Aku tertawa kecil, ingat gimana dulu Lala mengerjai Mas Ubay di mall. Lelaki itu benar-benar kapok hampir seharian mengelilingi tempat perbelanjaan dengan segala kemauan Lala yang aneh-aneh.."Tapi, Om ga kangen, gimana dong,""Hiks, kok Om begitu?"rajuknya. "Gapapa, tapi kalau perginya bareng Papanya Sabila, Om sih mau,"Lala cemberut. Katanya Papanya selalu sibuk. Jarang ada di rumah, Lala hanya di jaga oleh pembantu. Ya wajar saja, seorang pengusaha seperti Pak Freddy, sibuk luar biasa. Sama dengan Papa. Nyaris tak ada waktu untuk berkumpul kecuali hari libur.Mas Ubay pun menyalami Pak Freddy lalu memperkenalkan Ustadz Malik padanya. Lalu mereka pun memilih duduk di bangku tak jauh dari kami. Karena Pak Freddy tertarik juga untuk menjadi donatur tetap di pondok yang sedang dikelola oleh Ustadz Malik. Aku dan Lea memilih tetap diam di tempat. Bukannya tak menghargai tamu, tapi punya bayi begini, jauh dari kerumunan tamu, itu lebih baik.Dari sini, tawa Mas Ubay terdengar. Tampakny
Astaghfirullah, aku dan Lea saling tatap. Sedang Mas Ubay tampak salah tingkah."Nanti biar pulang sama saya aja, Ustadz,"Semua mata tertuju pada asal suara."Papa, Tante ini siapa? Kok papa mengajak pulang bareng kita?" Tanya Lala pada Pak Freddy."Ini adiknya Om ustadz. Nanti kita sekalian pulang, nganterin Tante Aisyah dan Om Ustadzdulu, ya?"Lala memperhatikan Aisyah lekat."Tante mau Lala anter?"Aisyah agak gugup, lalu menoleh ke arah Abangnya."Ga usah, Pak. Nanti Aisyah pulang bareng saya saja. Ga enak ngerepotin,""Gapapa, Ustadz. Nanti kita sekalian mampir, mau lihat-lihat pondok pesantren milik Pak Baihaqi ini,""Wah, MasyaAllah ..." Lirih Ustadz Malik."Aku mau bareng Pak Ubay aja," ujar Aisyah kekeuh."Maaf, Pak Freddy, Pak Baihaqi, Bu Alina, saya ijin pamit dulu. Bu Lea, saya pamit, terima kasih atas undangannya. Semoga anaknya menjadi anak yang sholehah," terburu ustadz Malik menarik tangan Aisyah. Ada raut kesal terlihat di wajah Aisyah."Kakak, kakak kenapa sih!" Ru
"Ga ada jawaban, Ma," aku berusaha agar tidak panik. Ponsel Lea pun tak bisa dihubungi. Sepertinya sengaja dimatikan."Lea! Buka pintunya! Atau ga, Abang dobrak!" Kini Mas Ubay mulai mengeluarkan ancaman.Hasilnya sama saja, Lea tetap tak keluar kamar. Papa yang baru saja keluar dari kamarnya setelah mendengar kabar tentang Lea, tampak juga panik."Telpon, Arsyad. Lagi ada acara pesta di rumah, seharusnya dia menyempatkan diri untuk menemani istrinya. Ini malah kerja!" sungut Papa. Baru kali ini aku melihat Papa sekesal itu. Arsyad memang terlalu pendiam, dan tak humble. Apa mungkin faktor pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu serius.Hampir sejam kami sibuk di depan kamar Lea. Hingga tangis Alifa terdengar nyaring dari dalam. Kepanikan makin menjadi. Arsyad pun datang, wajahnya tampaknya canggung. Mungkin dia paham ketika melihat tatapan Papa dan Mama yang tak bersahabat."Maaf, Ma, Pa, Arsyad tak bisa menghadiri acara aqiqah Alifa,""Kamu seharusnya mendahulukan anak dan istri.
POV Lea."Bu, Lea ijin melahirkan di rumah Mama, ya, Bu?"Ibu menatapku tajam. Lalu kembali asik dengan gadget mahalnya. Aku terdiam tak berani mengulangi kalimat, meski ingin juga mendengar jawaban dari Ibu.Setelah menikah, Mas Arsyad selalu mengajakku untuk mengunjungi Ibunya diakhir pekan. Namun, saat itulah menjadi waktu terberat bagiku. Ibu selalu memperlakukan seperti orang lain. Bahkan sering membanding-bandingkanku dengan mantan Mas Arsyad yang seorang pramugari."Tasya itu orangnya putih, tinggi, baik, ramah, dan punya penghasilan sendiri. Tak ada cacatnya, entah kenapa Arsyad malah milih kamu!" Aku terdiam, meski bara di hati begitu berkobar. Rasanya darah ini mendidih."Kamu punya penghasilan apa? Selain mengharapkan gaji suami?"Ibu terus memojokkanku. "InsyaAllah setelah lahiran, Lea mau ikut usaha restoran bersama istrinya Bang Ubay, Bu," jawabku."Hah? Usaha bareng saudara? Hari gini? Apa kamu ga mikir usaha apa yang bisa kamu kembangkan sendiri, tanpa berada di bawa
"Ga akan, Bu. Ibu lihat sendiri, Arsyad masih rajin main ke sini. Sekarang lebih rame ada Lea. Nanti tambah cucu yang akan membuat ibu tak akan kesepian lagi."Ibu mengusap air matanya yang basah. Seharusnya Ibu tak mengijinkan Mas Arsyad menikah, kalau tak ingin anaknya berubah. Gimana ga berubah, jika status saja sekarang sudah tak sama lagi. Sekarang ada istri yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Beda saat dulu masih sendiri.Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Perkataan Ibu tadi seakan membuka pikiranku. Jika, seorang anak laki-laki, tetap akan menjadi anak Ibunya, walaupun sudah menikah."Dek, jangan ngelamun! Berdzikir saja kalau bete.""Aku tersenyum, lalu membuang pandang ke luar. Menikmati setiap inci jalan yang terlewati. Meski jarak Depok dan Jakarta tak begitu jauh. Tapi, tetap saja saling diam begini tidak seru. Namun, untuk memulai, aku tak mau.Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri di ranjang. Pinggangku terasa mau putus. Sedangkan pesan dari Ibu s
"Maafkan Lea, Ma," ujarku ketika pagi telah menyapa. Kemarin aku sempat membuat orang-orang di rumah ini panik. Stres karena memikirkan sikap mertua dan dilema jika mengadu pada suami. Aku meminum obat sakit kepala dan tidur dengan lelapnya."Tak apa, Nak. Kalau ada apa-apa cerita sama, Mama. Barangkali Mama bisa bantu."Aku menghela napas dalam-dalam. Mama sosok Ibu dan mertua yang di idam-idamkan. Aku tau betul bagaimana Mama sangat menyayangi Alina. Alina sudah seperti anaknya sendiri, tak ada bedanya denganku."Alina beruntung punya mertua seperti Mama," gumamku.Mama tersenyum. "Mama yang beruntung punya menantu seperti Alina. Mama bangga punya anak-anak yang akhirnya bisa membuat Mama dan Papa tersenyum. Ya, walau sampai saat ini Mama belum bisa mengikuti jejak kalian, Mama yakin suatu saat nanti Mama, mampu."Rasa haru menyeruak dalam dada. Berharap Mama bisa memakai hijab seperti yang aku dan Alina pakai. Memang kehadiran Alina memberikan pengaruh baik buat keluarga kami. Kini
Selama ini aku hanya menganggap ijazah itu hanya sebuah kertas tanpa makna. Capek kuliah tapi aku malas untuk bekerja. Secara keuanganku selalu di cukupkan oleh Papa. Tapi, setelah menikah semua kiriman sudah dihentikan. Aku benar-benar mengharapkan Mas Arsyad, dan itu sangat memalukan. Meski kemarin-kemarin aku tetap bertahan."Ya sudah, gw akan bimbing lu! Tapi, ijin dulu sama Arsyad. Nanti dia marah. Bagaimanapun lu wanita bersuami. Apa-apa harus ijin dengannya.""Makasih ya, Bang, Ma!" Aku hendak memeluk Bang Ubay. Tapi, dia menghindar."Eh, eh! Apaan peluk-peluk! Mandi sana! Bau juga! Nanti kemeja gw bau asi!"Aku terkekeh, dan makin semangat mengejar Bang Ubay."Lea! Udah! Habis lahiran kok pecicilan!" teriak Mama."Rasain!" seru Bang Ubay sambil tertawa puas.****Malam hari, aku memijit kaki Mas Arsyad. Alifa yang tengah tidur di kamar sebelah membuatku dan Mas Arsyad kini berasa pengantin baru lagi. Walau tak bisa malam pertamanya. Pembantu baru bernama Yati, itu sangat cekat
"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari