"Apa maksudmu? semua isi di kamar ini jadi milikmu, Duke bahkan bilang jika perlu sesuatu tinggal katakan padanya," ucap Davis ketus.
Aricia mengangguk sembari tersenyum sekenanya. "Terima kasih," sahut Aricia.
Davis memutar kedua bola matanya malas sembari menghela napas. Ia pun beranjak meninggalkan kamar yang Aricia tempati tanpa kesan yang ramah. Bunyi pintu yang ditutup cukup kasar juga mengejutkan Aricia. Aricia sampai mengedip-ngedipkan kedua mata merah lembayungnya.
"Kurasa di kehidupan sebelumnya aku juga sering diperlakukan lebih buruk dari Davis," ucap Aricia seorang diri. Kedua bahu Aricia menaik bersamaan seolah tak perduli. "Ya, kita tak bisa memilih orang-orang untuk menyukaiku semudah itu, jika muda maka aku akan sangat populer," kekeh Aricia di saat-saat seperti ini masih bisa bercanda dengan santai, padahal Aricia hanya menghibur hatinya yang resah, mentalnya yang letih dan kepalanya yang banyak pikiran itu.
Aricia pun menghidupkan pelita kemudian meletakkannya di atas nakas meja. "Tubuhku gerah, lebih baik aku mandi," ucap Aricia kemudian bergegas membuka pintu kayu ukiran bunga lily. Ia menatap bak mandi dari kayu dan keran air yang tak biasa karena bisa keluar jika sembari menaik turunkan tuasnya.
Usai membasuh diri dan berganti pakaian. Aricia membaringkan diri ke ranjang kasur besar itu. "Rasanya empuk, nyaman dan layak pakai," gumam Aricia sembari berbaring telentang. Aricia teringat dengan panel misterius yang muncul. "Eh, iya, kemana perginya panel seperti gim itu?" celetuk Aricia.
Ia pun berpikir keras karena panel itu tak kunjung keluar. Aricia mulai mengingat-ingat gim yang pernah ia mainkan, siaran televisi maupun novel yang pernah ia baca. "Aha! keluarlah!" jerit Aricia, dan benar saja. Sebuah panel pun muncul di depan pandangannya.
Rincian yang sangat lengkap mengenai dirinya mulai dari kemampuan, bakat spesial, kemampuan fisik dan kelemahannya. "Aneh ya, aku tidak memiliki kelemahan?" tanya Aricia sembari memerhatikan panel itu. Rincian kekuatannya ada di level 99 untuk sihir healer, kemudian yang terendah kemampuan fisiknya di level 12.
Aricia semakin bingung karena sibuk bergulat dengan pikirannya sendiri, ia tak sadar malah langsung terlelap tidur. Besok paginya Aricia terbangun di kala fajar belum menampaki cakrawala. Hari masih terasa sejuk dan langit masih gelap. Aricia keluar dari kamar kemudian menuruni tangga. Ia membuka pintu mansion kemudian duduk di salah satu anak tangga untuk menikmati udara dingin pagi hari.
"Healer, pagi juga bangunmu?" celetuk seseorang.
Aricia terkejut kemudian menoleh mendapati Duke sedang berdiri diambang pintu dengan jubah tidur tebalnya, kemeja putih dan celana kainnya. Aricia kembali menoleh ke depan untuk menanti mentari yang hendak terbit. "Aku menanti matahari terbit," sahut Aricia.
"Kenapa kau menanti matahari terbit?" tanya Duke bernada dingin tapi penasaran.
"Bagiku mentari terbit selalu menjadi tanda dari kehidupan yang akan dimulai, aku selalu berharap hidupku masa kini dan masa depan akan lebih baik dari pada masa laluku," jawab Aricia.
Duke pun membuka jubah tidurnya kemudian menyampirkannya pada kedua bahu Aricia. Ia ikut duduk di samping Aricia sambil sama-sama menyaksikan mentari terbit. "Menarik, kau Healer yang cukup gila untuk mengangumi dewi Verdandy," ucap Duke Victor.
Sebelah alis Aricia menaik. "Siapa Dewi itu?" tanya Aricia.
"Dia itu dewi masa kini, biasanya Healer yang menggilai ilmu pengetahuan akan meninggalkan kepercayaan ini karena ilmu yang membuatnya sombong," jawab Duke. Pria itu terkekeh pelan. "Tapi secara mengejutkannya justru kau mempercayai takdir," ucap Duke Victor.
Kala mentari menaiki cakrawala Aricia kembali menoleh menatap berkas cahaya indah dari mentari. "Seperti apa aku dulu?" tanya Aricia dengan sendu. Kenyataannya ia terdampar di tubuh yang tak ia ketahui di dunia antah berantah pula.
"Healer angkuh yang berkepala besar karena menguasai semua jenis sihir penyembuhan, kau legendaris tapi kau juga yang tak percaya keberadaan Dewi dan Iblis," ucap Duke Victor.
Aricia terkekeh geli karena merasa Duke berwajah serius ini malah cukup banyak tahu darinya, terlepas ia tahu hanya dari desas-desus penduduk kerajaan. "Serius? Anda kukira orang serius yang hanya sibut dengan siasat perang, ternyata Anda suka juga dengan rumor seorang Healer rendahan seperti saya," canda Aricia dengan nada menyindir.
"Tajam juga lidahmu." Duke Victor berucap sembari beranjak berdiri. "Kalau begitu aku menantikan persetujuanmu dengan lamaran pernikahanku," ucap Duke Victor menatap Aricia dengan kedua mata biru dinginnya itu.
"Aku menolaknya," sahut Aricia ketus.
"ya, ya, ya bangun saja benteng kokohmu itu, kelak kau akan bertekuk lutut oleh cintaku." Duke Victor berucap sembari beranjak pergi masuk ke dalam Mansion.
Aricia mendecih pelan sembari beranjak berdiri. "Seperti sudi saja aku menerimanya," ucap Aricia.
Ketimpangan jadi hal yang Aricia pelajari saat pertama kali berada di dunia ini. Ia sadar jika ia hanyalah Healer buangan karena jika bukan karena bakatnya, para pelayan bahkan tak akan berani menatap kedua matanya secara langsung tapi pagi ini karena Aricia berjalan melintasi dapur, ia mendengar hinaan para pelayan kepadanya.
"Healer itu sama seperti kita, masyarakat pinggiran yang naik derajat karena ilmu sesat," cibir Pelayan sembari memasak.
"Ya, dia itu Healer gila, kenapa Duke mau menerimanya ke Mansion ini?"
"Apalagi jika bukan karena ia memakai sihir pemikat pada Duke."
Aricia tak jadi melintasi dapur melainkan diam di depan pintu sembari menguping perbincangan mereka. Aricia mendengar hinaan tentang dirinya dan juga rumor yang dibincangkan oleh Para Pelayan itu. Aricia gantian menatap sendu. Hinaan di dunia asalnya dan dunia ini masih sama-sama kejamnya.
"Kurasa dewi masa lalu, kini dan masa depan sama-sama mengutukku," gumam Aricia kemudian berlari meninggalkan Mansion.
Kedua pandangan mata merahnya sendu. Ia berjalan keluar dari perkotaan hingga berada di luar gerbang perbatasannya, sayangnya Aricia berjalan sembari melamun sehingga ia baru sadar jika mendapati dirinya ada di sebuah hamparan padang rumput nan luas seorang diri.
"Aku ... di mana?" tanya Aricia seorang diri.
"Tolong, tolong aku!" teriak suara seorang Wanita.
Aricia langsung bergegas mencari sumber suara teriakan itu. Aricia mendapati seorang wanita yang terkena gigitan ular. Ia pun bergegas mendekati kaki Wanita itu kemudian mengikat bagian atasnya dengan sobekan ujung gaunnya agar racunnya tak menyebar. "Nona, aku memang Healer tapi aku hanya Healer pemula," ucap Aricia.
"Tolong, bantu aku," ucap Wanita itu.
Aricia pun dengan ragu mengulurkan kedua tangannya. Kedua matanya terpejam. Tak ada salahnya jika dicoba, batin Aricia. "Kumohon, sembuhkan luka dan racunnya," ucap Aricia dengan asal tapi berkas cahaya terang keluar dari kedua tangannya.
Luka di kaki Wanita itu sembuh dengan sempurna. Wanita itu tersenyum pada Aricia. "Wahai Healer, katakan permintaanmu, aku Verdandy akan memberikan takdir saat ini yang kau inginkan,"
"Wahai Healer, katakan permintaanmu, aku Verdandy akan memberikan takdir saat ini yang kau inginkan," ucap Wanita itu kemudian berubah jadi cantik jelita dengan rambut peraknya yang tergerai panjang itu. Dia salah satu dari ketiga dewi Norn. Kedua mata ruby Aricia membelalak sempurna. "Apa kau membual?" celetuk Aricia. Wanita itu tertawa mendengar Aricia. "Haha, Healer ... kau lucu sekali," kekeh Wanita itu.Sebuah panel muncul di hadapan Aricia. Seperti kata Wanita itu jika dia seorang Dewi masa kini, Verdandy. Kekuatannya sihir waktu dan regenerasi. Seperti kekuatan Dewa pada umumnya, dia benar-benar dewa, batin Aricia. "Jadi apakah kau sudah menentukan apa yang kau inginkan dariku? katakanlah keinginanmu, harta, takhta atau kekuasaan," tanya Dewi Verdandy pada Aricia.Aricia tidak membutuhkan senjata dan kekuatan mandraguna. Ia hanya ingin pengetahuan mengenai dunia ini dan juga hidupnya. "Begini Wahai Dewi, aku seorang manusia yang tiba-tiba saja bangun di dunia ini ... aku tak
Sepuluh tahun lalu yang lalu para Iblis dari Hutan Rimba menyerang seluruh Dunia dengan wabah penyakit hingga hanya tersisa tiga kerajaan besar yang bertahan. Kerajaan Plumeria merupakan kerajaan para penyembuh yang ditakuti para Iblis karena Bangsa Plumeria yang berhasil menyegel Iblis namun akibatnya ribuan Penyembuh tewas karena perang menyebabkan populasi para penyembuh berkurang. Plumeria kehilangan para penyembuh murni.Aricia membaca tulisan yang muncul dari buku yang sedang ia baca, buku pemberian Dewi Verdandy. "Wah, keren seperti google versi kuno," ucap Aricia kagum. Setiap pertanyaan yang diajukannya akan dijawab melalui tulisan yang muncul di halaman lembarannya.Aricia seharian ini sibuk mempelajari kondisi dunianya saat ini usai tahu kenyataan jika sepuluh tahun lalu sudah terjadi peperangan dalam menyegel Iblis. Aricia bergidik ngeri sendiri. "Tidak, tidak, pokoknya aku tidak mau mati dengan cara mengenaskan lagi," ucap Aricia seorang diri. Tok ... Tok ...Aricia mend
Aricia bangun di esok paginya. Ia merasakan tubuhnya lebih bugar kemudian panel kembali muncul. Aricia menghela napas mengenai proses pemulihan akibat kelelahan psikis. Aricia tertawa sendiri karena ternyata dirinya mengalami dampak dari stres dan frustasi itu. "Rasanya ini konyol," gumam Aricia sendiri. Saat Aricia menurunkan kedua kakinya di lantai kayu, masih duduk di pinggiran ranjang kasur. Ia terperanjat mendapati Duke sedang duduk di bangku depan meja riasnya bahkan tengah membaca secarik kertas yang tengah ia pegang. "Duke, kenapa Anda di sini?" tanya Aricia heran. Pria itu tak menjawab namun beranjak berdiri sembari menyerahkan secarik kertas itu pada Aricia. "Tampaknya ratu dari kerajaanmu ingin bertemu," ucap Duke. Aricia meraih secarik kertas itu, ditulis secara resmi oleh seorang wanita. Tulisan yang memberi perintah untuk Aricia menghadapnya secara formal, belum lagi lambang cap bunga plumeria di ujung secarik kertas itu. Aricia menghela napas cukup panjang. "Tiga
[Plumeria, Kerajaan Para Healer]Pemberitahuan muncul dari pandangan Aricia saat tiba di depan sebuah istana megah serba permata hijau. Aricia menuruni anak tangga dari kereta kuda namun sebuah tangan dengan sigap menangkap dengan gentleman. Aricia melirik ketus Duke yang rupanya berusaha membantu Aricia menuruni tangga."Aku bisa sendiri," ketus Aricia garang. Duke Si Wajah datar menatap Aricia dengan dingin. Ia menunduk sedikit agar setara dengan telinga Aricia. "Perbaiki perkataanmu, Healer," peringatnya. Suara nan dingin dan penuh ancaman itu berhasil membuat bulu kuduk Aricia meremang. "Aricia Gracewill, Selamat datang kembali di Plumeria," ucap seorang Pria berzirah yang mendatangi Aricia. [Ksatria Rever Francieli, Ksatria suci dari Plumeria]Panel pemberitahuan itu muncul dan Pria itu menarik perhatian Aricia seperti seorang tokoh novel romansa remaja. Pria yang jadi tipikal madu menarik perhatian. Pria yang tampan rupawan dan ramah, tentu saja pandai bergaul. Pria itu menda
"Yang Mulia, Anda pasti bercanda?" cecar Aricia dengan membelalakkan kedua mata rubynya. Kedua tangannya tampak meremat ujung gaun merah marunnya itu. Aricia sebenarnya tidak tahu tapi perintah Ratu akan mengharuskannya menjauh dari Duke Ashkings, Pria Datar nan menyebalkan itu.Ratu menatap Aricia dengan tatapan tak suka. Ia memicingkan kedua mata hijau cerahnya itu. "Apa kau keberatan mengemban tugas ini?" Ratu bertanya dengan nada ketus. Aricia mengatupkan sepasang bibirnya. Ia tak mungkin terus terang mengatakan jika saat ini tengah terikat janji dengan Duke namun Aricia memikirkan siasat lain. Sebenarnya melarikan diri dari Duke Datar itu tidak buruk juga, batin Aricia. "Sebenarnya hamba sedang bekerja dengan Duke, beberapa misi yang menerima bayaran besar," ucap Aricia beralasan, sebenarnya penasaran dengan tanggapan Sang Ratu. "Jadi kau membantahku?" tanya Ratu Clara bernada sinis.Terlalu subjektif dengan menggunakan ku daripada kami, batin Aricia menimbang. Ratu jelas-jela
Seharian ini Aricia dijemur dibawah terik matahari usai berlari mengelili lapangan latihan. Aricia kelelahan karena pelatihan yang diberikan dari Duke ini lumayan menyiksa raganya yang lemah. Aricia memelankan tempo berlarinya namun dengan segera Duke yang berlari santai di sebelahnya memukur betis Aricia menggunakan sarung pedangnya."Bagaimana kau bisa lari dari terkaman hewan buas jika lelet seperti ini?" sindir Duke Victor yang tampak tidak kelelahan, padahal sudah ikut berlari degan Aricia sejak pagi. Aricia menggeleng karena ia merasa kelelahan kemudian Aricia menghentikan langkahnya. "Duke, aku lelah," ucap Aricia dengan napas tersengalnya. Duke memiringkan kepalanya kemudian mendekati Aricia. Ia mengulurkan tangannya pada Aricia, semula Aricia mengira jika Duke hendak membantunya berjalan karena Aricia merasakan kedua kakinya mulai terik dan tak seimbang.Benar saja, saat itu pula kedua pijakan Aricia tak seimbang dan sebelum ia jatuh, Duke lebih dulu menangkap tubuhnya. Ari
"Aku tidak perduli! persetanan dengan penyembuhan!""Tunggu saja kau Ular sialan!" Aricia mengendap-endap keluar dari mulut gua. Ia memengang gagang pedang yang berhasil ia ambil dari gua misterius ini. Aricia tidak tahu cara bertarung namun yang pasti tekat bertahan hidupnya begitu tinggi, tiba-tiba bayang-bayang kematiannya dulu terbesit. Langkah Aricia yang semula mantap jadi ragu. Aricia berlindung dibalik sebuah batu besar usai melihat Ular itu baru saja melahap seekor sapi betina. "Astaga, astaga, astaga, aku bisa mati instan lagi, masa aku mau mati kedua kalinya," gumam Aricia menahan suaranya.Aricia mengatur napasnya yang menderu karena panik. Aricia sampai berkeringat dingin karena Ular besar itu tampak menyeramkam. "Aku tak mau mati lagi, jadi aku harus melawan," gumam Aricia lagi.[Pedang Asvaldr ingin membuat kontrak dengan Player]"Apa? aku tak mengerti," gumam Aricia heran, pasalnya panel misterius tiba-tiba muncul di depannya.Sang Pedang yang Aricia pegang juga bers
"Seperti pesan Duke Victor, jangan membuatnya malu," ucap Davis memperingati. Pria muda itu menyodorkan peti berisi gaun yang mahal pada Aricia. Tak lama Davis tampak terdiam memerhatikan Aricia. "Kau ... atau perasaanku saja? tubuhmu lebih kurus dari sebelumnya," celetuk Davis. Aricia tersentak kaget. "Ini ... perasaanmu saja," sahut Aricia. Ia pun menyambar gaun itu dari Davis. "Aku harus bergegas agar Duke tidak marah lagi," ucap Aricia kemudian menutup pintu rapat-rapat. Aricia buru-buru menatap cermin. Ia membuka pakaiannya, kenyataannya ia bukan jadi kurus melainkan lebih ramping dengan beberapa bagian otot lengan yang terbentuk. "Hm, memang rasanya tubuhku lebih ringan," gumam Aricia. Aricia segera menggeleng usai mendengar lonceng dari gerbang mansion berbunyi, menandakan para tamu undangan mulai berdatangan. Aricia buru-buru berganti pakaian dan mengikat ekor kuda rambut hitam panjang bergelombangnya. Aricia memakai gaun panjang berwarna merah tua dengan permata hijau yan