'Kenapa tiap kali memikirkannya, firasatku mengatakan kalau ada sesuatu yang pria itu rencanakan?'
***
"Hah? Adam pergi ke fakultas musik pagi ini?" ujar Linda dengan nada tak percaya sembari sibuk merapikan tatanan rambutnya dengan sebuah sisir.
"Iya. Pagi tadi ramai sekali. Kamu mau tahu berita apa yang paling menggemparkan?" balas Chloe dengan penuh antusias sembari menepuk-nepuk wajahnya berulang kali bermaksud merapikan alas bedak yang baru saja ia pakai.
Kini wanita bermanik violet itu menoleh sembari sedikit menaikan alisnya.
"Berita apa?"
Wanita bersurai pendek yang masih sibuk berhias itu menjawab, "Well, ternyata gadis baru yang waktu itu kita labrak adalah adik tiri Adam."
PRAKK!— Sisir yang ada di genggamannya terjatuh ke lantai.
"APAA?! Adik tirinyaa??!" pekik Linda dengan mata membulat sempurna. "Ja-jadi gadis culun itu ... dia ... dia-adik tirinya Adam??" Manik vi
‘Sorot matanya tampak begitu lelah, tidak lagi memancarkan kilaunya. Semuanya tampak begitu gelap.' *** Sang fajar mengintip dari balik tirai jendela, seolah memberi isyarat pada Pricillia bahwa hari Sabtu yang merupakan hari favoritnya telah tiba. Hari di mana ia biasa menghabiskan waktunya untuk berlatih biola. Secara perlahan, manik biru langitnya mulai menampakan kemilaunya. Menandakan bahwa sang pemilik manik sudah bangun dari tidur panjangnya. Dengan malas, ia mengangkat tubuhnya untuk bangun. Enggan menapakan kakinya di lantai. Gadis itu masih memilih untuk duduk di atas kasur dan bersandar pada sandaran kepala kasur seperti orang yang baru saja selesai mengerjakan pekerjaan berat. Bukan tenaga yang ia dapatkan setelah bangun tidur, tapi rasa lelah. Seolah tidak memiliki tulang untuk menopang tubuhnya. Padahal pagi ini merupakan pagi yang cerah di kota New York. Tapi, itu tidak membuatnya merasa lebih bai
Peringatan: Bab ini mengandung adegan dewasa (21+). Harap pembaca bijak dalam menyikapinya. Terima kasih. ‘Desahan kembali melesat dari dalam mulut gadis itu ketika merasakan miliknya disentuh oleh tangan nakal kakak tirinya itu yang saat ini sudah melesat masuk ke dalam celana panjang training yang ia kenakan.’ *** Drrt drrrt drrrrrtt— Pricillia sedikit membelakakan matanya ketika melihat nama yang tertera di layar ponselnya. ‘David?’ Itulah nama yang tertera di sana. Ada perlu apa pemuda itu meneleponnya? Saat gadis bersurai hitam itu akan mengangkatnya, terdengar langkah kaki Adam ikut memasuki kamarnya. Sejenak, ia ragu apakah ia harus mengangkat telepon dari teman sekelasnya itu. Terlebih saat ini kakak tirinya sedang berada di unitnya. Sejujurnya, keberadaan pemuda itu membuat Pricillia merasa sedikit terkekang. Berada di dekatnya selalu membuat gadis itu tertekan. Seolah ia harus meminta ijin pada kakak tirinya terlebih dahulu atas segala hal yang ingin ia lakukan. Ane
‘Aneh tapi nyata, gadis itu mulai sedikit menyukainya. Ia suka akan perasaan menggelitik yang muncul tiap kali dirinya mendapat perlakuan manis dari kakak tirinya.’ *** Mata pemuda itu langsung membulat sempurna ketika melihat nama yang tertera dari layar ponselnya. “Ayah?” Sebelum mengangkatnya, Adam melempar manik hitamnya ke arah Pricillia, mengamati sejenak gadis yang saat ini duduk termangu di atas ranjang yang hampir menjadi tempatnya melampiaskan hawa nafsu. Entah kenapa, tatapan intensnya membuat gadis itu sedikit salah tingkah hingga reflek mengencangkan balutan selimutnya di sekujur tubuhnya. Pemuda mix-raced itu kembali memfokuskan pandangannya ke layar ponselnya. Ia usap lembut layar ponselnya untuk mengangkat sambungan telepon dari sang Ayah— “Halo.” [Halo, Adam. Maaf mengganggu waktumu ya.] Terdengar suara pria paruh baya dari seberang sana. [Begini, setelah mempertimbangkannya sejenak, Ayah dan Ibu sepakat untuk menghabiskan waktu dengan kalian sebentar sebelum
‘Dunianya yang semula damai, kini porak poranda akibat kebejatan pemuda yang telah resmi menjadi kakak tirinya itu.’ *** “Pricillia ….” Suara berat Adam kini menyebut namanya. Sorot mata pemuda itu kembali memancarkan makna tersirat pada si pemilik nama. Tatapannya begitu dalam, mengandung seribu makna yang mampu menghipnotis banyak wanita untuk ‘bermain’ dengannya di atas ranjang dengan sukarela. Satu tangan kekarnya yang ia gunakan untuk memegang stir mobil, kini berpindah ke wajah gadis yang sudah resmi menjadi adik tirinya. Perlahan ia singkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah cantiknya, kemudian ia belai lembut kulit mulusnya yang telah menjadi tempat baginya menghujani ribuan kecupan mesra. Sentuhan tangan Adam kembali memberikan sensasi menggelitik pada Pricillia untuk yang kesekian kalinya. “Hari ulang tahunmu minggu depan ‘kan?” tanya pemuda itu kemudian. Seketika itu juga, kedua manik Pricillia membulat dengan sempurna. Ia tidak menyangka kalau kakak tirinya ta
‘Meski sorot matanya tersirat sebuah emosi yang menggebu-gebu, tapi tetap saja tidak ada yang bisa menebak isi pikirannya. Karena pemuda berpredikat womanizer itu selalu bertindak secara spontan dan penuh kejutan.’ *** Tap tap tap— Setibanya mereka di terminal, terdapat beberapa LCD monitor yang menampilkan jadwal keberangkatan dari New York ke berbagai kota maupun negara. Di layar tersebut juga menampilkan jam keberangkatan kedua orang tua mereka ke Honolulu. Selang beberapa menit kemudian, terdengar suara pengumuman. [Selamat sore penumpang. Ini adalah pengumuman pra-boarding dengan nomor penerbangan HA051 ke Honolulu. Kami sekarang mengundang para penumpang dengan anak kecil, dan setiap penumpang yang membutuhkan bantuan khusus, untuk mulai menaiki pesawat pada saat ini. Harap siapkan boarding pass dan identifikasi Anda. Boarding reguler akan dimulai dalam waktu sekitar sepuluh menit. Terima kasih.] “Baiklah, sudah waktunya kita berangkat,” ujar Thomas sembari melihat ke arah
‘Warna hitam legam pada gitar akustik tersebut tampak begitu mempesona sekaligus mengingatkannya pada seseorang.’ *** “Semua keputusan ada di tanganmu. Jadi, pikirkanlah baik-baik.” Tanpa berkata-kata lagi, Adam langsung menyalakan mesin mobilnya dan melaju keluar dari tempat parkir bandara menuju unit apartemennya dengan kecepatan normal. Sama seperti di awal, sepanjang perjalanan tidak ada suara apapun. Hanya ada keheningan yang menemani mereka. Sepasang saudara tak sedarah itu memilih untuk fokus pada kegiatan masing-masing. Adam fokus mengemudi, sedangkan Pricillia memfokuskan pandangannya pada jendela mobil memandangi langit yang kini sudah kehilangan cahayanya. . . . Setibanya di gedung apartemen yang ditempati Pricillia, Adam menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang apartemen tersebut. Tanpa menoleh, pemuda itu menyuruh adik tirinya untuk keluar dari dalam mobilnya. “Kita
‘Sorot matanya tiba-tiba saja berubah menjadi tajam, tersirat perasaan cemburu dan amarah yang begitu dalam.’ *** “Apa kamu menyukainya?” Suara berat yang begitu familiar memenuhi gendang telinganya. Yakni, suara khas pemuda bermanik hitam legam yang saat ini berdiri tepat di sampingnya. Seketika itu juga, manik biru langit Pricillia membulat sempurna, bahkan peluh mulai mengalir dari ujung dahinya membasahi wajahnya yang kini memucat. Begitupun dengan David yang juga diam mematung, tak berani menatap atau bahkan bergerak sedikitpun. Bukan tanpa alasan pemuda bermanik emerald itu begitu ketakutan. Saat ini, Adam sedang menatap tajam dirinya. Sorot mata sang womanizer itu penuh dengan amarah dan emosi yag menggebu-gebu, seolah mampu mencekik bahkan menebas lehernya saat itu juga. Membayangkannya saja sudah membuat jantungnya hampir merosot dari tempatnya. “Apa Anda tertarik untuk membeliny
‘Menjauhlah dariku, gadis bisu! Apa kamu tidak sadar kalau keberadaanmu membuatku sesak!?’ *** “Kenapa kamu pergi dengan pria itu?” Pertanyaan Adam membuat Pricillia semakin beringsut mundur ke tepi kasur. Kedua manik biru langitnya kembali bergetar menyiratkan perasaan takut ketika mendapati pemuda mix-raced itu perlahan mendekatinya dengan sorot mata yang sama seperti saat malam pertemuan pertama mereka di mana pemuda itu tega menyetubuhinya. Ia tahu kalau kakak tirinya itu akan berbuat macam-macam padanya sebentar lagi. Untuk menghindari hal yang tak diinginkan, gadis itu beranjak dari atas kasur dan berlari secepat yang ia bisa ke arah pintu unit. Namun, baru saja Pricillia membuka pintu unitnya, dari dalam kamar Adam berseru dengan lantang, “Kartu aksesmu ada padaku!” Gadis bersurai hitam itu sontak menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sang womanizer yang kini sudah berdiri