Home / Romansa / Hatiku Tertawan Mafia Tampan / Bab 2 : Pertemuan Pertama

Share

Bab 2 : Pertemuan Pertama

Author: Mandy Poole
last update Last Updated: 2025-03-27 17:55:51

Lorena menatap bangunan megah di depannya, matanya membelalak dalam keterkejutan. Mansion itu berdiri angkuh dan berwibawa, lebih mirip istana dibandingkan rumah biasa. Fasadnya didominasi warna krem dan abu-abu, dengan sentuhan batu alam yang menambah kesan kokoh dan mahal.

Bagian depan mansion dihiasi dengan jendela-jendela lengkung besar, membiarkan cahaya keemasan dari dalam menyemburat keluar, menciptakan bayangan yang dramatis di halaman. Pintu masuk utama menjulang tinggi, terbuat dari kaca hitam dengan aksen besi berukir, memberi kesan mewah sekaligus mengintimidasi.

Atapnya berwarna hitam pekat, kontras dengan dinding terang di bawahnya, semakin menegaskan aura misterius dari tempat ini. Lampu-lampu kecil berjajar di sepanjang atap, menerangi mansion dengan cara yang halus tetapi tegas—seolah menunjukkan bahwa siapapun yang masuk harus tunduk pada kekuatan yang bersemayam di dalamnya.

Di sekeliling mansion, pepohonan hijau tertata rapi, memberikan sedikit ilusi kedamaian yang jelas bertolak belakang dengan realitas rumah ini. Jalan masuknya lebar, berlapis batu bata abu-abu yang halus, menciptakan suasana megah saat kendaraan melaju menuju pintu utama.

Bagi Lorena, mansion ini bukan sekadar rumah. Ini adalah benteng, penjara, sekaligus tempat yang bisa mengubah nasibnya selamanya.

Suara deheman keras mengagetkan Lorena dari rasa kagumnya terhadap bangunan di depannya. 

“Selamat datang, Nona Barnes!” sambut pria bermata biru dengan tampang yang keras dan luka panjang di rahang kirinya, memberikan gestur untuk mempersilahkan Lorena untuk masuk ke dalam.

Lorena menelan ludahnya dengan susah payah, belum pernah ia dikelilingi banyak pria terutama dengan wajah penuh luka. ‘Ayo, Lorena jangan membuat kesalahan!’ pikirnya.

Gadis itu melenggang masuk ke dalam mansion.

Keheningan yang mencekam menyelimuti lorong panjang itu, hanya dipecah oleh bunyi ketukan sepatu kitten heels dengan aksen pita manis di ujungnya yang menggema di atas lantai marmer dingin.

"Tak... Tak... Tak..."

Suara itu tidak terlalu keras, tetapi cukup tajam untuk merambat ke setiap sudut ruangan yang luas. 

Lorena melangkah dengan hati-hati, tetapi setiap gerakannya justru terdengar jelas di antara keheningan yang menyesakkan. Ketukan sepatunya bukan hanya suara biasa—itu adalah detak jantungnya yang diwujudkan dalam langkah-langkah ragu, penuh ketegangan dan ketakutan. Seolah-olah dengan setiap langkah maju, dia semakin mendekat ke mulut serigala.

Haknya yang tipis meninggalkan jejak suara seperti detak jam kematian, berdetak perlahan namun pasti menuju takdir yang tak bisa dihindari.

"Tak... Tak... Tak..."

Dada Lorena terasa sesak. Ada sesuatu dalam keheningan ini yang lebih mengerikan daripada teriakan yang ia tahan dalam dirinya. Dia bisa merasakan mata-mata tak terlihat mengawasinya dari bayangan, menunggunya untuk maju, untuk tunduk... untuk jatuh ke dalam perangkap yang tak bisa dihindari.

Di kejauhan, di ujung koridor panjang itu terdapat sebuah ruangan yang dihiasi dengan kombinasi warna hijau zamrud dan perak, di dalamnya ada siluet seorang pria berdiri tegak, menunggunya. ‘Damian Voronkov!’ pekiknya dalam hati.

Dan tanpa disadari, bunyi ketukan sepatu Lorena seketika terhenti di depan ruangan itu.

Pria di ujung lorong itu kini mulai melangkah ke arahnya. Suara sepatu kulitnya menghantam lantai marmer dengan irama yang lambat namun pasti. Langkah-langkahnya penuh keyakinan, membawa serta ancaman tak terucapkan yang membuat napas Lorena tertahan di tenggorokan.

Begitu ia berhenti, menyisakan hanya beberapa langkah di antara mereka, udara di sekitarnya terasa lebih berat. Dengan satu gerakan singkat, ia mengisyaratkan kepada para pria bersetelan hitam di sekelilingnya untuk pergi. Tanpa sepatah kata, mereka mundur, meninggalkan Lorena berdua dengannya.

Sunyi.

Damian Voronkov kini berdiri tegak di depannya, menjulang jauh lebih tinggi dari Lorena. Perbedaan tinggi mereka membuatnya merasa kecil, rapuh—seperti rusa mungil yang terjebak di hadapan seekor serigala. Sorot matanya tajam, menelisik Lorena dari ujung kepala hingga kaki, seperti seseorang yang sedang menilai sebuah barang dagangan.

“Jadi, kamu adalah wanita yang mereka kirimkan untukku?”

Suaranya dalam dan sedikit serak, menggema di ruangan luas itu. Ada sesuatu dalam nadanya—bukan sekadar ketidakpedulian, tapi seolah-olah dia sedang menimbang apakah Lorena layak berada di hadapannya.

Kemudian, ia melangkah lebih dekat.

Lorena bisa merasakan bayangan tubuhnya menyelimuti dirinya, menghadirkan sensasi mencekik yang tak kasat mata. Jarak yang tersisa di antara mereka begitu kecil hingga aroma maskulin Damian—campuran halus dari kayu cendana dan tembakau—menerobos masuk ke dalam kesadarannya.

Ia tak perlu mengatakan apa pun untuk menegaskan kekuasaannya. Dominasi Damian begitu nyata hingga Lorena tanpa sadar merapatkan jemarinya ke gaun yang ia kenakan, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar terlalu kencang.

Damian memperhatikan setiap gerakan kecil Lorena—tarikan napasnya yang tak stabil, jemarinya yang meremas ujung gaunnya, dan caranya menghindari tatapannya. Ia tersenyum tipis, matanya penuh hiburan.

“Kamu gugup?” suaranya terdengar lembut, hampir seperti bisikan yang disengaja. “Wajar saja. Perjodohan ini terjadi begitu cepat, kan?”

Tanpa peringatan, ia mendekat, menurunkan kepalanya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Lorena. Napasnya hangat, tetapi yang Lorena rasakan justru hawa dingin yang merayap di punggungnya.

“Tapi tenang saja…” bisiknya, suara beratnya terdengar santai namun penuh dominasi. “Aku nggak gigit… apalagi orang yang kelihatannya selemah ini.”

Jantung Lorena mencelos. Kata-kata itu bukan sekadar ejekan—itu pernyataan yang membedahnya hingga ke tulang. Ia bisa merasakan senyum di suara Damian, seperti seseorang yang menikmati ketakutan mangsanya.

Damian menarik diri sedikit, tetapi tak benar-benar menjauh. Kini, ia mulai berjalan perlahan mengitari Lorena, seperti pemangsa yang sedang mengamati buruannya dari segala sisi. Sepatunya menimbulkan bunyi samar di lantai marmer, dan setiap langkahnya terasa begitu terukur, seolah ia tahu persis efek yang ditimbulkannya.

Tawa kecil meluncur dari bibirnya. Ia bersandar santai pada meja kayu mahoni, tangannya menyilang di dadanya, mengamati Lorena seperti seseorang yang sedang menikmati pertunjukan.

“Mengesankan, bukan?”

Matanya menyapu sekeliling ruangan, mengisyaratkan perabotan mahal, lukisan klasik, dan dekorasi yang tak ternilai harganya. Ada kilatan kebanggaan di matanya—bukan sekadar soal harta, tapi soal kekuasaan.

“Semua ini… aku bangun dari nol, sepotong demi sepotong.”

Lalu, tatapannya kembali terkunci pada Lorena, penuh intensitas yang membuatnya sulit bernapas.

“Dan sekarang, ini juga milikmu, sayang.”

Lorena tersentak. Milikku? Kata itu terdengar asing dan tidak masuk akal. Ia baru saja dijual oleh keluarganya, dan kini pria asing ini mengatakan bahwa semua ini juga miliknya?

“Milikku juga?” Suaranya keluar lebih lirih dari yang ia harapkan.

Damian mengangkat satu alis, jelas menikmati keterkejutannya.

“Kenapa? Kau merasa tak pantas?” tanyanya, mengacungkan telunjuknya ke arah dadanya dengan senyum yang nyaris bermain-main.

Lorena mengatupkan rahangnya, mencoba mengendalikan pikirannya. Ia tidak boleh lupa siapa pria ini dan kenapa ia ada di sini.

“Mungkin kau salah paham, tapi aku—”

Ia menelan kata-katanya. Damian tak perlu tahu kebenaran di balik perjodohan ini.

Ekspresi pria itu berubah. Ada kesan tertarik yang lebih dalam di matanya, seolah Lorena baru saja memberinya teka-teki yang ingin ia pecahkan.

“Oh? Aku salah paham, ya?”

Dengan gerakan malas, ia mendorong meja dan mulai berjalan kembali ke arahnya, kali ini lebih lambat, lebih sengaja. Langkahnya tenang, tetapi sorot matanya tajam, tertuju langsung pada Lorena—seakan bisa melihat menembus dirinya.

“Kalau begitu… kenapa kau tidak menjelaskannya padaku, hm?”

Lorena mundur setengah langkah, tetapi tidak ada tempat untuk melarikan diri. Bayangan Damian menelan tubuhnya, membuatnya semakin merasa kecil.

“Tidak ada yang perlu dijelaskan,” katanya dengan suara yang berusaha tegas, meski tangannya yang meremas gaunnya berkata lain.

Damian tertawa pelan. Tawa yang rendah dan penuh kepuasan, seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang menarik.

“Oh, tapi aku rasa memang ada.”

Tangan Damian terulur, jari telunjuknya menyentuh dagu Lorena dengan lembut, mengangkat wajahnya hingga ia tak punya pilihan selain menatapnya langsung.

“Kau cukup pintar dalam berbohong, ya?”

Ibu jarinya menelusuri kontur rahangnya, gerakannya begitu halus, begitu bertentangan dengan aura penuh ancaman yang melingkupi pria itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 6 : Rahasia Dibalik Dinding Penuh Keangkuhan

    Dengan satu langkah pelan, Lorena menyelinap ke dalam ruang tersembunyi di balik rak buku itu. Udara di dalamnya lebih dingin—seperti ruangan yang telah lama tak tersentuh.Debu menggantung tipis di udara, dan aroma kayu tua bercampur dengan sesuatu yang lebih samar… seperti aroma parfum yang sudah lama memudar.Lorena meraba-raba dinding hingga menemukan saklar tua. Saat lampu kecil di langit-langit menyala redup, ia melihat bahwa ruangan itu bukan sekadar gudang. Ini adalah ruang pribadi. Tempat seseorang menyembunyikan bagian dari dirinya yang tidak bisa dibagi ke dunia luar.Di tengah ruangan, terdapat meja kayu besar penuh dengan tumpukan kertas, buku catatan, dan foto-foto usang. Di atasnya, satu bingkai foto pecah tergeletak miring, kaca depannya retak, tapi potret di dalamnya masih terliha

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 5 : Siapa Dirimu?

    Lorena tetap berdiri di tempat saat Damian menghilang ke lorong lain. Suara langkahnya yang berat memudar perlahan, digantikan keheningan yang lebih menusuk daripada ancaman yang baru saja pria itu tinggalkan.Begitu suara itu benar-benar lenyap, bahunya merosot, dan seluruh kekuatan yang ia paksa bangun di depan pria itu runtuh dalam sekejap. Nafasnya terengah, matanya menatap lantai kayu gelap yang kini terasa seperti perangkap besar yang menelannya hidup-hidup.“Aku tidak bisa…” bisiknya lemah.Tapi dia harus. Karena menyerah berarti tenggelam dalam dunia ini—dan mungkin tidak akan pernah keluar lagi.Lorena mengangkat kepalanya perlahan dan mulai melangkah, tumit sepatunya menimbulkan ketukan samar di lantai kayu tua. Ia menaiki satu anak tangga, lalu berhenti, menyentuh pegangan besi hitam yang dingin. Tangga spiral ganda di depannya tampak seperti belalai ular yang siap membelitnya.Saat ia melangkah, suara halus terdengar dari samping:“Kalau kau terus menggigil seperti itu, ka

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 4 : Perjanjian

    Lorena menatapnya dengan dagu sedikit terangkat, berusaha menyembunyikan ketakutan yang menggerogoti dadanya."Dan jika kau pintar…" suaranya terdengar lebih stabil dari yang ia kira, meski tangan di samping tubuhnya masih gemetar, "kau akan tahu bahwa tidak semua orang bisa kau kendalikan sesuka hati."Damian mengambil langkah lebih dekat, menutup jarak di antara mereka, tatapannya terkunci pada gadis itu dengan intensitas yang berbahaya.“Benarkah begitu, sayang? Kamu pikir kamu bisa melawanku, begitu?”Dia mengeluarkan tawa pelan, suara yang terdengar geli sekaligus mengerikan.“Aku akan menikmati mematahkan semangat kecilmu itu. Aku tidak suka wanita yang berusaha terlihat lembut dan penurut. Aku suka jika mereka memiliki sedikit perlawanan dalam diri mereka.”Dia mengulurkan tangan, membiarkan tangannya menelusuri pipinya, sentuhannya lembut dan posesif.Lorena menghela napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan debaran di dadanya. Jika melawan secara fisik mustahil, mungkin ia bi

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 3 : Bermain Peran

    Damian mengangkat dagunya, memaksanya untuk menatapnya. Tapi alih-alih melawan, Lorena malah memejamkan matanya erat-erat, seolah dengan begitu, ia bisa mengabaikan keberadaan pria itu.“Aku bukan pembohong,” suaranya lirih, nyaris hanya bisikan.Damian mendengus kecil, nadanya meremehkan bercampur kepuasan.“Oh, tapi kau berbohong.”Ia mendekat lebih jauh, hingga nafasnya yang hangat menyapu telinga Lorena, meninggalkan jejak geli sekaligus mengintimidasi.“Aku bisa melihatnya dalam setiap tarikan nafasmu yang tersendat, mendengarnya dalam setiap kata-katamu yang goyah.”Jari-jarinya menyusuri pipi Lorena—sentuhan yang nyaris tak terasa, tapi justru itulah yang membuatnya begitu menusuk.“Kau memakai topeng, Barnes. Dan aku bisa melihatnya dengan jelas.”Lorena menggigit bibirnya, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Perlahan, ia membuka matanya, memberanikan diri untuk menatap pria yang kini begitu dekat dengannya.Dan saat matanya menangkap wajah Damian dengan jel

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 2 : Pertemuan Pertama

    Lorena menatap bangunan megah di depannya, matanya membelalak dalam keterkejutan. Mansion itu berdiri angkuh dan berwibawa, lebih mirip istana dibandingkan rumah biasa. Fasadnya didominasi warna krem dan abu-abu, dengan sentuhan batu alam yang menambah kesan kokoh dan mahal.Bagian depan mansion dihiasi dengan jendela-jendela lengkung besar, membiarkan cahaya keemasan dari dalam menyemburat keluar, menciptakan bayangan yang dramatis di halaman. Pintu masuk utama menjulang tinggi, terbuat dari kaca hitam dengan aksen besi berukir, memberi kesan mewah sekaligus mengintimidasi.Atapnya berwarna hitam pekat, kontras dengan dinding terang di bawahnya, semakin menegaskan aura misterius dari tempat ini. Lampu-lampu kecil berjajar di sepanjang atap, menerangi mansion dengan cara yang halus tetapi tegas—seolah menunjukkan bahwa siapapun yang masuk harus tunduk pada kekuatan yang bersemayam di dalamnya.Di sekeliling mansion, pepohonan hijau tertata rapi, memberikan sedikit ilusi kedamaian yang

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 1 : Kejutan Ulang Tahun

    Suara mesin mobil menderu tanpa henti di jalanan bebas hambatan, namun terasa sepi dan lambat bagi gadis yang baru saja menginjak usia 19 tahun bernama Lorena Barnes. Rambut coklatnya yang ikal terlihat kusut dan tidak beraturan karena ia secara tiba-tiba dijemput paksa oleh segerombolan pria yang mengenakan setelan serba hitam di kediamannya ketika ia sedang meniup lilin di atas kue ulang tahunnya.Ia memang sudah tahu hal ini akan tiba, ketika malam sebelum hari ulang tahunnya tiba-tiba ayahnya mengetuk pintu kamarnya berkali-kali dan ketukannya hampir terdengar putus asa untuk membangunkannya di tengah malam sebelum hari ulang tahunnya, gadis itu membuka pintu dengan semangat, namun bukannya kue ulang tahun dan terompet yang menunggunya di depan pintu.“Lorri, kita harus bicara” ucap Timothy Barnes, air mukanya terlihat gugup.Lorena menatap wajah ayahnya dengan bingung, dan menepi untuk membiarkan ayahnya masuk ke dalam kamarnya yang berukuran 2 x 3. Cukup ironis gadis itu harus t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status