Share

Berondongku

Author: Radieen
last update Huling Na-update: 2025-09-26 19:40:43

Senin itu aku bangun lebih pagi dari biasanya, mengenakan kemeja putih dan rok hitam sederhana yang sudah kusiapkan dari tadi malam. Rambutku kuikat dengan rapi.

Terdengar salam dari pintu. Arga sudah datang menjemputku dengan Toyota Corolla Altis Hitam miliknya. Dia mengenakan kemeja kasual biru muda. Senyumnya lebar begitu melihatku keluar dari rumah.

“Wah, calon karyawan baru nih. Kok cantik banget? Jangan sampai karyawan lain jatuh cinta ya!” godanya sambil menatapku dari ujung kaki ke ujung kepala.

Aku mencubit lengannya pelan. “Jangan ngawur! Aku ini mau kerja, bukan cari jodoh.”

Dia tersenyum senang dengan jawabanku. “Iya donk, kan jodohnya uda ada di sini," sambil menyikut lenganku. "Udah yuk, jangan sampai telat di hari pertama.”

Sepanjang perjalanan, aku merasa begitu gugup tapi juga semangat di saat yang bersamaan. Arga menggenggam tanganku, seolah paham apa yang aku rasakan.

"Tenang rah, nggak ada yang perlu ditakutin. kamu uda oke banget, " ucapnya sambil mengelus punggu
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Hatiku direbut Berondong   Permohonan dari Kehancuran

    Rian menghormati perjanjian itu, dia akan menelepon tepat jam delapan malam. Tapi dia tidak akan menelepon jam delapan pagi, kecuali aku yang menginisiasi.Aku menatap layar ponsel, yang kini gelap. Aku tahu Rian sedang menunggu. Dia tahu aku sudah melihat alarm itu. Jika aku tidak menelepon, dia akan melewatkan dosisnya. Aku tahu dia akan melakukannya. Itu adalah cara dia menghukum dirinya sendiri.Tanganku terangkat ke ponsel. Hanya perlu satu sentuhan untuk memanggilnya. Satu sentuhan untuk menyelamatkan nyawanya.Tapi kemudian aku mendengar suara Ibuku dari dapur, suaranya dipenuhi rencana untuk masa depanku, rencana tanpa Rian.Aku menarik tanganku kembali. Aku menutup mataku, menelan air ludah yang terasa getir.Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan. Tidak ada video call hari itu. Aku membiarkan Rian melewatkan dosisnya. Aku membiarkan Rian menjalani hukumannya sendirian.Aku baru saja memutuskan tali kendali yang mengikat kami berdua, dan rasanya seperti aku sedang memotong urat

  • Hatiku direbut Berondong   Haruskah aku melepasmu?

    Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar Nenek yang dicat putih, menghindari tatapan mata Ibuku yang kini dipenuhi ketakutan."Farah! Jawab Ibu! Kenapa dia harus video call untuk minum obat? Obat apa itu?" Ibu mengguncang lenganku.Aku menarik napas panjang, mengumpulkannya dari sisa-sisa energi yang kupunya. Bagaimana aku harus mengatakan ini? Bagaimana aku bisa merangkai kata-kata untuk menjelaskan kehancuran yang tak terbayangkan ini?"Ibu... Rian sakit," bisikku. Aku tidak bisa menatapnya."Sakit apa? Kenapa harus rahasia? Kamu tahu, Rian punya asma, tapi ini..." Ibu berhenti, ekspresinya berubah dari marah menjadi panik. "Ini bukan penyakit yang aneh-aneh, kan, Nak? Kenapa dia begitu kurus?"Aku harus mengatakan ini. Sekarang. Aku berutang kebenaran pada Ibuku, setidaknya untuk menjelaskan mengapa aku berada dalam neraka yang dingin ini."Rian... Rian positif HIV, Bu," kataku, suara baritonku nyaris tidak terdengar.Dunia hening.Ibuku tidak bergerak. Wajahnya membeku dalam

  • Hatiku direbut Berondong   Kembalinya Ibu

    Rian tidak membantah. Dia hanya menatapku, seolah meminta izin. "Farah, tasmu...""Taruh saja di situ. Nanti Nenek bawa," potong Nenek.Rian meletakkan tasku di lantai teras. Dia menatapku sekali lagi, matanya penuh dengan kata-kata yang tidak berani ia sampaikan. "Aku... aku akan meneleponmu jam delapan.""Aku tahu," jawabku datar.Dia mengangguk, lalu berbalik dan masuk ke mobil. Aku tidak menunggunya pergi. Dengan bantuan Nenek, aku melangkah masuk ke dalam rumah yang beraroma minyak kayu putih dan teh melati, aroma tempat yang aman."Masuk ke kamar, Nak. Istirahat. Nenek buatkan jamu kunyit asam," kata Nenek, memapahku.Kamarku tidak berubah. Seprai katun yang sejuk, “Ayah mana nek?” tanyaku pelan.“Ayah merantau, nanti tiga bulan lagi dia kembali.”Ketidakhadiran ayah saat ini membuatku sedikit sedih. Aku merindukannya di saat seperti ini. Aku berjalan pelan ke arah kamarku, lemari kayu jati dan jendela yang menghadap ke taman belakang tampan tidak berubah. Ini adalah duniaku s

  • Hatiku direbut Berondong   Dalam Pengawasan

    Rian menutup matanya rapat-rapat. Bahunya bergetar. Dia tidak menangis, tapi tarikan napasnya yang berat sudah cukup menunjukkan segalanya. Dia mengangguk, sekali, dengan gerakan patah."Baik," bisiknya. "Apa pun. Apa pun yang kau katakan, Farah. Aku akan lakukan."Aku membuang muka, kembali menatap ke luar jendela, ke arah keramaian kota yang tidak peduli pada drama kecil kami.Tiga hari berikutnya berjalan dalam rutinitas yang kaku dan menyiksa. Pukul delapan pagi dan delapan malam, alarm di ponsel Rian akan berbunyi, memecah keheningan tebal di ruang rawatku.Setiap kali, dia akan berhenti melakukan apa pun yang sedang dikerjakannya. Entah itu merapikan tasku, membaca laporan dari Arga, atau sekadar menatap kosong ke luar jendela. Dia akan mengambil botol obatnya, menunjukkannya padaku, mengambil dua butir pil, dan meminumnya di bawah tatapan dinginku.Setelah itu, dia akan mengambil buku catatan kecil yang kuberikan dan menulis, "08.02. Dosis Pagi. Selesai."Dia tidak pernah menge

  • Hatiku direbut Berondong   Hidup untuk Hukuman

    Rian terdiam. Ia sibuk menata meja lipat di depanku. "Tentu saja. Tadi pagi, saat Arga datang."Aku tidak yakin. Sejak ia mengakui statusnya, Arga memastikan Rian juga menjalani protokol ART (Terapi Antiretroviral) secara ketat, dengan bantuan tim dokter khusus. Obat itu harus diminum tepat waktu, dua kali sehari, dan disiplin adalah kunci.Keesokan harinya, kecurigaanku terjawab.Saat Rian sedang tertidur pulas di sofa setelah pulang dari kunjungan singkat ke NICU, ponselnya berdering dengan nada dering khusus. Itu adalah panggilan dari Dr. Satya, dokter spesialis HIV-nya, yang Arga atur untuknya.Rian tidak terbangun. Aku meraih ponsel itu. Panggilan itu terputus, dan sebuah notifikasi pesan masuk muncul, “Reminder: Jangan lupa dosis malam Anda. Ini hari kedua berturut-turut Anda melewatkan laporan minum obat. Ini vital, Rian."Jantungku mencelos.Aku menatap Rian. Wajahnya pucat, dahi dan pelipisnya berkeringat dingin, meskipun suhu ruangan sejuk. Dia mendengkur pelan, tidur yang

  • Hatiku direbut Berondong   Dedikasi Suami

    Mendengar suaranya yang tulus dan penuh ketakutan itu, aku menyadari bahwa dia benar-benar mencintai putrinya.Rian tidak lagi bersembunyi di balik ponsel atau alkohol. Ia sibuk. Ia mengurus semua yang berkaitan dengan rumah sakit. Ia bahkan mulai membaca buku tentang merawat bayi prematur.Satu-satunya sentuhan yang kuizinkan adalah ketika ia terlelap di kursi sofa panjang dekat jendelaku. Wajahnya kurus, lingkaran hitam di bawah matanya semakin dalam karena kurang tidur. Terkadang, ia terlihat begitu muda dan rentan, mengingatkanku pada masa-masa awal kami bertemu.Aku tahu keputusanku untuk bercerai sudah final. Tetapi aku juga tahu bahwa untuk beberapa hari ini, aku butuh keberadaan Rian yang baru, Rian yang berjuang untuk Azura, yang menjaga kami.Suatu pagi, ketika perawat selesai membersihkan lukaku dan rasa sakit berdenyut hebat, aku menggigit bibirku untuk menahan erangan. Rian, yang sedang berbicara pelan di telepon, segera memutus panggilannya."Farah? Sakit sekali?" bisikn

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status