Share

Episode 3 : Senyuman Palsu

"Sudah kukatakan, aku tak suka dibantah," ucap Duke sembari menyentuh dagu Aricia.

Aricia tak berkutik karena mampu merasakan tekanan dari Pria itu, belum lagi kedua mata biru menyalangnya yang tajam itu. "Kurasa Anda salah sangka, Duke," sahut Aricia menunduk.

"Ha? apa maksudmu?" Duke kini meraih rahang Aricia agar menatap kedua matanya langsung. "Aku tidak suka orang yang tak menghargai lawan bicaranya!" bentak Duke menggelegar.

Ck, telingaku bisa tuli padahal aku dengar kok, batin Aricia mendumel.

"Maksudku adalah ... aku Healer yang tidak bisa menggunakan kemampuanku, kurasa mungkin Anda sudah salah menculik orang," ucap Aricia.

Duke melototkan kedua mata birunya. "Sungguhan?"

Aricia mengangguk. "Sungguhan, Tuan," jawab Aricia. Ya, habisnya setelah mati tiba-tiba di dunia antah berantah ini, mana mungkin aku bisa tahu cara mengendalikan kekuatanku, batin Aricia. Kedua mata biru Duke yang saat ini ada dihadapan Aricia berhasil membuatnya gugup karena sosok Duke memanglah tampan dan berkharisma hanya sikap pemaksanya yang menjengkelkan.

"Kalau begitu, bersihkan dirimu, makan dan istirahatlah," ucap Duke.

Kedua mata Aricia berkedip-kedip tak percaya. Semula ia kira Duke akan memaksanya bekerja jika menolak menikah dengannya. "Berarti Anda tidak akan memaksaku untuk menyetujui lamaran itu bukan?" tanya Aricia riang.

"Tidak, aku hanya menyuruhmu istirahat," sahut Duke cepat.

Aricia mendecak sebal. Jika begini ajakan pernikahannya belum batal. Aricia pun mengabaikan ambisi Duke karena dia sendiri tidak tahu mengenai dunia asing yang ia tinggali saat ini. Jangankan uang bahkan sehelai pakaian ganti Aricia tidak memilikinya.

Para Pelayan mengurus semua keperluan Aricia dari mandi, makan dan tidur. Semuanya sudah disiapkan dengan layak seperti seorang Putri Bangsawan. Aricia yang memiliki hidup susah dan luntang lantung jadi termangun, ketika ia mengenakan pakaian yang tampak mahal dan sudah disajikan makanan yang tampak lezat dan pastinya bernutrisi baik.

Aricia duduk di kursi yang empuk. Kedua tangannya memengang sendok dan garpu sementara itu dihadapannya ada seiris daging sapi yang dimasak lumayang matang, saus pedas dan kentang yang ditumbuk halus. Semuanya tercium lezat. Ketika Aricia menyantapnya, merasakan sensasi meleleh daging yang mahal dan enak.

"Ini ... sangat enak," ucap Aricia terisak. Aricia tak berhenti meneteskan air mata ketika menyantap makanannya. Hal ini baru pertama kali Aricia rasakan, karena dihidup sebelumnya ia harus bersusah payah untuk makanan sederhana bahkan hanya untuk mengisi perut saja Aricia sudah senang.

Para Pelayan yang ada di ruang makan mewah itu terkejut menatap Aricia yang makan lahap sembari menangis. Salah seorang Pelayan bahkan mendekati Aricia untuk memberikan sapu tangan. "Nona, apakah ada yang salah dari makanan Koki?" tanya Pelayan.

Aricia menggeleng. "Ini sangat enak," jawab Aricia.

"Apa yang membuatmu menangis saat makan, hm?" sahut Duke baru saja tiba.

Aricia langsung mengelap air matanya dengan sapu tangan. "Maafkan aku Tuan hanya saja makanan ini sangat enak, dan saya bersyukur bisa menikmatinya," ucap Aricia sembari tersenyum lembut. Belum lagi tatapan dari kedua mata merah lembayungnya menatap sendu.

"Kalau begitu habiskan semua makanan ini, jika perlu besok Koki akan menyiapkan hal serupa untukmu, Healer." Duke berucap sembari duduk di seberangan Aricia. Pria itu meraih gelas berisi cairan merah terang kemudian menegaknya. Pria bermata biru itu sudah mengganti zirah dengan kemeja putih yang santai bahkan rambut pirangnya tampak masih basah sehabis mandi.

Aricia melanjutkan makan malamnya dengan hening. Suara dentingan garpu dan peralatan makan yang terdengar bahkan saat Aricia sudah menyelesaikan makanannya, Aricia melirik Duke yang sedang menegak wine sembari menatapnya.

"Apa ada yang aneh dariku?" tanya Aricia. Ia menyadari jika sejak tadi Duke hanya memerhatikannya.

Duke menyandarkan punggung kekarnya pada kursi yang ia duduki. "Tidak, aku hanya tidak menyangka bisa bertemu langsung denganmu Healer," jawab Duke.

"Tuan ... aku bahkan tidak mengerti akan keberadaanku ini, kenapa Anda menginginkanku? kenapa tidak Healer yang lain?" tanya Aricia.

Duke tersenyum miring. "Kau pura-pura lupa atau sedang berlagak bodoh?" Duke memainkan ujung gelasnya.

"Apa maksudmu ...," ucap Aricia terpotong karena di sahut oleh Seorang Pria.

"Anda pasti berlagak tidak tahu, Healer hanyalah bakat suci yang dimiliki oleh seorang Pria sementara Anda mungkin jadi satu-satunya Healer perempuan di Plumeria," sahut Pria berambut keriting itu. "Hormat Yang Mulia Victor, hamba datang membawa surat perintah dari Yang Mulia Alphonse untuk menemuinya besok pagi di Istana." Pria itu berucap sembari menyodorkan nampan berisi surat pada Duke.

Aricia terdiam memerhatikan seorang Victor Frederic Ashkings yang tengah membuka surat dan membacanya. Tak lama Duke kembali menatap Aricia sembari memberikan secarik surat itu pada Pria itu. "Healer, aku akan meninggalkan kediaman ini selama tiga hari, selama itu juga kau harus mengembalikan kemampuanmu yang legendaris itu karena aku membutuhkan kekuatanmu," ucap Duke.

"Bagaimana jika aku menolaknya?" sergah Aricia.

"Jadi kau lebih suka menjadi istriku?" tanya Duke tersenyum miring.

"Baiklah, baiklah, lebih baik aku bekerja padamu daripada jadi istrimu," jawab Aricia.

Victor beranjak berdiri dari kursinya. Ia pun berjalan melintasi Aricia namun berhenti sejenak tepat disampingnya Aricia. "Bagus, kuharap aku bisa mengandalkanmu, Healer," ucapnya yang mirip seperti ancaman.

"Davis, antar Healer ke kamarnya," perintah Victor.

Aricia bergidik ngeri tapi mengangguk pelan. "Baik, Tuan." Aricia tak lagi berani-berani menatap kedua mata birunya Victor namun Aricia mendengar langkah kakinya yang semakin jauh kemudian hilang oleh pintu yang tertutup kembali.

Aricia menghela napas lega karena rasa tegangnya hilang usai Victor, Sang Duke itu pergi. "Rasanya jantungku dipaksa keluar," gumam Aricia.

"Jangan santai dulu, Healer," sindir Davis. Pria muda itu bersidekap sembari menatap Aricia dengan sinis. "Ayo cepat, aku diberi tugas untuk mengantarmu ke kamar," ketus Pria muda itu berjalan lebih dulu.

Aricia terdiam sejenak. "Kau, Davis bukan?" tanya Aricia.

"Iya, namaku Davis Elliot, tangan kanan kepercayaan Duke Victor Frederic Ashkings," jawab Davis bangga.

Aricia menghela napas kemudian ikut menyusul langkahnya. "Kalau begitu, mohon bimbingannya, Kakak Tertua," ucap Aricia memasang raut wajah datar.

"Eh? apa maksudmu Kakak Tertua?" Pria muda itu menaikkan sebelah alisnya. "Dasar Healer Gila seperti rumornya," ucap Pria itu sembari berjalan menaiki anak tangga.

Aricia hanya diam tak membalas ucapannya karena kedua mata Aricia sedang menampilkan Panel misterius lagi. Panel itu muncul menjabarkan identitas dari Davis Elliot. Dia sebenarnya budak yang dibebaskan oleh Duke kemudian dilatih menjadi seorang assasin. "Hm, menarik," gumam Aricia.

"Ck, apa sih yang kau lamunkan," ketus Davis berhenti di depan sebuah pintu kamar. "Ini kamarmu yang sudah disiapkan." Davis berucap sembari membukakan pintu untuk Aricia.

Ketika Aricia melangkah masuk, kedua matanya langsung menatap takjub. Ia terpukau pada kamar yang luas dan nyaman ini. Kasur yang luas bisa ia gunakan untuk berguling-guling, perabotan yang indah, bahkan ada sofa dan nakas meja. "Ini ... kamar tamu bukan? apa tidak berlebihan membiarkanku tidur di sini?" tanya Aricia sungkan.

"Apa maksudmu? semua isi di kamar ini jadi milikmu, Duke bahkan bilang jika perlu sesuatu tinggal katakan padanya,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status