Lorena menatap bangunan megah di depannya, matanya membelalak dalam keterkejutan. Mansion itu berdiri angkuh dan berwibawa, lebih mirip istana dibandingkan rumah biasa. Fasadnya didominasi warna krem dan abu-abu, dengan sentuhan batu alam yang menambah kesan kokoh dan mahal.
Bagian depan mansion dihiasi dengan jendela-jendela lengkung besar, membiarkan cahaya keemasan dari dalam menyemburat keluar, menciptakan bayangan yang dramatis di halaman. Pintu masuk utama menjulang tinggi, terbuat dari kaca hitam dengan aksen besi berukir, memberi kesan mewah sekaligus mengintimidasi.
Atapnya berwarna hitam pekat, kontras dengan dinding terang di bawahnya, semakin menegaskan aura misterius dari tempat ini. Lampu-lampu kecil berjajar di sepanjang atap, menerangi mansion dengan cara yang halus tetapi tegas—seolah menunjukkan bahwa siapapun yang masuk harus tunduk pada kekuatan yang bersemayam di dalamnya.
Di sekeliling mansion, pepohonan hijau tertata rapi, memberikan sedikit ilusi kedamaian yang jelas bertolak belakang dengan realitas rumah ini. Jalan masuknya lebar, berlapis batu bata abu-abu yang halus, menciptakan suasana megah saat kendaraan melaju menuju pintu utama.
Bagi Lorena, mansion ini bukan sekadar rumah. Ini adalah benteng, penjara, sekaligus tempat yang bisa mengubah nasibnya selamanya.
Suara deheman keras mengagetkan Lorena dari rasa kagumnya terhadap bangunan di depannya.
“Selamat datang, Nona Barnes!” sambut pria bermata biru dengan tampang yang keras dan luka panjang di rahang kirinya, memberikan gestur untuk mempersilahkan Lorena untuk masuk ke dalam.
Lorena menelan ludahnya dengan susah payah, belum pernah ia dikelilingi banyak pria terutama dengan wajah penuh luka. ‘Ayo, Lorena jangan membuat kesalahan!’ pikirnya.
Gadis itu melenggang masuk ke dalam mansion.
Keheningan yang mencekam menyelimuti lorong panjang itu, hanya dipecah oleh bunyi ketukan sepatu kitten heels dengan aksen pita manis di ujungnya yang menggema di atas lantai marmer dingin.
"Tak... Tak... Tak..."
Suara itu tidak terlalu keras, tetapi cukup tajam untuk merambat ke setiap sudut ruangan yang luas.
Lorena melangkah dengan hati-hati, tetapi setiap gerakannya justru terdengar jelas di antara keheningan yang menyesakkan. Ketukan sepatunya bukan hanya suara biasa—itu adalah detak jantungnya yang diwujudkan dalam langkah-langkah ragu, penuh ketegangan dan ketakutan. Seolah-olah dengan setiap langkah maju, dia semakin mendekat ke mulut serigala.
Haknya yang tipis meninggalkan jejak suara seperti detak jam kematian, berdetak perlahan namun pasti menuju takdir yang tak bisa dihindari.
"Tak... Tak... Tak..."
Dada Lorena terasa sesak. Ada sesuatu dalam keheningan ini yang lebih mengerikan daripada teriakan yang ia tahan dalam dirinya. Dia bisa merasakan mata-mata tak terlihat mengawasinya dari bayangan, menunggunya untuk maju, untuk tunduk... untuk jatuh ke dalam perangkap yang tak bisa dihindari.
Di kejauhan, di ujung koridor panjang itu terdapat sebuah ruangan yang dihiasi dengan kombinasi warna hijau zamrud dan perak, di dalamnya ada siluet seorang pria berdiri tegak, menunggunya. ‘Damian Voronkov!’ pekiknya dalam hati.
Dan tanpa disadari, bunyi ketukan sepatu Lorena seketika terhenti di depan ruangan itu.
Pria di ujung lorong itu kini mulai melangkah ke arahnya. Suara sepatu kulitnya menghantam lantai marmer dengan irama yang lambat namun pasti. Langkah-langkahnya penuh keyakinan, membawa serta ancaman tak terucapkan yang membuat napas Lorena tertahan di tenggorokan.
Begitu ia berhenti, menyisakan hanya beberapa langkah di antara mereka, udara di sekitarnya terasa lebih berat. Dengan satu gerakan singkat, ia mengisyaratkan kepada para pria bersetelan hitam di sekelilingnya untuk pergi. Tanpa sepatah kata, mereka mundur, meninggalkan Lorena berdua dengannya.
Sunyi.
Damian Voronkov kini berdiri tegak di depannya, menjulang jauh lebih tinggi dari Lorena. Perbedaan tinggi mereka membuatnya merasa kecil, rapuh—seperti rusa mungil yang terjebak di hadapan seekor serigala. Sorot matanya tajam, menelisik Lorena dari ujung kepala hingga kaki, seperti seseorang yang sedang menilai sebuah barang dagangan.
“Jadi, kamu adalah wanita yang mereka kirimkan untukku?”
Suaranya dalam dan sedikit serak, menggema di ruangan luas itu. Ada sesuatu dalam nadanya—bukan sekadar ketidakpedulian, tapi seolah-olah dia sedang menimbang apakah Lorena layak berada di hadapannya.
Kemudian, ia melangkah lebih dekat.
Lorena bisa merasakan bayangan tubuhnya menyelimuti dirinya, menghadirkan sensasi mencekik yang tak kasat mata. Jarak yang tersisa di antara mereka begitu kecil hingga aroma maskulin Damian—campuran halus dari kayu cendana dan tembakau—menerobos masuk ke dalam kesadarannya.
Ia tak perlu mengatakan apa pun untuk menegaskan kekuasaannya. Dominasi Damian begitu nyata hingga Lorena tanpa sadar merapatkan jemarinya ke gaun yang ia kenakan, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar terlalu kencang.
Damian memperhatikan setiap gerakan kecil Lorena—tarikan napasnya yang tak stabil, jemarinya yang meremas ujung gaunnya, dan caranya menghindari tatapannya. Ia tersenyum tipis, matanya penuh hiburan.
“Kamu gugup?” suaranya terdengar lembut, hampir seperti bisikan yang disengaja. “Wajar saja. Perjodohan ini terjadi begitu cepat, kan?”
Tanpa peringatan, ia mendekat, menurunkan kepalanya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Lorena. Napasnya hangat, tetapi yang Lorena rasakan justru hawa dingin yang merayap di punggungnya.
“Tapi tenang saja…” bisiknya, suara beratnya terdengar santai namun penuh dominasi. “Aku nggak gigit… apalagi orang yang kelihatannya selemah ini.”
Jantung Lorena mencelos. Kata-kata itu bukan sekadar ejekan—itu pernyataan yang membedahnya hingga ke tulang. Ia bisa merasakan senyum di suara Damian, seperti seseorang yang menikmati ketakutan mangsanya.
Damian menarik diri sedikit, tetapi tak benar-benar menjauh. Kini, ia mulai berjalan perlahan mengitari Lorena, seperti pemangsa yang sedang mengamati buruannya dari segala sisi. Sepatunya menimbulkan bunyi samar di lantai marmer, dan setiap langkahnya terasa begitu terukur, seolah ia tahu persis efek yang ditimbulkannya.
Tawa kecil meluncur dari bibirnya. Ia bersandar santai pada meja kayu mahoni, tangannya menyilang di dadanya, mengamati Lorena seperti seseorang yang sedang menikmati pertunjukan.
“Mengesankan, bukan?”
Matanya menyapu sekeliling ruangan, mengisyaratkan perabotan mahal, lukisan klasik, dan dekorasi yang tak ternilai harganya. Ada kilatan kebanggaan di matanya—bukan sekadar soal harta, tapi soal kekuasaan.
“Semua ini… aku bangun dari nol, sepotong demi sepotong.”
Lalu, tatapannya kembali terkunci pada Lorena, penuh intensitas yang membuatnya sulit bernapas.
“Dan sekarang, ini juga milikmu, sayang.”
Lorena tersentak. Milikku? Kata itu terdengar asing dan tidak masuk akal. Ia baru saja dijual oleh keluarganya, dan kini pria asing ini mengatakan bahwa semua ini juga miliknya?
“Milikku juga?” Suaranya keluar lebih lirih dari yang ia harapkan.
Damian mengangkat satu alis, jelas menikmati keterkejutannya.
“Kenapa? Kau merasa tak pantas?” tanyanya, mengacungkan telunjuknya ke arah dadanya dengan senyum yang nyaris bermain-main.
Lorena mengatupkan rahangnya, mencoba mengendalikan pikirannya. Ia tidak boleh lupa siapa pria ini dan kenapa ia ada di sini.
“Mungkin kau salah paham, tapi aku—”
Ia menelan kata-katanya. Damian tak perlu tahu kebenaran di balik perjodohan ini.
Ekspresi pria itu berubah. Ada kesan tertarik yang lebih dalam di matanya, seolah Lorena baru saja memberinya teka-teki yang ingin ia pecahkan.
“Oh? Aku salah paham, ya?”
Dengan gerakan malas, ia mendorong meja dan mulai berjalan kembali ke arahnya, kali ini lebih lambat, lebih sengaja. Langkahnya tenang, tetapi sorot matanya tajam, tertuju langsung pada Lorena—seakan bisa melihat menembus dirinya.
“Kalau begitu… kenapa kau tidak menjelaskannya padaku, hm?”
Lorena mundur setengah langkah, tetapi tidak ada tempat untuk melarikan diri. Bayangan Damian menelan tubuhnya, membuatnya semakin merasa kecil.
“Tidak ada yang perlu dijelaskan,” katanya dengan suara yang berusaha tegas, meski tangannya yang meremas gaunnya berkata lain.
Damian tertawa pelan. Tawa yang rendah dan penuh kepuasan, seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang menarik.
“Oh, tapi aku rasa memang ada.”
Tangan Damian terulur, jari telunjuknya menyentuh dagu Lorena dengan lembut, mengangkat wajahnya hingga ia tak punya pilihan selain menatapnya langsung.
“Kau cukup pintar dalam berbohong, ya?”
Ibu jarinya menelusuri kontur rahangnya, gerakannya begitu halus, begitu bertentangan dengan aura penuh ancaman yang melingkupi pria itu.
Lorena terbangun sebelum matahari naik.Bukan karena suara. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena perasaannya sendiri. Perasaan yang terlalu penuh, terlalu dalam untuk tetap tidur.Cahaya pagi yang dingin merayap masuk lewat celah tirai, mengiris lembut dinding kamar yang senyap. Lorena memandang langit-langit sebentar, membiarkan kesadarannya membentuk kenyataan.Hari ini akhirnya tiba. Hari ketika dunia akan menyebutnya “Nyonya Voronkov.”Tangannya bergerak perlahan menyentuh perutnya yang kosong. Bukan karena lapar—tapi karena ada sesuatu yang menegang di dalam.Ia duduk di tepi ranjang. Jari-jari kakinya menyentuh karpet tebal yang terasa lebih asing dari biasanya. Semalam, kata-kata Damian masih menggema di benaknya.“Kau sudah melakukannya dengan baik. Dan itu lebih dari cukup.”Kalimat sederhana. Tapi cukup untuk membuatnya ingin berdiri lebih tegak pagi ini.Lorena mengenakan jubah satin putih untuk melapisi kamisolnya dan berjalan keluar kamar. Lorong yang biasanya hening kin
Damian berdiri di ambang jendela besar kamarnya, menatap keluar ke halaman belakang yang perlahan tenggelam dalam kabut malam.Asap dari rokok tipis yang menyala di jarinya naik perlahan, menyatu dengan udara dingin yang tidak pernah benar-benar hilang dari rumah ini.Dia tidak berbicara selama makan malam. Tidak perlu. Kehadiran Lorena malam itu sudah bicara lebih dari cukup.Ia melihat bagaimana orang-orang meliriknya.Bagaimana wanita itu menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial itu dengan tenang.Bagaimana dia tidak menghindar dari Katya—dan bahkan tahu cara merespons tanpa harus menyerang.Dia tahu apa yang sedang dilihat semua orang: seo
Lorena tahu saat ini dia sedang melangkah ke medan yang belum pernah ia jamah sebelumnya.Rehearsal dinner yang diadakan satu hari sebelum resepsi pernikahan bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah ruang dimana ia diuji.Bukan hanya bagaimana cara ia berdiri dan berbicara—tetapi bagaimana ia diam, menanggapi, dan bertahan tanpa kehilangan arah.Gaun satin biru kelabu itu jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Ia tidak mencoba menarik perhatian—tapi justru karena itu, beberapa kepala berbalik dua kali saat ia masuk ke ruang makan utama.Langkahnya tenang. Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Meja makan besar di tengah ruangan berlapis linen putih. T
Lorena tidak bisa tidur malam itu.Udara di dalam kamar terlalu pengap, terlalu hening. Jadi ia melangkah keluar ke balkon samping yang menghadap taman belakang mansion—sepi, dingin, dan tertutup bayangan.Gaun tidurnya sederhana. Rambutnya diikat setengah. Tangannya memeluk tubuh sendiri, bukan karena kedinginan, tapi karena ia butuh sesuatu untuk dipegang.Langit di atasnya kelabu. Tak berbintang.Langkah pelan terdengar dari dalam. Lalu suara pintu balkon terbuka.Klik!Lorena tidak perlu menoleh. Ia tahu siapa itu dari caranya membuka pintu: tidak ragu, tidak meminta izin.Damian berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kemeja
Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela tinggi di sayap timur mansion memberikan kesan hangat dan nyaman pada ruangan yang dipenuhi dokumen pernikahan dan berkas logistik acara.Namun, Damian tidak terpengaruh oleh suasana tersebut. Ia berdiri di depan meja panjang, menatap dokumen-dokumen tersebut dengan mata yang kosong.Sergei, yang berdiri di balik meja sebelah, memecah keheningan dengan suaranya yang dalam dan tenang."Kau tidak membaca berkas-berkas itu," katanya. "Pernikahan dua minggu lagi, Damian. Kau tidak bisa terus memperlakukan ini seperti kontrak bisnis."Damian tidak membantah, tapi juga tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan bahunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan dokumen-dokumen tersebut. Ia menarik nafas pelan, lalu mel
Lorena tidak menyangka bahwa pemilihan gaun pengantin bisa terasa seperti pertempuran diam-diam. Bukan dengan seseorang yang hadir di ruangan. Tapi dengan seseorang dari masa lalu yang seolah sudah menyentuh semuanya lebih dulu.Ruang tengah mansion telah diubah menjadi studio kecil. Meja-meja dilapisi katalog, papan inspirasi bergambar sketsa-sketsa gaun siluet ramping, dan setumpuk fabrik—sutra Perancis, tulle Italia, renda vintage.Tiga desainer duduk di sofa kulit putih, sibuk menyesap espresso sambil menatap Lorena seperti sedang menilai kanvas kosong. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang, berdiri dan menyodorkan portofolio berlapis kulit.“Tuan Damian menyukai gaya klasik. Bersih. Lengan panjang. Tidak terlalu terbuka, tapi tetap memamerkan bentuk tubuh.”Lorena menerima buku itu dan mulai membaliknya. Halaman demi halaman menampilkan gaun-gaun indah.Terlalu indah. Terlalu seragam.Di hampir setiap desain 'unggulan”'itu,