Share

Rea: Posisi Mantan

Kavi baru saja selesai latihan paskibra dan langsung mengambil tempat duduk di sebelah Rea. Rutinitas mereka berdua adalah Rea yang selalu menemani Kavi latihan paskibra, begitu pun Kavi yang selalu menunggui Rea saat pertemuan PMR.

"Ini apa?" tanya Kavi saat Rea memberikan selembar kertas padanya.

Rea tersenyum. "Buka, dong. Nanya mulu."

Kavi tersenyum tipis, membuka lembaran tersebut dan terkejut saat melihat sebuah sketsa rumah minimalis. "Ini kamu yang gambar?"

"Iya, dong, masa Ayah. Ayah nggak bisa gambar. Bikin garis lurus aja harus percobaan lima kali."

"Bagus banget! Rea pinter ih, gambar rumah. Ini tipe aku banget, Re. Minimalis." Rea tersenyum mendengarnya.

"Aku kan calon arsitek hebat jadi, harus bisa gambar. Mau lihat gambarku yang lain? Aku jamin kamu bakal naksir," tawar Rea. Kavi mengangguk antusias, Rea selalu bisa mengejutkannya, melebihi ekspektasi, dan tak pernah bisa dia tebak. Rea seperti sosok yang sangat jenius. Cantik, baik, pengertian, langganan piala olimpiade, dan calon arsitek pula.

"Ini disain rumah Budhe di Bandung. Rumah tingkat dua bergaya American Classic. Aku ajuin disain ini, dan dia langsung suka. Kebetulan memang selera dia banget." Rea memperlihatkan beberapa gambarnya. Kavi tersenyum bangga. Tidak sabar melihat Rea bersinar di dunianya.

Mereka asyik mengobrol, Rea menjelaskan semua yang dia tahu tentang dunia arsitek. Dan karena itu juga, Kavi menyukai dunianya Rea. Kavi langsung memutuskan untuk kuliah di jurusan yang sama. Kavi belajar tentang arsitek dan menggambar adalah kegiatan rutinnya sejak itu. Untung lah, kedua orang tuanya menyetujui minat baru Kavi.

"Aku juga buat ini. Mudah-mudahan bisa terwujud." Rea mengambil sebuah gulungan yang sejak tadi dia tahan. Menyerahkan gulungan itu kepada Kavi, membiarkan Kavi sendiri yang membukanya.

"Rumah ... kita?" Kavi mengeja tulisan yang ada di paling atas disain tersebut. Tulisan yang menjadi judul dari karya spesial Rea.

"Oh, lebih tepatnya, itu rumah impian aku. Disain, tata letak furniture, sampai bahan bangunannya udah aku rancang semua." Kavi memandang kekasihnya dengan kekaguman yang tidak bisa dia sembunyikan. Gila! Hanya itu yang bisa Kavi rapalkan dalam hati. Rea bisa sedetail itu merancangnya?

"No, ini rumah kita, Re. Kamu keren, ih!" Rea tersenyum malu saat Kavi menepuk lembut kepalanya. Memuji dengan nada yang tulus. Ah, bagaimana Rea tidak semakin jatuh cinta, hm?

"Bagus, kan,"

"It's perfect, Sayang."

"Rumah masa depan ..."

"Kita!" sambung Kavi tegas. Dalam hati, keduanya mengaminkan harapan mereka.

Lamunan Rea terputus saat dia Kavi memanggilnya, menandakan mereka sudah sampai di parkiran kampus.

Kavi membuka ikatan kain yang mengikat pinggang mereka berdua. Percayalah, mereka menghabiskan tiga puluh lima menit untuk berdebat tentang ini. Berlebihan memang.

Rea turun dari motor Kavi dan memberikan helmnya. "Makasih. Lain kali, gue nggak mau dibonceng sama lo pake ikatan kain kayak gini. Gue bukan bayi, Kav. Lo lebay amat!"

"Sama-sama, kamu itu gampang tidur, Re. Mending diikat biar aman, biar kamu nggak jatuh ke belakang karena ketiduran."

"Cukup sekali lo boncengin gue kayak gini," ucap Rea tegas. Kavi terdiam, menatap Rea yang tak sama seperti dulu.

Rea yang sekarang lebih tegas, lebih berprinsip, dan tidak sefeminim dulu. Satu-satunya hal yang masih sama adalah Rea masih suka menggambar, bahkan Rea lebih bersinar dari sebelumnya. Kavi tahu Rea adalah kebanggaan kampus. Selain posisinya sebagai anggota BEM, Rea juga sering menjuarai perlombaan yang dia ikuti.

"Re, tunggu sebentar!" cegah Kavi saat Rea mulai beranjak meninggalkannya.

"Apa lagi? Kita udah telat, Kav. Gue nggak mau kena semprot Arsan. Dia bisa lebih bawel dari emak-emak yang suka rumpi di tukang sayur." Rea gemas memandang Kavi. Kenapa, sih, dengan cowok itu?

"Bareng." Kavi menggandeng tangan Rea, membuat Rea menahan napas sejenak.

Kavi bego atau gimana, sih? Jantung gue apa kabarnya?

Sadar bahwa mereka di lingkungan kampus, Rea melepas genggaman Kavi. Cewek itu memilih berjalan agak menjaga jarak dari Kavi. Demi dirinya sendiri dan demi menjaga perasaan Kinara.

Rapat berlangsung seperti biasa, membahas lanjutan seminar kewarganegaraan. Departemen Kominfo selalu mengikuti semua kegiatan yang BEM lakukan untuk mengambil dokumentasi acara. Tidak semua yang diutus, tiap acara akan dibagi-bagi. Kebetulan acara seminar kewarganegaraan ini gilirannya Kavi dan Rea.

"Gue nggak setuju, San. Di rapat sebelumnya, kan, Dina yang kita utus buat ikut seminar ambil dokumentasi. Kenapa sekarang diganti jadi gue sama Kavi? Tanggal segitu gue punya acara penting, San." Rea memandang kesal Arsan yang seenak jidatnya mencantumkan namanya bersama Kavi dalam satu acara.

"Apa masalahnya? Karena dia anggota baru? Justru itu tugas lo buat ajarin dia, Re. Lo kenapa, sih? Nggak biasanya lo rese kayak gini. Apa lagi cuma masalah partner kerja."

"San, serius, gue udah ada acara keluarga di rumah. Ke-lu-ar-ga. Paham?" jelas Rea.

Tidak, bukan karena Rea tidak profesional dengan mencampuradukkan masalah pribadi dengan organisasi, hanya saja tanggal 29 Juni adalah tanggal penting baginya. Dia tidak akan mau melewatkannya.

"Gue mohon, San, izinin gue absen kali ini. Gue janji, event selanjutnya, gue nggak akan nolak selagi gue bisa. Lo tahu kan, dari awal lo ngajak gue gabung di sini, gue nggak pernah nerima kegiatan di tanggal segitu?" Rea memohon. Kedua tangannya mengepal di atas pangkuannya. Satu hal yang tak pernah Arsan lihat.

Rea tak pernah memohon seperti ini sebelumnya. Bekerja dengan Rea membuat Arsan sedikit banyak tahu tentangnya. Bagaimana moodnya, apa yang dia suka dan tidak dia suka, bahkan dia sebenarnya tahu bahwa Rea selalu menolak kegiatan di tanggal 29 Juni. Entah karena apa.

"Oke, Kav, lo tetap berangkat sama Dina. Re, ingat janji lo." bahu Rea melemas, diembuskan napasnya perlahan sambil tersenyum manis. Ya, senyum yang selalu dia tampilkan saat dirinya merasa sangat berterima kasih. Rea meminum air mineralnya dengan cepat.

Pukul setengah sembilan, rapat sudah selesai. Rea dan Kavi keluar paling akhir dari ruang rapat ormawa. Setelah mengunci pintu, keduanya berjalan beriringan dalam diam.

Suasana kampus sudah sepi, hanya ada beberapa satpam yang berpatroli, mengecek setiap ruangan di area kampus.

"Eh, Neng Reya, baru pulang?" sapa Pak Narno.

"Rea, Pak, bukan Reya. Nggak pakai Y. Iya, Pak, baru selesai rapat. Ini kunci ruang Ormawanya." Rea menyerahkan kunci yang sedari tadi digenggam.

"Iya, makasih, Neng Reya ... eh, Rea. Namanya susah banget sih, Neng," protes Pak Narno dengan nadabercanda. Rea sendiri tersenyum saja.

Pandangan Pak Narno beralih ke sebelah Rea, matanya menyipit dengan dahi berkerut. "Eh, ini mas yang kemarin manjat pager, kan? Yang terlambat masuk pelajaran Pak Pramana?"

Kavi cengegesan, mengusap belakang lehernya karena salah tingkah. "Ah, Bapak jangan buka aib saya, dong," ucap Kavi malu.

Rea menyipitkan matanya, lalu melayangkan pukulan ke lengan Kavi. "Lo masih suka manjat pager?"

"Ya, maaf, aku kan—"

"Telat bangun? Begadang nonton Barca? Basi."

"Re, kemarin itu pertandingan penting."

"Lebih penting dari bangun kesiangan, terus telat ngampus, manjat pager, atau kalo lagi sial lo bakal jatoh, gitu?" sela Rea sinis.

"Doanya jelek banget, Re. Eh, kamu masih inget kebiasaan aku, Re?"

Pak Narno senyum-senyum memandang dua anak muda yang sedang bertengkar. Seperti melihat drama Korea yang biasa ditonton anak bungsunya di rumah.

"Kalian kalo berantem gini, jadi inget saya sama istri saya, deh. Kami juga pas muda suka berantem, ujung-ujungnya nikah. Langgeng terus, ya, Neng Rea."

"Hah? Saya sama dia? Nggak, deh. Makan ati mulu! Saya pamit, ya, Pak. Jangan kelamaan di sini, banyak dedemitnya. Permisi, Pak." Rea tersenyum singkat, menyalami Pak Narno yang memang sudah akrab dengannya, dan langsung pergi meninggalkan Kavi.

Kavi menghela napas pelan. Menyadari itu, Pak Narno menepuk bahu Kavi, bermaksud memberinya semangat.

"Cewek memang gitu, butuh pengorbanan kalo mau ngejar mereka. Neng Rea terkenal cuek sama cowok. Mungkin punya kisah nggak enak zaman dulu, katanya orang, sih. Semangat, Mas."

Kavi tersenyum paksa. Kata-kata Pak Narno barusan seperti mencubit batinnya. Ah, yang mereka maksud sudah pasti dia. Dia lah yang mengubah Rea menjadi sosok yang tidak mudah digapai. Disusulnya Rea yang sedikit jauh di depannya.

Maaf, maaf sudah mengubah kamu sampai seperti ini.

«••CLBK••»

Rea baru selesai mandi. Sesampainya di rumah, Rea langsung masuk tanpa berpamitan dengan Kavi. Dia bahkan mengabaikan sapaan ayahnya yang kala itu menunggunya di depan pintu.

Pikirannya melayang ke beberapa saat yang lalu, di parkiran kampus.

"Re, tunggu sebentar."

Rea berbalik menatapnya. Kavi masih terengah-engah karena berlari menyusulnya ke parkiran.

"Kamu kenapa nggak mau satu acara sama aku buat seminar nanti?" tanya Kavi. Rea memandangnya aneh.

"Bukannya tadi udah gue jelasin? Gue ada acara, Kav."

"Yakin ada acara? Bukan karena harus kerja bareng sama aku?"

Rea tertawa, bukan tawa jenaka karena habis mendengar lawakan. Tawa meremehkan lebih tepatnya. Rea menatap langsung ke dalam mata Kavi.

"Karena lo? Emangnya lo siapa, hm?" Rea menaikkan sebelah alisnya.

Dua-duanya diam. Tenggelam dalam pikiran mereka sendiri. Menikmati semilir malam yang semakin dingin menembus pori-pori kulit mereka.

"Aku ... cowok yang pernah ada di hati kamu. Mantan kamu. Dan teman satu organisasi kamu sekarang."

Rea tergelak, kenapa Kavi begitu lucu malam ini sampai harus berputar-putar hanya untuk menegaskan statusnya. "Cuma mantan, kan?"

"Tahu nggak tempatnya mantan itu di mana?" tanya Rea. Kavi memandang Rea dalam diam. Menyuruhnya melanjutkan kata-katanya.

"Tuh, di sana." Rea menggerakan kepalanya ke samping, menunjuk sebuah tempat sampah menggunakan dagunya. Gadis itu tersenyum miring, memunggungi Kavi, dan memakai helmnya.

"Ngapain bengong? Udah sadar kan lo siapa dan di mana tempat lo bagi gue? Nggak usah kepedean karena gue nolak ke acara seminar bulan Juni nanti. Acara gue penting, dan itu bukan untuk ngehindarin lo."

Rea menghela napas pelan. Tangannya meraih sebuah pigura yang selalu di cium setiap pagi, sesaat setelah dia bangun tidur, dan sebelum dia berangkat kuliah.

"Bun, apa kabar? Rea kangen Bunda. Bunda bahagia di sana? Bunda udah nggak sakit lagi, kan? Sekarang Bella yang sakit di sini, Bun." Rea menunjuk dadanya. Tepat di mana hatinya terus berdenyut sakit.

"Bun, bisa tolong tanyakan pada Tuhan, kenapa hati Rea sesakit ini? Kenapa Rea harus diberi perasaan ini?" bahu Rea bergetar, sebelah tangannya yang lain menutupi mulutnya, menahan isakannya keluar. Rea tidak ingin ayahnya mendengar tangisannya. Rea tidak sampai hati membiarkan ayahnya tahu masalahnya ini. Ayahnya sudah cukup menderita dan lelah karena harus bekerja sambil mengurusnya.

Orang bilang, jangan larut dalam kesedihan. Cepatlah move on, tunjukkan kepada mantan bahwa kita baik-baik saja tanpanya. Teorinya, sih, gampang. Namun, susah saat menjalani. Bayang-bayang mantan selalu melekat, apalagi jika sudah mengukir banyak sekali momen indah bersamanya, makin susah untuk dilupakan. Tak jarang beberapa ada yang balikan dengan mantannya dengan alasan masih sangat amat cinta. Rea tidak tahu bagaimana dengannya nanti. Apa mendapat cinta baru, atau mengukir kembali cinta lamanya dengan sebuah komitmen yang baru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status