita lucu masa SMA, dan pengalaman aneh selama kegiatan kampus. Tawa kecil mereka sesekali terdengar di ruang perpustakaan yang tenang.Tiba-tiba, Mecca muncul di pintu, membawa minuman dari kantin. Matanya membelalak melihat Nura duduk berdua dengan pria asing itu.“Eh?! Nura… siapa tuh?!