Shue’s Company.
Aku berada di ruang kerjaku sambil memijat kedua pelipis mataku yang berdenyut sedari tadi. Laporan kosong dari Joke membuat emosi dalam diriku tidak stabil.
Sudah tiga bulan berlalu, namun tidak ada informasi sama sekali tentang Eric Cassano.
“Aku hanya tahu namanya Eric Casssano, blasteran Korean-Italia. Tunangan kecil Joa, ia pernah tinggal di bawah jembatan perbatasan Prancis, dan yatim piatu. Joa adalah malaikat penyelamatnya,” sunggutku mendikte segala ingatan yang kumiliki tentangnya.
“Aku sudah mengirim pegawaiku berkeliling dan menetap di wilayah perbatasan Prancis-Italia. Kami juga pergi ke kantor dinas untuk menelusuri daftar nama belakang Cassano dan menemukan sembilan pria bernama Eric Cassano. Namun, wajah dan usia mereka tidak sesuai
“Aku, Vittoria Joa Shue yang akan menjadi interviewer user tahap kedua hari ini,” ucapku di depan puluhan peserta lolos interview tahap pertama. Nama peserta mulai dipanggil dan masuk ke dalam ruang interview secara bergiliran. "I like your style, but I want to know about your next idea, can I?” “Err…mm… ide baru ya?” “Aha," tanggapanku berusaha memacunya. “Ide baru..mmm.." “Next.” -- “Tolong jelaskan apa inspirasimu dalam membuat ball gown ini?” “Aku adalah tamatan luar negeri dengan IPK 3.9 di NY University selama 4 tahun belajar
“Sarah, how are you baby?” ucapku sembari memeluk gadis berdarah Rusia itu. Sarah Deelin adalah model utama, dan juga seorang muse yang kujadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang busana utama. Bola matanya berwarna biru langka dan sangat indah, totally the concept for today. Aku menyambutnya dengan penuh sukacita, “Tolong dandani Sarah dengan cantik ya.” Tepat hari ini, aku sudah kembali ke Italia untuk pameran busana bertajuk "Show Me 2023" yang diadakan sekali dalam setahun. Aku telah mempersiapkan semuanya dengan matang dan mendetail. “Sean,” panggilku pada kandidat yang lulus dalam sesi interview lalu. “Are you ready?&rdq
“Misteri pembunuhan Sarah Deelin, model utama Shue Magazine.” “Vittoria Joa Shue selaku direktur dan head designer sebagai salah satu tersangka, saat ini sedang dalam tahap pemeriksaan,” Evans membacakan berita terbaru pagi ini. “Apa?” sahut Simon langsung merebut Ipad Evans. “Bukankah ia adalah klienmu?” “Gantikan shiftku hari ini ya,” tawar Simon langsung melepas jas putihnya. “Hei, hei. Aku punya janji dengan pacarku hari ini.” “Aku akan kembalikan dua kali lipat bye,” tukas Simon langsung berlari keluar sambil menelepon. * Su
Simon Ziche adalah dokter psikiater yang membantuku selama masa pemulihan, hingga aku berhasil memantapkan hatiku untuk bangkit kembali. Ia adalah anak angkat dari pemilik perkebunan kecil dekat gereja, Paman Jovis. Lady Anne memperkenalkan kami berdua, ditambah lagi Simon berdarah campuran Korean-American. Kami akan lebih mudah dalam hal berkomunikasi. Selain Lady Anne, Simon juga mengetahui masa laluku dengan baik. * “Aku tunangan Ms. Joa,” ucap Eric memperjelas kembali pernyataannya. “Oh.” “Biar aku bukakan,” tawar Simon sambil meraih kaleng minum dari tanganku. “Hanya ‘oh’?” gumam Eric yang tidak senang melihat reaksi kaku dari pria asin
Seharian mencari tanpa arah dalam tumpukkan koran, lebih parahnya kepalaku bertambah pusing setiap melihat tulisan koran dengan jarak spasi berdekatan. Aku menaikkan alis dan memejamkan mataku berkali-kali, sekedar senam ringan untuk melatih otot mata. Lady Anne datang membawakanku teh bunga hangat, “Istirahat dulu Joa, jangan terlalu memaksakan diri,” sarannya. Aku hanya tersenyum dan berterima kasih padanya, aku masih merasa asing dengan Lady Anne yang baik—takut merasa akrab. Aku sedang mencari berita tentang kematian Carina Rossi—ya, kematianku sendiri. “Tanggal 15, tanggal 16, tanggal 17, tanggal 15…16…17…18…,” gumamku berulang kali. “Kenapa tidak ada? Apa Bilson merahasiakan kematianku? Bajingan tid
Simon menawarkanku untuk mengunjungi Lady Anne, kesehatannya semakin memburuk akhir-akhir ini. Sementara sidang ketiga atas kasus Sarah Deelin masih berlangsung, karena Maurice bersikeras tidak mau mengakuinya. “Kau sudah merasa baikan?” tanya Simon seraya menyetir. “Pemandangannya indah dan udaranya sangat sejuk, aku merasa luar biasa,” terangku seraya mengulurkan tangan dari kaca jendela mobil. Bangunan tua bernuansa kayu yang bertuliskan “Love&Peace” dengan simbol salib emas sudah terlihat di depan mata. Lady Anne menyambut kami dengan teh bunga dan cookies jahe buatannya. “Joa, Simon, apa semuanya berjalan baik-baik saja?” “Masalah kantor sedikit
“Ssshh....,” desisku yang ikut ngilu melihat luka di pipi Simon saat mengoleskan obat. “Aku akan mengusir anak itu pulang sekarang juga,” dengusku kesal. Simon menahan tanganku dan menggelengkan kepala, masih memegang pipinya yang membengkak. “Kau terlalu baik, anak itu perlu diberi pelajaran,” geramku. “Lady Anne sedang berbicara padanya, biarkan saja. Lagipula, kau sudah memukulnya tadi,” tutur Simon. Aku mendengus kesal lagi. “Urus pipiku saja, okay?” timpal Simon berusaha tersenyum padaku. * Di luar, Eric sedang mengompres belakang lehernya dengan kantong es. &n
“Joa, sudah bangun?” sapa Lady Anne kala menyiapkan sarapan pagi. “Iya. Wah, masakannya indah sekali,” pujiku. “Duduklah, semuanya sudah selesai,” ucap Lady Anne sambil tersenyum hangat. “Seharusnya anda membangunkanku agar bisa membantu,” anjurku sembari mencicipi Taroz khas Italia. Lady Anne hanya menggelengkan kepala, ia tahu aku tidak pernah memasak dengan benar. Di saat bersamaan, Simon muncul dengan berpakaian rapi, “Simon, kau sudah mandi?” “Sudah, aku baru selesai menyiram tanaman depan,” ucapnya sembari menggeser kursi dan duduk di sampingku. “Kemana anak itu?” tanyaku heran. “Eric sudah berpamitan pagi-pagi, ia bilang ada telepon mendesak,” terang Lady Anne. “Ow,” sahutku tak acuh. Dipikir-pikir lagi, Eric memukul Simon karena