Pot-pot bertebaran hampir memenuhi teras. Bungkus-bungkus tanaman pun tak kalah banyaknya tercecer ke mana-mana. Tampaknya orang yang membukanya terburu-buru, atau memang bukan orang yang rapi.
"Nay! Mana vitamin untuk akarnya!" teriak Sandra yang sedang membawa media tanam. "Lama-lama, punya otot juga nih," keluhnya menaruh cukup keras media tanam ke lantai. "Nay!"
"Bentar!"
Naya berjalan tergopoh-gopoh, tangannya terlebih dahulu terlihat dibandingkan dengan tubuhnya. "Ini! Bisa sabaran enggak?" tanyanya kesal.
"Lagian, cari vitamin itu aja masa lama. Kan, di atas rak tv."
Sontak saja, Naya langsung berkacak pinggang. Dengan menggerakkan tangannya, dia berkata, "Kamu pikir, tinggi rak di tv itu berapa, hah?"
"Enggak setinggi itulah," katanya. Namun, ketika Sandra menoleh ke Naya, mulutnya langsung membentuk huruf o. "Aku lupa kalau kamu terlalu tinggi."
"Minta dihajar anak ini ya." Naya mengepalkan tangannya, dan pura-pura marah pada Sandra yang membuat sahabatnya itu tertawa.
Naya tak bisa terlalu kesal dengan Sandra, karena dirinya sadar, tingginya tidak seberapa. Dia mempunyai tinggi 144, sangat tinggi bukan? Bahkan di antara teman-temannya dulu, dirinya yang paling tinggi. Teman-temannya rata-rata mempunyai tinggi sekitar 160-an hingga 170. Jangan dibayangkan, Naya sendiri pun tidak mau membayangkannya.
"Ini. Berapa takarannya?" Naya jongkok mengikuti Sandra yang sudah terlebih dulu melakukan itu.
"Aku aja. Kau duduk manis saja," katanya.
Sandra memang tahu, Naya bukan seseorang yang mempunyai tangan apik. Maksudnya, dia tidak telaten jika berurusan dengan tanaman. Ada saja yang bisa mengacaukan penanaman indah yang sudah dibayangkan Sandra. Jadi, untuk meminimalisir kejadian tak terduga, Naya harus disingkirkan terlebih dulu.
Naya hanya mengangguk. Dia menyingkir, memperhatikan bagaimana telatennya Sandra membuka plastik penutup akar, membersihkannya.
"Kemarin, mukamu kenapa ditekuk? Mau nanya, udah duluan masuk kamar."
"Jangan diingetin," sahut Naya judes.
Sandra membalikkan tubuhnya, menghadap Naya. "Jangan bilang, ucapanku benar."
"Apa?"
"Kau bertemu dengan mantanmu?"
"Enggak!" teriak Naya reflek.
Sandra mengernyitkan dahi, dan Naya melihat sudut bibir sahabatnya mulai naik dan itu pertanda tak baik.
"Aku tidak bertemu dengannya," kata Naya yang kali ini lebih pelan. "Eh, itu tanaman apa? Bunganya lucu."
"Kau tak usah belagak mengalihkan topik, enggak mempan. Jadi, kenapa kau manyun kemarin? Kau tahu kan, aku tidak akan melepaskanmu, begitu saja?"
Naya berdecak. Ia bangkit. "Aku tidak berbohong. Aku tidak bertemu dengan mantanku, tapi aku bertemu dengan sahabatnya."
"Wow, mantanmu ada?"
"Tidak!" Naya melotot. "Kalau dia ada, aku bukan hanya manyun, tapi mengeluarkan sumpah serapah."
Sandra tertawa. "Aku hanya bertanya."
"Pertanyaanmu membuatku emosi."
"Kau masih mempunyai perasaan padanya?" tanya Sandra mendadak.
Naya mengernyit. "Pertanyaan dari mana itu? Kenapa kau selalu bertanya hal yang sudah pasti?"
"Dariku, dan ya, perasaan itu sesuatu yang tidak pasti. Menurutku."
"Aku tidak menyukainya." Naya melempar pandang jauh. "Aku tak akan pernah mau menyukainya lagi. Semenjak dia berselingkuh, sejak itulah perasaanku padanya mati. Enggak akan pernah ada lagi namanya perasaan kedua, atau selanjutnya. Aku tak akan sudi."
Sandra menekan lututnya sebelum berdiri. "Aku mengerti. Namun, bisa tidak aku mengeluarkan pendapatku?"
"Apa?" Naya menarik kembali pandangannya menuju Sandra.
"Menurutku, kau belum bisa terlepas dari masa lalumu. Ini sudah berapa tahun, Naya?" tanya Sandra dengan sorot mata lembut. "Kau belum mempunyai pasangan semenjak putus dengannya bukan?"
Naya diam, dia tak punya alasan untuk menyanggah.
Melihat keterdiaman Naya, Sandra melanjutkan perkataannya. "Ketika kau bertemu dengannya, kuyakin, dia akan tertawa dan menganggapmu belum melupakannya."
"Omong kosong! Bagaimana bisa dia berpikir seperti itu?" Naya sudah tersulut emosi, bahkan hanya dengan membayangkannya saja.
Sandra mengedikkan bahu. "Siapa tahu dia berpikir seperti itu. Jadi,"
"Jadi?"
"Bagaimana sehabis ini, kita mencari cogan saja di luaran sana? Buat persiapan jika kau bertemu dengannya lagi."
"Kamu serius?" Naya kadang bertanya-tanya, kenapa dia bisa terasa nyaman dengan Sandra.
*
Tidak ada yang berani untuk menyapa laki-laki yang kini sudah melepaskan jaketnya. Mereka hanya berani untuk melirik, dan mengaguminya.
Laki-laki itu menjadi pelanggan tetap di sebuah kafe sederhana, dengan interior bertema vitage. Dulu, dia membenci kafe ini, tak ada yang menarik hatinya. Setiap dia ke sini, yang ia rasakan adalah rasa bosan yang luar biasa. Lagu yang terputar pun tidak sesuai dengan seleranya, semakin membuatnya ingin menghindari kafe itu.
Namun, sesaat setelah orang yang ternyata sangat ia cintai menghilang, kafe ini menjadi favoritnya. Benar kata orang, jangan terlalu membenci sesuatu, kalau tidak mau terjadi sebaliknya.
"Pesanannya milkshake cokelat, ya Kak."
Satu gelas milksake cokelat langsung tersaji di hadapannya bersamaan dengan kue kecil. Laki-laki itu hanya mengangguk. Setiap kali dia ke sana, pesanan itu selalu sama. Tidak pernah sekalipun ia melewatkan pesanan itu sama sekali. Karena sekarang minuman yang ia benci menjadi sebuah keharusan untuknya, agar dirinya bisa bekerja dengan tenang.
"Kebanyakan minum manis, hati-hati kadar gulamu naik," seloroh Aska yang baru saja tiba.
"Untuk apa kau ke sini?" Rama tak mau membuang-buang waktu hanya untuk meladeni ucapan Aska.
"Bertemu dengan sahabat tercintaku." Aska menopang dagunya dengan kedua tangan, mengedipkan sebelah matanya untuk menggoda Rama.
Rama yang melihat itu tak pelak bergidik, seram. "Jauhkan mukamu dariku, atau kau tak akan pulang dengan muka mulus."
"Aku bercanda." Sejenak, Rama fokus pada pelayan yang mengantarkan pesanannya. "Aku ada kabar untukmu."
Rama mengambil minumannya, menyesapnya setelah menghirup aroma minuman itu secara perlahan. Dulu gadisnya sering meminum ini, merasakan aroma itu. Sering kalai Rama berpikir--di masa itu--hal itu konyol, nyatanya dia lakukan sekarang.
"Kau dengar perkataanku? Untuk apa kau melakukan tingkah yang kau benci? Itu tak akan membuat gadis yang kau buang kembali," kata Aska pedas, yang berhasil membuat tatapan Rama berubah sangat tajam. "Apa? Aku mengatakan sejujurnya. Kau menyelingkuhinya, menganggapnya tak ada, tak suka kalau dia menghubungimu. Itu semua kenyataan."
Dada Rama terasa ada yang memukul, begitu keras, hingga ia harus menarik napas, mencari oksigen.
"Apa berita yang kau bawa?"
Rama tahu apa yang dikatakan Aska semuanya benar. Karena itu, ia ingin menakhiri percakapan itu. Dirinya tak mau lagi mengingat betapa brengseknya dia di masa lalu.
"Ada dua kabar," kata Aska yang sekarang tersenyum lebar.
"Kabar buruk."
Rama menggaruk sisi kiri bibirnya. "Kau yakin?"
"Telingamu sudah tak berfungsi dengan baik?"
"Hanya menegaskan. Kau tahu kan, kabar baik kadang membuat semuanya lebih baik."
"Kabar buruk, adalah kenyataan yang tak menaikkan harapan," balas Rama.
"Oke." Rama mengaduk minumannya. "Sekali lagi, kau yakin?"
"Aska."
"Oke." Aska menyerah, Rama sudah memanggil namanya dengan nada rendah berarti peringatan pertama. "Dia membencimu, sangat membencimu. Dia bilang, bahkan kalau kau mati, dia tidak akan peduli."
"Siapa?" Mendadak Rama merasakan perasaan yang kacau. Perutnya terasa melilit. Ada satu nama yang mendadak muncul di kepalanya. Namun, ia tak mau terlalu yakin untuk sekarang. Mengingat bagaimana Aska suka sekali membuatnya naik darah.
Aska menegak minumannya santai. "Siapa lagi, kalau bukan orang yang kau cari. Mantanmu sudah kembali. Naya. Aku bertemu dengannya, kemarin."
"Dia di sini?" Suaranya serak. "Di mana?" Rama ingin cepat-cepat bertemu dengannya.
"Aku tak tahu."
"Brengsek!"
"Aku serius. Aku tak tahu di mana tempat tinggalnya. Aku bertemu dengannya di toko buku favorit yang kau bilang waktu itu."
Rama diam. Akhirnya, setelah sekian lama dia akan bertemu dengan Naya.
"Kau tak usah senang seperti itu. Karena dia sangat membencimu."
Pernah kehilangan kepercayaan pada seseorang yang akan memenuhi hatinya, membuat Naya tidak bisa memberikan kepercayaannya dengan mudah. Seberapa kuat dia mencoba untuk kembali percaya, dia tetap gagal. Ada kecurigaan yang timbul, itu membuatnya enggan untuk membuka hati.Namun, dia sadar, mau sampai kapan dia akan seperti ini?Dia akan mencoba membuka hatinya untuk Angga. Sampai saat ini, Sandra mengatakan kalau laki-laki itu baik. Naya akan mencoba untuk mempercayainya."Mau kubelikan pastime?""Enggak. Kalau kamu mau beli, beli aja," kata Naya."Ya enggak. Aku nawarin kamu, kalau kamu enggak mau, ya buat apa juga aku beli?" kata Angga. "Kalian langsung pulang?""Iya." Sandra menjawab terlebih dulu. "Kamu balik lagi sana." Ia mengibaskan tangan, mengusir Angga."Yaelah, udah selesai dibutuhin langsung diusir ya?"Sandra mengangguk mantap, tak bersalah. "Ya emang harus diusir."Naya mendengarkan perdebata
Kaki Naya terus bergerak dengan gelisah. Keinginannya untuk kabur dari ruangan semakin meningkat. Bahkan rasa penyesalannya pun semakin besar. Naya tak tahu kalau tempat ini adalah milik dari orang yang sudah dia hapus dari kehidupannya. Dari luasnya bumi, kenapa harus ketemu sama ini orang? Menyebalkan. Naya merasakan kakinya ditendang kecil. Ketika menoleh dia menemukan Sandra sudah dalam tampang menyeramkan. "Kamu sengaja mau ketemu sama dia? Makanya milih tempat ini?" bisik Sandra. Naya tanpa sadar memutar jarinya dekat kepala. "Kamu gila?" balasnya juga dengan berbisik. Kalau dirinya tahu tempat ini milik orang itu, tak akan pernah memilih tempat ini. Mendingan agak terpencil tapi hati nyaman. Dibandingkan tempat ini, yang sudah jelas akan membuatnya makan hati sendiri. "Terus, kenapa kamu milihat tempat ini? Kamu tahu dia pemiliknya?" "Ya enggaklah. Makin gila kamu ya." "Sepertinya penjelasan
"Enggak mau nyewa ruko atau apa gitu?" Naya mulai merasa takut berjalan di sekitar rumah. Meski masih ada celah untuk melangkah tapi kalau kepala sudah oleng bisa saja tanaman di sekitar rumah dia tendang. Naya menunjuk tanaman yang mulai berkembang biak. Satu pot bertambah satu pot lagi. Begitu seterusnya. Sandra ikut mengamati. "Ya...mau nyewa gimana? Uangku belum cukup. Kamu udah mulai sebel ya?" "Enggak gitu, San. Aku takut kalau tanaman ini akan kutendang suatu hari nanti. Kau tahu, ketika kepalamu sedang pusing, dan matamu minta untuk dipejamkan?" "Ya benar juga sih." Sandra mengusap dagu. Tatapannya berkeliaran ke segala arah mencari spot. "Kupikir ini juga cukup kebanyakan." "Kebanyakan ya kebanyakan. Enggak usah pakai cukup." Naya geleng-geleng kepala dengan sikap Sandra. "Gimana? Mau nyewa ruko?" "Kan udah aku bilang. Uangku enggak cukup." "Pakai uangku juga. Aku punya cukup uang," tawar Naya. "Meski enggak banyak
"Ada undangan reunian nih. Kamu mau datang enggak?" Aska menunjukkan ponselnya di mana grup kelas mereka yang dulu terpampang. Rama hanya melirik, lalu menghadap ke depan. Terlihat jelas tidak tertarik dengan informasi itu. Ia melepas jaket, menaruhnya sembarang dan merebahkan tubuhnya di sana. "Enggak punya rumah?" sindir Rama. Dari tujuh hari dalam seminggu, Aska kerap kali ke apartemennya. Mau sebanyak apa pun dia menghina secara terang-terangan, mengusirnya tanpa belas kasihan. Tetap saja, manusia satu itu tetap datang ke sini. "Punya, di sini kan?" Aska nyengir. Rama menyugar rambut sembari menghela napas. Seakan kantor tidak cukup membuatnya emosi, dia harus mendapatkan sahabat yang ingin dibuangnya. Rama menyesal sudah memutuskan Aska menjadi sahabatnya. Ia bergegas mengambil minuman di kulkas. "Serius, enggak mau ikut?" "Enggak.Nggak penting." "Siapa tahu, mantanmu ikut. Lumayankan?" Aska men
Naya merinding mendengar itu. ia menekan kuat keinginannya untuk membanting ponsel yang sekarang dia pegang. Karena dia belum menjadi s ultan, membanting ponselnya sama saja perbuatan sia-sia. "Omonganmu menjijikan!" desis Naya. "Jangan pernah mengirimkan apa pun ke aku. Kirimkan saja semua ke pacarmu! " Kemarahan Naya semakin besar ketika mendengar tawa dari seberang telepon. Dia pikir aku sedang melucu apa? "Kamu cemburu?" tanya Rama. Mata Naya seperti akan keluar . Apakah ini laki-laki yang sama dengan laki-laki beberapa tahun yang lalu? Atau apa otak laki-laki itu kebentur sesuatu? Aneh. Naya merasa asing. "Kamu mimpi? Kalau kamu enggak mau dilaporkan ke polisi, jangan pernah melakukan itu lagi! Dasar orang gila!" teriaknya sebelum memutuskan panggilan. "Benar-benar manusia satu ini. Aku ngomong malah ketawa! Minta ditampar." "Ya udah tampar aja," sahut Sandra. "Ogah ketemu sama manusia satu itu
Semenjak kejadian Rama yang mendatanginya, Naya semakin waspada. Jika mendengar suara mobil, sering kali, dia menoleh dan menyipitkan matanya. Kepalanya bergerak untuk mencari tahu apakah Rama ada di sana. Kebenciannya pada Rama belum kunjung turun. Itu yang dia tahu ketika melihat muka manusia brengsek satu itu. Setiap kali melihatnya, emosinya mendadak muncul entah dari mana. Padahal, Naya sudah bertekad untuk bersikap elegan, dingin, bahkan sampai tidak berprikemantanan. Kening Naya mengernyit. Matanya langsung menyipit ketika mendengar suara motor yang mendekat. "Jangan bilang ke sini." Naya mendongakkan kepalanya, mengintip apakah dugaannya benar atau tidak. Kalau itu Rama, dia tidak akan menjawab sama sekali, atau dia akan memanggil Pak RT. Naya menganggukkan kepalanya berulang kali, puas akan pemikiranya. Suara motor itu berhenti di depan rumah Naya. Sontak saja, bukan hanya melongokkan kepala, Naya malah mengintip dari bali