Naya mengetikkan balasan komentar calon pembelinya. Salah satu reunitas hariannya, mengecek akun tanaman milik Sandra. Siapa tahu ada pembeli tanaman. Mereka--tepatnya Sandra, Naya hanya membantu--membuka akun itu kurang lebih satu tahun setengah, dan pengikutnya sudah banyak. Promosi yang Sandra lakukan ternyata sangat berhasil. Terlebih dengan tanaman yang akhir-akhir ini sedang banyak digandrungi. Penghasilannya lumayan.
Selain itu, Naya juga bekerja di salah satu toko kue. Lumayan untuk menimbun pundi-pundi rupiah dan menambah pengetahuannya. Dia lebih menyukai pekerjaan itu, bertemu dengan banyak orang, dan tidak fokus di depan komputer. Apalagi, teman kerjanya cukup asik.
Naya berjalan lebih cepat, dan mendorong pintu ke dalam. Suara lonceng, menjadi penyambutnya.
"Nay, datang juga kamu. Kupikir kamu enggak akan masuk hari ini," kata Rio yang tengah menurunkan kursi dari meja.
"Masuk dong. Nanti kalau aku udah kaya, baru aku enggak masuk." Naya mengikat rambutnya yang terurai menjadi ekor kuda.
"Sekarang, belum kaya? Hati-hati lho, ucapan doa."
"Buktinya masih kerja. Kamu tuh yang anak orang kaya, malah kerja di sini," ejek Naya balik.
Awal pertama kali dirinya bertemu dengan Rio. Cowok itu tidak terlihat seperti anak orang kaya. Sikapnya yang biasa, supel dan tak menggunakan barang mewah, membuat dirinya serta teman-teman lainnya menganggap Rio juga sebagai anak biasa.
Lalu, beberapa bulan lalu, ketika salah satu teman kerjanya tak sengaja melihat Rio keluar dari toko jam tangan mahal, barulah mereka menyadari, status mereka berbeda.
Tapi, tak ada yang berubah. Rio tetaplah Rio yang biasa.
Rio meminicingkan mata, sorot matanya yang serius membuat Naya mengernyitkan dahi.
"Apa?" Naya menunduk, melihat penampilannya sendiri. Tidak ada yang aneh, dia menggunakan pakaian yang sering dia gunakan. Kaos lengan panjang, dengan celana jeans berwarna hitam dan sepatu yang senada. "Kenapa kau meliahatku seperti itu?"
Naya menjadi curiga dengan Rio. Meski Rio sangat baik, kadang apa yang akan keluar dari mulutnya membuat dia merinding.
"Kau cantik. Aku semakin suka padamu."
Lihat. Dia selalu mengatakan hal ini, disetiap kesempatan. Awalnya, Naya merasa risih. Semakin ke sini makin menganggap perkataan itu hanya sebuah lelucon.
Tangannya dikibaskan. "Kau seharusnya mengatakan itu pada orang yang kau suka," kata Naya sambil bergerak menuju toilet untuk mengganti baju. "Kalau kau terus mengatakan itu pada semua orang, kau tak akan pernah mendapatkan pacar."
"Aku mengatakannya pada orang yang kusuka! Aku suka padamu!" balasnya dengan nada setengah berteriak.
Naya menggelengkan kepala. "Ya ya, kau menyukaiku, sayangnya aku tidak menyukaimu."
Jawabannya masih sama. Kalimat itu tidak akan pernah dia anggap serius--kalau pun serius--semuanya akan dia anggap hanya sebuah becandaan. Masa lalu membuatnya belajar, perkataan akan hanya akan menjadi perkataan, tak akan pernah bisa membuktikan kalau semuanya benar.
Tawa Rio membuatnya menggeleng. Benar kan? Laki-laki itu hanya becanda. Dia suka sekali menggodanya.
"Kau lucu. Inginku jadikan pacar."
Naya merotasikan kedua matanya, merasa jengah dan bosan dengan Rio.
Pintu dapur terbuka, Dion keluar di sana dengan iringan aroma yang membuat Naya berhenti melangkah. Sepertinya Dion baru saja memanggang kue yang lezat.
"Apa kalian, tidak bosan? Mengulangi hal yang sama hampir setiap hari." Dion memandangi mereka berdua bergantian. Menyurai rambutnya santai. "Aku sudah bosan."
Rio terkekeh.
"Ya bagaimana, Yon. Dia enggak mau nerima perasaan gue." Rio menunjukkan wajah sedih yang dibuat-buat.
"Kau terima saja, Nay. Kasihan dia."
"Enggak, makasih." Naya menolak mentah-mentah, tanpa perasaan.
Dion tertawa, meledek Rio. "Yo, usahamu belum keras. Tingkatkan sampai gigi empat."
"Kau pikir, motor?" delik Naya. "Udahlah, berbicara dengan kalian berdua membuatku ingin marah saja."
"Jangan cepat marah, Nay. Nanti, enggak ada yang mau," canda Dion disertai dengan tawanya.
Baru saja Naya ingin membalas, Rio sudah terlebih dulu berbicara.
"Tenang, kalau enggak ada yang mau dengannya. Aku saja."
"Terserahmu saja, Yo. Pusing aku," balas Naya yang mulai menyerah.
"Berarti aku diterima?"
"Enggak!" tolak Naya lagi.
Rio mencebik. "Kenapa kau terlihat susah sekali untuk membuka hati?"
Bibir Naya mengatup rapat, dan membentuk garis lurus. Trauma. Mungkin itu jawabannya kenapa dia terlihat enggan untuk menerima perasaan laki-laki. Apa yang sudah dia alami menjadi pengalaman yang sangat berharga untuknya. Dia tak mau menghabiskan waktu untuk berhubungan dengan seseorang yang tak serius dengannya.
Dan juga
Dia tak mau merasakan diselingkuhi lagi.
Naya bukannya tak mau berpacaran. Dia mau. Hanya saja, dia belum bisa melupakan apa yang sudah dia alami. Paling parah, dia akan mencurigai pasangannya kelak.
"Karena, kau terlihat seperti playboy," balas Naya yang kali ini benar-benar masuk ke dalam toilet. "Dan aku benci tipe laki-laki seperti itu."
*
Dia membicaranmu, seolah kau adalah orang yang paling menjijikkan. Aku tak perlu bertanya apakah dia sangat membencimu atau tidak. Sorot matanya sudah jelas, dan gestur tubuhnya juga sama. Kau sudah berbuat hal yang tak akan mudah untuk dimaafkan.
Rama menghela napas berat. Dia sudah tahu, hal ini akan terjadi. Apa yang sudah dia lakukan dulu, pasti membuat gadis itu membencinya. Bedanya, dia tidak tahu kalau rasa bencinya itu akan besar.
Kepalan tangannya semakin erat.
"Permisi, Pak."
"Ya, silakan." Rama mengatur posisinya, tegak. Dia menurunkan pandangannya ke arah laptop, berlagak sibuk. Padahal sejak tadi, pikirannya melayang pada sosok yang sangat dia rindukan.
"Salah satu karyawan mengajukan resign." Nita menaruh amplop dengan judul yang sesuai dengan perkataannya.
"Alasannya?"
Tugas Rama selalu berkaitan dengan karyawan. Pengunduran diri, atau pun pemecatan. Dia harus memeriksa dengan saksama apakah memang orang yang akan dipecat atau mengundurkan diri itu tidak akan berdampak pada perusahaan. Tentu, Rama tidak mau jika orang yang akan keluar dari perusahaan ini adalah orang yang sangat dibutuhkan.
"Karena Ayahnya meninggal, dan dia harus pulang kampung. Ibunya sudah tua."
Rama tak bisa berbicara apa-apa lagi. "Oke. Tapi, dia tidak bisa mengundurkan diri begitu saja." Dilepas kertas itu di mejanya. "Dia harus menunggu maksimal 3 bulan untuk mencari penggantinya. Nanti saya akan bicarakan ke atasan untuk lebih lanjutnya."
Nita mengangguk paham.
"Apa ada lagi?"
Nita menunduk, memainkan jemarinya dengan gugup. "Ini waktunya makan siang, Pak."
Rama menaikkan satu alisnya. Dia hanya melakukan hal itu saja. Ini bukan pertama kalinya dia melihat peandangan seperti ini. Sudah sering, tapi dia sama sekali tidak tertarik.
"Bapak mau,"
"Kalau sudah selesai, silakan keluar. Saya harus makan siang dengan tunangan saya." Rama berkata dengan datar. Menolak langsung adalah jalan yang tepat.
Gadis itu keluar dan dia bisa melihat pundaknya bergetar, mungkin menahan tangis. Apa pedulinya.
Diraih ponselnya, membaca ulang chat dari Aska. Hanya sekadar melihat, tidak lebih.
*
Kafe mungil itu terlihat cukup ramai. Beberapa orang terlihat mengantre di depan, menunggu giliran untuk masuk ke dalam sana.
Rama keluar dari mobil, dia berjinjit, mencoba mengintip karyawan di dalam sana. Kata Aska--setelah dia mencari tahu--gadisnya ada di sana. Bekerja di toko mungil ini. Rama tak heran, karena sejak dulu, gadisnya menyukai kue.
Tak mendapatkan kesempatan, Rama mendekati kumpulan orang-orang. Tak ada gadisnya di dalam sana. Kaca yang tranpsaran membuatnya mudah melihat apa saja yang ada di dalam sana.
"Awas aja tuh orang. Berani-beranina berbohong. Sialan!" Rama sudah bertekad untuk membalas Aska. Mendengar kabar mengenai gadisnya membuatnya lupa, kalau Aska, bocah tengil yang bisa kapan saja kumat.
"Permisi-permisi!"
Rama mundur beberapa langkah, dan matanya membeliak ketika melihat gadisnya yang tengah melewatinya. Dia tidak akan pernah lupa, bagaimana sosok gadis itu.
Gadis itu menghilang, masuk ke dalam toko. Rama berbalik. Dia tersenyum getir.
Gadisnya terlihat baik-baik saja.
Berbeda dengan dirinya.
Pernah kehilangan kepercayaan pada seseorang yang akan memenuhi hatinya, membuat Naya tidak bisa memberikan kepercayaannya dengan mudah. Seberapa kuat dia mencoba untuk kembali percaya, dia tetap gagal. Ada kecurigaan yang timbul, itu membuatnya enggan untuk membuka hati.Namun, dia sadar, mau sampai kapan dia akan seperti ini?Dia akan mencoba membuka hatinya untuk Angga. Sampai saat ini, Sandra mengatakan kalau laki-laki itu baik. Naya akan mencoba untuk mempercayainya."Mau kubelikan pastime?""Enggak. Kalau kamu mau beli, beli aja," kata Naya."Ya enggak. Aku nawarin kamu, kalau kamu enggak mau, ya buat apa juga aku beli?" kata Angga. "Kalian langsung pulang?""Iya." Sandra menjawab terlebih dulu. "Kamu balik lagi sana." Ia mengibaskan tangan, mengusir Angga."Yaelah, udah selesai dibutuhin langsung diusir ya?"Sandra mengangguk mantap, tak bersalah. "Ya emang harus diusir."Naya mendengarkan perdebata
Kaki Naya terus bergerak dengan gelisah. Keinginannya untuk kabur dari ruangan semakin meningkat. Bahkan rasa penyesalannya pun semakin besar. Naya tak tahu kalau tempat ini adalah milik dari orang yang sudah dia hapus dari kehidupannya. Dari luasnya bumi, kenapa harus ketemu sama ini orang? Menyebalkan. Naya merasakan kakinya ditendang kecil. Ketika menoleh dia menemukan Sandra sudah dalam tampang menyeramkan. "Kamu sengaja mau ketemu sama dia? Makanya milih tempat ini?" bisik Sandra. Naya tanpa sadar memutar jarinya dekat kepala. "Kamu gila?" balasnya juga dengan berbisik. Kalau dirinya tahu tempat ini milik orang itu, tak akan pernah memilih tempat ini. Mendingan agak terpencil tapi hati nyaman. Dibandingkan tempat ini, yang sudah jelas akan membuatnya makan hati sendiri. "Terus, kenapa kamu milihat tempat ini? Kamu tahu dia pemiliknya?" "Ya enggaklah. Makin gila kamu ya." "Sepertinya penjelasan
"Enggak mau nyewa ruko atau apa gitu?" Naya mulai merasa takut berjalan di sekitar rumah. Meski masih ada celah untuk melangkah tapi kalau kepala sudah oleng bisa saja tanaman di sekitar rumah dia tendang. Naya menunjuk tanaman yang mulai berkembang biak. Satu pot bertambah satu pot lagi. Begitu seterusnya. Sandra ikut mengamati. "Ya...mau nyewa gimana? Uangku belum cukup. Kamu udah mulai sebel ya?" "Enggak gitu, San. Aku takut kalau tanaman ini akan kutendang suatu hari nanti. Kau tahu, ketika kepalamu sedang pusing, dan matamu minta untuk dipejamkan?" "Ya benar juga sih." Sandra mengusap dagu. Tatapannya berkeliaran ke segala arah mencari spot. "Kupikir ini juga cukup kebanyakan." "Kebanyakan ya kebanyakan. Enggak usah pakai cukup." Naya geleng-geleng kepala dengan sikap Sandra. "Gimana? Mau nyewa ruko?" "Kan udah aku bilang. Uangku enggak cukup." "Pakai uangku juga. Aku punya cukup uang," tawar Naya. "Meski enggak banyak
"Ada undangan reunian nih. Kamu mau datang enggak?" Aska menunjukkan ponselnya di mana grup kelas mereka yang dulu terpampang. Rama hanya melirik, lalu menghadap ke depan. Terlihat jelas tidak tertarik dengan informasi itu. Ia melepas jaket, menaruhnya sembarang dan merebahkan tubuhnya di sana. "Enggak punya rumah?" sindir Rama. Dari tujuh hari dalam seminggu, Aska kerap kali ke apartemennya. Mau sebanyak apa pun dia menghina secara terang-terangan, mengusirnya tanpa belas kasihan. Tetap saja, manusia satu itu tetap datang ke sini. "Punya, di sini kan?" Aska nyengir. Rama menyugar rambut sembari menghela napas. Seakan kantor tidak cukup membuatnya emosi, dia harus mendapatkan sahabat yang ingin dibuangnya. Rama menyesal sudah memutuskan Aska menjadi sahabatnya. Ia bergegas mengambil minuman di kulkas. "Serius, enggak mau ikut?" "Enggak.Nggak penting." "Siapa tahu, mantanmu ikut. Lumayankan?" Aska men
Naya merinding mendengar itu. ia menekan kuat keinginannya untuk membanting ponsel yang sekarang dia pegang. Karena dia belum menjadi s ultan, membanting ponselnya sama saja perbuatan sia-sia. "Omonganmu menjijikan!" desis Naya. "Jangan pernah mengirimkan apa pun ke aku. Kirimkan saja semua ke pacarmu! " Kemarahan Naya semakin besar ketika mendengar tawa dari seberang telepon. Dia pikir aku sedang melucu apa? "Kamu cemburu?" tanya Rama. Mata Naya seperti akan keluar . Apakah ini laki-laki yang sama dengan laki-laki beberapa tahun yang lalu? Atau apa otak laki-laki itu kebentur sesuatu? Aneh. Naya merasa asing. "Kamu mimpi? Kalau kamu enggak mau dilaporkan ke polisi, jangan pernah melakukan itu lagi! Dasar orang gila!" teriaknya sebelum memutuskan panggilan. "Benar-benar manusia satu ini. Aku ngomong malah ketawa! Minta ditampar." "Ya udah tampar aja," sahut Sandra. "Ogah ketemu sama manusia satu itu
Semenjak kejadian Rama yang mendatanginya, Naya semakin waspada. Jika mendengar suara mobil, sering kali, dia menoleh dan menyipitkan matanya. Kepalanya bergerak untuk mencari tahu apakah Rama ada di sana. Kebenciannya pada Rama belum kunjung turun. Itu yang dia tahu ketika melihat muka manusia brengsek satu itu. Setiap kali melihatnya, emosinya mendadak muncul entah dari mana. Padahal, Naya sudah bertekad untuk bersikap elegan, dingin, bahkan sampai tidak berprikemantanan. Kening Naya mengernyit. Matanya langsung menyipit ketika mendengar suara motor yang mendekat. "Jangan bilang ke sini." Naya mendongakkan kepalanya, mengintip apakah dugaannya benar atau tidak. Kalau itu Rama, dia tidak akan menjawab sama sekali, atau dia akan memanggil Pak RT. Naya menganggukkan kepalanya berulang kali, puas akan pemikiranya. Suara motor itu berhenti di depan rumah Naya. Sontak saja, bukan hanya melongokkan kepala, Naya malah mengintip dari bali