Share

Hati yang Tak Pernah Siap
Hati yang Tak Pernah Siap
Author: Faelelfa

Janji yang Direbut

Author: Faelelfa
last update Huling Na-update: 2025-06-16 14:56:11

Jakarta, malam hari. Langit menumpahkan hujan seolah sedang ikut merasakan gundahnya hati seorang gadis bernama Zea.

Dari balik kaca mobil yang buram oleh embun, lampu-lampu kota terlihat redup dan jauh. Seperti harapannya. Seperti cintanya.

Zea menunduk dalam diam, jemarinya bermain dengan ujung lengan baju, menggenggam dan melepas seolah mencari pegangan dari sesuatu yang tak lagi utuh.

Di sampingnya, Rayyan menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras. Tangan kirinya masih menggenggam setir, tapi tangan kanannya terulur, menggenggam tangan Zea yang dingin dan gemetar.

“Zea,” suara Rayyan akhirnya pecah, dalam dan berat. “Katakan kalau ini cuma mimpi buruk. Katakan kalau kamu nggak akan ninggalin aku demi orang asing itu.”

Zea memejamkan mata. Hatinya mencelos setiap kali mendengar nada terluka dalam suara Rayyan. Ini bukan salahnya. Ini bukan keputusannya. Tapi kenyataan tak butuh siapa yang salah, hanya siapa yang akan hancur lebih dulu.

“Aku nggak punya pilihan, Yan...” suaranya nyaris tak terdengar. “Papa butuh bantuan keluarga Adrian untuk menyelamatkan bisnis. Kalau aku nolak... semua bisa hancur.”

Rayyan menggeleng keras. “Kamu bukan barter, Zea! Bukan alat tukar buat utang keluarga!”

Zea menahan air mata yang mulai menggenang. “Tapi aku anak mereka. Kalau aku bisa bantu, kenapa aku harus diam?”

Rayyan menarik napas tajam, berusaha menahan kemarahannya. “Dengan mengorbankan hidup kamu sendiri? Cinta kita? Janji-janji yang kita bangun selama lima tahun?”

Sunyi menyelimuti mereka. Hanya suara hujan yang terus mengetuk kaca, seolah waktu sedang mengulur simpati yang tak berarti.

“Aku tahu kamu marah. Aku juga. Tapi apa kamu pikir aku nggak hancur ngelakuin ini?” Zea menoleh, menatap Rayyan dengan mata yang basah. “Aku mencintaimu, tapi hidup ini nggak cuma soal cinta. Ada tanggung jawab. Ada keluarga.”

Rayan menatap gadis itu. Perempuan yang ia cintai lebih dari apapun. Ia tahu Zea bukan penakut. Ia tahu Zea tidak akan memilih jalan ini jika tidak benar-benar terdesak. Tapi tetap saja, hatinya tidak bisa menerima.

“Aku bisa bawa kamu pergi sekarang. Kita bisa mulai dari nol. Aku rela kehilangan segalanya, asal nggak kehilangan kamu,” ucapnya lirih.

Zea tersenyum miris. “Dan aku... nggak bisa meninggalkan keluargaku, mereka memberikan semuanya padaku. Aku nggak bisa jadi alasan kenapa keluargaku jatuh.”

Air mata akhirnya jatuh di pipinya, bercampur dengan hujan yang merembes dari celah pintu mobil yang terbuka. Zea tahu ini bukan kisah cinta yang ia impikan. Tidak ada akhir bahagia dalam perpisahan. Tapi terkadang, hidup meminta kita memilih luka yang paling bisa ditanggung.

Ia membuka pintu mobil perlahan, menahan napas sejenak sebelum keluar. Dingin langsung menyergap tubuhnya begitu hujan menyentuh kulit.

“Zea!” Rayyan memanggil, suaranya tercekat.

Zea menoleh, lalu berkata dengan suara gemetar. “Jangan tunggu aku, Yan... Karena aku sendiri belum tahu, apa hatiku akan pernah siap menjalani semua ini.”

Dan dengan itu, ia melangkah pergi, membiarkan hujan menelan suaranya, dan malam menjadi saksi cinta yang harus dikorbankan demi sesuatu yang lebih besar — atau setidaknya, itulah yang dia yakini.

Langkah kakinya berhenti di depan rumah mewah, rumah yang dulunya penuh tawa dan kehangatan, kini berubah menjadi rumah yang penuh dengan ketakutan.

Rasa dingin menyelimuti dirinya, tangannya bergerak menggenggam gagang pintu di depannya.

"Zea! Dari mana saja kamu!" Suara tegas dari pria yang ia panggil papa.

Matanya terpejam beberapa menit. "Bertemu Rayyan," jawabnya lantang.

Ia terkejut ketika sebuah vas bunga dilemparkan ke arahnya. "Dua hari lagi kamu akan menikah dengan Adrian, jangan pernah bertemu dengan dia lagi, paham!"

Zea menunduk, napasnya memburu. Pecahan vas berserakan di lantai, dan serpihannya sempat menggores ujung kakinya. Tapi rasa perih itu tak sebanding dengan luka yang mencuat di dadanya.

"Papa nggak tahu apa-apa tentang aku..." ucap Zea, suaranya bergetar namun tetap berusaha tegar. "Tentang apa yang harus aku tanggung, tentang siapa yang aku cintai..."

Pak Arman mendekat, langkahnya berat, wajahnya merah karena amarah. "Kamu pikir cinta bisa bayar utang? Kamu pikir perasaan bisa selamatkan perusahaan kita dari kebangkrutan?"

Zea mendongak, menatap ayahnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, bukan karena takut tapi karena kecewa.

"Aku bukan alat, Pa..." katanya lirih. "Aku anak Papa. Tapi setiap kali aku mencoba bicara, yang Papa lihat cuma angka. Cuma nama besar keluarga. Bukan aku."

Pak Arman terdiam sejenak. Dadanya naik turun menahan emosi. Tapi matanya tidak melembut. Justru makin tajam.

"Kalau kamu keluar dari pernikahan ini, Zea... jangan pernah anggap rumah ini rumah kamu lagi."

Ucapan itu menghantam lebih keras dari benda apa pun. Zea menggeleng pelan, seolah ingin menyangkal kenyataan yang ia sudah tahu akan datang.

Zea berlari masuk ke dalam kamar, menutup pintunya dan menangis terduduk lemas dilantai yang dingin.

Di meja kecil di sudut, masih ada bingkai foto kecil berisi potret dirinya dan Rayyan saat mereka liburan ke Yogyakarta dua tahun lalu. Mereka tertawa dalam gambar itu, seperti tak ada beban hidup, seperti masa depan milik mereka sepenuhnya.

Kini foto itu nyaris tak sanggup ia pandang. Ia menunduk dan untuk kesekian kalinya, air mata jatuh tanpa bisa ditahan.

Pernikahannya dengan Adrian dijadwalkan dua hari lagi. Pria itu, tampan dan berpendidikan, anak keluarga kaya yang punya saham besar di perusahaan ayahnya. Tapi bagi Zea, ia hanya wajah asing yang memiliki tatapan dingin dan tajam.

Malam semakin larut. Zea sudah menggantikan pakaiannya, kakinya melangkah ke arah jendela dan menatap rintihan hujan yang masih terjatuh.

"Kenapa Rayyan tidak bisa memperjuangkan hubungan ini di depan keluargaku."

Lamunannya terbuyarkan dengan bunyi ponsel yang terus berdering. ["Aku di depan rumahmu, keluarlah!]

Dengan pelan ia membuka pintu kamar dan melangkah menuju ke pintu depan. Zea berdiri di ambang, mengenakan sweater lusuh dan wajah pucat yang tak lagi bisa menyembunyikan lelah. Matanya membelalak kecil saat melihat siapa yang berdiri di depan rumahnya.

“Rayyan...?” suaranya nyaris berbisik, seperti takut jika menyebut nama itu terlalu keras akan membangunkan luka yang ia paksa tidur.

Rayyan menatapnya. Sekilas saja. Karena lebih dari itu akan membuatnya goyah.

“Aku cuma mau ngomong sebentar. Nggak akan lama.”

Zea ragu. Tapi akhirnya mengangguk dan melangkah ke luar. Mereka berdiri di bawah lampu teras yang remang, dengan suara malam dan sisa-sisa hujan yang masih menetes dari talang sebagai latar.

“Aku nggak datang buat maksa kamu batalin semuanya,” ucap Rayan pelan. “Aku tahu kamu nggak main-main waktu bilang kamu harus lakuin ini buat keluargamu.”

Zea menunduk. Jemarinya kembali bermain di ujung lengan baju, kebiasaan lama yang muncul tiap ia cemas.

“Tapi ada satu hal yang belum sempat aku bilang waktu itu,” lanjut Rayyan, menatap langit gelap sejenak sebelum kembali menatap Zea. “Kamu tetap rumah buatku, Zea. Bahkan kalau rumah itu udah dijual, dibongkar, atau dibangun ulang... aku masih akan ingat setiap sudutnya.”

Sebelum Rayuan pergi dan menghilang di hadapannya, Zea mengatakan sesuatu yang membuat Rayyan tercengang.

"Datanglah ke rumah besok, aku mohon perjuangkan aku sekali lagi, aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu."

Setelah mendengarkan apa yang dikatakan Zea tubuh Rayyan benar-benar langsung menghilang dari pandangannya.

Ia hanya menunggu besok pagi dan melihat kembali keputusan kedua orang tuanya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Luka yang Harus di Sembunyikan

    Siang itu rumah terasa lebih hening dari biasanya. Zea duduk di kursi ruang tamu, matanya kosong menatap jendela yang tertutup tirai tipis. Bayangan kejadian di lobi hotel terus menari-nari di kepalanya, membuat dadanya sesak.Ia memegang perutnya yang membuncit, mencoba mengalihkan pikiran dengan membelai pelan janin yang tengah tumbuh di rahimnya. Namun rasa panas di hatinya tak kunjung mereda.Baru saja ia bernapas lebih lega, langkah kaki Adrian terdengar dari arah kamar. Lelaki itu keluar dengan wajah serius, kemeja kerja sudah rapi menempel di tubuhnya. Zea segera tahu, sebentar lagi Adrian akan berangkat ke kantor.“Zea,” suara Adrian terdengar berat, tapi bukan nada lembut yang biasa ia harapkan. Lelaki itu berdiri di depannya, satu tangannya memasukkan ponsel ke saku celana, sementara satu lagi menggenggam map kerja. “Hari ini aku mungkin pulang agak larut. Jadi… aku titip Tiara sama kamu, ya.”Zea mendongak, matanya langsung membesar. “Titip… Tiara?” suaranya serak, hampir t

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Bayangan di Pelukkan

    Jam dinding di lobi hotel sudah menunjukkan pukul 11.50 siang. Suasana hotel perlahan ramai dengan tamu-tamu yang juga bersiap untuk check out. Suara koper beroda berderit di lantai marmer yang licin, bercampur dengan percakapan pelan dan sapaan ramah dari staf hotel yang berdiri di dekat meja resepsionis.Zea duduk di sofa panjang lobi, tangannya mengelus perutnya yang kian membesar. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang sejak pagi masih terasa berat setelah kejadian semalam di area permandian air panas. Senyum samar Tiara masih membayang jelas di kepalanya, seperti bayangan hitam yang sulit diusir.Kevin sibuk memainkan mainan kecil yang dibelikan kakeknya pagi tadi. Anak itu tertawa kecil, polos, tak mengerti betapa tegangnya hawa di antara orang dewasa yang ada di sekitarnya.Zea memandang sekeliling, mencari sosok Adrian yang tadi pergi ke kamar Tiara. Kata suaminya, ia hanya akan membantu membawakan barang bawaan karena Tiara katanya masih merasa ke

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Kelicikan Tiara

    Udara sore di area permandian air panas hotel terasa berbeda, kali ini lebih lembap, menenangkan, dengan aroma belerang yang samar-samar berpadu dengan wangi bunga kamboja dari taman kecil di sekitarnya.Kolam air panas itu terbagi dalam beberapa bagian. Kolam utama yang luas dengan pancuran air terjun buatan dan kolam kecil di sisi kiri yang lebih privat untuk keluarga.Langit perlahan berwarna jingga, burung-burung berterbangan pulang ke sarang, sementara lampu-lampu taman mulai menyala satu per satu. Uap putih tipis naik dari permukaan air, melayang di udara, membuat suasana semakin syahdu.Adrian tampak tenang dengan handuk melilit pinggang, duduk di pinggir kolam sambil sesekali memperhatikan Kevin yang riang bermain air. Kevin tertawa kecil, cipratan airnya mengenai wajah Adrian, dan lelaki itu membalas dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan pada orang lain.Zea, dengan hati-hati, menuruni anak tangga kolam sambil memegang perutnya. Ia memilih duduk di sisi kolam, merendam

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Sarapan yang Penuh Ketegangan

    Pagi di hotel bintang lima itu terasa berbeda. Cahaya matahari menerobos lembut dari jendela kaca besar restoran yang menghadap kolam renang. Suara dentingan sendok dan garpu berpadu dengan alunan musik jazz lembut yang dimainkan dari pengeras suara. Para tamu hotel lalu-lalang dengan pakaian santai, sebagian besar keluarga kecil atau pasangan muda yang terlihat bahagia menikmati akhir pekan mereka.Zea duduk di kursi dekat jendela, bersebelahan dengan Ibu Adrian. Ia mencoba tersenyum, meski perasaannya masih terguncang sejak malam sebelumnya.Malam di mana Kevin menangis histeris dan menolak tidur bersama ibunya. Malam di mana tatapan tajam bocah kecil itu terus menghantuinya hingga kini.Di meja itu sudah tersedia aneka hidangan sarapan prasmanan, roti panggang, selai, omelet, sup hangat, sereal, buah segar, hingga kopi dan teh. Semua tampak lengkap, menggugah selera, namun bagi Zea, rasa lapar seperti sudah menguap.Ibu Adrian menoleh padanya dengan senyum hangat. “Zea, bagaimana

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Malam di Balik Dinding Hotel

    Suasana lobi hotel bintang lima di Jakarta terasa megah. Lampu gantung kristal menjuntai di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke lantai marmer putih yang licin.Aroma wangi bunga segar dari vas raksasa di tengah ruangan membuat suasana semakin terasa mewah.Keluarga Adrian berdiri di depan meja resepsionis, menunggu proses check-in. Zea meremas ujung tasnya dengan gugup, sementara matanya sesekali melirik ke arah Kevin yang tampak menempel di sisi Adrian. Anak itu terus menarik-narik tangan ayahnya, seakan tak ingin dipisahkan walau sebentar.“Untuk kamarnya bagaimana, Bu?” tanya resepsionis dengan senyum ramah.Ibu Adrian menoleh ke arah suaminya sebentar sebelum menjawab, “Kita pesan tiga kamar. Satu untuk kami berdua, satu untuk Adrian dan Zea, lalu satu lagi untuk Tiara dan Kevin.”Kevin sontak menoleh cepat. Bola matanya membesar, bibir mungilnya mulai bergetar. “Aku nggak mau Papa tidur bersama dengan Tante Zea,” ucapnya pelan tapi jelas, membuat semua orang menoleh.Tia

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Pagi yang Penuh Sandiwara

    Matahari pagi merayap pelan di balik tirai jendela kamar Zea. Aroma teh manis dan roti panggang mengalun dari dapur, membangkitkan rasa hangat yang hanya bisa ia temukan di rumah ibunya. Meski begitu, ada kegelisahan yang tak bisa ia enyahkan sejak membuka mata.Suara deru mobil berhenti di depan rumah membuatnya menoleh ke arah jendela. Tidak butuh waktu lama untuk mengenali siapa yang datang, mobil hitam milik orang tua Adrian.Zea menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba memacu. “Kenapa mereka ke sini pagi-pagi?” pikirnya. Perasaannya bercampur, ada rasa kaget, cemas, dan sedikit takut.Ketukan pintu terdengar, dan suara ramah ibunya menyambut, “Oh, Pak, Bu… silakan masuk.”Zea segera merapikan rambutnya, menepuk-nepuk pipinya agar tak terlihat sembab, lalu melangkah keluar kamar.“Zea… Sayang.” Suara lembut Ibu Adrian memanggilnya. Wanita itu bangkit dari sofa dan langsung meraih tangannya, menggenggam erat. “Nak, kami dengar kamu pergi dari

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status