Terduduk di bibir ranjang Mama. Aku harus mencari kemana, menanyakan langsung kepada Mama, tentu saja itu tidak mungkin.Aku beralih ke kamar sebelah. Kamar dimana tempat aku dan Alina dulu tidur jika menginap disini. Dan terakhir menjadi kamar Raisa.Sebagian pakaian Raisa masih ada disana. Beberapa baju gamis, dan atasan lengan panjang begitu juga beberapa kerudung yang pernah dia pakai. Pasti perempuan itu sengaja tak membawa pakaian ini karena memang dia pakai hanya untuk menarik perhatian Mama saja.Mataku tertuju pada beberapa lembar pakaian tidur wanita yang berwarna cerah dengan bahan begitu transparan. Sejak kapan Raisa punya lingerie seperti ini? Rasanya selama bersamaku dia tak pernah memakainya. Mataku tak sengaja melihat sebuah kertas yang sengaja diremuk. Aku membuka kertas itu. Beberapa nota pembelian perhiasan, tiket ke bioskop dan ini apa? Kuitansi pembayaran sebuah hotel. Sejak kapan dia menginap di hotel. Aku meremas kertas itu dengan geram. Jangan-jangan selama a
POV Igun Hatiku berdegup ketakutan. Jangan sampai aku babak belur lagi pulang dari sini."Tenang bro, tenang! Gw hanya mau ketemu Alina karena anak gw dia bawa. Gw mau menanyakan anak gw doang." aku berusaha menenangkan anak buah Alina ini."Gua nggak percaya dengan tampang seperti lu!" Lelaki itu masih dengan posisi siap menyerang."Sumpah! Gw ga akan menyakiti Alina." Aku memelas, berusaha membuat dia percaya."Apa jaminannya lu, ga gak akan membuat kekacauan?""Nyawa gw. Lu boleh menghajar gw kalau gw berbuat onar."Wajah laki-laki itu mulai mengendur. Sepertinya dia mulai mempercayai rayuan dan sumpah palsuku. Meski aku tidak berniat untuk menyakiti Alina. Tapi aku punya keinginan untuk merebut hatinya kembali, baik secara halus maupun dengan cara kasar."Gw pegang omongan lu, ya. Jika sampai Lu membuat kekacauan di sini atau menyakiti Bu Alina, gw bikin sambel roa lu!"Laki-laki itu mengacungkan telunjuknya padaku. Aku mengangguk cepat. Kini kami berjalan beriringan ke depan."D
Serangan tiba-tiba dari Alina membuatku terjungkal. Kedua pipi terasa panas. Perutku juga teras sakit mendapatkan tendangan dari Alina. "Aku tak butuh laki-laki yang hanya pandai bercocok tanam tapi tak mampu membesarkan tanamannya!" ketusnya lalu berbalik berjalan meninggalkanku.Riuh tawa para pengunjung restoran itu membuat rasa malu sampai ke ubun-ubun. Karyawan resto yang dipanggil Indra justru bersorak sambil bertepuk tangan.Emosi ini membara, awas aja kau Alina. Meski kutahu kau jago beladiri, tapi tetap saja kau perempuan. Jika tak bisa kudapatkan dengan cara baik-baik. Dengan cara kasar pun akan aku lakukan. Aku tak mau hidup menderita terlalu lama. Jika ternyata wanita yang kupertahankan dulu hanyalah sebuah batu dikali yang berkilau karena mentari. Sedangkan Alina adalah permata yang sebenarnya.Sambil memegang perut, aku berjalan menuju jalan besar. Memberhentikan sebuah taksi dan berlalu dari sana.****"Ga habis pikir Tante ini sama kamu, Gun! Bukannya jaga in Mbak Tet
Pintu dibanting kasar. Aku yang belum paham apa yang terjadi, masih terdiam ditempat."Papa, mau seperti teman Papa itu? Papa mau aku laporin ke Mas Adrian kalau Papa mendukung dia untuk punya istri dua?" Bentak Mbak Agustin kencang hingga terdengar sampai keluar.Memang Pak Adrian masih ada ikatan saudara dengan istri Farhan. Cari mati emang Farhan dengan menyembunyikan Rika ditengah-tengah mereka. Sudah tau istri galak, dan saudaranya adalah bos tempat dia bekerja. Tapi, masih punya nyali untuk berbagi hati."Engga, Ma." "Kalau gitu ga usah sok ramah sama dia!" "Tapi, dia kan teman Papa, Ma!""Teman bawa penyakit.""Ma, jangan begitu. Poligami itu boleh."."Iya, boleh bagi yang mampu, bagi yang istrinya sudah punya pemahaman ilmu. Kalau ga mampu untuk adil dan ga punya ilmu untuk itu, ga usah sok-sok an. Pokoknya, Mama ga mau dia bertamu lagi kesini."Setelah bentakan itu, sepi, tak terdengar suara lagi. Hingga tak lama suara cekikikan istrinya Farhan membuatku harus segera angkat
"Ga, banyaklah, sepuluh juta cukup.""Hah! Gila kamu, Gun! 10juta?kamu mau memeras aku?""Eits, sabar dulu. Kamu tau, aku sekarang pengangguran. Setidaknya kamu membantu untukku tetap hidup."Dengan berat hati Farhan mengirimkan uang sebanyak 10 juta padaku. Lumayanlah untuk menyambung hidup beberapa hari ke depan.Aku pun turun dari mobil Farhan. Lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah Rika. Istri kedua Farhan itu tinggal di Depok, jauh dari keramaian kota. Setelah menaiki KRL, aku melanjutkan perjalanan dengan naik angkot. Dan harus disambung lagi dengan menggunakan ojek.Hampir dua jam perjalanan. Aku pun sampai pada sebuah rumah minimalis berpagar hitam. Satu-satunya rumah yang terlihat lebih mewah daripada rumah di sekitarnya. Ternyata disini Farhan menyembunyikan perempuan keduanya itu.Aku membunyikan bel yang berada di luar pagar. Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh berlari ke arahku."Nyari siapa, ya?" Tanyanya ramah."Rika--nya ada?""Oh, Bu Rika? Ada. Ini dengan siapa
"Oh, kabarnya sudah dibawa pulang untuk dimakamkan." Jawaban perempuan itu sontak membuat tungkai kakiku lemas.Ya Tuhan ... Mama sudah meninggal? Tak mungkin, tadi pagi Mama masih baik-baik saja. Mama tak boleh meninggal secepat ini.Dengan sisa tenaga aku berlari keluar rumah sakit, aku bahkan sampai lupa bertanya pada suster yang merawat Mama, padahal aku berpapasan dengannya. Dalam benakku, aku harus segera pulang dan menemui Mama sebelum dimakamkan. Air mata mengaburkan pandangan. Jika Mama tiada, tak ada lagi orang yang menyayangiku. Hanya Mama satu-satunya yang mengerti perasaanku. Alina dan Siti juga sudah pergi."Pak, ngebut! saya buru-buru!" titahku pada supir taksi yang kini aku tumpangi. Suaraku parau karena menahan sesak di dada. Tanpa mempedulikan sang sopir yang kebingungan aku terus menangis, meraung menyesali diri."Lagi patah hati, ya Mas?" Tanyanya. "Mama saya meninggal, Pak." sahutku. Sempr*l patah hati gimana, bahkan hatiku sudah hancur karena ditinggal dua ist
"Loh kenapa? Kalian kan suami istri tak baik tinggal terpisah. Tetaplah disini. Jika Gunawan masih menyia-nyiakan kamu, Mama pastikan semua harta Mama, tak akan Mama berikan padanya. Mama juga akan memaksa dia menceraikan perempuan itu sekarang."Aku menunduk dalam. Mama belum tahu jika semua harta Mama sudah hilang dibawa Siti. Dan aku tak punya istri lagi."Bukan Ma, bukan karena itu." Alina menoleh padaku, tepat saat aku melihat kearahnya."Alina mau fokus dengan restoran. Sementara Alina akan tinggal dekat resto, sehingga ga capek bolak-balik." Aku menghela nafas lega. Alina masih memikirkan kesehatan Mama, sehingga masih merahasiakan perceraian kami."Sayang, Mama janji tak akan merepotkan kamu. Mama akan berusaha agar cepat sembuh. Tak apa, Mama pakai pembantu. Tapi, Mama mau kamu tetap disini."Yes! Aku yakin langkah Lina makin berat meninggalkan Mama."Maaf Ibu, sebenarnya Alina masih dalam masa training. Dia akan saya angkat sebagai kepala toko jika pekerjaannya bagus. Jadi u
Back to Alina "Kamu merasa ga sih, pembantu Tante Tety itu aneh." ujar Lea, saat kami baru saja pulang dari rumah Mama Tety. Sejak Mama pulang dari rumah sakit, aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumahnya walau sekali seminggu. Itupun ditemani Lea juga Ubay, ada rasa sungkan juga bertamu ke rumah mantan. Padahal niatnya hanya untuk bertemu Mama. Tapi, takut nanti justru jadi fitnah. "Aneh, gimana?" "Kayak bukan pembantu gitu. Kalau Asisten rumah tangga biasanya terlihat dari pembawaannya. Lebih sopan, nurut, dan suka bersih-bersih." "Ga semua juga, Lele! Kadang ada yang jadi ART karena terpaksa. Padahal ga ada bakat dan kemauan. Cuma butuh uang." sahut Ubay yang tengah menyetir. "Tapi, ini beda lho. Kayak ga ada aura seorang pembantu." "Hahaha, ada-ada aja lu! Segala pembantu ada auranya." Ubay malah tertawa ngakak. "Ih, gw serius tau!" rajuk Lea. "Ini juga serius!" Ubay tak mau kalah. "Rese' emang lu, Bang!"Sungutnya. "Eh, btw lu udah jadian kan? Traktir dong."cetus L