Share

Empat - Makan Malam Keluarga Djaya

Malam minggu kali ini, Kiara terpaksa menghabiskan waktu bersama keluarga suaminya, Keluarga Djaya.

Acara makan malam itu bertujuan untuk merayakan keberhasilan Alex dalam memimpin perusahaannya yang telah berhasil melantai di BEJ serta kesuksesan istrinya yang baru saja membuka butik tas-tas mahal di bilangan elit Jakarta.

Kehidupan Alex dan Bianca memang terlihat begitu sempurna. Apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang sekarang berumur lima tahun. Hal itu membuat Ray dan Kiara merasa tertekan. Ray merasa terbebani dengan kesuksesan Alex sedangkan Kiara merasa tertinggal karena belum dikaruniai anak.

“Kenzo, jangan lari-lari, Nak.” Ucap Bianca dari ruang makan saat Kenzo berlari riang ke halaman belakang diikuti oleh susternya. “Sus, jangan sampai Kenzo jatuh ya.”

Arianto Djaya duduk di ujung meja, dikelilingi oleh istri, para anak serta menantunya yang duduk di kedua sisi meja makan yang berbentuk persegi panjang itu.

“Untuk keberhasilan Alex dan Bianca,” Arianto mengangkat gelasnya tinggi-tinggi dan disusul oleh yang lain.

“Itu semua tidak lepas dari dukungan dan pelajaran dari Papa,” ungkap Alex, memamerkan lesung pipitnya setelah mengangkat gelas.

Umur Alex sembilan tahun lebih tua dari Ray. Dan ketampanan Alex tidak kalah dari adiknya itu. Kedua mata cokelat Alex begitu tajam serta tulang pipinya yang tinggi membuat wajahnya menjadi karismatik. Sedangkan istrinya, Bianca, merupakan wanita blasteran Jerman dengan rambut cokelat terurai sempurna dan kulit yang sebening kristal.

Mereka berdua memang pasangan yang serasi,” batin Kiara.

“Nah, bagaimana denganmu, Ray?” Arianto Djaya memandang putra bungsunya itu. “Apakah kamu sanggup memenangkan tender itu?”

“Bisa Pa,” sahut Ray penuh keyakinan. “Papa tenang saja. Aku akan memenangkan tender itu untuk perusahaan Papa.” Ray lalu menoleh sedikit ke arah kakaknya, berharap Alex akan terpukau namun nyatanya tidak. Wajahnya datar saja bahkan nampak tidak peduli dengan perkataan adiknya tadi.

“Sebaiknya begitu. Karena kalau kamu memang ingin menjabat jadi CEO di Perusahaan Sinar Tekstil, anak perusahaan Djaya Tekstil, kamu wajib memenangkan tender itu.” Tandas Arianto Djaya lagi.

Setelah bersulang, mereka mulai menikmati hidangan yang disajikan.

“Bagaimana perkembangannya, Kiara?” tanya Utami Djaya, ibu mertua Kiara, dengan tiba-tiba.

“Perkembangan apa, Ma?”

“Perkembangan soal kehamilanmu,” tukas Utami setelah menelan potongan daging yang masuk ke mulutnya. “Kamu sudah hamil belum?”

Kiara menoleh sebentar ke arah Ray tapi Ray nampaknya tidak terlalu ambil pusing dengan perkataan Mamanya tadi.

“Masih belum, Ma.” sahut Kiara pelan.

“Kalian nggak ke dokter? Periksa kek. Siapa tahu ada yang salah.” Cerocos Utami lagi. “Jangan-jangan kamu mandul lagi, Ki.”

Sup yang baru saja ditelan Kiara seperti membakar tenggorokannya. Mandul? Kata itu sudah berulang-ulang kali menghantui benaknya.

“Mereka kan masih muda,” Arianto Djaya menengahi, “masih banyak waktu untuk berusaha, Ma.”

“Masalahnya Pa, Ray dan Kiara sudah empat tahun menikah. Masa belum hamil juga? Buat apa dong mereka menikah muda tapi belum punya anak?”

“Ma, Bianca saja hamil di umur 28 kok,” timpal Alex.

“Iya, tapi kalian kan menikah di umur 27. Sementara Ray dan Kiara menikah di umur 19 tahun.”

“Tenang aja deh, Ma,” ujar Ray, “kami tetap berusaha kok. Lagian, masalah seperti itu kan kehendak yang di Atas.”

“Tapi Ray, banyak yang menggunjingkan kalau Kiara itu mandul.” Sahut Utami lagi. “Kenapa kalian nggak program kehamilan aja sih? Kalian tahu Viona, sepupu kalian itu, sudah hamil muda lho. Padahal baru menikah tiga bulan lalu.”

Kiara hanya bisa menarik napas perlahan. Salah satu keuntungan mereka tinggal terpisah dari orangtua Ray adalah Kiara tidak harus mendengarkan percakapan seperti ini setiap hari.

Tiba-tiba, Bianca berdeham pelan. “Sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin kami ungkapkan.” Bianca dan Alex saling bertukar pandang dan tersenyum kecil.

“Bianca hamil.” Ucap Alex singkat. “Kehamilannya sudah enam minggu.”

Utami terperangah seraya mengatupkan kedua tangannya dengan gembira. “Ya ampun, apa Mama nggak salah dengar? Bianca hamil? Ya Tuhan, terima kasih! Akhirnya Kenzo akan punya adik.”

“Selamat Lex, selamat Bianca,” tukas Arianto Djaya. “Papa sangat senang mendengar kabar ini. Malam ini, kalian benar-benar banyak membawa kebahagiaan bagi Papa dan Mama.”

Senyum mengembang dari Alex dan Bianca sementara Kiara memaksakan senyumannya walau hatinya merasa getir. Bukan karena dia iri atas kehamilan Bianca namun dia lebih kecewa dengan dirinya sendiri yang belum bisa memberikan keturunan bagi Ray dan cucu bagi Keluarga Djaya.

Sementara itu, Ray hanya berdecak pelan. Kepalanya terasa panas dengan perkataan Papanya yang terakhir itu. Lagi-lagi dia harus kalah dari kakaknya yang sempurna.

Makan malam kali ini jadi terasa begitu hambar bagi Ray dan Kiara.

***

Ray langsung mendorong tubuh Kiara ke atas ranjang.

“Lho, ada apa ini, Ray?” Kiara bingung menatap suaminya.

Ray segera melepaskan blazer yang dikenakannya dan melemparnya ke sudut ruangan. Lalu dia melepas kancing kemeja dengan cepat.

“Kita lakukan sekarang, Ki.” Ray naik ke atas ranjang, menanggalkan gaun yang dikenakan Kiara.

Tanpa pemanasan, Ray langsung bergulat di atas tubuh Kiara. Gerakannya cepat dan kasar membuat Kiara merintih kesakitan.

“Ray, pelan-pelan,” rintihnya. Namun, Ray seakan tidak peduli dengan keluhan istrinya itu.

Permainan malam itu begitu cepat. Ray membaringkan diri di atas ranjang dengan napas terengah. “Kita harus sering melakukannya, Ki. Kita harus segera punya anak. Aku nggak mau kalah lagi dari si Alex yang menyebalkan itu.”

Ray menarik selimut, membelakangi Kiara dan langsung terlelap.

Kiara hanya terdiam dengan ucapan Ray tadi. Sudah berbulan-bulan mereka tidak melakukannya tapi saat hal itu terjadi Kiara malah tidak menikmatinya sama sekali.

Saat pagi tiba, Kiara mengambil test pack yang sengaja dia simpan di laci nakas samping ranjang. Dia tidak sabar untuk mengetes apakah usaha semalam membuahkan hasil atau tidak walaupun sebenarnya dia tidak berharap banyak.

Yah, empat tahun menikah. Apa sih yang bisa diharapkan dari sekali berhubungan setelah sekian lama?

Tapi Kiara tetap menaruh secercah harapan. Setelah memejamkan mata sejenak, Kiara menatap test pack itu.

Sayangnya hanya muncul satu garis di test pack itu.

***

Beberapa minggu kemudian

Sorry, Bil, rok rumbai pesanan kamu telat,” Kiara menyerahkan pesanan itu pada Nabila yang sengaja mampir ke rumah Kiara.

“Santai aja, Ki. Yang penting rok ini akhirnya selesai walaupun mepet. Soalnya gue mau pakai ini pas liburan ke Bali besok.” Tukas Nabila sambil mematut dirinya di depan cermin.

“Akhir-akhir ini aku sering pusing dan nggak enak badan.” Kiara duduk di sofa ruang tengah sambil memijat-mijat kepalanya.

“Lo sakit, Ki? Udah periksa ke dokter?” Nabila menatap Kiara yang wajahnya memang sedikit pucat.

“Belom sempet sih. Soalnya aku sibuk menjahit beberapa pesanan baju. Ini aja banyak pesanan yang terpaksa aku tolak. Rasanya badanku terlalu lemas dan males untuk melakukan semua ini.” Keluh Kiara.

Nabila menjentikkan jemarinya. “Nah, untuk memulihkan kondisi lo, mungkin lo perlu makan makanan enak.” Nabila mengambil kantung plastik yang tadi dibawanya. “Taraaa! Mi Ayam Gang Abah favorit kita semua!”

Kiara tersenyum kecil. Belakangan ini tiba-tiba saja dia merindukan mi ayam kesukaannya saat dia masih SMA.

“Kebetulan banget, Bil. Dari kemaren aku lagi pengin banget makan ini.” Kiara segera bangkit dan membuka bungkusan mi ayam itu.

Namun Kiara malah mendadak ingin muntah. Dia segera membekap mulutnya dengan telapak tangan.

Nabila menatapnya heran. “Ki, lo kenapa? Kayaknya lo beneran sakit deh. Apa perlu gue anter ke dokter?”

“Baunya terlalu menyengat, Bil. Bikin aku pusing.”

“Tapi ini kan mi kesukaan lo banget. Lagian baunya juga biasa aja. Apa basi ya?” Nabila mengendus-endus mi ayam itu karena penasaran.

Hidung Kiara mengernyit dan menjauhkan mi ayam itu dari jangkauannya. “Aku nggak makan deh.”

“Hm,” Nabila bersedekap seraya melirik ke arah Kiara curiga. “Tadi lo bilang pusing dan lemas. Sekarang lo mual sama bau mi ayam yang biasa aja ini? Ki, jangan-jangan lo lagi isi.”

“Isi?”

Nabila mendesah heran. Lalu dia menepuk-nepuk perutnya. “Iya, isi. Alias ha-mil.”

Kiara tersentak mendengar. Tunggu, apa dirinya benar-benar hamil? Kiara berpikir sejenak. Beberapa minggu belakangan ini, Ray dan dia memang rutin berhubungan tapi karena hasilnya selalu negatif jadi Kiara malas mengeceknya sering-sering.

“Bil, aku memang udah telat,” tukas Kiara setelah menyadari siklus menstruasinya.

Nabila langsung menganga lebar lantas berseru, “Ki, jangan-jangan lo hamil! Hamil!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status