"Sayang?"
Seketika aku menoleh ke arah suara di belakangku.
"Mas, ini kotak makanan siapa?"
Aku memperlihatkan kotak biru itu padanya. Wajahnya sedikit menegang, kemudian menghela napas pelan.
"Oh, itu punya Mama. Mas, lupa mengembalikannya kemarin."
Aku menatap Mas Gunawan lekat.
"Kamu setiap hari mampir ke rumah Mama, lalu pulang, juga mampir lagi untuk mengembalikan kotaknya?" Tanyaku, Mas Gunawan mengangguk.
"Itu tandanya Mama sayang sama kamu, biar kamu ga capek masak bekal untuk Mas." Mas Gunawan merangkul pundakku.
"Bukan masalah sayang, Mas. Aku juga yakin Mama sayang sama aku. Tapi, selama ini Mama ga pernah cerita kalau bawain kamu bekal."
"Mungkin Mama lupa, maklum sudah tua."
Aku pura-pura mengiyakan walau sejujurnya aku tak percaya. Selama ini aku tak pernah melihat ada kotak makanan seperti itu dirumah Mama. Dan Mama juga tak pernah bercerita jika suamiku itu selalu dia siapkan bekal. Padahal kami hampir setiap Minggu main kesana.
"Ya sudah, Mas mandi dulu. Jangan lupa masak yang enak, ya." Lelaki itu menjawil daguku lembut. Aku mengangguk sambil mengulas senyum. Setelah Mas Gunawan masuk ke kamar mandi, aku melangkah ke kamar. Mengambil ponselnya yang tersimpan di atas meja rias. Semalam bukan waktu yang tepat untukku menanyainya. Maling mana mau ngaku. Sedari awal aku sudah menaruh curiga dengan bekal makan siangnya itu. Jangan kira karena aku diam, aku tidak berbuat apa-apa.
Beruntung ponselnya tidak di pasword. Aku langsung memeriksa riwayat panggilan terakhirnya. Kosong, tak ada satupun kontak terpanggil disana, begitu juga dengan pesan dalam aplikasi hijau, semua bersih. Hanya beberapa chat kami dan temannya tersisa disana semua obrolan hanya seputar pekerjaan. Hebat sekali lelaki ini, dia sengaja menghapus jejak. Tak mungkin aku memeriksa seluruh isi kontaknya. Itu hanya akan buang-buang waktu. Karena aku juga tidak tau siapa yang harus kucari.
Berbekal tutorial dalam sebuah video yang dikirim Anggi di grup, aku langsung mempraktekkan. Tak butuh waktu lama, aku berhasil menyadap w******p milik Mas Gunawan. Ponsel segera kutaruh ditempat semula agar Mas Gunawan tak curiga.
"Sayang, lagi ngapain?"
"Eh, Mas. Udahan mandinya?" Aku sedikit gugup, ga nyangka dia sudah selesai di kamar mandi. Untung ponselnya sudah kutaruh kembali.
"Sudah, kamu lagi ngapain, Sayang?" Lelaki itu mendekat. Aku pura-pura memeriksa pesan.
"Ini tadi, ada pesan dari Anggi, ngajak makan-makan nanti siang. Boleh ga, Mas?"
Lelaki itu beranjak menuju lemari sambil mengeringkan rambutnya.
"Boleh." Jawabnya singkat. Syukurlah Mas Gunawan tak melihat aku mengutak-atik ponselnya.
"Makasih, ya, Mas."
Dia menoleh lalu tersenyum. Akupun kembali ke dapur, menyelesaikan pekerjaan. Hingga suara adzan terdengar, gegas menuju kamar mandi untuk berwudhu lalu sholat subuh.
***
"Ini bekalnya, Mas."
Aku menaruh kotak bekal Mas Gunawan ke dalam tasnya.
"Kok, warna hijau? Kotak yang biru kemarin mana?"
"Ada, di rak piring. Kenapa Mas? Mas, ga suka kotak ini? Isinya masakan kesukaan Mas juga kan?"
"Ga, gapapa kok. Mas suka. Soalnya itu kotak punya Mama, mau Mas balikin nanti."
"Ooh, punya Mama, ya? Oke, aku ambilkan." Aku beranjak ke dapur. Mengambil kotak biru yang telah kucuci itu, dan memasukkan ke dalam kantong plastik.
"Makasih, Sayang."
Aku mengangguk lalu duduk tepat dihadapannya. Mas Gunawan makan dengan lahap, meski hanya dengan nasi goreng biasa yang kutambahkan telor mata sapi di atasnya. Dua tahun bersama, tak pernah Mas Gunawan menunjukkan tanda-tanda aneh. Semua berjalan seperti biasa. Hari libur kami selalu mengunjungi Mama atau main ke rumah Ibuku yang rumahnya tak begitu jauh dari rumah orang tua Mas Gunawan. Walau setelah itu dia pergi dengan pakaian olahraganya, bermain futsal dengan teman-teman lama.
Kalau dipikir tak ada alasan untuk aku mencurigainya. Namun, firasat ini tak bisa kukendalikan. Seakan ada sesuatu yang disembunyikan Mas Gunawan dariku.
Lelaki itu sudah berangkat. Kini tinggallah aku dirumah sendiri. Dengan malas aku membuka aplikasi hijau. Grup geng yang diketuai Anggi masih sepi. Biasanya ibu-ibu muda itu sibuk dengan urusan anaknya sekolah. Beda denganku yang belum punya momongan.
Aku beralih ke akun Mas Gunawan. Sama, masih sepi. Tak terlihat ada percakapan disana. Perasaanku benar-benar tak tenang.
[Gaes! Kalian sibuk, ya?]
Aku mengirimkan pesan di grup rempong yang beranggotakan, Anggi, Dea, Nabila dan si Emak tomboi, Lea.
[Tumben nih, gabut pagi-pagi, ada apa, Neng?] Sahut Dea cepat. Dea yang baru punya bayi yang berumur dua bulan itu pasti sedang rebahan menyusui bayinya.
[De, sebenarnya ini masalah serius. Aku ingin bertemu kalian. Bisakah?]
[Aku sih, ijin dulu ya, Lin. Soalnya Davina belum bisa ditinggal, dan aku belum bisa menyusui sambil duduk.]
[Iya, De. Aku paham kok keadaan kamu.] Balasku.
Tak lama Anggi menyahut. Begitu juga dengan Nabila dan Lea. Semua menyetujui untuk bertemu nanti siang di kafe tempat biasa kami bertemu.
Jam sudah menunjukkan angka 12 siang, aku sudah sampai di kafe yang dijanjikan. Belum ada yang datang. Sambil menunggu mereka aku memainkan ponsel, melihat-lihat postingan yang ada di F******k.
Bugh!
Seorang anak perempuan tak sengaja menabrakku. Ponsel ditangan hampir saja jatuh.
"Astaghfirullah, Bila, hati-hati, Sayang." Perempuan yang tampak seperti Ibu gadis kecil itu segera meraih tubuh anaknya.
"Ya Allah, Mbak, maaf yaa ... Anak saya ga sengaja menabrak Mbak."
"Maaf Tante." Ucap gadis lima tahunan itu takut-takut.
Aku mengulas senyum.
"Gapapa, Tante gapapa, kok. Namanya siapa gadis cantik?"
"Sabila, Tante."jawabnya, ah imut sekali.
Aku mencubit pelan pipi gembul gadis itu. Ingin sekali rasanya punya anak seperti dia. Lucu dan sangat menggemaskan. Setelah basa-basi dan mengucapkan terima kasih, Ibu dan anak itu berlalu. Aku memandangi mereka hingga tak terlihat lagi punggungnya. Ah, andai saja Mas Gunawan sehat, tentu aku sudah hamil saat ini. Namun, hasil pemeriksaan waktu itu menyatakan Mas Gunawan tak bisa membuahi alias mand*l.
Tak lama teman-temanku datang. Kami berbincang banyak hal termasuk kecurigaanku pada Mas Gunawan.
"Mungkin bener, Mamanya yang membuat bekal itu, Lin." Ucap Anggi.
"Soalnya aku lihat suami kamu itu ga nakal, pendiam dan sayang banget sama kamu." Lanjutnya.
"Ye! Bisa aja cuma kedok!' bantah Lea.
"Kalau aku sih! Tetap status waspada. Bagaimanapun suami kita itu tetap saja lelaki tampan yang tak terlihat menggoda dimata wanita lain. Kalau bukan laki-lakinya, ya kadang perempuannya yang gatal." Lanjut Lea.
Setelah melepaskan uneg-uneg pada sahabat-sahabatku itu, kami pun berpisah. Saran dari mereka tetap aku tampung. Lea yang lebih vokal menyuruhku memata-matai Mas Gunawan.
Baiklah, mungkin ada benarnya. Lea yang statusnya sama denganku, mau membantu memantau jika ada kesempatan. Perempuan yang sudah lima tahun menikah itu belum juga mempunyai keturunan. Itu karena dia tak mau, beda denganku. Aku sangat ingin, tapi tak bisa karena suamiku yang dinyatakan infertilitas.
Hari sudah petang, aku berniat mampir ke rumah Mama. Lagi pula Mas Gunawan kan selalu pulang malam, aku juga sendirian sampai dia datang.
"Alina? Tumben kamu kesini, Sayang?" Mama menyambutku, pelukan hangat selalu dia berikan saat kami bertemu.
"Alina kebetulan lewat, Ma." Sahutku sambil membalas pelukannya.
Kami pun ngobrol-ngobrol diruang tamu. Hingga tak lama sebuah mobil masuk ke halaman.
"Siapa, Ma?" Aku menjulurkan kepala melihat dari jendela.
"Sepertinya, Mas Gunawan?" Lirihku, namun masih ragu karena wajah orang dalam mobil itu tak begitu jelas.
Mama bangun lalu berjalan ke arah pintu. Aku terus memperhatikan sosok yang hendak membuka pintu mobilnya itu. Benar Mas Gunawan, wajahnya berseri. Sambil berlari kecil dia melangkah ke arah rumah membawa sebuah plastik putih besar.
Tepat saat dia menginjak teras, aku berjalan ke pintu. Mata kami bertemu.
"Alina?"
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita