Share

Empat - Izin

Aileen masuk ke dalam mobil Gryson yang menjemputnya sore ini. Tangannya lantas menepuk-nepuk lengan kakaknya ituㅡ menyuruhnya tetap mengendarai mobil dengan perlahan saat melihat sosok lelaki yang sejak kemarin menarik perhatiannya. Gryson menatap Aileen sedikit bingung. "Apa sih, Dek?" Aileen tanpa menoleh ke arah Gryson menunjuk lelaki itu dari kaca mobil. "Ganteng nggak, Bang?" Aileen kini menoleh ke arah Gryson dan sedikit menyingkir agar ia bisa melihat orang yang Aileen maksud. Gryson pun tertawa pelan setelah melihat sosok itu. "Tipemu gitu, ya?" Aileen terkekeh dan mengangguk. "Om-om," lanjut Gryson lagi sambil menginjak pedal gas. Aileen pun memukul lengan Gryson dan mencubitnya sekali. Gryson hanya mengaduh sambil tertawa.

"Yang tadi ganteng kan, Bang?" tanya Aileen lagi saat sudah setengah perjalanan hanya diisi dengan ia yang sibuk bernyanyi. Gryson menoleh dan tertawa pelan, "Iya, Abang akui sih. Kayakㅡ sempurna bangetㅡ walaupun Abang nggak liat jelas." Aileen pun tersenyum senang. "Kamu suka yang kayak gitu, ya? Keliatannya cool tapi hangat." Aileen mengangguk, "Iya. Kayak Abang Jep, kan gitu juga." Gryson lalu tertawa sambil menggelengkan kepalanya, "Tapi Jevan pendiem gitu, kalem. Kalo kamu pasti suka yang agak pecicilan kayak Jovan." Aileen mengerutkan hidungnya tidak suka, "Mana ada!" Gryson pun kembali tertawa, "Iya, nggak ada, iya." Aileen berdecak, lalu bersedekap dan memilih menghadap ke jendelaㅡ tidak ingin lagi berbicara dengan kakaknyaㅡ membuat Gryson yang paham jika ucapannya itu benar mengukir senyum miring dan berusaha menahan tawanya.

Tak lama kemudian mobil memasuki pekarangan rumah. Aileen sempat terdiam beberapa saat, lalu menoleh ke arah Gryson. "Apa?" tanya kakaknya bingung sambil menghentikan mobil sebelum memasuki garasi. Aileen menggeleng pelan sambil tersenyum, "Makasih, Abang." Lalu ia segera melepas seatbelt-nya dan turun dari dalam mobil. Ia berlari kecil menuju rumah sambil melambaikan tangannya pada Gryson yang hanya ingin memarkirkan mobilㅡ membuat kakaknya itu lagi-lagi tertawa karena tingkah adik perempuan pertamanya.

Aileen berlari kecil saat masuk ke dalam rumah setelah membuka pintuㅡ mengabaikan dua adiknya yang sedang sibuk menonton televisi sambil memakan cemilan di ruang keluargaㅡ dan Jevan yang sedang meneguk minuman dingin di depan kulkas. Aileen segera menaiki tangga untuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Ia ingin segera mandi sambil menunggu papanya pulang. Aileen meletakkan tasnya di atas meja belajar, ia belum mengubah isi tas itu sejak kemarinㅡ karena pelajaran baru akan dimulai pada hari Senin.

Setelah melepaskan kaus kakinya, Aileen pun segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Dan selama Aileen mandi, seseorang masuk ke dalam kamarnya yang tidak tertutup, ia tersenyum tipis saat mendengar nyanyian Aileen dari kamar mandi. Ia pun memilih merebahkan tubuhnya di atas kasur sang adik sambil memainkan ponsel pintarnya.

Terhitung sepuluh menit setelah sosok itu menyusup ke dalam kamar Aileen, adiknya keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar. Aileen sedikit terkejut mendapati salah satu kakaknya sedang rebahan di atas kasurnya itu. "Abang ih! Keluar dulu aku mau ganti baju!" Jovan menggeleng dengan tatapan yang fokus menghadap ponsel. "Udah pewe." Aileen pun berdecak. Ia tidak ingin terus-terusan mendebat Jovan maka dari itu ia mengambil pakaiannya dari dalam lemari dan kembali masuk ke dalam kamar mandi. Jovan sempat melirik pintu kamar mandi yang baru saja ditutup cukup kencang oleh Aileen, senyumnya juga terulas tipis.

Aileen pun kembali keluar dari kamar mandi dengan pakaian khas andalannya ketika di rumahㅡ baju oversize yang menutupi celana pendeknya yang setengah paha. Aileen mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer terlebih dahulu sebelum merebahkan diri di atas tubuh Jovan yang menguasai seluruh bagian kasurnya. Jovan pun mengerang karena itu. "Berat, Dek." Ia pun sedikit menyingkir agar Aileen tidak lagi menindihnya. Aileen yang penasaran dengan apa yang Jovan lakukan dengan ponselnya akhirnya sedikit mengangkat salah satu tangan kakaknya itu dan berusaha masuk ke dalam tangannya agar dapat melihat ponselnya. Matanya membelalak saat melihat ponsel itu menampilkan adegan syur.

Aileen ingin melepaskan diri dari tangan kakaknya itu, namun salah satu tangan Jovan menahannya lebih dulu. "Diem." Aileen menggeleng ribut, "Abang ih! Nggak mau!" Jovan berdecak, "Diem, Abang nggak ngapa-ngapain." Aileen pun mengerucutkan bibirnya, hal itu memang benar, tapi tentu saja Aileen merasa tidak nyaman. Beruntung pintu kamarnya tiba-tiba terbuka setelah terdapat dua ketukan di pintu yang ditutup Jovan. Jevan muncul di situ, lalu melambaikan tangannya memanggil Aileen. "Ayo ke bawah, Abang beliin es krim itu, yang mochi. Kenza sama Vilan lagi rebutan, nanti kamu nggak kebagian." Aileen pun melepaskan tangan Jovan yang memeluk perutnya dan segera berlari menghampiri Jevan. Jevan melirik ke arah Jovan, lalu kembarannya itu mengacungkan jari tengah. Jevan berdecak pelan sebelum melakukan hal yang sama dan sedikit membanting pintu saat menutup kamar adiknya.

Aileen menuruni tangga diikuti oleh Jevan di belakangnya. Samar-samar ia mendengar suara ribut dari arah ruang keluarga, Aileen pun mempercepat langkahnya dan segera menghampiri adiknya. Saat melihat kedua adiknya sedang meributkan es krim mochi rasa kacang hijau itu, Aileen mengambil tiga es krim coklat yang dianggurkan di atas meja. Kenza yang menyadari itu langsung melepas es krim di tangannyaㅡ berniat menyerang Aileen juga. Namun Jevan lebih dulu menghentikan aksinya dengan menjewer telinganya. "Kamu lho udah habis banyak. Yang stroberi dimakan semua, kan? Padahal Abang dah nyuruh sisain buat Mommy." Jevan melirik Vilan yang berhasil memakan es krim mochi rasa kacang hijau itu, kepalanya digelengkan perlahan. "Nakal banget kalian lho. Disuruh nyisain yang lain padahal." Aileen mengangguk menyetujui ucapan Jevan, "Hu'um! Harusnya aku dapet lebih banyak."

Mommy yang baru saja menyirami tanaman di taman mini yang berada di samping rumah menghampiri ruang keluarga saat mendengar keributan. "Kenapa ini?" Jevan menoleh pada ibunya sambil menggeleng pelan, "Ini lho, Mom. Aku tadi beli es krim banyak, kan. Suruh sisain buat yang lain, tapi malah dimakan semua sama Kenja sama Vilan. Aileen aja cuma dapet tiga tu, padahal jatahnya lima." Mommy menghela napasnya, lalu menatap keempat anaknya itu. "Kalian tu kenapa suka banget sih sama es krim." Mommy pun menggelengkan kepalanya. "Ya udah nanti Mommy bilang sama Papa buat beli kulkas es krim aja, terus nyetok es krim tiap mingguㅡ tiap hari kalo perlu."

Mendengar hal itu Kenza, Vilan, dan Aileen saling berpandanganㅡ Vilan dan Aileen pun langsung berdiri dari duduknya dan menatap sang Mommy saking antusiasnya. "Betulan, Mom?!" tanya Aileen tidak percaya. Mommy mengangguk pasti, "Iya, betulan. Papa kalian pasti bakal beliin, orang kalian semua doyan es krim gini." Ketiga gadis itu pun bertepuk tangan dan tertawa senang. Jevan sendiri tersenyum menatap ibunya. "Makasih, Mom." Ucapnya pelan pada sang ibu. Mommy hanya mengangguk dan mengulas senyum mendengar itu.

Tiba-tiba pintu utama terbuka dan menampakkan Papa yang baru pulang kerjaㅡ masih lengkap dengan setelan jasnya walaupun dasinya sudah terlihat sedikit berantakan. Mommy tersenyum melihat kedatangan suaminya itu dan segera menghampiri untuk mengambil alih tas kerjanya. "Pada ngapain? Kayaknya tadi denger Aileen teriak?" Aileen pun mendekat pada ayahnya dan menggandeng lengan sosok yang menjadi cinta pertamanya itu. "Lagi bahas es krim, Pa. Tadi Abang Jep beliin es krim banyak tapi dihabisin sama Kenja sama Pilan. Terus habis itu Mommy katanya mau bilang sama Papa buat beliin kita kulkas es krim terus nyeok es krim tiap hari."

Papa menatap Mommy, Mommy mengangguk dua kali. Lalu Papa menatap ketiga anaknya yang kini duduk berjajar di sofa panjang sambil menonton televisi. "Mau dibeliin kulkas es krim betulan?" Ketiganya mengangguk. Papa pun menatap Aileen yang juga mengangguk. "Semuanya suka es krim tau, Pa. Abang Gry aja suka. Papa doang yang nggak suka." Papa mengerutkan dahinya menatap Aileen, lalu tertawa pelan. "Kata siapa Papa nggak suka? Dulu Papa juga pecinta es krim. Cuma sekarang giginya sering ngilu jadi ngurangin." Aileen pun tertawa mendengar cerita papanya. "Oke, berarti kalo gitu besok Papa beliin kulkas es krim!" Papa mengangguk sambil menepuk puncak kepala Aileen. "Iya, besok Papa beliin. Sekarang Papa mau bersih-bersih dulu." Aileen mengangguk dan melepaskan pegangannya pada lengan sang papa. Papa pun berjalan menaiki tangga di lantai dua dan diikuti oleh istrinya.

Aileen kembali mendudukkan diri, namun kali ini ia mendudukkan dirinya di atas karpet bulu sambil memeluk toples berisi cookies. Keempat saudara itu sedang asik menonton film luar negeri yang merupakan sebuah seri film pahlawan super berdasarkan karakter komik. Semua penghuni rumah menyukai film itu. Papa pun menontonnya saat memiliki waktu luang. Aileen juga sangat menyukai film-film itu, ia bahkan menangis saat tokoh kesayangannya mati. "Berapa kali pun nonton nggak bakal bosen. Masih nunggu seri selanjutnya," ucap Aileen sambil mengunyah cookies-nya. Tanpa sepengetahuannya, di belakang Aileen para saudaranya mengangguk.

Namun Aileen terkejut saat tiba-tiba seseorang duduk di belakangnya dan mencomot cookies yang ada di dalam toples yang sedang ia dekap. Menyadari tangan sosok yang sering menjahilinya itu, Aileen pun memukul kakinya. "Abang ish!" Jovan terkekeh setelah menelan cookies yang ia curi dari Aileen, "Minta dikit." Aileen pun menggeser kakinya, "Pindah sana! Bisa duduk di sebelah lho!" Mendengar itu Jovan justru menyamankan posisinya dengan bersandar pada bagian bawah sofa. "Dah pw," ucapnya setelah kembali mencuri cookies. Aileen menoleh ke arah kakaknya itu, lalu berdecak pelan. Karena malas berdebat akhirnya Aileen membiarkan saja kakaknya menonton televisi dan duduk di belakangnya sambil ikut memakan cookies yang sedang ia makan. Jevan sempat menatap kembarannya selama beberapa detik, namun karena tidak melihat Aileen yang merasa risih akhirnya ia mengalihkan atensi dan kembali menonton televisi.

"Adek, ayo bantu Mommy masak!" Teriakan Mommy terdengar dari arah dapur. Aileen dan Vilan pun bergegas menghampiri ibunya dan langsung menuju ke dapur. Sudah menjadi rutinitas bagi dua anak gadis itu untuk membantu ibunya memasak makan malam sejak beberapa tahun yang lalu. Aileen tidak begitu suka memasak, namun ia pandai dalam membuat cake dan beberapa makanan manis yang lain. Sedangkan Vilan tertarik pada bidang itu, ia juga berencana akan mengikuti les masak dalam waktu dekat. Kenza yang cenderung tomboy lebih suka membantu ibunya membereskan rumah daripada mengurus dapur. Ia bisa memasak, namun ia pun tidak begitu menyukai hal itu.

Nyaris seluruh anggota keluarga di rumah itu bisa memasak. Namun mereka sudah memiliki tugas masing-masing. Papa dan Gryson bertugas mencari nafkah. Walaupun tidak sepenuhnya, Gryson sering membeli kebutuhan rumah tanggaㅡ sadar jika ia sudah berpenghasilan namun masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Mommy bertugas mengurus rumah, tentu saja dibantu anak-anaknya yang lain. Jovan, Jevan, dan Kenza akan bergantian membantu ibunya saat memiliki waktu luang. Sedangkan Aileen dan Vilan akan membantu Mommy memasak, terkadang mereka juga membantu Mommy membersihkan rumah.

Tak terasa satu jam telah berlalu dan hidangan makan malam pun siap. Papa tiba di dapur lebih dulu karena sudah hafal dengan jam makan malam. Disusul oleh Jovan, Jevan, dan Kenza yang sejak tadi masih berada di ruang keluarga. Terakhir Gryson yang terlihat baru bangun tidur menuruni tangga sambil sesekali menguap dan mengusap wajahnya. "Malem," sapa Gryson sambil mendudukkan diri di samping Jevan. Tidak ada keributan malam iniㅡ karena Jovan duduk di antara Aileen dan Mommy. Kenza pun duduk diam di samping kiri Jevan. "Selamat makan!" ucap Aileen riang sebelum semuanya menyantap makan malam.

Setelah makan malam usai, Papa menuju ruang keluarga bersama Gryson dan Mommy. Sedangkan yang lain menuju kamarnya masing-masing. Aileen yang melihat adanya kesempatan untuk membicarakan perihal kepindahannya ke apartemen yang ditinggali oleh Arlen dan Olin akhirnya menyusul ketiga orang itu. Aileen dengan sengaja duduk di antara papanya dan sang mama, lalu menyandarkan tubuhnya pada papanya itu. Papa pun merangkul bahu Aileen, sedangkan Mommy dan Gryson memandang Aileen dengan penuh selidik. Aileen memang manja, tapi jika dia sampai melakukan hal ini pasti ada sesuatu yang ia ingini.

"Pa…" Aileen memanggil papanya itu ketika sebuah pariwara akhirnya tampak di layar kaca. Mommy menatap Gryson, lalu keduanya tersenyum, terbukti jika dugaan mereka memang benar. Papa menoleh pada Aileen sambil tersenyum, "Hm? Kenapa?" Aileen mengukir senyuman manisnya, tangannya bergerak memainkan cincin pernikahan papanya yang terlingkar di jari manis. "Aku kan udah gede," mulai Aileen. Gryson mengulum senyumannya, mencoba menahan tawaㅡ begitupun dengan sang mama. "Hm, iya, terus kenapa kalo kamu udah gede?" Aileen mengerucutkan bibirnya, "Mau tinggal sendiri, mau di apartemen."

Papa mengerutkan dahinyaㅡ merasa tidak suka, "Kok?" Aileen kini menunduk sambil memainkan jari-jarinya. "Ya pokoknya mau tinggal di apartemen, mau tinggal sendiri. Ada apartemen yang deket sama sekolah, jadi lebih deket ke sekolah." Gryson dan Mommy saling berpandangan, lalu menatap Papa. Harap-harap cemas dengan apa yang akan Papa katakan. Papa melepaskan rangkulannya pada bahu Aileen, lalu menggeleng tegas. "Nggak, nggak boleh." Aileen langsung menoleh pada papanya, "Kok nggak boleh?! Kan aku udah gede, Pa! Nggak papa dong kalo mau tinggal sendiri." Papa menghela napasnya, beliau menatap Aileen sambil menujuk Gryson. "Itu abangmu udah gede masih tinggal di sini. Kamu ngapain mau tinggal sendiri?" Aileen hendak menjawab, namun Papa kembali menggeleng. "Papa bilang nggak ya nggak." Lalu Papa meninggalkan ruang keluarga dengan Aileen yang perlahan mengeluarkan air matanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status