Share

Terapi

Author: Radieen
last update Last Updated: 2025-10-25 14:19:27

Aku berhenti di tangga dan tidak berbalik. "Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini... Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku."

"Berhentilah meminta maaf, Rian," kataku dengan suara dingin. "Tunjukkan padaku. Tunjukkan padaku apa yang kau maksud dengan penyesalan, atau kau akan kehilangan aku selamanya."

Aku akan melanjutkan cerita di mana Rian dan Farah memulai proses yang sulit untuk pemulihan, menjaga jarak fisik, dan mengamati apakah Rian mampu memenuhi ultimatum yang diberikan Farah.

Aku tidak menunggu balasan. Aku melangkah pergi, memastikan setiap langkahku terdengar keras, sebuah deklarasi bahwa perbatasan telah ditarik. Suara pintu kamarku yang terkunci adalah kesimpulan dari hari itu.

Aku menyandarkan diri di pintu yang kokoh, memejamkan mata. Aku tidak percaya pada "maaf". Aku hanya percaya pada tindakan.

Dari balik pintu, aku bisa mendengar langkah kaki Rian yang berat bergerak ke kamar kerjanya, lalu ke kamar mandi. Keheningan yang mengikuti terasa berbeda. Ini tera
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Hatiku direbut Berondong   Ambang Kehilangan

    Aku membeku. Seluruh darahku terasa mengalir keluar.Rian tergeletak di lantai, kaku.Seorang perawat sedang menekan dadanya, mencoba melakukan resusitasi. Wajahnya yang biasa pucat kini terlihat kebiruan, dahi dan pelipisnya basah oleh keringat dingin. Botol obat kecilnya, yang kini sangat kukenal, terlepas dan berguling ke lantai dekat tangannya yang terkulai.Dia pingsan.Dia tidak minum obatnya.Karena aku.Aku terhuyung. Ibuku segera menahan tubuhku, wajahnya memucat ketakutan."Rian!" teriakku, melepaskan diri dari pegangan Ibuku dan berlari pincang menghampirinya."Farah! Jangan! Jangan dekat-dekat!" Ibuku menarik lenganku, tapi aku tidak peduli.Aku berlutut di sebelah Rian, tepat di samping botol obatnya yang teronggok. Aku meraih tangannya yang dingin, gemetar."Rian! Bangun! Rian!"Dokter yang sedang melakukan kompresi dada menoleh ke arahku dengan ekspresi panik. "Nyonya, mohon menjauh! Ini gawat darurat! Tolong panggil sekuriti!""Dia suamiku!" seruku. "Kenapa dia di sini

  • Hatiku direbut Berondong   Permohonan dari Kehancuran

    Rian menghormati perjanjian itu, dia akan menelepon tepat jam delapan malam. Tapi dia tidak akan menelepon jam delapan pagi, kecuali aku yang menginisiasi.Aku menatap layar ponsel, yang kini gelap. Aku tahu Rian sedang menunggu. Dia tahu aku sudah melihat alarm itu. Jika aku tidak menelepon, dia akan melewatkan dosisnya. Aku tahu dia akan melakukannya. Itu adalah cara dia menghukum dirinya sendiri.Tanganku terangkat ke ponsel. Hanya perlu satu sentuhan untuk memanggilnya. Satu sentuhan untuk menyelamatkan nyawanya.Tapi kemudian aku mendengar suara Ibuku dari dapur, suaranya dipenuhi rencana untuk masa depanku, rencana tanpa Rian.Aku menarik tanganku kembali. Aku menutup mataku, menelan air ludah yang terasa getir.Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan. Tidak ada video call hari itu. Aku membiarkan Rian melewatkan dosisnya. Aku membiarkan Rian menjalani hukumannya sendirian.Aku baru saja memutuskan tali kendali yang mengikat kami berdua, dan rasanya seperti aku sedang memotong urat

  • Hatiku direbut Berondong   Haruskah aku melepasmu?

    Aku membuka mata, menatap langit-langit kamar Nenek yang dicat putih, menghindari tatapan mata Ibuku yang kini dipenuhi ketakutan."Farah! Jawab Ibu! Kenapa dia harus video call untuk minum obat? Obat apa itu?" Ibu mengguncang lenganku.Aku menarik napas panjang, mengumpulkannya dari sisa-sisa energi yang kupunya. Bagaimana aku harus mengatakan ini? Bagaimana aku bisa merangkai kata-kata untuk menjelaskan kehancuran yang tak terbayangkan ini?"Ibu... Rian sakit," bisikku. Aku tidak bisa menatapnya."Sakit apa? Kenapa harus rahasia? Kamu tahu, Rian punya asma, tapi ini..." Ibu berhenti, ekspresinya berubah dari marah menjadi panik. "Ini bukan penyakit yang aneh-aneh, kan, Nak? Kenapa dia begitu kurus?"Aku harus mengatakan ini. Sekarang. Aku berutang kebenaran pada Ibuku, setidaknya untuk menjelaskan mengapa aku berada dalam neraka yang dingin ini."Rian... Rian positif HIV, Bu," kataku, suara baritonku nyaris tidak terdengar.Dunia hening.Ibuku tidak bergerak. Wajahnya membeku dalam

  • Hatiku direbut Berondong   Kembalinya Ibu

    Rian tidak membantah. Dia hanya menatapku, seolah meminta izin. "Farah, tasmu...""Taruh saja di situ. Nanti Nenek bawa," potong Nenek.Rian meletakkan tasku di lantai teras. Dia menatapku sekali lagi, matanya penuh dengan kata-kata yang tidak berani ia sampaikan. "Aku... aku akan meneleponmu jam delapan.""Aku tahu," jawabku datar.Dia mengangguk, lalu berbalik dan masuk ke mobil. Aku tidak menunggunya pergi. Dengan bantuan Nenek, aku melangkah masuk ke dalam rumah yang beraroma minyak kayu putih dan teh melati, aroma tempat yang aman."Masuk ke kamar, Nak. Istirahat. Nenek buatkan jamu kunyit asam," kata Nenek, memapahku.Kamarku tidak berubah. Seprai katun yang sejuk, “Ayah mana nek?” tanyaku pelan.“Ayah merantau, nanti tiga bulan lagi dia kembali.”Ketidakhadiran ayah saat ini membuatku sedikit sedih. Aku merindukannya di saat seperti ini. Aku berjalan pelan ke arah kamarku, lemari kayu jati dan jendela yang menghadap ke taman belakang tampan tidak berubah. Ini adalah duniaku s

  • Hatiku direbut Berondong   Dalam Pengawasan

    Rian menutup matanya rapat-rapat. Bahunya bergetar. Dia tidak menangis, tapi tarikan napasnya yang berat sudah cukup menunjukkan segalanya. Dia mengangguk, sekali, dengan gerakan patah."Baik," bisiknya. "Apa pun. Apa pun yang kau katakan, Farah. Aku akan lakukan."Aku membuang muka, kembali menatap ke luar jendela, ke arah keramaian kota yang tidak peduli pada drama kecil kami.Tiga hari berikutnya berjalan dalam rutinitas yang kaku dan menyiksa. Pukul delapan pagi dan delapan malam, alarm di ponsel Rian akan berbunyi, memecah keheningan tebal di ruang rawatku.Setiap kali, dia akan berhenti melakukan apa pun yang sedang dikerjakannya. Entah itu merapikan tasku, membaca laporan dari Arga, atau sekadar menatap kosong ke luar jendela. Dia akan mengambil botol obatnya, menunjukkannya padaku, mengambil dua butir pil, dan meminumnya di bawah tatapan dinginku.Setelah itu, dia akan mengambil buku catatan kecil yang kuberikan dan menulis, "08.02. Dosis Pagi. Selesai."Dia tidak pernah menge

  • Hatiku direbut Berondong   Hidup untuk Hukuman

    Rian terdiam. Ia sibuk menata meja lipat di depanku. "Tentu saja. Tadi pagi, saat Arga datang."Aku tidak yakin. Sejak ia mengakui statusnya, Arga memastikan Rian juga menjalani protokol ART (Terapi Antiretroviral) secara ketat, dengan bantuan tim dokter khusus. Obat itu harus diminum tepat waktu, dua kali sehari, dan disiplin adalah kunci.Keesokan harinya, kecurigaanku terjawab.Saat Rian sedang tertidur pulas di sofa setelah pulang dari kunjungan singkat ke NICU, ponselnya berdering dengan nada dering khusus. Itu adalah panggilan dari Dr. Satya, dokter spesialis HIV-nya, yang Arga atur untuknya.Rian tidak terbangun. Aku meraih ponsel itu. Panggilan itu terputus, dan sebuah notifikasi pesan masuk muncul, “Reminder: Jangan lupa dosis malam Anda. Ini hari kedua berturut-turut Anda melewatkan laporan minum obat. Ini vital, Rian."Jantungku mencelos.Aku menatap Rian. Wajahnya pucat, dahi dan pelipisnya berkeringat dingin, meskipun suhu ruangan sejuk. Dia mendengkur pelan, tidur yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status