Kiara menutup kotak kado berwarna marun itu. Kemudian dia mengikatnya dengan pita keemasan. Sekali lagi, dia memandangi kotak itu sambil tersenyum. Di dalamnya tersusun rapi foto USG pertama serta test pack bekas itu.
Lantas, Kiara kembali berbaring di atas ranjang. Dia baru saja mengalami morning sickness dan kepalanya masih terasa pusing.
Ponselnya berbunyi. Akhirnya Ayahnya yang tinggal di Batam meneleponnya.
“Kiara,” suara Ayahnya yang serak membuat emosi Kiara langsung meluap. Rasa rindu yang selama ini tertahan sedikit terbayarkan dengan mendengar suara sang Ayah tercinta. “Lho, Ki, kok kamu malah terisak sih?”
Kiara menghapus air matanya yang seketika turun. “Maaf, Yah. Mungkin ini karena pengruh hormon jadi sering sedih begini.”
“Ayah sudah baca pesan kamu. Ayah senang sekali akhirnya kamu hamil. Syukurlah, Ki. Jaga kondisimu baik-baik ya. Nanti Ayah akan menjengukmu di Jakarta.”
Ayahnya terbatuk beberapa kali. Suaranya juga terdengar lebih berat dari biasanya.
“Ayah sehat kan?” tanya Kiara sedikit cemas. “Apa Ayah sakit?”
Tarikan napas berat Ayahnya terdengar di kuping Kiara. “Ayah sehat, Ki. Cuma ada sedikit kendala di pengelolaan mini market.”
“Yah, jangan bekerja terlalu berat. Ayah kan punya pegawai. Lagi pula, ada Kak Alisa yang jadi pengawas di sana.”
“Iya, Ki. Kamu jangan mencemaskan keadaan Ayah. Ayah akan berusaha terus sehat sampai cucu Ayah lahir. Ayah ingin sekali melihat wajahnya nanti.”
“Star. Aku menjulukinya Star, Yah.”
“Nama yang bagus, Ki.”
“Oh iya, bagaimana kabar Mama dan Kak Alisa?”
Ayahnya terdiam sejenak. “Baik. Mereka sedang ada urusan di luar. Mereka senang kok dengar berita kehamilanmu dan titip salam untukmu serta Ray. Oh, Ray kemana?”
“Dia sedang di luar kota.”
“Lho, istrinya hamil muda kok dia malah pergi sih? Apa kamu ada yang jagain di sana?”
“Namanya juga urusan pekerjaan, Yah. Lagi pula aku bisa jaga diri kok.”
“Tapi setidaknya harus ada yang menemanimu, Ki. Kamu punya ART kan?”
“Ada Yah,” dusta Kiara.
Setelah bercengkrama melalui telepon dengan Ayahnya, Kiara tertidur pulas. Dia baru terbangun saat di luar matahari mulai menggelincir turun.
“Astaga!” pekik Kiara. Dia segera melirik ke jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Kenapa dia bisa tertidur begitu lama?
Kiara segera bangkit dan menuju ke dapur. Dia lantas mencari bahan makanan yang bisa dimasak untuk menyambut kepulangan Ray malam nanti. Ray bilang dia berangkat dari Bandung sekitar jam lima sore. Mungkin sekitar jam tujuh malam Ray sudah sampai rumah.
Setelah selesai memasak makan malam, Kiara kembali terkulai lemas di sofa. Dia hanya mengunyah biskuit untuk mengganjal perutnya. Entah kenapa nafsu makannya berkurang drastis belakangan ini.
“Apakah ini pengaruh hormon wanita hamil juga?” Pikir Kiara. Mungkin besok dia akan menjadwalkan waktu untuk bertemu dengan ahli gizi supaya dia bisa makan dengan benar.
Kiara memutuskan untuk menonton tivi sembari menunggu kepulangan Ray.
Waktu pun berlalu. Jam di ruang tengah sudah menunjukkan pukul delapan malam. Telepon Kiara tidak diangkat dan pesannya tidak dibalas—ataupun dibaca—oleh Ray.
Hati Kiara pun gundah. Hal-hal buruk menyusup ke dalam pikirannya. Apalagi tayangan berita kali ini sedang mengabarkan sebuah mobil yang mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol. Lalu berita berikutnya mengenai sebuah pabrik petasan yang terbakar.
Bagaimana kalau mobil yang ditumpangi Ray tergelincir di jalan tol? Atau mungkin pabrik di Bandung kebakaran?
Astaga, Kiara benar-benar gelisah. Dia harus mencari tahu bagaimana keadaan Ray sekarang!
Tapi siapa yang bisa dia hubungi? Kiara bahkan tidak tahu nomor asisten pribadi Ray yang baru itu, Prita. Kiara membuka kontak ponselnya. Jarinya menggulir layar. Akhirnya matanya tertuju pada nomor Pak Johan. Ya, Pak Johan, salah satu rekan kerja Ray itu pernah menghubunginya sekali waktu.
Tanpa pikir panjang, Kiara langsung menghubunginya.
“Malam, Pak Johan.”
“Kiara,” sahut Pak Johan dari ujung sana. “Tumben menelepon. Ada apa?”
“Maaf Pak, saya jadi mengganggu istirahat Bapak.” Ujar Kiara. “Saya cuma penasaran dengan masalah pabrik yang ada di Bandung. Apa semuanya baik-baik saja, Pak? Apa masalahnya tertangani dengan baik?”
“Pabrik di Bandung?” ulang Pak Johan heran. “Sepertinya nggak ada masalah apa-apa dengan pabrik yang ada di Bandung. Memangnya kenapa Kiara? Kenapa kamu bisa bertanya seperti itu? Apa Ray memberitahumu sesuatu?”
Kedua alis Kiara menyatu. “Lho bukannya Ray sedang menangani masalah pabrik di Bandung itu, Pak?”
“Ray? Di Bandung? Lho bukannya Ray sedang cuti?” Pak Johan malah balik bertanya. “Saya pikir dia ambil cuti untuk berlibur bersamamu. Tapi, kenapa Ray jadi ke pabrik yang ada di Bandung? Kiara, saya nggak paham deh.”
Deg. Seperti ada yang menusuk ulu hati Kiara. Apa Ray berbohong padanya?
“Oh, maksud saya, Ray memang cuti ke Bandung, Pak. Tapi…tapi saya nggak ikut.” Kilah Kiara cepat.
“Mungkin Ray cuti ke Bandung sekalian melihat pabrik yang ada di sana,” Pak Johan menyimpulkan—walau kesimpulannya itu sebenarnya salah besar.
“Ya, sepertinya begitu.” Tandas Kiara. “Maaf Pak, sudah merepotkan.”
Kiara mendengus keras seraya menggenggam ponselnya itu sekuat tenaga.
“Kenapa? Kenapa Ray berbohong padaku?!”
***
Kiara membuka laptop suaminya yang ditinggal di atas meja kerja.
“Seharusnya aku curiga saat Ray tidak membawa serta laptop kerjanya.” Rutuk Kiara.
Kini kedua mata Kiara begitu fokus membuka setiap folder kerja suaminya itu. Dia juga mengecek histori browser laptop Ray dengan seksama.
“Ha, sebentar.” Mata Kiara tertuju pada tautan web sebuah maskapai penerbangan. Kiara mengklik web itu namun sesi halaman web itu sudah kadaluarsa. Sepertinya ini adalah pengisian formulir yang tidak bisa di-refresh ulang.
Akhirnya, Kiara membuka ikon email pribadi Ray di sudut kanan halaman browser. Entah kenapa jantungnya jadi berdetak cepat. Dia takut prasangka buruk yang ada di kepalanya ini jadi kenyataan.
Tenggorokan Kiara terasa kering begitu mendapati salinan tiket elektronik pesawat dengan tujuan Bali di tanggal kepergian Ray ke Bandung.
Kedua mata Kiara mengerjap tidak percaya. Ray pergi ke Bali bersama asisten barunya itu?! Lantas, Kiara juga menemukan email tanda booking sebuah vila di Bali untuk tiga hari dua malam.
Astaga. Dada Kiara terasa begitu panas. Napasnya menderu dan matanya mulai berkaca-kaca. Kiara menelan ludah dalam-dalam seraya terus menggulir kursor, meneliti lebih jauh email pribadi suaminya itu.
Kini dia membuka laporan billing statement kartu kredit Ray bulan lalu. Banyak transaksi di restoran, butik juga motel. Apa? Motel?
Kiara segera mengetikkan nama motel itu di browser pencarian. Hatinya langsung terkejut begitu mendapati nama motel tersebut merupakan motel murahan di pinggiran kota yang biasa digunakan untuk bermalam bersama wanita panggilan.
Otak Kiara langsung merajut semua hal yang dia temukan ini.
Ray berdusta padanya. Dia pergi ke Bali bersama asistennya itu dan bermalam di sana. Selama ini Ray banyak menghabiskan uangnya demi wanita selingkuhannya itu. Pantas Ray tidak pernah memberi tahu dirinya perihal Prita sebagai asistennya.
Kiara lalu mendengus saat mengingat pertemuan mereka bertiga di mal kala itu. Wangi parfum itu, juga gelagat Ray yang gelisah.
Tanpa bisa ditahan lagi, air mata Kiara mengalir begitu saja. Kedua tangannya mengepal begitu keras sehingga kuku-kuku Kiara menusuk telapak tangannya. Tapi dia tidak peduli dengan rasa sakit di telapak tangannya itu karena rasa sakit di hatinya kini terasa begitu pedih dari hal meyedihkan apa pun yang ada di dunia.
Pintu kamar tidur berderit pelan. Ray mengendap masuk supaya tidak membangunkan istrinya yang sedang terlelap itu. Dia baru sampai rumah pukul satu dini hari gara-gara penerbangannya delay dua jam.Ray melepaskan jaket denimnya dan menggantungkannya di hanger belakang pintu. Setelah itu dia bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih.Saat air keran mulai mengalir, Kiara terjaga. Dia lekas menyibakkan selimut dan turun dari tempat tidur.Hanya dengan sedikit bantuan cahaya redup dari lampu tidur di pojok ruangan, Kiara merogoh saku celana suaminya yang ada di keranjang pakaian kotor. Namun dia tidak mendapati apa-apa. Kemudian Kiara memeriksa saku jaket denim milik Ray.Dia mendapati dompet juga ponsel milik suaminya.Kiara menggeser layar ponsel Ray. “Pin? Berapa nomor Pin-nya?” pikir Kiara cepat. Mencoba keberuntungan, Kiara memasukkan bulan dan tahun lahir suaminya. Salah. Lalu dia mencoba kombinasi tanggal
“Aaa!” Prita menjerit saat siraman alkohol itu membasahi wajah dan sebagian tubuhnya. Sementara Ray membutuhkan waktu beberapa detik untuk menyadari apa yang terjadi.Ray menoleh ke Kiara sambil mengerjap-ngerjapkan mata tidak percaya. “Ki..Ki..Kiara?”Beberapa orang menoleh dan bergumam dengan kejadian itu. Namun sebagian besar dari mereka tidak peduli.Napas Kiara naik turun. Dia sungguh tidak bisa mengendalikan emosinya yang kian memuncak. Dia ingin sekali meneriaki mereka dengan kata-kata kasar tapi semua seakan tertahan. Kiara terlalu kecewa, terlalu marah hingga dia hanya bisa terisak keras sekarang.Sisa alkohol itu dia siramkan lagi ke wajah Ray.Mendadak Ray bangkit dan mencengkram lengan Kiara sehingga wanita itu meringis kesakitan. Ray menyeretnya keluar dari kelab, menariknya ke koridor yang dipenuhi beberapa pasangan yang sedang bercumbu.Sampai akhirnya Ray mendorong pintu tangga darurat di ujung koridor
Beberapa Minggu KemudianTutup botol sampanye itu meletup ke udara diiringi dengan tepukan yang meriah.“Untuk kesuksesan Djaya Tekstil!” Arianto Djaya mengangkat gelas itu tinggi-tinggi di udara diikuti dengan para bawahannya yang juga meneriakkan kalimat yang sama.Malam ini mereka mengadakan makan malam mewah perusahaan di sebuah ballroom hotel atas keberhasilan Djaya Tekstil yang akhirnya memenangkan tender cukup besar. Mereka akan mulai memasok bahan seragam untuk sebuah perusahaan multinasional ternama.“Semua ini berkat kerja kerasmu,” Arianto Djaya menepuk pelan bahu putra bungsunya itu. “Papa bangga padamu, Ray.”Ray tak bisa menyembunyikan senyum kemenangannya. Kata-kata itulah yang memang ingin dia dengar dari mulut Papanya. Selain itu, dia sudah tidak sabar untuk menjabat sebagai CEO di salah satu anak perusahaan Djaya Tekstil yaitu Sinar Tekstil, seperti yang dijanjikan Aria
Brak!“Kurang ajar tuh si Ray!” Nabila berujar geram setelah tangannya memukul pinggiran meja keras-keras. “Ternyata yang gue lihat di Bali itu beneran Ray. Tahu gitu gue labrak mereka.”“Sabar, Bil,” Kiara mencoba menenangkan sahabatnya itu. “Malu dilihat orang.”“Sabar? Masa lo masih mau sabar sih, Ki. Ini udah kelewat batas! Lagian, ngapain sih lo ngasih kesempatan kedua segala sama cowok yang selingkuh?”“Aku pikir Ray akan berubah.” Kiara menatap earl green tea di hadapannya yang mulai dingin.“Selingkuh tuh kayak penyakit yang nggak ada obatnya, Ki.” Nabila menarik kursinya. “Mending lo cerai aja deh.”Kiara mengembuskan napas panjang. Perceraian? Hal itu tidak pernah terlintas di pikirannya. Dia begitu mencintai Ray, cinta pertamanya dan berharap menjadi cinta terakhir di hidupnya juga.“Nggak semudah itu, Bil.”
“Dasar wanita brengsek!” Jerit Prita di kamarnya sambil menatap dirinya di cermin. Rambutya mencuat serta pipinya merah padam. Riasan matanya luntur seperti habis tercebur got. Dan hal yang membuat dirinya semakin geram adalah tas barunya yang rusak.Bunyi pesan masuk terdengar dari ponselnya.“Kamu nggak apa-apa?” tulis Ray.Prita langsung membalasnya. “Dia menamparku dan merusak tasku! Kamu masih tanya apakah aku nggak apa-apa?!”“Kiara menolak bercerai.” Tulis Ray lagi. “Ini masalah besar. Jangan temui aku dulu. Kalau dia membeberkan hubungan kita, Papa akan membatalkan pengangkatanku sebagai CEO Sinar Tekstil.”“What?!” Prita membalas pesan Ray dengan emosi. “Dasar perempuan gila.”“Aku akan membujuknya lagi.”Prita melempar ponselnya dengan kesal ke kasur. “Kiara,&rdq
Beberapa hari sebelumnya“Ta, sudah kubilang. Jangan temui aku dulu—““Sudahlah, Ray. Aku tahu Kiara nggak ada di dekatmu.” Sela Prita. “Aku mau menjelaskan sesuatu padamu lalu kamu harus mengikuti skenarioku.”“Skenario apa?”“Skenario agar kamu bisa bercerai dari istrimu itu.” tegas Prita. “Ray, temui aku sekarang.”Ray pun memutar mobilnya menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Prita.“Astaga, bagaimana kamu bisa merencanakan semua ini?!” Mata Ray terbelalak melihat foto-foto Kiara bersama Robby yang ada di ponsel Prita.Prita menyilangkan kedua tangannya di pinggiran meja mini market yang menghadap keluar jendela. “Aku sudah merencanakannya dengan masak.”“Ba..bagaimana kamu bisa mengenal Robby?”Prita menepiskan tangannya di hadapan wajah Ray yang bingung. “Mudah saja, aku mencar
Tiga bulan kemudianBunyi bising itu berasal dari suara mesin-mesin jahit yang sedang bekerja ekstra menyambung pola demi pola pakaian olahraga. Kiara duduk di barisan belakang, mengerjakan jahitan dengan tekun.Sesekali dia menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Maklum saja, ruangan ini hanya dilengkapi satu kipas angin gantung untuk mengalirkan udara bagi sepuluh orang pekerjanya.“Istirahat! Istirahat!” Ani, salah satu penjahit senior di tempat itu, menepuk-nepukkan tangannya. “Jangan kerja terus nanti cepet mati.”Selorohan Ani itu dibalas tawa oleh beberapa rekannya. Saat mereka semua sudah keluar untuk beristirahat, Kiara masih sibuk mengejar ketertinggalan. Dia masih belum terbiasa menjahit dengan cepat seperti yang lain. Lagi pula, dia belum terlalu lapar.Seketika ada tepukan lembut di bahunya. Kiara menoleh dan mendapati Wardi, kepala penjahit di sini, berdiri di belakangnya.“Mak
Kedua mata Kiara menatap nanar lantai keramik yang kekuningan. Rambutnya terurai awut-awutan serta terdapat memar di lehernya.“Dasar si Ani,” ucap Mia, salah seorang karyawan senior konveksi bagian administrasi. “Ternyata dia yang menyebarkan gosip kalau kamu pacaran sama Pak Wardi.”Diman bersedekap di samping ranjang Kiara, memerhatikan lengan Kiara yang baret-baret. “Mulut Mbak Ani kan emang gitu. Kalo nyebar gosip suka nggak kira-kira.”“Makanya, Ki, kamu jangan mau kalo dideketin lagi sama Pak Wardi. Dia orangnya genit.” Saran Mia, menepuk pelan lutut Kiara.Kiara hanya bisa menghela napas panjang menanggapinya. Rasanya dia terlalu lelah bahkan untuk bersuara.Mia dan Diman ditugaskan Koh Wiliam untuk mengantarkan Kiara ke puskemas terdekat. Mengingat pertengkaran yang terjadi cukup sengit, Koh Wiliam takut jika anak buahnya itu gegar otak atau cedera.Setelah Koh Wiliam datang, mereka be