Suara mesin mobil menderu tanpa henti di jalanan bebas hambatan, namun terasa sepi dan lambat bagi gadis yang baru saja menginjak usia 19 tahun bernama Lorena Barnes. Rambut coklatnya yang ikal terlihat kusut dan tidak beraturan karena ia secara tiba-tiba dijemput paksa oleh segerombolan pria yang mengenakan setelan serba hitam di kediamannya ketika ia sedang meniup lilin di atas kue ulang tahunnya.
Ia memang sudah tahu hal ini akan tiba, ketika malam sebelum hari ulang tahunnya tiba-tiba ayahnya mengetuk pintu kamarnya berkali-kali dan ketukannya hampir terdengar putus asa untuk membangunkannya di tengah malam sebelum hari ulang tahunnya, gadis itu membuka pintu dengan semangat, namun bukannya kue ulang tahun dan terompet yang menunggunya di depan pintu.
“Lorri, kita harus bicara” ucap Timothy Barnes, air mukanya terlihat gugup.
Lorena menatap wajah ayahnya dengan bingung, dan menepi untuk membiarkan ayahnya masuk ke dalam kamarnya yang berukuran 2 x 3. Cukup ironis gadis itu harus tidur di kamar yang sempit, ketika reputasi keluarganya terkenal kaya. Ia mengisyaratkan ayahnya untuk duduk di atas tempat tidurnya.
Timothy mengedarkan pandangannya ke dalam kamar Lorena yang nyaris terlihat seperti gudang, lalu menghela nafasnya panjang sebelum membuka mulutnya “Lorri, maafkan aku selama ini tidak bisa membuatmu bahagia dan memberikanmu sesuatu yang pantas”
Lorena menundukkan kepalanya, diam-diam menyetujui ucapan ayahnya.
“Aku selalu memintamu untuk mengalah, bahkan kau tidak pernah mendapatkan apa yang kau benar-benar inginkan.” ucap Timothy sambil menggenggam kedua telapak tangan putrinya dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca.
“Lorri, aku harap ini yang terakhir, ini akan menjadi permintaanku yang terakhir”
Lorena tersentak, mengangkat kepalanya sambil berusaha mencerna apa maksud ucapan dari ayahnya. “Apa yang kau maksud, ayah?”
“Dengarkan aku Lorena, ini bukan keputusan yang bisa dengan mudah aku ambil. Aku sudah mempertimbangkan dengan baik segala resiko dan kemungkinannya”
“Ayah- aku tidak mengerti. Ini membuatku semakin khawatir, apa sesuatu terjadi padamu?”
Timothy menggeleng lembut, dan kembali mengeratkan genggamannya pada tangan mungil Lorena, “Tolong gantikan kakakmu untuk menikah dengan Damian Voronkov”
Lorena membelalak kaget, dadanya terasa sesak akibat tekanan yang ia rasakan. Lidahnya terasa kelu untuk menjawab permintaan ayahnya yang sangat konyol. Ia sudah sering diminta mengalah untuk kakaknya yang egois dan setengah waras itu. Tapi, ini yang paling menggelikan. ‘Menggantikannya untuk menikah dengan orang lain?’ benar-benar tidak masuk akal, pikinya.
Gadis itu menarik paksa kedua tangannya yang tengah digenggam ayahnya. “Aku sudah banyak mengalah untuk Evelyn, bahkan aku harus makan sisa makanannya dan tidur di tempat seperti ini.”
Timothy tertunduk lesu, lalu berkata dengan lirih “Lorena, aku bisa saja meninggalkanmu bersama ibumu hidup dalam daerah kumuh itu-”
“Tapi itukan karena ayah-”
“Diam, Lorena! Aku belum selesai” bentak Timothy, nada tingginya membuat tubuh Lorena tersentak dan gemetar.
“Iya, memang itu salahku tergoda oleh wanita murahan yang licik tanpa sadar menjebakku. Tapi, toh aku tetap bertanggung jawab atas darah dagingku sendiri. Ku bawa kau untuk tinggal disini, aku memberimu makan dan menyekolahkanmu, bahkan memberikan Barnes sebagai nama belakangmu. Beginikah caramu membalas rasa terima kasih? Kau bisa saja menjadi pelacur seperti ibumu yang menjijikan itu”
Airmata mengalir di atas pipi Lorena yang lembut, semua kata-kata yang dilontarkan ayahnya terasa tidak pantas, bukan salahnya jika ia lahir dari hasil hubungan gelap Timothy dengan wanita lain. Tapi apa yang bisa ia lakukan selain diam dan mengikuti perintahnya. Memangnya ia punya pilihan?
Lorena menarik nafas panjang dan menelan ludah dengan susah payah, sebelum menjawab kata-kata ayahnya yang menyakitkan supaya suaranya tidak terdengar menyedihkan akibat isakan yang tertahan di tenggorokannya.
“Kalau aku boleh tahu kemana Evelyn saat ini? Aku tidak melihatnya dari pagi” tanya Lorena berusaha mengalihkan pembicaraan yang mulai memanas.
“Ah.. kakakmu pergi, mungkin pergi dengan pacarnya. Dia sangat terkejut dan marah saat aku memintanya untuk menikahi Damian”
‘Begitu pula dengan aku’ gumam Lorena dalam hati.
Timothy bangkit dari tempat tidur Lorena lalu menepuk pundak kanan putrinya dengan mantap, “Lorena, aku harap kamu tidak banyak bertanya soal permintaanku. Lakukan saja, maka kau sudah jadi orang yang berguna untuk keluarga ini”
Lorena mengatupkan rahangnya dengan kuat, matanya mengekori kepergian ayahnya dari kamarnya, kemudian Timothy tiba-tiba berhenti sejenak di tengah ambang pintu dan menoleh ke belakang “Turunlah ke bawah pagi nanti, aku sudah siapkan pesta ulang tahun untukmu”
“Nona Barnes?”
Tiba-tiba lamunannya menjadi buyar, Lorena menoleh ke samping kanan dan kirinya mencari suara itu berasal.
“Tolong angkat kepalamu, kau telah bersandar di pundakku selama 30 menit. Aku tidak ingin Tuan Voronkov mencurigaiku. Kau adalah calon istrinya. Tolong berhati-hatilah” bisik pria yang sebelah kanan Lorena yang mengenakan pakaian serba hitam.Lorena menghela nafas dan memperbaiki posisinya, bokongnya terasa panas karena terlalu lama duduk diatas kursi mobil dan diapit dua orang pria asing.
“Apakah kita masih jauh?” tanya Lorena.
“Bersabarlah, kami akan memberitahukanmu ketika sampai disana” ucap pria lain yang duduk disamping pengemudi dengan ketus.
Lorena melemaskan pundaknya lalu bersandar pada kursi dan menghela nafas, ia tidak membenci ini tapi tidak menyukainya juga. Untuk sejenak ia bisa tenang tanpa mendengar hinaan dan cacian dari Evelyn atau ibu tirinya.
‘Ini sama saja seperti kabur dari kandang harimau, lalu terperangkap kandang singa.’ pikir Lorena.
Mobil itu melaju pelan, memasuki wilayah yang tersembunyi dan jauh dari penduduk. Jalan berbatu yang tidak terawat membuat mobil bergoyang-goyang, seperti sedang menari di atas permukaan yang tidak rata.
Batu-batu kecil yang tersebar di jalan membuat suara gemuruh yang tidak enak didengar, seperti suara guntur yang jauh. Lorena berusaha mempertahankan badannya di dalam mobil agar tidak condong ke pria yang berada di sisi kanan dan kirinya.
‘Jalan menuju rumah pria itu sama mengerikannya dengan kepribadiannya’ gumam Lorena dalam hati bergidik ngeri.
‘Perjanjian apa yang dibuat ayah dengan pria bengis itu, hingga harus mengorbankan keluarga sendiri’.
Saat Lorena berdebat dengan pikirannya sendiri, ia melihat sebuah bangunan besar diujung bukit, ia menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas. ‘Sebuah mansion?’ pikirnya.
Lorena terbangun sebelum matahari naik.Bukan karena suara. Bukan karena mimpi buruk. Tapi karena perasaannya sendiri. Perasaan yang terlalu penuh, terlalu dalam untuk tetap tidur.Cahaya pagi yang dingin merayap masuk lewat celah tirai, mengiris lembut dinding kamar yang senyap. Lorena memandang langit-langit sebentar, membiarkan kesadarannya membentuk kenyataan.Hari ini akhirnya tiba. Hari ketika dunia akan menyebutnya “Nyonya Voronkov.”Tangannya bergerak perlahan menyentuh perutnya yang kosong. Bukan karena lapar—tapi karena ada sesuatu yang menegang di dalam.Ia duduk di tepi ranjang. Jari-jari kakinya menyentuh karpet tebal yang terasa lebih asing dari biasanya. Semalam, kata-kata Damian masih menggema di benaknya.“Kau sudah melakukannya dengan baik. Dan itu lebih dari cukup.”Kalimat sederhana. Tapi cukup untuk membuatnya ingin berdiri lebih tegak pagi ini.Lorena mengenakan jubah satin putih untuk melapisi kamisolnya dan berjalan keluar kamar. Lorong yang biasanya hening kin
Damian berdiri di ambang jendela besar kamarnya, menatap keluar ke halaman belakang yang perlahan tenggelam dalam kabut malam.Asap dari rokok tipis yang menyala di jarinya naik perlahan, menyatu dengan udara dingin yang tidak pernah benar-benar hilang dari rumah ini.Dia tidak berbicara selama makan malam. Tidak perlu. Kehadiran Lorena malam itu sudah bicara lebih dari cukup.Ia melihat bagaimana orang-orang meliriknya.Bagaimana wanita itu menjawab pertanyaan-pertanyaan sosial itu dengan tenang.Bagaimana dia tidak menghindar dari Katya—dan bahkan tahu cara merespons tanpa harus menyerang.Dia tahu apa yang sedang dilihat semua orang: seo
Lorena tahu saat ini dia sedang melangkah ke medan yang belum pernah ia jamah sebelumnya.Rehearsal dinner yang diadakan satu hari sebelum resepsi pernikahan bukan sekadar makan malam biasa. Ini adalah ruang dimana ia diuji.Bukan hanya bagaimana cara ia berdiri dan berbicara—tetapi bagaimana ia diam, menanggapi, dan bertahan tanpa kehilangan arah.Gaun satin biru kelabu itu jatuh lembut mengikuti lekuk tubuhnya. Ia tidak mencoba menarik perhatian—tapi justru karena itu, beberapa kepala berbalik dua kali saat ia masuk ke ruang makan utama.Langkahnya tenang. Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.Meja makan besar di tengah ruangan berlapis linen putih. T
Lorena tidak bisa tidur malam itu.Udara di dalam kamar terlalu pengap, terlalu hening. Jadi ia melangkah keluar ke balkon samping yang menghadap taman belakang mansion—sepi, dingin, dan tertutup bayangan.Gaun tidurnya sederhana. Rambutnya diikat setengah. Tangannya memeluk tubuh sendiri, bukan karena kedinginan, tapi karena ia butuh sesuatu untuk dipegang.Langit di atasnya kelabu. Tak berbintang.Langkah pelan terdengar dari dalam. Lalu suara pintu balkon terbuka.Klik!Lorena tidak perlu menoleh. Ia tahu siapa itu dari caranya membuka pintu: tidak ragu, tidak meminta izin.Damian berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan kemeja
Cahaya matahari sore yang masuk dari jendela tinggi di sayap timur mansion memberikan kesan hangat dan nyaman pada ruangan yang dipenuhi dokumen pernikahan dan berkas logistik acara.Namun, Damian tidak terpengaruh oleh suasana tersebut. Ia berdiri di depan meja panjang, menatap dokumen-dokumen tersebut dengan mata yang kosong.Sergei, yang berdiri di balik meja sebelah, memecah keheningan dengan suaranya yang dalam dan tenang."Kau tidak membaca berkas-berkas itu," katanya. "Pernikahan dua minggu lagi, Damian. Kau tidak bisa terus memperlakukan ini seperti kontrak bisnis."Damian tidak membantah, tapi juga tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan bahunya sedikit, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan dokumen-dokumen tersebut. Ia menarik nafas pelan, lalu mel
Lorena tidak menyangka bahwa pemilihan gaun pengantin bisa terasa seperti pertempuran diam-diam. Bukan dengan seseorang yang hadir di ruangan. Tapi dengan seseorang dari masa lalu yang seolah sudah menyentuh semuanya lebih dulu.Ruang tengah mansion telah diubah menjadi studio kecil. Meja-meja dilapisi katalog, papan inspirasi bergambar sketsa-sketsa gaun siluet ramping, dan setumpuk fabrik—sutra Perancis, tulle Italia, renda vintage.Tiga desainer duduk di sofa kulit putih, sibuk menyesap espresso sambil menatap Lorena seperti sedang menilai kanvas kosong. Salah satu dari mereka, seorang pria tinggi dengan rambut perak yang disisir rapi ke belakang, berdiri dan menyodorkan portofolio berlapis kulit.“Tuan Damian menyukai gaya klasik. Bersih. Lengan panjang. Tidak terlalu terbuka, tapi tetap memamerkan bentuk tubuh.”Lorena menerima buku itu dan mulai membaliknya. Halaman demi halaman menampilkan gaun-gaun indah.Terlalu indah. Terlalu seragam.Di hampir setiap desain 'unggulan”'itu,