Musim gugur membuat kota London terlihat seperti kota bertabur emas. Dedaunan yang hijau berubah cokelat kemerahan. London terlihat begitu anggun. Musim gugur membuat bangunan-bangunan tua yang berdiri di ibu kota negara Inggris itu nampak semakin gagah.
Carla Bons, seorang gadis berdarah Inggris-Rusia berusia dua puluh dua tahun dengan ceria memasuki aula rumah sakit St Thomas'. Salah satu rumah sakit terkenal yang terletak di pusat kota London. Berlokasi di Westminster Bridge Rd, London SE1 7EH, United Kingdom.
Mata abu-abu indahnya berkilau karena rona bahagia. Gadis dengan tinggi sekitar 170 sentimeter itu membawa seikat balon yang berjumlah sekitar lima belas buah balon dengan berbagai warna ke dalam aula rumah sakit.
Baru saja memasuki pintu aula, beberapa anak sudah berlarian menghampirinya dan mendesak gadis itu untuk memberikan balon pada mereka.
"Tenanglah! Tenang! Aku akan memberikan balon ini jika kalian tenang," Carla mencoba menertibkan beberapa anak yang terus meminta balon pada dirinya.
Mendengar ucapan si gadis bermata abu-abu, membuat anak-anak itu dengan cepat menutup mulut mereka. Tidak lagi bersuara dan merengek meminta balon di tangan Carla.
Gadis dua puluh dua tahun itu tersenyum lega karena anak-anak itu bisa tenang. Satu per satu anak yang berdiri di depannya ia beri balon. Setelah barisan bocah-bocah peminta balon itu bubar, tinggal tersisa empat buah balon di genggaman tangan si gadis cantik.
"Apa kau akan memberikan balon juga untukku," ujar seorang perawat berusia sekitar empat puluh lima tahun yang baru saja masuk ke dalam aula.
Carla tersenyum riang pada perawat itu, "Suster Jane," sapa Carla.
"Bagaimana kabarmu sayang?" tanya Suster Jane sambil memeluk Carla.
"Sangat baik. Sudah lama sekali kita tidak bertemu," jawab Carla.
"Aku sempat mengambil cuti untuk mengunjungi putriku yang baru melahirkan di Cumbria," ujar Suster Jane dengan rona bahagia.
"Wau! Itu luar biasa sekali! Selamat Suster Jane, sekarang Suster sudah menjadi seorang oma," ujar Carla dengan ceria.
"Ya, kau benar aku seorang oma sekarang dan aku mulai sadar kalau aku sudah tua," canda Suster Jane.
Carla tertawa kecil, "Jangan khawatir Suster Jane madih terlihat sangat muda." Mereka berdua pun tertawa riang setelahnya.
"Jadi, bagaimana? Apa aku mendapatkan balonku?" gurau Suster Jane kembali.
Carla tersenyum kecil, "Tentu," gadis keturunan Inggris-Rusia itu pun memberikan salah satu balon yang tersisa.
"Terima kasih darling[1], kau memang yang terbaik."
Keduanya pun setelah itu berjalan kebagian aula yang lebih depan. Mereka mencari tempat duduk yang kosong di bagian depan karena ingin menjadi penonton terdepan pertunjukan siang itu.
Setelah menemukan tempat duduk di barisan pertama, di sayap sebelah kiri. Mereka berdua pun duduk. Suster Jane menceritakan tentang cucu perempuannya yang baru lahir. Suster yang telah bekerja di rumah sakit St Thomas' lebih dari dua puluh tahun itu menceritakan betapa menggemaskannya sang cucu baru. Carla menyimak dengan penuh antusias karena dirinya sangat menyukai anak-anak.
Saat keduanya sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ada yang menarik-narik rok midi skirt berwarna putih yang sedang dikenakan Carla. Gadis itu menyadarinya dan menolehkan wajahnya untuk memeriksa siapa gerangan yang sedang menarik bagian samping roknya.
Carla menghembuskan nafas berat sambil memamerkan raut pura-pura kesal, "Hem...kau rupanya. Kenapa menarik-narik rokku?" tanya Carla pada seorang gadis kecil dengan rambut berkuncir kuda.
Gadis kecil berusia sembilan tahun itu meminta Carla untuk mendekatkan kupingnya di mulut si gadis kecil. Carla mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan permintaan aneh si gadis kecil. Tapi akhirnya, ia menurut karena gadis kecil itu terus memaksa.
Setelah si gadis kecil selesai membisikkan kata-kata yang diucapkannya, Carla tertawa geli. Gadis sembilan tahun itu pun memanyunkan bibir mungilnya karena kesal dengan tawa Carla.
"Jangan tertawa seperti itu! Aku serius, jika kau tidak ingin membantu tidak masalah, aku bisa meminta bantuan orang lain," protes si gadis kecil.
Carla menghentikan tawanya, "Baiklah...baiklah, maafkan aku. Aku tidak akan tertawa lagi. Aku akan membantumu. Sekarang tunjukkan di mana kado yang kau siapkan itu!"
"Ada di kamarku, ayo ke sana!" ajak si gadis kecil.
"Baiklah, tapi aku titipkan balon ini dulu oke," Carla pun memberikan sisa balon di tangannya pada Sustet Jane. Meminta suster itu memberikannya pada anak-anak yang meminta. Lalu, ia pamit untuk pergi sebentar bersama si gadis kecil.
"Kado apa memangnya yang sudah kau siapkan untuk dokter tampanmu itu?" tanya Carla ketika dalam perjalanan menuju kamar rawat si gadis kecil.
"Jangan banyak tanya, nanti juga kau akan tahu," jawab si gadis kecil dengan ketus. Dia sepertinya masih kesal karena Carla menertawakannya.
"Baiklah, baiklah aku akan diam Cheril," Carla mengalah.
Sesampainya mereka di kamar rawat Cheril, gadis kecil itu mengeluarkan sesuatu dari laci samping tempat tidurnya. Carla tak bertanya apa-apa, iya hanya memperhatikan tindakan si gadis kecil.
"Ini kadonya, selotip, dan guntingnya," Cheril menjuk ketiga barang itu secara bergantian.
"Cokelat? Kau ingin memberi dokter itu cokelat?" Carla memastikan.
"Iya, memangnya kenapa?" jawab Cheril yang sudah duduk di atas kasur dengan ketus.
Carla pun ikut duduk di atas kasur gadis kecil itu, "Tidak apa-apa hanya saja kau sangat romantis memberikan dokter itu cokelat," Carla berusaha memperbaiki suasana hati gadis sembilan tahun itu.
Ternyata usaha Carla membuahkan hasil. Cheril tersenyum manis mendengar pujian si gadis bermata abu-abu. Kini sikap gadis kecil itu kembali ramah pada Carla.
"Apa kau akan menuliskan surat juga di dalamnya?" tanya Carla.
Cheril nampak berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan itu, "Em...maukah kau membantuku menuliskannya? Tulisanku tidak begitu bagus," ujar Cheril dengab wajah menggemaskan.
Carla tersenyum manis, "Tentu saja. Aku akan menuliskan suratmu."
Cheril tersenyum riang. Kemudian, gadus kecil itu mengambil buku tulis dan pena dari laci yang sama, tempat ia menyimpan cokelat batangan miliknya.
Setelah itu, Carla menulis kalinat sesuai dengan yang diinginkan si gadis kecil. Barulah setelah surat ditulis, Carla mulai membungkus kado dengan kertas kado berwarna biru, bergambar putri-putri Disney.
"Lalu kapan kau akan memberikan kado ini padanya?" tanta Carla usai kado selesai dibungkus.
"Sekarang juga dan bukan aku yang akan memberikannya, ujar Cheril dengan riang.
"Lalu, siapa yang akan memberikannya?" Carla bertanya.
Cheril tersenyum imut, "Tentu saja kau."
Carla terkejut, "Ini tidak ada dalam perbincangan kita tadi. Kau hanya memintaku untuk membantumu membungkus kado bukan untuk menyerahkannya."
Cheril menunjukkan wajah memelasnya, ia menarik-narik tangan Carla, "Ayolah Carla, kau harus membantuku!" rengek Cheril.
"Tapi aku tidak mengenal dokter yang kau maksud," Carla mencoba untuk mencari alasan.
"Aku juga tidak mengenalnya," ujar Cheril dengan nada cuek.
"Apa? Bukankah dia doktermu?" Carla tak mengerti.
Cheril menggelengkan kepalanya, "Aku baru bertemu dengannya sekali di taman rumah sakit beberapa hari yang lalu."
"Apa???" Carla memekik terkejut.
"Jika kau baru bertemu dengannya sekali, lalu bagaimana kita bisa menemukannya. Jangan bilang kau juga tidak tahu namanya?" selidik Carla.
Cheril tersenyum manis, "Jangan khawatir tentang itu. Aku tahu dia dokter di bagian apa. Aku juga tahu namanya, saat berada di taman aku tidak sengaja mendengarnya berbicara dengan salah satu suster," ujar Cheril diiringi senyum kemenangan.
Carla pun menghembuskan nafas berat, "Baiklah, aku kalah. Aku akan membantumu," ucap Carla dengan pasrah.
∞
[1] sayang
Berbagai macam bunga dengan warna yang bermacam-macam pula memenuhi pembaringan terakhir Carla. Prosesi pemakaman itu telah usai sejak beberapa jam yang lalu. Namun, Sbastian nampaknya enggan untuk meninggalkan kuburan gadis penjual bunga itu.“Semua orang sudah pergi, apa kau akan tetap di sini?” tanya seorang perempuan berambut pirang. Ada beberapa luka memar di wajah perempuan itu.Sbastian mengalihkan tatapannya dari nisan bertuliskan nama Carla ke sosok yang mengajaknya berbicara, “Kau sendiri masih di sini,” ucap Sbastian dengan nada dingin.Perempuan berambut pirang itu tersenyum getir, lalu ia duduk bersimpuh di samping kuburan Carla, tepat di samping Sbastian, “Aku hanya ingin sedikit lebih lama lagi di sini. Saat dia masih hidup tidak banyak waktu yang kami habiskan bersama. Aku tidak begitu menyukainya karena sejak Mom menikah dengan Daddy Carla, Mom lebih perhatian padanya,” perempuan ber
Sbastian dengan menggunakan kursi roda membawa Carla menuju taman rumah sakit yang terlihat lenggang siang itu karena udara yang cukup dingin. Wajah Carla nampak berseri karena dapat menghirup udara segar musim dingin. Setelah tiba di taman itu, Carla meminta Sbastian untuk membantunya duduk di bangku panjang taman.Sbastian dengan hati-hati pun mengangkat tubuh gadis bermata abu-abu itu dari kursi roda dan mendudukkannya di bangku taman. Setelah duduk di atas bangku panjang taman Carla menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku itu. matanya mengamati pemandangan di sekitarnya. Sbastian ikut duduk di samping Carla. Pria itu menatap wajah pucat Carla dengan tatapan yang sulit diartikan.“Aku suka musim dingin, tapi aku lebih suka lagi musim semi,” ucap Carla sambil menatap pepohonan-pepohonan gundul yang ada disekitarnya.“Aku suka semua musim kecuali musim gugur,” ucap Sbastian sambil menatap wajah Carla lamat-lamat.Carla mengali
Sbastian berlarian di lorong-lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Carla. Saat itu dia sedang berada di salah satu ruang rawat pasiennya untuk melakukan pemeriksaan berkala. Saat dia berbincang dengan pasiennya itu, tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi. Sebuah panggilan dari sang kakak yang mengabarkan berita begitu mengejutkan.Tanpa membuang waktu dan tanpa memdulikan pasien yang sedang diperiksanya, Sbastian pun berlari dengan cepat. Ia beberapa kali bahkan harus menabrak suster atau pasien yang sedang berjalan di lorong-lorong rumah sakit St Thomas’. Dokter bermata hijau itu tidak memedulikan keadaan sekitarnya yang ia pedulikan saat ini adalah segera tiba di ruang perawatan Carla.Jarak yang sebenarnya tak begitu jauh terasa sangat jauh. Sbastian mengumpat dalam hati karena tak juga tiba di ruang perawatan Carla. Ia semakin menambah kecepatan larinya, tak peduli dengan tatapan orang-orang yang ia lewati. Tatap penuh tanda tanya dan wajah penuh keheranan di
“Kakek sepagi ini di sini?” tanya Sbastian dengan wajah terkejut ketika menemukan sang kakek sedang duduk di samping ranjang Carla.Pria tua itu mengalihkan pandangannya dari tubuh Carla pada sang cucu laki-laki, “Saat aku dirawat di rumah sakit ini, dia selalu mendatangiku pagi-pagi dan memaksaku untuk berolahraga di taman. Sekarang giliranku untuk melakukan itu. Aku ingin membangunkan gadis nakal ini,” ucap Tuan Tom dengan wajah yang dipenuhi oleh gurat kesedihan.Sbastian menghela nafas berat, ia dapat merasakan kesedihan yang dirasakan oleh sang kakek, “Carla belum bangun, Kakek bisa membujuknya untuk berolahraga saat dia bangun nanti,” ucap Sbastian sambil menatap nanar tubuh lemah Carla.Tuan Tom tersenyum getir, kini pandangannya kembali menatap Carla, “Dia terlihat sangat manis saat sedang tertidur, berbeda ketika dia sedang bangun. Saat dia bangun, dia gadis yang nakal dan pemaksa, aku merindukan gadis nakal itu
Sudah satu minggu berlalu sejak Sbastian mengetahui tentang keadaan Carla yang sesungguhnya. Tua Tom dan Evelyn kini juga telah mengetahui kebenaran itu, Sbastian mengabarkan pada kakek dan kakaknya tentang kondisi Carla keesokan harinya setelah di malam sebelumnya Suster Jane mengatakan kejujuran padanya.Sejak tahu Carla sedang terbaring koma di ruang perawatan intensif bangsal VVIP, secara berkala Sbastian mengunjunginya. Meski saat sedang berkunjung, pria bermata hijau itu hanya menatap gadis bermata abu-abu itu dalam diam. Dia tidak pernah mencoba untuk mengajak Carla berkomunikasi.Sbastian bahkan pernah semalaman menunggui Carla hanya dengan duduk diam di kursi samping ranjang Carla terbaring. Menatap perempuan penjual bunga itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suster Jane selama ini diam-diam memperhatikan tingkah si dokter mud aitu dan dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya Sbastian pikirkan dalam diamnya.Tuan Tom dan Evelyn pun secara
Sbastian melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata. Wajahnya terlihat gusar. Suster Jane yang duduk di kursi penumpang samping Sbastian menatap ngeri jalanan. Dokter muda itu menyetir mobilnya seperti orang yang kesetanan. Suster berusia hampir setengah abad itu berusaha untuk menyadarkan Sbastian dan meminta dokter bermata hijau itu untuk menurunkan laju mobilnya, namun Sbastian nampaknya tidak memedulikan hal itu.Dokter tampan itu sudah tidak sabar lagi untuk tiba di tempat gadis yang dicari-carinya selama beberapa hari belakangan ini. Setelah mengetahui hal yang sebenarnya dari Suster Jane berbagai perasaan yang tak dimengerti oleh Sbastian berkecamuk di dalam hatinya. Rasa khawatir, marah, kesal, sedih, dan kecewa beradu menjadi satu. Membuat dirinya merasa berada pada dunia yang sunyi.Mobil mewah Sbastian di parkir sembarang di depan pintu masuk utama Rumah Sakit St Thomas’. Pria itu tidak memedulikan teriakan satpam yang memintanya untuk memindahkan
Suster Jane kini duduk di dalam mobil Sbastian dalam diam sambil menatap jalanan London yang terlihat sepi malam itu. Udara terasa dingin meski salju sedang tidak turun. Sbastian melajukan mobilnya berputar-putar tak tentu arah. Dia sendiri tidak tahu tujuan sebenarnya akan ke mana. Dia hanya ingin menjadikan Suster Jane sebagai tawanannya agar suster itu mengatakan keberadaan Carla.“Besok pagi saya ada jadwal jaga. Jika saya terlambat ini semua salah Dokter,” ucap Ssuter Jane dengan nada dingin.Sbastian tak peduli dengan hal itu yang ia pedulikan saat ini adalah mengetahui tentang keberadaan dan keadaan Carla, “Jika kau ingin aku mengantarmu pulang, cepat katakan di mana Carl!” ucap Sbastian dengan tegas.Suster Jane menghela nafas berat, ia menatap Sbastian dengan tatapan kesal, “Aku tidak tahu,” ucap Suster Jane singkat.Sbastian mengalihkan pandangannya dari jalanan di depannya, kini dia menatap wajah suster itu,
Sbastian tidak dapat menunggu hingga esok hari. Dia sudah merasa sangat penasaran dengan keberadaan Carla. Pemuda bermata hijau itu sendiri bingung kenapa dirinya tiba-tiba mencemaskan Carla dan ingin tahu keberadaan gadis penjual bunga itu padahal selama ini dirinya selalu mengusir Carla jika gadis itu mengganggunya.Tidak dapat dipungkiri oleh Sbastian, sejak Carla tiba-tiba menghilang, hidupnya terasa sepi. Tidak ada lagi yang menyambutnya dengan ocehan tidak penting di pagi hari. Tidak ada lagi yang tiba-tiba datang membawakan makanan untuknya. Kehadiran Carla dalam hidup Sbastian beberapa bulan terakhir ini memang telah meramaikan dunia pria itu yang sebelumnya sepi.Sbastian memarkir mobilnya tepat di depan toko bunga milik Carla. Saat Sbastian tiba, toko itu ternyata masih menyala. Buru-buru dokter muda itu pun masuk ke dalam toko. Ia memanggil-manggil nama Carla, namun sayangnya gadis yang dipanggil itu tidak juga menampakkan diri.Seorang pegawai peremp
“Sudah cukup lama aku tidak melihatnya. Terakhir kali kami bertemu waktu pesta pernikahanku,” ucap Evelyn setelah berusaha menggali ingatannya.“Kakek terakhiar kali bertemu dengannya sekitar satu minggu lalu saat pemeriksaan rutin,” ucap Tuan Tom setelah itu.Sbastian terdiam. Wajahnya terlihat bingung. Evelyn memberikan tatapan curiganya, “Ada apa sebenarnya Sbastian? Kenapa kau jadi penasaran dengan Carla? Jangan-jangan kau mulai tertarik ya dengannya?” ledek Evelyn.Sbastian mendengus kesal. Ia memberikan tatapan tajamnya pada sang kakak, “Jangan bicara sembarangan!” ucap Sbastian dengan nada dingin.“Kalau begitu kenapa kau menanyakan hal itu?” Evelyn terlihat sangat penasaran.“Aku terakhir kali bertemu dengannya juga satu minggu lalu. Tiba-tiba saja dia menghilang. Tidak pernah lagi datang ke kantorku,” ucap Sbastian sambil menatap gelas berisi anggur yang ada di hadapan