Home / Romansa / Hatiku Tertawan Mafia Tampan / Bab 3 : Bermain Peran

Share

Bab 3 : Bermain Peran

Author: Mandy Poole
last update Last Updated: 2025-03-28 12:46:45

Damian mengangkat dagunya, memaksanya untuk menatapnya. Tapi alih-alih melawan, Lorena malah memejamkan matanya erat-erat, seolah dengan begitu, ia bisa mengabaikan keberadaan pria itu.

“Aku bukan pembohong,” suaranya lirih, nyaris hanya bisikan.

Damian mendengus kecil, nadanya meremehkan bercampur kepuasan.

“Oh, tapi kau berbohong.”

Ia mendekat lebih jauh, hingga nafasnya yang hangat menyapu telinga Lorena, meninggalkan jejak geli sekaligus mengintimidasi.

“Aku bisa melihatnya dalam setiap tarikan nafasmu yang tersendat, mendengarnya dalam setiap kata-katamu yang goyah.”

Jari-jarinya menyusuri pipi Lorena—sentuhan yang nyaris tak terasa, tapi justru itulah yang membuatnya begitu menusuk.

“Kau memakai topeng, Barnes. Dan aku bisa melihatnya dengan jelas.”

Lorena menggigit bibirnya, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang menggila. Perlahan, ia membuka matanya, memberanikan diri untuk menatap pria yang kini begitu dekat dengannya.

Dan saat matanya menangkap wajah Damian dengan jelas, pikirannya seketika kacau. ‘Astaga… dia terlalu tampan untuk seorang kriminal. Aku bisa gila.’

Sebuah seringai muncul di wajah Damian, seolah bisa membaca pikirannya.

“Ah, akhirnya… mata indah itu.”

Dengan gerakan santai, ia mengangkat sehelai rambut Lorena, memutar-mutarnya di antara jarinya seolah sedang menikmati sesuatu yang berharga.

“Kau tahu,” katanya sambil tersenyum tipis, “aku bisa membiasakan diri dengan ini… memiliki istri secantik dirimu di rumahku.”

Lorena tersentak, bahunya menegang ketika Damian memainkan helai rambutnya tanpa izin. Refleks, ia melangkah mundur, mencoba menciptakan jarak di antara mereka.

Tapi seketika itu juga, wajah Damian berubah.

Sekilas, ada kilatan kesal di matanya, namun lebih cepat dari yang bisa ditangkap Lorena, ekspresinya kembali santai—terlalu santai, justru itulah yang berbahaya.

Damian melangkah mendekat, membuat Lorena mundur hingga punggungnya menyentuh dinding dingin. Dengan satu gerakan cepat, tangannya menghantam dinding di samping wajahnya, menciptakan suara samar yang bergema di ruangan sunyi. Matanya mengunci miliknya—tatapan tajam, penuh sesuatu yang sulit diartikan. 

Nafas mereka bertaut di udara sempit di antara mereka, menciptakan ketegangan yang menggetarkan.

“Dan menurutmu, kau mau ke mana, hm?”

Suaranya dalam, dan begitu tenang.

Lorena terkesiap ketika tiba-tiba dadanya menekan tubuhnya, memerangkapnya di antara dinding yang dingin dan panas tubuh pria itu.

“Aku tidak memilih untuk berada di sini.”

Suaranya terdengar pelan, tetapi penuh ketegangan—setiap kata yang keluar adalah hasil dari usahanya memanfaatkan sisa energi untuk tetap terlihat tegar.

Damian memiringkan kepalanya, tatapannya mengunci wajah Lorena dengan intensitas yang membuatnya ingin lari sejauh mungkin.

“Tidak, kau tidak memilihnya.”

Jarinya terangkat, mengusap pipinya dengan sentuhan yang seharusnya lembut… tapi terasa seperti belenggu.

“Tapi hidup tidak selalu memberi kita pilihan, bukan?”

Tiba-tiba, ia meraih dagu Lorena dengan ibu jari dan telunjuknya, memaksa wajahnya untuk menghadapnya langsung.

“Kau milikku sekarang, Barnes. Dan tak ada seorang pun yang bisa mengubah kenyataan itu.”

Lorena menggigit bibirnya, matanya menyala dengan perlawanan yang tersisa.

“Sepertinya aku tak punya pilihan lain… untuk saat ini. Tapi itu bukan alasan bagimu untuk memperlakukanku seperti barang.”

Damian mengeluarkan tawa rendah—tawa yang terdengar geli sekaligus mengancam.

“Oh? Dan kenapa tidak?”

Ia menekan tubuhnya lebih dekat, begitu dekat hingga Lorena bisa merasakan ketegangan ototnya, kehangatan tubuhnya yang berbanding terbalik dengan aura dingin yang ia pancarkan.

Lalu, ia mencondongkan tubuhnya ke telinga Lorena, membiarkan bibirnya menyentuh kulit halusnya hanya sekilas.

“Kau milikku sekarang,” bisiknya, “dan aku bisa melakukan apa pun yang aku mau terhadapmu.”

Lorena membeku.

Darahnya terasa seperti membeku, tetapi tubuhnya justru panas dalam ketakutan. Napasnya tersengal, jari-jarinya mengepal erat di sisi tubuhnya.

Ia menunduk tanpa sadar, tubuhnya gemetar halus—bukan karena dingin, melainkan… trauma.

Sesaat, Damian terdiam.

Matanya menyipit, mengamati getaran halus yang menyusupi bahu Lorena. Ada sekelebat sesuatu di ekspresinya—entah itu rasa ingin tahu, atau sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ia sendiri tak pahami.

“Apa ini?” suaranya turun beberapa oktaf lebih lembut.

Tiba-tiba, ia melingkarkan tangannya ke pinggang Lorena, menariknya lebih dekat—bukan dengan paksaan, tapi lebih seperti… eksperimen.

Tangannya yang lain terulur, menyibakkan beberapa helai rambut Lorena dari wajahnya, memberinya pandangan penuh pada ekspresi gadis itu.

“Kau gemetar seperti daun yang tertiup angin.”

Lorena mengangkat kepalanya, mencoba menyembunyikan ketakutannya, mencoba terlihat lebih kuat dari yang ia rasakan.

Lorena menggigit bibirnya, berusaha mengabaikan debaran jantungnya yang kian memburu.

“Haruskah aku merasa tidak takut?”

Suaranya terdengar sarkastik, tapi tetap ada getaran samar di ujungnya—sesuatu yang Damian tangkap dengan mudah.

Alih-alih marah, Damian tertawa kecil—suara rendah yang nyaris seperti dengungan predator yang baru saja menemukan mainan barunya.

Tangannya terangkat, menelusuri garis rahangnya dengan gerakan yang mengancam sekaligus menggoda, ibu jarinya mengusap lembut kulitnya.

“Oh, sikap lancangmu ini menggemaskan, sayang.”

Suaranya menurun menjadi bisikan ketika ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, hingga bibirnya hampir menyentuh daun telinga Lorena.

“Tapi kamu belum menjawab pertanyaanku.”

Tangannya bergerak turun, dari rahang ke leher Lorena yang rapuh, lalu menelusuri sisi tubuhnya dengan gerakan yang terlalu santai… terlalu posesif.

Hingga akhirnya, ujung jarinya bertumpu di pinggulnya.

Lorena mengatupkan bibirnya rapat-rapat, otot tubuhnya menegang saat menyadari betapa mudahnya pria ini mengklaim ruang pribadinya tanpa izin.

Damian menyeringai tipis.

“Setidaknya kau cukup pintar untuk tahu dengan siapa kau berurusan.”

Nada suaranya sedingin baja, kontras dengan sentuhan tangannya yang akhirnya menjauh dari tubuh Lorena.

Namun meski Damian telah menarik diri, tatapannya masih tetap tertancap padanya—menyelidik, seolah sedang mengupas lapisan demi lapisan dari dalam dirinya.

Ada sesuatu pada wanita ini yang membuatnya penasaran.

Api dalam matanya.

Sikapnya yang gemetar, tapi tidak benar-benar menyerah.

Dan entah kenapa, hal itu justru semakin menggodanya.

Ia menyeringai.

“Oh, aku tahu persis dengan siapa aku berurusan.”

Damian melangkah mundur, memberinya sedikit ruang, tapi tatapannya tetap gelap dan tajam, seperti singa yang mengamati mangsanya.

“Kau anak yang keras kepala, ya? Aku suka itu.”

Tiba-tiba, ia kembali mendekat, begitu cepat hingga Lorena nyaris tidak bisa bereaksi.

Bibirnya menyapu kulit telinganya saat ia berbisik, “Aku tidak seburuk yang mereka katakan... tapi jika kau mencoba melarikan diri—”

Ada jeda singkat sebelum Damian melanjutkan perkataannya, keheningan itu nyaris terasa dingin dan hampa.

Napas Damian menyapu telinganya, panas, mendominasi, dan membakar saraf-sarafnya dengan ketakutan yang tak bisa ia kendalikan.

“Aku bisa jauh lebih buruk.”

Peringatan itu dibungkus dengan nada lembut, seolah Damian menikmati permainan ini lebih dari yang seharusnya.

Lorena menggigit bibirnya lebih kuat, berusaha meredam ketegangan yang menjalari tubuhnya.

Namun senyum kecil pria itu mengatakan bahwa ia menyadarinya.

“Oh, Damian, aku tidak meragukannya.” Lorena mengangkat dagunya sedikit, berusaha mempertahankan sisa harga dirinya yang tersisa.

Tapi Damian hanya tertawa kecil, seolah senang melihat perlawanan sia-sia itu.

Tangannya kembali bergerak ke dagunya, kali ini lebih tegas, lebih mengklaim, memiringkan wajah Lorena hingga mata mereka benar-benar bertemu.

Mata itu.

Gelap. Berbahaya. Mematikan.

Dan ada sesuatu di sana.

Sebuah kilatan yang membuat jantung Lorena semakin berdebar.

Sebuah rasa lapar.

“Kau tahu, aku bukan orang suci.”

Damian menelusuri pipi Lorena dengan ibu jarinya, perlahan, seolah sedang menghafal bentuknya.

“Dan aku memiliki reputasi bukan tanpa alasan.”

Ia tersenyum—senyum yang terlihat santai, tapi ada ancaman terselubung di baliknya.

“Tapi jika kau pintar…”

Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, hingga napas mereka hampir menyatu.

“…kau akan tahu bagaimana cara bermain peran di sini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 15 : Langkah Pasti Menuju Altar

    Lorena terbangun sebelum matahari naik.Bukan karena suara. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena perasaannya sendiri. Perasaan yang terlalu penuh, terlalu dalam untuk tetap tidur.Cahaya pagi yang dingin merayap masuk lewat celah tirai, mengiris lembut dinding kamar yang senyap. Lorena memandang langit-langit sebentar, membiarkan kesadarannya membentuk kenyataan.Hari ini akhirnya tiba. Hari ketika dunia akan menyebutnya “Nyonya Voronkov.”Tangannya bergerak perlahan menyentuh perutnya yang kosong. Bukan karena lapar—tapi karena ada sesuatu yang menegang di dalam.Ia duduk di tepi ranjang. Jari-jari kakinya menyentuh karpet tebal yang terasa lebih asing dari biasanya. Semalam, kata-kata Damian masih menggema di benaknya.“Kau sudah melakukannya dengan baik. Dan itu lebih dari cukup.”Kalimat sederhana. Tapi cukup untuk membuatnya ingin berdiri lebih tegak pagi ini.Lorena mengenakan jubah satin putih untuk melapisi kamisolnya dan berjalan keluar kamar. Lorong yang biasanya hening kin

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 14 : Satu Malam Sebelum Janji Suci

    Damian berdiri di ambang jendela besar kamarnya, menatap keluar ke halaman belakang yang perlahan tenggelam dalam kabut malam.Asap dari rokok tipis yang menyala di jarinya naik perlahan, menyatu dengan udara dingin yang tidak pernah benar-benar hilang dari rumah ini.Dia tidak berbicara selama makan malam. Tidak perlu. Kehadiran Lorena malam itu sudah bicara lebih dari cukup.Ia melihat bagaimana orang-orang meliriknya.Bagaimana wanita itu menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial itu dengan tenang.Bagaimana dia tidak menghindar dari Katya—dan bahkan tahu cara merespons tanpa harus menyerang.Dia tahu apa yang sedang dilihat semua orang: seo

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 13 : Diantara Mereka, Aku Tidak Menjadi Bayangan

    Lorena tahu saat ini dia sedang melangkah ke medan yang belum pernah ia jamah sebelumnya.Rehearsal dinner yang diadakan satu hari sebelum resepsi pernikahan bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah ruang dimana ia diuji.Bukan hanya bagaimana cara ia berdiri dan berbicara—tetapi bagaimana ia diam, menanggapi, dan bertahan tanpa kehilangan arah.Gaun satin biru kelabu itu jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Ia tidak mencoba menarik perhatian—tapi justru karena itu, beberapa kepala berbalik dua kali saat ia masuk ke ruang makan utama.Langkahnya tenang. Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Meja makan besar di tengah ruangan berlapis linen putih. T

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 12 : Malam Dingin untuk Percakapan Intim

    Lorena tidak bisa tidur malam itu.Udara di dalam kamar terlalu pengap, terlalu hening. Jadi ia melangkah keluar ke balkon samping yang menghadap taman belakang mansion—sepi, dingin, dan tertutup bayangan.Gaun tidurnya sederhana. Rambutnya diikat setengah. Tangannya memeluk tubuh sendiri, bukan karena kedinginan, tapi karena ia butuh sesuatu untuk dipegang.Langit di atasnya kelabu. Tak berbintang.Langkah pelan terdengar dari dalam. Lalu suara pintu balkon terbuka.Klik!Lorena tidak perlu menoleh. Ia tahu siapa itu dari caranya membuka pintu: tidak ragu, tidak meminta izin.Damian berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kemeja

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 11 : Warna Baru, Aturan Baru

    Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela tinggi di sayap timur mansion memberikan kesan hangat dan nyaman pada ruangan yang dipenuhi dokumen pernikahan dan berkas logistik acara.Namun, Damian tidak terpengaruh oleh suasana tersebut. Ia berdiri di depan meja panjang, menatap dokumen-dokumen tersebut dengan mata yang kosong.Sergei, yang berdiri di balik meja sebelah, memecah keheningan dengan suaranya yang dalam dan tenang."Kau tidak membaca berkas-berkas itu," katanya. "Pernikahan dua minggu lagi, Damian. Kau tidak bisa terus memperlakukan ini seperti kontrak bisnis."Damian tidak membantah, tapi juga tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan bahunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan dokumen-dokumen tersebut. Ia menarik nafas pelan, lalu mel

  • Hatiku Tertawan Mafia Tampan   Bab 10 : Mawar yang Tidak Tumbuh di Taman Siapa Pun

    Lorena tidak menyangka bahwa pemilihan gaun pengantin bisa terasa seperti pertempuran diam-diam. Bukan dengan seseorang yang hadir di ruangan. Tapi dengan seseorang dari masa lalu yang seolah sudah menyentuh semuanya lebih dulu.Ruang tengah mansion telah diubah menjadi studio kecil. Meja-meja dilapisi katalog, papan inspirasi bergambar sketsa-sketsa gaun siluet ramping, dan setumpuk fabrik—sutra Perancis, tulle Italia, renda vintage.Tiga desainer duduk di sofa kulit putih, sibuk menyesap espresso sambil menatap Lorena seperti sedang menilai kanvas kosong. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang, berdiri dan menyodorkan portofolio berlapis kulit.“Tuan Damian menyukai gaya klasik. Bersih. Lengan panjang. Tidak terlalu terbuka, tapi tetap memamerkan bentuk tubuh.”Lorena menerima buku itu dan mulai membaliknya. Halaman demi halaman menampilkan gaun-gaun indah.Terlalu indah. Terlalu seragam.Di hampir setiap desain 'unggulan”'itu,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status