Share

Enam - Investigasi

Kiara menutup kotak kado berwarna marun itu. Kemudian dia mengikatnya dengan pita keemasan. Sekali lagi, dia memandangi kotak itu sambil tersenyum. Di dalamnya tersusun rapi foto USG pertama serta test pack bekas itu.

Lantas, Kiara kembali berbaring di atas ranjang. Dia baru saja mengalami morning sickness dan kepalanya masih terasa pusing.

Ponselnya berbunyi. Akhirnya Ayahnya yang tinggal di Batam meneleponnya.

“Kiara,” suara Ayahnya yang serak membuat emosi Kiara langsung meluap. Rasa rindu yang selama ini tertahan sedikit terbayarkan dengan mendengar suara sang Ayah tercinta. “Lho, Ki, kok kamu malah terisak sih?”

Kiara menghapus air matanya yang seketika turun. “Maaf, Yah. Mungkin ini karena pengruh hormon jadi sering sedih begini.”

“Ayah sudah baca pesan kamu. Ayah senang sekali akhirnya kamu hamil. Syukurlah, Ki. Jaga kondisimu baik-baik ya. Nanti Ayah akan menjengukmu di Jakarta.”

Ayahnya terbatuk beberapa kali. Suaranya juga terdengar lebih berat dari biasanya.

“Ayah sehat kan?” tanya Kiara sedikit cemas. “Apa Ayah sakit?”

Tarikan napas berat Ayahnya terdengar di kuping Kiara. “Ayah sehat, Ki. Cuma ada sedikit kendala di pengelolaan mini market.”

“Yah, jangan bekerja terlalu berat. Ayah kan punya pegawai. Lagi pula, ada Kak Alisa yang jadi pengawas di sana.”

“Iya, Ki. Kamu jangan mencemaskan keadaan Ayah. Ayah akan berusaha terus sehat sampai cucu Ayah lahir. Ayah ingin sekali melihat wajahnya nanti.”

“Star. Aku menjulukinya Star, Yah.”

“Nama yang bagus, Ki.”

“Oh iya, bagaimana kabar Mama dan Kak Alisa?”

Ayahnya terdiam sejenak. “Baik. Mereka sedang ada urusan di luar. Mereka senang kok dengar berita kehamilanmu dan titip salam untukmu serta Ray. Oh, Ray kemana?”

“Dia sedang di luar kota.”

“Lho, istrinya hamil muda kok dia malah pergi sih? Apa kamu ada yang jagain di sana?”

“Namanya juga urusan pekerjaan, Yah. Lagi pula aku bisa jaga diri kok.”

“Tapi setidaknya harus ada yang menemanimu, Ki. Kamu punya ART kan?”

“Ada Yah,” dusta Kiara.

Setelah bercengkrama melalui telepon dengan Ayahnya, Kiara tertidur pulas. Dia baru terbangun saat di luar matahari mulai menggelincir turun.

“Astaga!” pekik Kiara. Dia segera melirik ke jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Kenapa dia bisa tertidur begitu lama?

Kiara segera bangkit dan menuju ke dapur. Dia lantas mencari bahan makanan yang bisa dimasak untuk menyambut kepulangan Ray malam nanti. Ray bilang dia berangkat dari Bandung sekitar jam lima sore. Mungkin sekitar jam tujuh malam Ray sudah sampai rumah.

Setelah selesai memasak makan malam, Kiara kembali terkulai lemas di sofa. Dia hanya mengunyah biskuit untuk mengganjal perutnya. Entah kenapa nafsu makannya berkurang drastis belakangan ini.

“Apakah ini pengaruh hormon wanita hamil juga?” Pikir Kiara. Mungkin besok dia akan menjadwalkan waktu untuk bertemu dengan ahli gizi supaya dia bisa makan dengan benar.

Kiara memutuskan untuk menonton tivi sembari menunggu kepulangan Ray.

Waktu pun berlalu. Jam di ruang tengah sudah menunjukkan pukul delapan malam. Telepon Kiara tidak diangkat dan pesannya tidak dibalas—ataupun dibaca—oleh Ray.

Hati Kiara pun gundah. Hal-hal buruk menyusup ke dalam pikirannya. Apalagi tayangan berita kali ini sedang mengabarkan sebuah mobil yang mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol. Lalu berita berikutnya mengenai sebuah pabrik petasan yang terbakar.

Bagaimana kalau mobil yang ditumpangi Ray tergelincir di jalan tol? Atau mungkin pabrik di Bandung kebakaran?

Astaga, Kiara benar-benar gelisah. Dia harus mencari tahu bagaimana keadaan Ray sekarang!

Tapi siapa yang bisa dia hubungi? Kiara bahkan tidak tahu nomor asisten pribadi Ray yang baru itu, Prita. Kiara membuka kontak ponselnya. Jarinya menggulir layar. Akhirnya matanya tertuju pada nomor Pak Johan. Ya, Pak Johan, salah satu rekan kerja Ray itu pernah menghubunginya sekali waktu.

Tanpa pikir panjang, Kiara langsung menghubunginya.

“Malam, Pak Johan.”

“Kiara,” sahut Pak Johan dari ujung sana. “Tumben menelepon. Ada apa?”

“Maaf Pak, saya jadi mengganggu istirahat Bapak.” Ujar Kiara. “Saya cuma penasaran dengan masalah pabrik yang ada di Bandung. Apa semuanya baik-baik saja, Pak? Apa masalahnya tertangani dengan baik?”

“Pabrik di Bandung?” ulang Pak Johan heran. “Sepertinya nggak ada masalah apa-apa dengan pabrik yang ada di Bandung. Memangnya kenapa Kiara? Kenapa kamu bisa bertanya seperti itu? Apa Ray memberitahumu sesuatu?”

Kedua alis Kiara menyatu. “Lho bukannya Ray sedang menangani masalah pabrik di Bandung itu, Pak?”

“Ray? Di Bandung? Lho bukannya Ray sedang cuti?” Pak Johan malah balik bertanya. “Saya pikir dia ambil cuti untuk berlibur bersamamu. Tapi, kenapa Ray jadi ke pabrik yang ada di Bandung? Kiara, saya nggak paham deh.”

Deg. Seperti ada yang menusuk ulu hati Kiara. Apa Ray berbohong padanya?

“Oh, maksud saya, Ray memang cuti ke Bandung, Pak. Tapi…tapi saya nggak ikut.” Kilah Kiara cepat.

“Mungkin Ray cuti ke Bandung sekalian melihat pabrik yang ada di sana,” Pak Johan menyimpulkan—walau kesimpulannya itu sebenarnya salah besar.

“Ya, sepertinya begitu.” Tandas Kiara. “Maaf Pak, sudah merepotkan.”

Kiara mendengus keras seraya menggenggam ponselnya itu sekuat tenaga.

“Kenapa? Kenapa Ray berbohong padaku?!”

***

Kiara membuka laptop suaminya yang ditinggal di atas meja kerja.

Seharusnya aku curiga saat Ray tidak membawa serta laptop kerjanya.” Rutuk Kiara.

Kini kedua mata Kiara begitu fokus membuka setiap folder kerja suaminya itu. Dia juga mengecek histori browser laptop Ray dengan seksama.

“Ha, sebentar.” Mata Kiara tertuju pada tautan web sebuah maskapai penerbangan. Kiara mengklik web itu namun sesi halaman web itu sudah kadaluarsa. Sepertinya ini adalah pengisian formulir yang tidak bisa di-refresh ulang.

Akhirnya, Kiara membuka ikon email pribadi Ray di sudut kanan halaman browser. Entah kenapa jantungnya jadi berdetak cepat. Dia takut prasangka buruk yang ada di kepalanya ini jadi kenyataan.

Tenggorokan Kiara terasa kering begitu mendapati salinan tiket elektronik pesawat dengan tujuan Bali di tanggal kepergian Ray ke Bandung.

  1. DJAYA Raymond.
  2. FRISKANIA Prita.

Kedua mata Kiara mengerjap tidak percaya. Ray pergi ke Bali bersama asisten barunya itu?! Lantas, Kiara juga menemukan email tanda booking sebuah vila di Bali untuk tiga hari dua malam.

Astaga. Dada Kiara terasa begitu panas. Napasnya menderu dan matanya mulai berkaca-kaca. Kiara menelan ludah dalam-dalam seraya terus menggulir kursor, meneliti lebih jauh email pribadi suaminya itu.

Kini dia membuka laporan billing statement kartu kredit Ray bulan lalu. Banyak transaksi di restoran, butik juga motel. Apa? Motel?

Kiara segera mengetikkan nama motel itu di browser pencarian. Hatinya langsung terkejut begitu mendapati nama motel tersebut merupakan motel murahan di pinggiran kota yang biasa digunakan untuk bermalam bersama wanita panggilan.

Otak Kiara langsung merajut semua hal yang dia temukan ini.

Ray berdusta padanya. Dia pergi ke Bali bersama asistennya itu dan bermalam di sana. Selama ini Ray banyak menghabiskan uangnya demi wanita selingkuhannya itu. Pantas Ray tidak pernah memberi tahu dirinya perihal Prita sebagai asistennya.

Kiara lalu mendengus saat mengingat pertemuan mereka bertiga di mal kala itu. Wangi parfum itu, juga gelagat Ray yang gelisah.

Tanpa bisa ditahan lagi, air mata Kiara mengalir begitu saja. Kedua tangannya mengepal begitu keras sehingga kuku-kuku Kiara menusuk telapak tangannya. Tapi dia tidak peduli dengan rasa sakit di telapak tangannya itu karena rasa sakit di hatinya kini terasa begitu pedih dari hal meyedihkan apa pun yang ada di dunia.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
syukurin. makanya jd istri jgn terlalu bodoh.
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
dibuat seperti wanita lugu...terlalu bucin.....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status