Share

Lima - Papa

Mommy merangkul bahu Aileen dan langsung mendekapnya, Gryson pun menghampiri adiknya itu dengan berlutut di hadapannya. Aileen menangis cukup lama hingga akhirnya ia menyadari sesuatu, Jovan dan Jevan tidak boleh mengetahui perihal rencananya untuk pindah ke apartemen itu. Aileen pun menghentikan tangisnya, ia melepaskan dekapannya pada sang bunda lalu menatap kakaknya. Gryson yang paham lantas berdiri dan mengulurkan tangannya pada Aileen.

Gryson menggendong Aileen ala koala menuju kamarnya yang berada di lantai dua dan diikuti oleh sang mama. Aileen sebenarnya dekat dengan Gryson. Bahkan dulu ketika kecil Aileen selalu ikut Gryson bermain. Gryson sangat menyayangi Aileen, sama seperti Jovanㅡ hanya saja ia tidak begitu menunjukkan sikap overprotective terhadap adiknya itu. Gryson hanya akan berusaha selalu ada jika adiknya membutuhkannya. Ketika sampai di kamar Aileen, Gryson mendudukkan adiknya itu perlahan di atas kasur. Tak lupa Mommy yang baru masuk mengunci pintu karena tidak ingin anaknya yang lain tiba-tiba masuk dan mengetahui tentang rencana Aileen itu. Ia perlu mengetahui semuanya terlebih dahulu, apa alasan sebenarnya dibalik keinginan anak tengahnya itu.

Mommy duduk di sebelah kiri Aileen, tangannya langsung terangkat untuk menggenggam kedua tangan anaknya. "Adek kenapa, hm? Kenapa tiba-tiba mau pindah ke apartemen? Nggak bilang dulu sama Mommy lagi." Aileen mengerucutkan bibirnya, tangisnya belum sepenuhnya reda, sesekali ia masih sesenggukan dengan hidung yang memerah. "Adek kasih tau dulu alesannya ke Mommy kenapa mau pindah, alesan yang sebenernya. Nanti Mommy bantu bilang sama Papa." Aileen mengeratkan tautan kedua tangannya, ia mencoba menghentikan tangisannya dan mulai bersuara. "Aileen kan udah gede, Mom. Mau tinggal sendiri aja, mau ngerasain tinggal sendiri. Lagian apartemennya lebih deket sama sekolah."

Mommy menghela napasnya, "Kan selama ini kamu di rumah baik-baik aja, kan? Jovan gangguin kamu lagi, hm? Atau kenapa?" Aileen menggeleng, belum sempat ia bersuara Mommy mendahuluinya. "Terus kenapa? Kalo emang alesannya biar lebih deket ke sekolah, kan selama ini kamu selalu dianter jemput? Nggak pernah telat, kan?" Aileen terdiam, lalu ia menoleh pada Gryson. Mommy yang paham akhirnya memilih keluar dari kamar Aileen dan membiarkan Aileen untuk bercerita pada kakaknya.

Aileen sempat mengunci pintu terlebih dahulu setelah kepergian mamanya sebelum merebahkan diri di atas kasur. "Abang sini," ucapnya sambil menepuk tempat kosong di depannya. Gryson pun merebahkan dirinya dan menatap Aileen dengan seksama. "Kenapa, hm? Kenapa tiba-tiba bilang mau pindah? Ada yang nakalin kamu di rumah?" Aileen menggeleng, ia sempat terdiam beberapa saat sambil mengerucutkan bibirnya sebelum menceritakan alasan dibalik keinginannya. "Aku mau pindah ke apartemen, Bang. Ung… Cowok yang tadi ituㅡ katanya dia tinggal di apartemen deket sekolah. Aku kan suka sama dia, jadi mau deketin!" ucap Aileen dengan menggebu walau dengan bibir yang maju.

Gryson mengerjapkan matanya, lalu ia tertawa pelan. "Jadi pindah ke apartemen karena mau gebet cowok, hm?" Aileen terkekeh dan mengangguk. "Dia kan udah kerja, nggak bisa ketemu di sekolah setiap hari gitu. Kalo di apartemen kan pasti bisa tau kegiatannya gimana. Dia kerja kapan, pulang kapan. Bisa sering papasan." Gryson menghela napasnya pelan, tangannya terangkat mengusap lembut rambut Aileen sambil tersenyum. "Kalo Abang bantuin aja mau, nggak? Abang bisa cari info tentang dia, jadi temennya, terus ngenalin kamu gitu, akhirnya kalian sama-sama suka terus pacaran deh." Aileen terdiam, ia sempat tertarik dengan tawaran kakaknya itu, namun ia menggeleng. "Nggak ah! Aku mau deketin sendiri aja! Mau berjuang buat Kak Arlen pokoknya!" Gryson menggelengkan kepalanya, "Ya udah kalo emang gitu maumu. Nanti Abang bantu coba bilang sama Papa, semoga diizinin." Aileen tersenyum dan mengangguk senang, "Makasih, Abang."

Gryson mengangguk, kini tangannya beralih pada punggung Aileen. "Dah, kamu bobo dulu udah malem. Besok sekolah, kan?" Aileen kembali mengerucutkan bibirnya, namun ia mengangguk. "Abang temenin, ya?" Gryson sempat berdehem lama sebelum mengangguk, "Iya, Abang temenin. Tapi nanti Abang pindah ke kamar, ya?" Aileen kembali mengangguk. Ia merapatkan tubuhnya pada kakak pertamanya itu, tangannya pun memeluk sang kakak, lalu perlahan ia memejamkan matanya.

Di kamar lain, Mommy sedang berusaha membujuk suaminyaㅡ dengan mengatakan jika Aileen ingin merasakan kehidupan seperti yang lainnya. Namun Papa masih tetap kukuh dengan keputusannya, "Alesan di tu nggak jelas, Sayang. Masa kita mau kasih dia pindah gitu aja? Tiap hari sekolah dianter jemput lho, pasti ada aja yang selalu anter jemput dia. Kalo pun telat nggak pernah telat sampe dia nunggu lama, sejam gitu. Yang lain juga nggak bakal nakalin dia sampe kelewatan. Di rumah nggak ada pembantu, supir juga pulang pergi ke rumahnya sendiri. Kamu nggak mungkin kasar ke anak-anak. Heran aku sama cara pikir anak itu."

Mommy hendak kembali mengajukan argumennya, namun suara ketukan pintu menghentikan niatnya itu. Itu Gryson, Mommy pun mempersilakan anaknya untuk masuk ke dalam kamar karena tahu jika Aileen pasti sudah memberikan penjelasan. Gryson mendudukkan dirinya di atas kasur, tepat di samping sang mommy, sedangkan ayahnya duduk di single sofa sendiri. "Aileen bilang apa sama kamu?" tanya Papa tanpa basa-basi. Gryson sempat menghela napasnya sebelum tertawa pelan, "Alesan bocil, Pa. Kekanakan banget yang jelas. Katanya dia mau pindah ke apartemen buat deketin cowok." Papa menatap Gryson dengan kening berkerut, "Cowok siapa? Orang mana?" Gryson menggeleng pelan sambil tersenyum. "Nggak tau pasti, aku nggak kenal. Tadi waktu aku jemput Aileen di sekolah tiba-tiba dia nunjuk cowok, laki-laki awal dewasa lah, mungkin seumuran aku. Katanya dia suka sama cowok itu, terus katanya si cowok tinggal di apartemen yang deket sama sekolah, makanya dia mau pindah."

Mommy mengerjapkan matanya berkali-kali, beliau sedikit menelengkan kepalanya sambil menatap Gryson tidak percaya. "Serius? Itu alesan adek kamu mau pindah ke apartemen?" Gryson mengangguk, "Iya, Mom. Tadi aku udah nawarin buat cari info tentang si Arlen itu, intinya bantuin dia biar lebih gampang pdkt-annya lah, tapi dia nggak mau, mau berjuang sendiri katanya." Gryson mengakhiri ucapannya itu dengan tawa. Mommy menggelengkan kepalanya heran, senyumnya pun tak lepas dari bibir yang tipis itu. Sedangkan Papa menghela napas, beliau pun menggeleng tegas. "Kalo alesan dia kek gitu ya jelas Papa makin nggak bolehin. Gimana kalo dia diapa-apain coba nanti? Kita nggak tau kan sifat asli cowok itu?"

Gryson menatap Mommy, lalu keduanya tersenyum dan mengangguk pelan secara bersamaan. "Kalo menurut aku sih mending kasih aja dulu apa yang Aileen mau, Pa. Kasih dia liat akibat dari permintaannya yang nggak dia pikirin mateng-mateng itu. Biarin aja dia, kita pantau aja sejauh apa dia bisa tahan hidup sendiri, nggak ditemenin siapa-siapa." Mommy mengangguk setuju, "Mommy juga dari tadi udah bilang gitu ke papamu, sekalian kan latihan, siapa tau emang dia betah, bisa hidup mandiri. Lagian dia kan terakhir minta mau kuliah di luar negeri, pasti nanti juga hidup sendiri."

Papa memijit pelipisnya perlahan, hela napasnya terdengar tidak lega. "Ya udah kamu atur aja sana. Cari tau juga soal si Arlen ini, bantu adekmu dapetin apa yang dia mau tanpa dia tau. Papa tunggu hasilnya, selama belum keluar Papa nggak bakal iyain permintaan Aileen. Papa juga masih harus pikir-pikir dulu habis liat hasilnya." Gryson mengangguk, setidaknya ada kesempatan papanya akan mengiyakan. "Makasih, Pa. Aku ke kamar dulu kalo gitu. Good night." Gryson sempat mengecup pipi Mommy lalu berlari keluar dari kamar karena takut akan Papa marahi.

Keesokan harinya, Aileen bangun lebih pagi. Kakinya melangkah menuruni tangga sambil mengucek matanya sesekali. Aileen ingin membantu mamanya memasak pagi ini. "Hey, morning." Sapa Mommy saat melihat Aileen membasuh wajahnya di wastafel. Aileen tersenyum tipis sambil berusaha membuka matanya yang sipit, "Morning, Mommy." Aileen pun berdiri di samping sang ibu untuk membantu sosok itu. Beberapa menit kemudian, terdengar pintu utama yang terbuka perlahan, Aileen sempat terdiamㅡ membatin jika itu pasti papanya yang baru pulang berolahraga. Benar saja, itu memang sang papa yang kini mendudukkan diri di kursi makan sambil memesan segelas kopi pasa Mommy.

Namun, Mommy menyuruh Aileen membuatkan kopi untuk ayahnya. Mau tidak mau akhirnya ia menghentikan acara memotongnya dan membuatkan kopi untuk sang ayah. "Ini kopinya, Pa." Papa meletakkan tablet yang ada di tangannya, lalu mengangguk sekali, "Makasih." Aileen pun mengangguk. Ia sempat terdiam, namun akhirnya menarik salah satu kursi untuk duduk. Mommy menoleh dan menatap Aileen, hela napasnya sempat terdengar, namun beliau membiarkan. "Aku masih nunggu izin dari Papa," ucap Aileen dengan sedikit menundukkan kepalanya.

Papa yang sudah kembali memegang tablet melirik Aileen sekilas, gelengan kepalanya terlihat tidak peduli. "Nggak. Papa nggak bakal izinin, apalagi alesanmu yang mau ngejar cowok gitu. Mau jadi apa kamu sampe dia mau? Lacur?" Aileen mengerjapkan matanya, Mommy yang sedang menggoreng telur mematung, lantas beliau mematikan kompor dan menarik Aileen dari kursinya. "Naik," ucap sang Mommy singkat dan tegas. Aileen yang masih terkejut dengan ucapan ayahnya sedikit linglung, namun kakinya melangkah mengikuti ucapan sang mama. Ketika Mommy sudah tidak lagi melihat Aileen dan terdengar suara pintu yang ditutup, Mommy menatap suaminya tidak suka, "Dipikir dulu kalo ngomong, jangan nyakitin hati anakku." Papa menghela napasnya, "Biar sadar diri dia." Mommy berdecak, dengan wajah yang ditekuk beliau kembali melanjutkan masak. "Kalo mau dia sadar tuh ya dikasih tau yang bener, omongannya yang baik, kalo diomongin kayak gitu apa nggak makin mau keluar dari rumah? Papanya sendiri bilangin dia lacur." Sungut Mommy sambil membalik telur.

Papa kembali menghela napas, namun memilih fokus pada tablet di tangannya. Beberapa saat sempat hening, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk dan Papa melirik Mommy. "Langsung siapin, aku sarapan duluan, bilangin sama anak-anak ada kerjaan di luar kota." Mommy tidak menyahut, namun tangannya tetap melakukan apa yang Papa suruh. Setelah menyiapkan sarapan untuk suaminya, Mommy memilih untuk membersihkan sisa-sisa memasak, beliau mencuci panci, penggorengan dan peralatan yang lain. Papa pun tidak bersuara setelah itu. Atmosfer ruangan terasa lain, hingga akhirnya Papa menyelesaikan sarapannya dan naik ke kamarnya di lantai dua tanpa mengatakan apa-apa. Mommy pun tetap diam, beliau hanya mengambil piring bekas makan suaminya itu untuk ikut ia cuci.

Ketika jam sarapan tiba, Gryson yang terakhir kali menuruni tangga dan melihat jika kursi yang biasanya ditempati ayahnya kosongㅡ langsung menduduki kursi itu ketika sampai di ruang makan. "Papa kalian ke luar kota selama beberapa hari," ucap Mommy. Suasana terasa sedikit muram, namun Mommy tetap berlaku seperti biasanyaㅡ dengan hangat mengambilkan nasi untuk anak-anaknya dan menyuruh mereka makan dengan lahap. Setelah beberapa saat hening, Jovan yang menyadari ketidakhadiran Aileen pun akhirnya bersuara. "Aileen ke mana?" Mommy mengerjapkan matanya, lalu menoleh ke lantai dua. "Bentar Mommy ke kamarnya," Mommy pun bangkit dari tempat duduknya dan menuju kamar Aileen yang berada di lantai dua.

Mommy mengetuk pintu kamar Aileen, "Adek?" saat tidak mendapati sahutan, Mommy pun memutar gagang pintu, "Mommy masuk ya." Mommy pun masuk ke dalam kamar Aileen, langkahnya lantas menghampiri kasur Aileen dengan cepat saat melihat anaknya itu menggulung diri di dalam selimut. "Sayang? Hei?" Mommy menyentuh bahu Aileen, sedikit menariknya agar bisa melihat wajah anaknya itu. Aileen tertidurㅡ dengan jejak air mata yang belum mengering di sudut mata dan sarung bantalnya, hidungnya pun masih sedikit memerah. Mommy menyentuh dahi Aileen, takut anaknya itu demam karena kemungkinan besar sudah menangis sejak tadi.

Namun suara Jovan membuat atensi Mommy teralih, "Aileen kenapa? Sakit?" Jovan mendudukkan diri di samping mamanya, lalu tangannya menggantikan tangan sang bunda yang kini mengusap lembut lengan Aileen. "Agak anget badannya, pusing itu paling makanya nangis," ucap Mommy dengan sedikit kebohongan. Jovan pun menghela napas, lalu menatap Mommy, "Biar aku jagain Aileen-nya, Mommy sarapan aja dulu, aku udah kok." Mommy bangkit dari posisinya dan membiarkan Jovan merebahkan diri di samping Aileen sambil memeluk adiknya itu. Mommy tersenyum dan mengacak rambut Jovan, sosok itu hanya akan melembut dan tidak mengusili Aileen jika adiknya sedang sakit. "Ya udah Mommy turun dulu, sejam lagi kalo panasnya belum turun panggil Mommy, ya?" Jovan mengangguk patuh, "Iya, Mom."

Mommy keluar dari kamar Aileen dan kembali ke ruang makan, Kenza dan Vilan yang masih menunggu kembalinya Mommy pun langsung bertanya penasaran, "Kak Ai kenapa? Kok nggak ikut turun?" Mommy tersenyum tipis seraya menarik kursi, "Sakit, agak anget itu badannya. Biar ya? Nggak papa kan nggak sekolah dulu?" Kenza dan Vilan tentu saja mengangguk, mereka justru merasa khawatir pada kakaknya. Gryson yang merasa bingung pun menatap mamanya, namun ia tidak bersuaraㅡ karena ada adik-adiknya.

Saat semua sudah menghabiskan sarapannya, Gryson yang bertugas mengantar Vilan menyuruh adiknya itu untuk menunggu di luar. Vilan pun mengiyakan, namun saat baru saja melewati sekat antara ruang tamu dan ruang makan, seseorang menarik tangannya. Kenza mengajak Vilan untuk menguping pembicaraan antara kakak dan mamanya. "Aileen sakit kenapa, Mom? Kok tiba-tiba? Gara-gara nggak dibolehin Papa itu?" tanya Gryson sambil membantu Mommy meletakkan piring kotor di wastafel. Mommy tersenyum tipis, "Dibilangin lacur sama papamu." Gryson membelalakkan matanya, begitupun Kenza dan Vilan. "Hah?! Kok?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status