Share

Lima - Keraguan yang Terjawab

Prita berdecak kesal saat dia mengenakan pakaian dalamnya kembali. Di sampingnya, Ray terlihat kelelahan.

“Belakangan ini kamu kenapa sih, Ray?” Prita membenarkan dress hitamnya. “Nggak menggairahkan seperti dulu. Kamu bosan denganku, hah?”

Ray hanya bisa menghela napas panjang. Staminanya memang menurun karena hampir setiap hari harus berbagi dengan dua wanita. Belum lagi tekanan agar dia bisa memenangkan tender membuat kadar stresnya meningkat.

“Jangan berprasangka buruk gitu dong, Ta. Kamu tahu sendiri kan tekanan pekerjaan kita akhir-akhir ini kayak gimana?” sahut Ray pada akhirnya.

Prita beringsut ke arah Ray dan membenarkan posisi kerah kemejanya. “Aku ada ide. Gimana kalau kita melepas penat dengan liburan? Kita pergi ke Bali.”

Dahi Ray mengernyit. “Liburan? Ke Bali?”

Prita mengangguk yakin. “Bilang aja sama kantor kalau kamu mau ambil cuti. Nah, sedangkan aku bakalan pura-pura sakit selama tiga hari.”

“Kiara?”

Prita mendengus kesal mendengar nama itu. “Gampanglah. Bilang sama istrimu itu kalau kamu ada kerjaan di luar kota. Apa kek? Ada masalah di sama pabrik yang di Bandung.”

Raut wajah Ray nampak ragu dengan ide itu. “Tapi kalau Papaku sampai tahu, bisa tamat riwayat kita.”

Prita memutar kedua bola matanya. “Ray, kamu nggak inget apa kalo Papamu itu kan lagi medical check up di Singapura. Dan baru pulang minggu depan. Jadi, kita bisa manfaatkan kesempatan ini.”

“Hah, iya juga ya. Kenapa aku bisa lupa sih?”

“Jadi, kita bisa dong ke Bali?” tanya Prita lagi.

Ray mengecup bibir merah Prita dengan cepat. “Bisa dong, Sayang. Kita bakalan have fun di sana!”

“Udah yuk, Ray. Saatnya kita balik ke ruangan sebelum orang-orang curiga kita menghilang terlalu lama.” Ajak Prita setelah mengecek jam tangannya.

Mereka pun keluar dari jok belakang mobil Ray dan bergegas kembali ke ruangan.

***

Setelah Nabila pulang, Kiara langsung mengambil test pack dan masuk ke kamar mandi. Jantungnya berdentum cepat. Sambil menggigit bibirnya keras-keras, kedua matanya menatap alat tes kehamilan itu. Satu garis muncul dan satu garisnya lagi terlihat samar.

Kiara mendesah napas panjang. Sepertinya dia harus memeriksakan dirinya ke dokter.

Malamnya, Kiara menahan diri untuk tidak memberi tahu Ray bahwa ada kemungkinan dirinya hamil. Kiara berencana pergi ke dokter sendirian dan akan memberikan kejutan pada Ray kalau memang benar dirinya hamil.

“Ki, siapin baju untuk tiga hari ya.” Titah Ray setelah dia selesai mandi. “Besok aku harus ke luar kota.”

“Lho, kenapa mendadak, Ray?”

“Ada masalah sama pabrik yang di Bandung.” Jawabnya singkat. “Oh iya, Ki. Jangan lupa siapin baju santai juga. Terus masukin bucket hat aku sama kaca mata hitam. Sendal jepit jangan sampe ketinggalan sama peralatan mandi. Oh, sunblock juga dibawa.”

Kiara menggeret sebuah koper dari bawah kolong tempat tidur. “Kamu mau tugas ke luar kota atau mau liburan sih Ray?”

Deg. Seperti ada yang menghantam jantung Ray. Apa dia terlalu kentara akan pergi liburan?

“Yah, Bandung kan kalo siang panas juga, Kay. Aku butuh penghalau sinar UV.” Ray berkilah sambil menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. “Besok aku harus berangkat pagi, jam enam. Jadi, jangan sampai telat bangunin aku.”

“Iya, Ray.” Jawab Kiara sambil mengemasi keperluan suaminya itu.

***

“Selamat Bu Kiara,” ucap dokter yang duduk di hadapan Kiara. “Kehamilan Ibu sudah memasuki minggu kelima.”

Kedua mata Kiara membelalak tidak percaya. “Yang bener, Dok?”

Dokter itu mengangguk sambil menunjukkan hasil USG. “Kantung janin Ibu sudah terlihat. Mohon kondisi Bu Kiara dijaga baik-baik ya karena ini masih kondisi awal kehamilan.”

Setelah berkonsultasi lebih lanjut dengan dokter, Kiara melangkah keluar dari rumah sakit dengan hati berbunga. Matanya berkaca-kaca karena bahagia.

Keraguan garis yang samar itu terjawab. Akhirnya, penantiannya mereka selama empat tahun terkabulkan juga!

Tidak, dia tidak akan memberi tahu Ray dulu. Dia akan menunggu sampai Ray pulang dari Bandung. Rencananya Kiara akan membungkus hasil test pack terakhir dengan hasil USG dari dokter dalam sebuah kotak kado yang akan dia berikan pada Ray.

Namun, ada satu orang yang ingin sekali Kiara beri tahu perihal kabar gembira ini secepatnya, yaitu Ayahnya.

Kiara langsung menekan nomor kontak Ayahnya.

“Beliau pasti gembira karena sebentar lagi akan mendapatkan cucu pertama,” gumam Kiara dalam hati. Namun, nada sambung itu tidak terjawab. Berkali-kali Kiara coba menghubungi ayahnya tetap saja tidak diangkat. “Hm, mungkin Ayah sedang sibuk.” Pikirnya. Akhirnya Kiara memutuskan untuk mengirim pesan singkat ke beliau soal kabar ini.

Dalam perjalanan pulang di taksi online, Kiara terus mengelus-elus lembut perutnya sambil tersenyum.

“Star. Aku akan menjulukimu Star,” Kiara membatin pada janin di perutnya itu. “Karena kamu seperti cahaya bintang yang menyinari kehidupanku.”

***

“Jadi, lo fix hamil, Ki?!” Pekik Nabila. Desiran ombak dan suara orang-orang yang bergumam menjadi latar belakang percakapan mereka.

“Iya, Bil. Kamu akan punya keponakan.” Kiara bersantai di sofa sambil selonjoran, mengganti-ganti saluran tivi. “Jadi, gimana Bali?”

“Menyenangkan! Yah, walau gue agak capek sih karena baru sampe siang tadi. Sekarang gue lagi bersantai di café yang menghadap ke Pantai Kuta.”

“Hidupmu enak banget ya, Bil. Setelah lulus kuliah langsung pelesiran di Bali.”

“Itung-itung sebagai hadiah setelah empat tahun berjibaku di kampus, Ki. Setelah itu, gue baru mau cari kerja.” Jawab Nabila. “Lo ngidam makanan apa, Ki, yang sekiranya ada di Bali?”

“Hm, kayaknya aku pengin pie susu deh.”

“Siap, pasti akan gue bawakan!”

Setelah berbincang-bincang sebentar, Nabila mengakhiri percakapan telepon itu. Lantas, dia menuju ke bar untuk mengambil minuman. Tiba-tiba saja matanya terpaku pada sosok yang tidak asing.

“Raymond?” Nabila menyipitkan matanya. “Raymond bukan sih? Tapi Kiara nggak bilang kalau Raymond juga ada di Bali.”

Saat Nabila akan menghampiri pria itu, sebuah tangan menepuk bahunya. “Bil, cabut yuk. Udah waktunya kita check in hotel.” Tukas Nia, salah satu teman seperjalanannya.

“Oh, oke.” Sambil mengekor di belakang Nia, Nabila menoleh lagi ke arah pria yang entah Raymond atau bukan itu.

Pria itu mengenakan kacamata hitam dan bertelanjang dada, menikmati keindahan sore di tepi pantai. Di sampingnya bergelayut seorang wanita dengan bikini kuning menyala. Keduanya begitu tampak mesra.

Nabila agak terperangah begitu mendapati mereka berciuman.

Nggak mungkin. Itu pasti hanya seseorang yang mirip dengan Raymond,” Nabila meyakinkan hatinya. “Raymond nggak mungkin bersama wanita lain di saat istrinya sedang hamil. Tapi, apa Raymond sudah tahu kalau Kiara hamil?

Berbagai pertanyaan hinggap dalam benak Nabila. Rasanya dia ingin memberi tahu Kiara kalau dia bertemu dengan pria yang mirip suaminya. Tapi Nabila menahan diri. Dia tidak ingin membuat sahabatnya itu gelisah.

Namun kalau sampai benar itu adalah Raymond, Nabila siap menghempaskan bogem mentah di wajah Raymond.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cuman menceritakan pelacur dan istri sah yg dungu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status