Home / Romansa / Hati yang Tak Pernah Siap / Antara Pintu yang Terbuka dan Luka yang Belum Sembuh

Share

Antara Pintu yang Terbuka dan Luka yang Belum Sembuh

Author: Faelelfa
last update Last Updated: 2025-06-16 14:57:33

Pagi itu, matahari belum tinggi. Udara Jakarta masih dingin dan basah sisa gerimis malam. Zea duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos, tanpa riasan. Tapi sorot matanya tegas. Siap menghadapi apapun.

Ia menunggu.

Jam berdetak. Detik demi detik seperti tikaman ke dada. Ia tak tahu apakah Rayyan benar-benar akan datang... atau apakah keputusannya tadi malam hanyalah sebuah harapan yang terlalu tinggi untuk dijangkau.

Lalu—bel pintu berbunyi.

Zea langsung berdiri. Jantungnya melonjak. Langkah-langkahnya cepat menuju pintu. Dan saat daun pintu dibuka, bukan Rayyan yang berdiri di sana melainkan... Ibunya.

Wajah Bu Ratna tampak letih. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada getar di ujung bibirnya. “Mama dengar semuanya semalam,” katanya pelan.

Zea menunduk. “Mama mau marah?”

Zea menutup pintu perlahan, lalu mengikuti ibunya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa yang sama, tapi terasa seperti dipisahkan oleh jarak bertahun-tahun.

“Apa mama kelihatan sedang marah?” tanya Bu Ratna, pelan tapi tajam.

Zea menggigit bibirnya. “Zea cuma… Zea harus bilang. Kalau Zea diam, Zea akan menyesal seumur hidup.”

“Kamu mencintai Rayyan,” ujar Bu Ratna, bukan bertanya.

Zea mengangguk.

“Hidup nggak sesederhana itu, Zea,” lanjutnya. “Cinta saja nggak cukup untuk melawan semua yang akan kalian hadapi. Perbedaan, restu keluarga, masa depan…”

"Aku tahu,” potong Zea, nadanya keras. Tapi ia segera meredamnya. “Aku tahu, Ma. Tapi aku juga tahu, kalau aku menyerah sekarang, aku bukan diriku sendiri lagi.”

Bu Ratna memandang putrinya lama. Mata yang biasanya penuh penghakiman hari itu tampak kosong, seolah kelelahan menghadapi kenyataan yang tak bisa diubah.

Saat ingin melanjutkan ucapannya, bel rumah kembali berbunyi.

Zea menoleh cepat, napasnya tercekat. Ia tahu tidak ada keraguan lagi di dadanya. Itu pasti Rayyan.

Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit. Langkahnya terasa ringan dan berat sekaligus. Di belakangnya, Bu Ratna tetap duduk, tak bersuara, hanya mengikuti dengan tatapan yang tak mudah ditebak.

Zea membuka pintu. Dan di sana, berdiri Rayyan.

Ia tampak sedikit basah oleh embun pagi, jaket hitamnya menyerap dingin. Wajahnya lelah, tapi matanya... matanya penuh keyakinan yang sama seperti malam tadi.

“Hai,” sapanya, suaranya rendah.

Zea menggigit bibir bawahnya, hatinya berdebar. "Masuklah. Mama dan papa ada di dalam."

“Siapa ini?” tanyanya, langsung.

Zea melangkah maju. “Ayah, ini Rayyan.”

Zea duduk di samping Rayyan, sementara Pak Arman duduk di seberang, tangan terlipat di dada, pandangannya tak pernah lepas dari pria muda yang kini dianggapnya sebagai ancaman.

Bu Ratna memilih untuk berdiri di dapur, pura-pura sibuk, walau telinganya jelas terarah ke percakapan yang akan segera pecah.

“Jadi,” kata Pak Arman setelah meneguk air, “kau datang ke sini, membawa rencana usaha, keyakinan, dan niat. Tapi kau lupa satu hal penting, Rayyan.”

“Apa itu, Pak?” Rayyan berusaha tenang.

“Bahwa pernikahan itu bukan hanya soal dua orang. Ini soal keluarga, nama baik, dan masa depan. Kau belum bisa jamin masa depan anak saya.”

“Saya tidak janji kemewahan, Pak. Tapi saya janji berjuang.”

Pak Arman menggeleng pelan. “Itu bukan cukup. Anak saya bukan kelinci percobaan untuk mimpi-mimpi besar yang belum terbukti.”

Zea menegakkan punggung. “Ayah, ini pilihanku.

“Pilihanmu bukan hanya milikmu. Kamu punya keluarga. Dan keluarga punya nilai. Kau tahu Ayah sudah menjodohkan kamu sejak tahun lalu. Perusahaan Pak Mahendra sudah lama kerja sama dengan Ayah. Mereka orang terhormat. Stabil. Bisa menjamin kamu hidup layak.”

“Ayah tidak bisa memaksa aku menikahi orang yang tidak aku cintai,” suara Zea mulai bergetar.

Pak Arman membanting tangan ke meja. “Bukan soal cinta! Ini soal bertahan hidup dalam dunia nyata! Kau pikir cinta bisa bayar listrik? Bisa lunasi cicilan rumah? Bisa bangun bisnis?”

Rayan menahan napas, tapi tetap menatap Pak Arman. “Saya mungkin bukan orang kaya, Pak. Tapi saya punya tekad. Dan saya mencintai Zea. Dengan cara yang tak akan pernah Bapak temukan di pernikahan tanpa pilihan.”

Pak Arman berdiri. “Kau berani bicara seperti itu di rumah saya?”

Zea ikut berdiri, wajahnya memucat. “Kalau Ayah tetap memaksa... aku akan pergi.”

Pak Arman menatap Zea lama, matanya dingin, tapi nadanya tak lagi meledak. Justru ketenangan itulah yang membuat semuanya lebih menakutkan.

“Kau tahu, Zea,” katanya pelan, “Ayah bangun semua ini dari nol. Dari kaki lima sampai kantor lima lantai. Bukan karena mimpi, tapi karena disiplin dan logika. Dan Ayah harap, satu-satunya anak Ayah bisa jadi pewaris, bukan pemberontak.”

Zea mencoba membalas, tapi suaranya tercekat.

“Sekarang Ayah tanya satu kali saja.” Pak Arman menunjuk langsung ke wajahnya. “Kalau kau pilih dia—anak yang bahkan tak punya tempat tetap tinggal, tak punya penghasilan tetap, tak punya reputasi, apa yang kau banggakan nanti saat semua orang menertawakanmu?”

Zea membuka mulut, tapi tak ada jawaban yang bisa keluar. Semuanya terasa macet. Kata-kata cintanya, keyakinannya, bahkan keberaniannya, mendadak lenyap oleh sorotan tajam mata ayahnya.

Pak Arman menoleh ke Rayyan. “Dan kamu.” Suaranya tajam. “Keluar dari rumah saya. Sekarang.”

Rayyan menegakkan tubuh. “Pak, saya datang dengan hormat. Saya tidak ingin—”

“Tidak ada tapi,” potong Pak Arman dingin. “Kamu pikir keberanian datang ke sini cukup untuk jadi suami? Cukup untuk jadi bagian dari keluarga ini? Kamu tidak tahu apa-apa tentang tanggung jawab. Kamu hanya bawa cinta, tanpa fondasi, tanpa bukti.”

Rayyan tetap berdiri, mencoba menahan amarah dan rasa malu yang menekan dadanya.

Tatapan keduanya saling bertemu, Zea berpikir bahwa semua ini adalah akhir dari segalanya.

“Aku berjanji, Zea,” suara Rayyan bergetar namun penuh keyakinan, “akan datang kembali ke sini dan akan membawamu pergi dari sini, walaupun saat itu kamu sudah menjadi istri dari orang lain!”

Zea menatapnya, seolah kata-kata itu mengiris batas antara kenyataan dan harapan. Bibirnya gemetar, mata berkaca-kaca.

“Jangan ucapkan janji yang akan menghancurkanmu sendiri, Yan,” bisiknya. “Karena jika saat itu datang... semuanya sudah terlambat.”

Tapi Rayyan menggeleng, pelan tapi pasti. “Cinta tidak punya jam, Zea. Tidak juga pagar. Dan kalau dunia ini terlalu kecil untuk kita bahagia, aku akan patahkan dindingnya satu-satu.”

Zea tak mampu berkata apa-apa. Tapi diamnya bukan penolakan melainkan pertempuran antara akal dan hati. Dan di detik itu, ia tahu: Rayyan bukan sekadar kenangan, ia adalah arah pulang yang tak pernah berubah meski dipaksa hilang.

Meski hatinya begitu tidak menginginkan pernikahan ini, tetapi tubuhnya begitu lemah untuk menentang keputusan keluarga dan besok adalah hari yang tidak diinginkan olehnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Dua Pria Satu Bayangan

    Hujan turun perlahan di luar jendela cafe kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada dua pria yang duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Tak ada senyum. Tak ada sapa basa-basi.Rayyan duduk lebih dulu, matanya menatap ke luar, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Ia tak mengira akan dihubungi oleh seseorang yang selama ini hanya hidup dalam bayangan, Adrian Mahendra."Terima kasih sudah datang," ujar Adrian, duduk dengan tenang dan rapi. Suaranya rendah, namun membawa beban berat.Rayyan menatapnya. Wajah itu dingin, tak tersentuh emosi. Seolah segala rasa hanya gangguan bagi logika."Aku tidak datang untuk basa-basi," jawab Rayyan, datar. "Kalau kau ingin bicara soal Zea, katakan langsung."Adrian mengangguk perlahan, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu posisimu, Rayyan. Dan aku rasa, kau cukup cerdas untuk memahami batas yang seharusnya tidak lagi kau lewati."Rayyan menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Kalau kau ingin men

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Nama yang Harus Dijaga

    Malam itu, udara dalam rumah begitu sunyi. Matahari sudah tergantikkan oleh bulan, namun ketegangan telah merayap di setiap sudut ruangan. Zea melangkah perlahan menuju ruang makan, menemukan Adrian sudah duduk rapi dengan setelan kerjanya. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam. “Duduk,” katanya singkat. Zea menurut, duduk dengan gugup di seberangnya. Tak ada sapa, tak ada basa-basi. Adrian menyisipkan secangkir kopi sebelum akhirnya berkata. "Hari ini kau tidak pulang tepat waktu.” Zea diam. Ia menunduk. “Aku tahu kau bertemu dengan Rayyan,” lanjut Adrian, suaranya tetap tenang, namun mulai terdengar tekanan di setiap katanya. “Aku pergi darimu karena aku berpikir kau butuh ruang. Tapi ini hanya sekali, Zea. Hanya sekali.” Zea mengangkat wajahnya, hatinya berdegup kencang. “Adrian, aku tidak melakukan apa-apa yang mempermalukanmu.” “Tidak mempermalukan di mata umum, ya. Tapi tahu apa yang bisa terjadi kalau seseorang melihat kalian?” Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit. Mata

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Tembok yang Mengurung Rindu

    Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.“Zea?”Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu.“Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.”Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—”“Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia in

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Hari Pertama Sebagai Istri Adrian

    Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya. Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan. Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang. Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh. "Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi." Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda. Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Hati yang Tak Pernah Diinginkan

    Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar.Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya.“Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya."Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis.“Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna.Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.”Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Antara Pintu yang Terbuka dan Luka yang Belum Sembuh

    Pagi itu, matahari belum tinggi. Udara Jakarta masih dingin dan basah sisa gerimis malam. Zea duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos, tanpa riasan. Tapi sorot matanya tegas. Siap menghadapi apapun.Ia menunggu.Jam berdetak. Detik demi detik seperti tikaman ke dada. Ia tak tahu apakah Rayyan benar-benar akan datang... atau apakah keputusannya tadi malam hanyalah sebuah harapan yang terlalu tinggi untuk dijangkau.Lalu—bel pintu berbunyi.Zea langsung berdiri. Jantungnya melonjak. Langkah-langkahnya cepat menuju pintu. Dan saat daun pintu dibuka, bukan Rayyan yang berdiri di sana melainkan... Ibunya.Wajah Bu Ratna tampak letih. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada getar di ujung bibirnya. “Mama dengar semuanya semalam,” katanya pelan.Zea menunduk. “Mama mau marah?”Zea menutup pintu perlahan, lalu mengikuti ibunya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa yang sama, tapi terasa seperti dipisahkan oleh jarak ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status