Jakarta, malam hari. Langit menumpahkan hujan seolah sedang ikut merasakan gundahnya hati seorang gadis bernama Zea.
Dari balik kaca mobil yang buram oleh embun, lampu-lampu kota terlihat redup dan jauh. Seperti harapannya. Seperti cintanya. Zea menunduk dalam diam, jemarinya bermain dengan ujung lengan baju, menggenggam dan melepas seolah mencari pegangan dari sesuatu yang tak lagi utuh. Di sampingnya, Rayyan menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras. Tangan kirinya masih menggenggam setir, tapi tangan kanannya terulur, menggenggam tangan Zea yang dingin dan gemetar. “Zea,” suara Rayyan akhirnya pecah, dalam dan berat. “Katakan kalau ini cuma mimpi buruk. Katakan kalau kamu nggak akan ninggalin aku demi orang asing itu.” Zea memejamkan mata. Hatinya mencelos setiap kali mendengar nada terluka dalam suara Rayyan. Ini bukan salahnya. Ini bukan keputusannya. Tapi kenyataan tak butuh siapa yang salah, hanya siapa yang akan hancur lebih dulu. “Aku nggak punya pilihan, Yan...” suaranya nyaris tak terdengar. “Papa butuh bantuan keluarga Adrian untuk menyelamatkan bisnis. Kalau aku nolak... semua bisa hancur.” Rayyan menggeleng keras. “Kamu bukan barter, Zea! Bukan alat tukar buat utang keluarga!” Zea menahan air mata yang mulai menggenang. “Tapi aku anak mereka. Kalau aku bisa bantu, kenapa aku harus diam?” Rayyan menarik napas tajam, berusaha menahan kemarahannya. “Dengan mengorbankan hidup kamu sendiri? Cinta kita? Janji-janji yang kita bangun selama lima tahun?” Sunyi menyelimuti mereka. Hanya suara hujan yang terus mengetuk kaca, seolah waktu sedang mengulur simpati yang tak berarti. “Aku tahu kamu marah. Aku juga. Tapi apa kamu pikir aku nggak hancur ngelakuin ini?” Zea menoleh, menatap Rayyan dengan mata yang basah. “Aku mencintaimu, tapi hidup ini nggak cuma soal cinta. Ada tanggung jawab. Ada keluarga.” Rayan menatap gadis itu. Perempuan yang ia cintai lebih dari apapun. Ia tahu Zea bukan penakut. Ia tahu Zea tidak akan memilih jalan ini jika tidak benar-benar terdesak. Tapi tetap saja, hatinya tidak bisa menerima. “Aku bisa bawa kamu pergi sekarang. Kita bisa mulai dari nol. Aku rela kehilangan segalanya, asal nggak kehilangan kamu,” ucapnya lirih. Zea tersenyum miris. “Dan aku... nggak bisa meninggalkan keluargaku, mereka memberikan semuanya padaku. Aku nggak bisa jadi alasan kenapa keluargaku jatuh.” Air mata akhirnya jatuh di pipinya, bercampur dengan hujan yang merembes dari celah pintu mobil yang terbuka. Zea tahu ini bukan kisah cinta yang ia impikan. Tidak ada akhir bahagia dalam perpisahan. Tapi terkadang, hidup meminta kita memilih luka yang paling bisa ditanggung. Ia membuka pintu mobil perlahan, menahan napas sejenak sebelum keluar. Dingin langsung menyergap tubuhnya begitu hujan menyentuh kulit. “Zea!” Rayyan memanggil, suaranya tercekat. Zea menoleh, lalu berkata dengan suara gemetar. “Jangan tunggu aku, Yan... Karena aku sendiri belum tahu, apa hatiku akan pernah siap menjalani semua ini.” Dan dengan itu, ia melangkah pergi, membiarkan hujan menelan suaranya, dan malam menjadi saksi cinta yang harus dikorbankan demi sesuatu yang lebih besar — atau setidaknya, itulah yang dia yakini. Langkah kakinya berhenti di depan rumah mewah, rumah yang dulunya penuh tawa dan kehangatan, kini berubah menjadi rumah yang penuh dengan ketakutan. Rasa dingin menyelimuti dirinya, tangannya bergerak menggenggam gagang pintu di depannya. "Zea! Dari mana saja kamu!" Suara tegas dari pria yang ia panggil papa. Matanya terpejam beberapa menit. "Bertemu Rayyan," jawabnya lantang. Ia terkejut ketika sebuah vas bunga dilemparkan ke arahnya. "Dua hari lagi kamu akan menikah dengan Adrian, jangan pernah bertemu dengan dia lagi, paham!" Zea menunduk, napasnya memburu. Pecahan vas berserakan di lantai, dan serpihannya sempat menggores ujung kakinya. Tapi rasa perih itu tak sebanding dengan luka yang mencuat di dadanya. "Papa nggak tahu apa-apa tentang aku..." ucap Zea, suaranya bergetar namun tetap berusaha tegar. "Tentang apa yang harus aku tanggung, tentang siapa yang aku cintai..." Pak Arman mendekat, langkahnya berat, wajahnya merah karena amarah. "Kamu pikir cinta bisa bayar utang? Kamu pikir perasaan bisa selamatkan perusahaan kita dari kebangkrutan?" Zea mendongak, menatap ayahnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, bukan karena takut tapi karena kecewa. "Aku bukan alat, Pa..." katanya lirih. "Aku anak Papa. Tapi setiap kali aku mencoba bicara, yang Papa lihat cuma angka. Cuma nama besar keluarga. Bukan aku." Pak Arman terdiam sejenak. Dadanya naik turun menahan emosi. Tapi matanya tidak melembut. Justru makin tajam. "Kalau kamu keluar dari pernikahan ini, Zea... jangan pernah anggap rumah ini rumah kamu lagi." Ucapan itu menghantam lebih keras dari benda apa pun. Zea menggeleng pelan, seolah ingin menyangkal kenyataan yang ia sudah tahu akan datang. Zea berlari masuk ke dalam kamar, menutup pintunya dan menangis terduduk lemas dilantai yang dingin. Di meja kecil di sudut, masih ada bingkai foto kecil berisi potret dirinya dan Rayyan saat mereka liburan ke Yogyakarta dua tahun lalu. Mereka tertawa dalam gambar itu, seperti tak ada beban hidup, seperti masa depan milik mereka sepenuhnya. Kini foto itu nyaris tak sanggup ia pandang. Ia menunduk dan untuk kesekian kalinya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Pernikahannya dengan Adrian dijadwalkan dua hari lagi. Pria itu, tampan dan berpendidikan, anak keluarga kaya yang punya saham besar di perusahaan ayahnya. Tapi bagi Zea, ia hanya wajah asing yang memiliki tatapan dingin dan tajam. Malam semakin larut. Zea sudah menggantikan pakaiannya, kakinya melangkah ke arah jendela dan menatap rintihan hujan yang masih terjatuh. "Kenapa Rayyan tidak bisa memperjuangkan hubungan ini di depan keluargaku." Lamunannya terbuyarkan dengan bunyi ponsel yang terus berdering. ["Aku di depan rumahmu, keluarlah!] Dengan pelan ia membuka pintu kamar dan melangkah menuju ke pintu depan. Zea berdiri di ambang, mengenakan sweater lusuh dan wajah pucat yang tak lagi bisa menyembunyikan lelah. Matanya membelalak kecil saat melihat siapa yang berdiri di depan rumahnya. “Rayyan...?” suaranya nyaris berbisik, seperti takut jika menyebut nama itu terlalu keras akan membangunkan luka yang ia paksa tidur. Rayyan menatapnya. Sekilas saja. Karena lebih dari itu akan membuatnya goyah. “Aku cuma mau ngomong sebentar. Nggak akan lama.” Zea ragu. Tapi akhirnya mengangguk dan melangkah ke luar. Mereka berdiri di bawah lampu teras yang remang, dengan suara malam dan sisa-sisa hujan yang masih menetes dari talang sebagai latar. “Aku nggak datang buat maksa kamu batalin semuanya,” ucap Rayan pelan. “Aku tahu kamu nggak main-main waktu bilang kamu harus lakuin ini buat keluargamu.” Zea menunduk. Jemarinya kembali bermain di ujung lengan baju, kebiasaan lama yang muncul tiap ia cemas. “Tapi ada satu hal yang belum sempat aku bilang waktu itu,” lanjut Rayyan, menatap langit gelap sejenak sebelum kembali menatap Zea. “Kamu tetap rumah buatku, Zea. Bahkan kalau rumah itu udah dijual, dibongkar, atau dibangun ulang... aku masih akan ingat setiap sudutnya.” Sebelum Rayuan pergi dan menghilang di hadapannya, Zea mengatakan sesuatu yang membuat Rayyan tercengang. "Datanglah ke rumah besok, aku mohon perjuangkan aku sekali lagi, aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu." Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Zea tubuh Rayyan benar-benar langsung menghilang dari pandangannya. Ia hanya menunggu besok pagi dan melihat kembali keputusan kedua orang tuanya.Hujan turun perlahan di luar jendela cafe kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada dua pria yang duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Tak ada senyum. Tak ada sapa basa-basi.Rayyan duduk lebih dulu, matanya menatap ke luar, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Ia tak mengira akan dihubungi oleh seseorang yang selama ini hanya hidup dalam bayangan, Adrian Mahendra."Terima kasih sudah datang," ujar Adrian, duduk dengan tenang dan rapi. Suaranya rendah, namun membawa beban berat.Rayyan menatapnya. Wajah itu dingin, tak tersentuh emosi. Seolah segala rasa hanya gangguan bagi logika."Aku tidak datang untuk basa-basi," jawab Rayyan, datar. "Kalau kau ingin bicara soal Zea, katakan langsung."Adrian mengangguk perlahan, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu posisimu, Rayyan. Dan aku rasa, kau cukup cerdas untuk memahami batas yang seharusnya tidak lagi kau lewati."Rayyan menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Kalau kau ingin men
Malam itu, udara dalam rumah begitu sunyi. Matahari sudah tergantikkan oleh bulan, namun ketegangan telah merayap di setiap sudut ruangan. Zea melangkah perlahan menuju ruang makan, menemukan Adrian sudah duduk rapi dengan setelan kerjanya. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam. “Duduk,” katanya singkat. Zea menurut, duduk dengan gugup di seberangnya. Tak ada sapa, tak ada basa-basi. Adrian menyisipkan secangkir kopi sebelum akhirnya berkata. "Hari ini kau tidak pulang tepat waktu.” Zea diam. Ia menunduk. “Aku tahu kau bertemu dengan Rayyan,” lanjut Adrian, suaranya tetap tenang, namun mulai terdengar tekanan di setiap katanya. “Aku pergi darimu karena aku berpikir kau butuh ruang. Tapi ini hanya sekali, Zea. Hanya sekali.” Zea mengangkat wajahnya, hatinya berdegup kencang. “Adrian, aku tidak melakukan apa-apa yang mempermalukanmu.” “Tidak mempermalukan di mata umum, ya. Tapi tahu apa yang bisa terjadi kalau seseorang melihat kalian?” Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit. Mata
Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.“Zea?”Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu.“Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.”Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—”“Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia in
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya. Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan. Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang. Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh. "Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi." Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda. Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan
Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar.Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya.“Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya."Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis.“Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna.Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.”Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan
Pagi itu, matahari belum tinggi. Udara Jakarta masih dingin dan basah sisa gerimis malam. Zea duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos, tanpa riasan. Tapi sorot matanya tegas. Siap menghadapi apapun.Ia menunggu.Jam berdetak. Detik demi detik seperti tikaman ke dada. Ia tak tahu apakah Rayyan benar-benar akan datang... atau apakah keputusannya tadi malam hanyalah sebuah harapan yang terlalu tinggi untuk dijangkau.Lalu—bel pintu berbunyi.Zea langsung berdiri. Jantungnya melonjak. Langkah-langkahnya cepat menuju pintu. Dan saat daun pintu dibuka, bukan Rayyan yang berdiri di sana melainkan... Ibunya.Wajah Bu Ratna tampak letih. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada getar di ujung bibirnya. “Mama dengar semuanya semalam,” katanya pelan.Zea menunduk. “Mama mau marah?”Zea menutup pintu perlahan, lalu mengikuti ibunya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa yang sama, tapi terasa seperti dipisahkan oleh jarak ber