Share

Terciduk

"Pagi, Papa Ardi Diwanggani," sapa Rea dengan ceria. Wajahnya tersenyum kala menatap Ardi yang masih sibuk dengan penggorengannya.

"Pagi, Sayang. Gimana tidurnya semalam?" Ardi mencium kening Rea dengan lembut. Rea terlihat mengangguk sambil mencicipi tumis kangkung buatan papanya.

"Nyenyak seperti biasa. Agak insomnia, Yah. Hmm... enak." Rea bertepuk tangan sambil mengacungkan kedua jempolnya.

Ardi adalah koki andalan di keluarga kecil mereka. Mamanya bisa memasak, tapi, tidak seenak buatan papanya. Malah, papanya lebih sering memasak untuk mereka, baik saat sarapan atau makan malam. Toh, Ardi memang suka memasak. Berbanding terbalik dengan mamanya yang baru masak setelah Rea lahir.

"Mikirin apa, sih? Pasti mikirin Ayah, kan? Kangen ya, sama Ayah?" goda Ardi. Rea mendengus mendengarnya.

"Rugi ngangenin Ayah." Melihat Rea yang tertawa lepas membuat Ardi tenang. Dia tahu Rea semalam menangis, walaupun Ardi sendiri tidak tahu masalahnya. Yang Ardi tahu, Rea hanya butuh sendiri. Meskipun Ardi sangat ingin bertanya, Ardi masih menghargai privasi Rea. Ardi percaya bahwa Rea akan cerita padanya, seperti yang sudah-sudah.

"Jahat, ya. Ayo, sarapan dulu biar nggak telat." keduanya makan seperti biasa, diselingi obrolan ringan khas anak dan ayah. Menjadi seorang single parent memang melelahkan, tapi melihat Rea baik-baik saja adalah tujuan hidupnya. Dia ingin Rea tertawa, menyingkirkan semua yang menyakiti anak semata wayangnya, memastikan Rea hanya tahu bahagia.

Mobil Rea sudah tiba di depan gerbang kampus. Rea mencium tangan serta kedua pipi ayahnya. "Rea masuk, ya, Yah. Jangan lupa makan siang, semangat kerjanya!" dua tangan Rea terkepal seakan memberi semangat untuk pria yang paling dia cintai.

"Ah, Ayah jadi nggak mau pisah sama kamu, Nak," ucap Ardi mendramatisir sambil mengacak tatanan rambut Rea.

"Ayah, ih! Rambut Rea berantakan. Nanti kalau Rea kucel, terus nggak ada yang mau sama Rea gimana? Ayah mau tanggung jawab?"

Ardi terkekeh pelan, tangannya kembali merapikan rambut Rea. "Anak Ayah kan cantik, masa sih, nggak ada yang mau? Mantan tercinta kamu aja masih mau, kok."

Rea mendelik sambil mencubit lengan ayahnya. "Apaan, sih? Memang siapa mantan tercinta Rea? Nggak ada, ya! Sudah ke laut."

"Itu si Kavi? Hahaha... sana masuk. Ayah juga sudah mau telat nih. Nanti Ayah dipecat, lho." mendengar itu, Rea mencibir.

"Karyawan mana yang berani mecat bosnya? Rea turun, ya? Bye, Ayah. Assalamu'alaikum," pamit Rea sambil mencium tangan Ardi sekali lagi. Ardi tersenyum sambil menjawab salam, menatap Rea yang perlahan berjalan menjauh. Ardi hampir meneteskan air mata melihat anak gadisnya sudah semakin dewasa. Dia hanya punya waktu beberapa tahun lagi untuk bersama Rea sebelum dia diserahkan kepada laki-laki lain yang lebih berhak.

Ah, memikirkan Rea akan meninggalkannya membuat mood Ardi langsung turun. Jujur saja, dia masih belum siap melepas putri semata wayangnya itu, bahkan untuk Kavi sekalipun.

"Jangan cepat menikah, ya, Nak. Ayah masih mau sama kamu lebih lama lagi."

Rea tersenyum membalas sapaan beberapa orang yang berpapasan dengannya. Ada yang memang Rea kenal, bahkan ada yang tidak. 

Mungkin adik kelas, pikirnya. Rea cukup terkenal di kampus, terutama untuk Fakultas Seni. Menjadi murid kebanggaan kampus dari jurusan arsitektur adalah poin plus Rea. Namun, Rea tidak sombong. Dia dengan senang hati membagi ilmu kepada adik tingkatnya. 

Mata kuliahnya dimulai satu jam lagi. Dosennya mendadak memundurkan jam kelas karena sebuah urusan penting. Dan di sini lah Rea, duduk di kantin dengan Ara dan beberapa anggota BEM.

"Jangan merokok di sekitar gue," tegur Rea saat Rama datang dengan asap rokok yang mengepul.

"Yaelah, cemen amat lo, Re. Pakai masker sana," ledek cowok itu enteng. Rea langsung memukul lengan Rama kuat-kuat.

"Bukan masalah cemen, asep lo membahayakan orang lain. Kalau mau mati, ya sendiri aja, jangan ngajak orang lain." Rama mendengus lalu mematikan puntung rokoknya yang sudah pendek.

Rea memberikan minum kepada Rama, dan dia menerimanya. "Makasih, Bu Wakil."

"Gimana kabar proposal?" tanya Rea menatap Arsan yang sibuk bermain game online.

"Aman, Re," jawab Arsan tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

Biasanya Rea akan mampir ke Ormawa hanya untuk bersantai, tidur-tiduran, atau numpang makan snack. Arsan bilang, sekalipun tidak ada rapat, usahakan berkumpul di Ormawa demi menjaga kekompakan mereka. 

"Jabatan kalian dua tahun di sini, mengemban banyak tugas dan tanggung jawab yang akan menjadi panutan seluruh mahasiswa. Tolong bantu jaga kekompakkan, kalau ada masalah, jangan dipendam. Utarakan, dan kita cari solusinya bareng-bareng. Ketika kalian masuk ke lingkup BEM khususnya Kominfo, detik itu juga kalian menjadi keluarga," ucap Kak Gio, mantan kadep Kominfo tahun lalu.

Saat Rea sedang asyik dengan aplikasi Instagramnya, Ara menyikut lengan Rea membuat gadis itu menatapnya. "Apaan, sih?"

"Mantan lo," ucap Ara tanpa vokal sambil menunjuk arah datangnya Kavi.

Rea menolehkan kepalanya ke samping, mencari keberadaan Kavi. Benar saja, Kavi sedang berjalan ke arah mereka, tapi, dia tidak sendiri. Ada Kina di sampingnya. Rea langsung menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

"Wah, Kav, baru jadi mahasiswa sudah dapat gebetan saja kau," ucap Marham dengan logat Bataknya yang kental.

Kina dan Kavi tampak tersenyum santai. Keduanya sangat cocok di mata Rea. Ah, hatinya kembali berdenyut. Rea ingin sekali menenggelamkan diri di kubangan sana.

Dua pasangan itu mengambil tempat duduk di samping Arsan yang duduk di depan Rea. Laki-laki itu sudah mengalihkan pandangannya tepat saat Kavi dan Kina sampai di meja mereka.

"Lo kenapa, Re?" tanya Arsan. Rea memang jarang bicara, tapi, Arsan merasa hawa di sekitar gadis itu sedikit berbeda. Tampak murung sejak Kavi datang.

"Nggak apa-apa. Memang gue kenapa?" Rea bertanya balik. Ara tampak menatapnya sejenak.

"Eh, Mar, beliin batagor sana. Buat gue sama Rea. Dia belum sarapan katanya," celetuk Ara tiba-tiba. Rea melotot ke arah sahabatnya itu.

"Kenapa nggak sarapan, Re?" tanya Kavi. Beberapa orang di meja tersebut langsung menatap Kavi dan Rea bergantian. Mungkin Rea tahu apa yang mereka pikirkan. Apalagi kalau bukan tentang, Ada hubungan apa Rea dan Kavi?

Rea menggeleng pelan, menyentuh pipinya, mengisyaratkan bahwa dirinya sariawan, yang tentu saja itu hanya akal-akalan Rea. 

"Buruan, Mar, beliin batagor," desak Ara lagi. 

Marham menggerutu, "Mar, Mar, Mar, memangnya gue Marimar? Tunggu di sini ... Ferguso." 

Laki-laki itu pun pergi membelikan makanan untuk Ara dan Rea. Yang lain terkikik geli. Marham memang selalu sensi jika ada yang memanggil nama depannya saja. Dia lebih suka disapa Ham dibanding Mar. Lebih terdengar seperti Marimar dibanding Marham.

"Re, balik kampus jam berapa?" tanya Arsan.

"Jam dua. Kenapa?"

"Jangan balik dulu, tunggu gue di Ormawa." Setelah mengatakan itu, Arsan segera bangkit dan berjalan keluar kantin diikuti siulan menggoda dari teman-temannya.

"Ehem, ada apa ini?"

"Pak ketu sama bu wakil ada main belakang apa?"

"Gue udah curiga dengan kedekatan mereka yang nggak biasa, sih."

"Akankah terjadi kisah cinta di antara dua pemangku jabatan departemen kominfo ini? Sejak kapan kisah ini terjalin? Apakah Edrea Lovata dan Anthony Arsan bisa hidup bahagia? nantikan kisah selengkapnya di akun nyinyir Universitas Suryadharma." Tarra berbicara bak presenter gosip ternama di TV membuat teman-temannya semakin menggoda Rea.

Ara ikut tersenyum sambil menyikut lengan Rea beberapa kali. Dari tatapannya saja jelas sekali bahwa Ara bahagia ikut menjadi sumbu dalam meledek Rea dan Arsan.

Marham kembali dengan tiga bungkus batagor. Dua untuk Rea dan Ara, satu untuk dirinya sendiri.

"Perut gentong! Lo tadi sudah makan dua porsi siomay, kan?" tanya Anggit sambil menepuk perut Marham yang sedikit buncit. Laki-laki berkacamata itu tertawa garing.

"Lagi bentar matkul Matematika Diskrit. Gue butuh asupan lebih buat tenaga dan otak gue. Biar sinkron," ucapnya.

"Saking seringnya lo di Fakultas Seni, gue sampai lupa kalau lo anak IT. Balik sana ke habitat lo," usir Gilang. Marham mendelik saat acara makannya yang sakral ini diganggu.

"Diem aja lo, Lang." Marham melirik sekilas jam di tangan lalu melanjutkan makannya.

Obrolan kembali mengalir, banyak yang anggota BEM itu bahas. Mulai dari hal remeh tentang gosip selebritis hingga masalah politik negara.

Dari riuh bisingnya obrolan hingga canda tawa yang meledak, tak ada satu pun dari mereka yang menyadari tatapan sendu yang ditujukan untuk Rea. Yang mengisyaratkan banyak hal yang coba ia sembunyikan selama ini. 

«••CLBK••»

"Jadi, ada apa?" tanya Rea saat dia dan Arsan sudah ada di ruang Ormawa. Sesuai janji, keduanya bertemu di sini. Untunglah, hanya ada mereka da beberapa anggota Kominfo.

"Tentang tawaran lomba kemarin, gimana?"

Rea mengernyit. Berpikir lomba apa yang pernah Arsan tawarkan padanya. "Pardon?"

"Ah, lemot! "Arsan menyentil kening Rea. "Lomba Sepekan Arsitektur kemarin, Edrea Lovata," ucap Arsan gemas.

Rea mengangguk, tanda dia sudah ingat. "Oh, itu, jangan gue deh, San. Sibuk."

"Sibuk ngapain lo, Bocah? Kerjaan lo cuma bolak balik Ormawa doang."

"Ya ... kan gue bantu lo ngontrol anak-anak," elakan Rea pada dasarnya tidak akan pernah mempan di hadapan Arsan. Laki-laki itu sudah sangat hapal tabiat wakil ketuanya ini.

"Anak mana yang mau lo kontrol? Semua udah ada di bawah kendali gue. Kecuali ..." Arsan menggantung kata-katanya, mencoba menarik fokus Rea padanya. Gadis itu menaikkan sebelah alisnya.

Ini kenapa, nih? Kok tiba-tiba gue dugun-dugun begini?

"Kecuali?" tanya Rea. Netra matanya mendadak bergerak liar. Ke kiri, ke kanan, ke mana pun asal tidak bertabrakan langsung dengan iris legam Arsan. Bukan tanpa alasan Arsan didapuk menjadi ketua, kemampuannya dalam mengintimidasi lawan benar-benar jempolan.

Arsan tersenyum miring, tangannya terangkat untuk menepuk sekilas kepala Rea. Mata gadis itu mengerjap beberapa kali, mungkin mencoba meyakinkan diri bahwa yang di hadapannya ini adalah Anthony Arsan, Ketua Departemen Komunikasi, sekaligus atasannya.

"Gue balik, ya? Jangan kelamaan di kampus, walaupun lo nggak menggiurkan sama sekali, pasti ada aja yang mau nyulik dan jual lo. Minimal buat jadi pembantu di rumah mereka." Tawa Arsan pecah saat dia sudah keluar dari ruangan. Sungguh, dia tidak bisa menahan diri setelah melihat wajah bengong wakilnya.

"What the? Arsan kampreeeet," teriak Rea kesal setelah sadar dari lamunannya. Dia ingin sekali mengejar Arsan, tapi laki-laki itu pasti sudah jauh. 

Dipandanginya seluruh ruangan yang sudah kosong tanpa penghuni. Tinggal dia sendiri ternyata. Rea tidak tahu berapa lama dia di sini, karena rasanya, tadi masih ada orang selain dia dan Arsan.

Saat sedang merapikan tas, kata-kata Arsan tadi langsung terngiang di kepalanya. Benarkah ada yang mau menculiknya? Jika diingat-ingat, beberapa rekannya yang pernah bermalam di sini, selalu mendengar suara-suara aneh.

Pengen banget nggak percaya, tapi ... bisa aja, kan?

Brukkk...

"Aaaa! Jangan culik saya. Saya belum lulus kuliah. Saya anak bodoh, nggak bisa ngapa-ngapain. Please, jangan culik saya," teriak Rea dengan panik dan takut. Tubuhnya sudah meringkuk di lantai, sambil terus merapalkan mantra-mantra yang entah apa itu.

"Rea? Lo ngapain?" tanya seseorang yang saat ini sedang berdiri di ambang pintu. Mendengar ada orang selain dirinya, gadis itu langsung mendongak, menatap seseorang yang kini sedang menahan tawa, siap meledak kapan saja.

"Lo?"

"Pfftt... Hahaha..."

Dan saat ini, ingin rasanya Rea menenggelamkan diri ke kolam ikan di samping ruang kesehatan. Rasanya dia sudah tidak punya muka lagi.

A/N:

Bab 5, nih.

Kira-kira siapa, ya, orang yang mergokin Rea sedang teriak ketakutan di Ormawa?

Sampai bertemu lagi di chapter depan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status