Danish membuka kaca mobil dan menjulurkan sedikit tangannya keluar, merasakan panas matahari yang sengit membakar kulit, kemudian buru-buru menarik tangan dengan kulit suci itu dan menutup rapat jendelanya kembali.
“Bener-bener neraka bocor ke Jakarta,” dumelnya sembari merogoh-rogoh produk perawatan kulit, ada yang dikemas dalam botol dan beberapa lagi berbentuk tube. Danish membaca labelnya satu persatu.
Ada banyak jenis merek krim pelindung matahari yang dia koleksi, semua mempunyai fungsi dan kegunaannya tersendiri. Ada plus dan minusnya. Mulai dari yang berbentuk krim seperti pasta, encer seperti air, kental seperti sperma dan lengket seperti lotion. Danish mengelompokkannya dalam beberapa jenis. Dan berhubung hari ini panasnya bukan main, mungkin mirip dengan panas di Arab atau Mesir, Danish memilih salah satu produk yang dikirimkan kakak kandungnya dari Qatar.
Fotoprotector ISDIN dengan kandungan SPF 50+ berbentuk lotion cepat meresap ke dalam kulit—meski dia harus menerima umpatan dari salah satu sahabatnya nanti, berhubung mulutnya agak bocor, karena produk itu membuatnya terlihat seperti donat gula, atau buah kesemek.
Danish bersiul ringan sambil mengoleskan benda cair agak kental itu ke seluruh tubuh hingga wajahnya—wajah yang terpenting, itu adalah aset bumi dan langit, dan melirik sekilas orang yang duduk di sebelah kanan, yang hobinya diam saja seperti manekin pajangan di pasar Tanah Abang.
“Nish, lo denger nggak?” tanyanya dengan mata segaris.
Aryandra Yasa, butuh keajaiban untuk membuatnya buka suara, teman Danish sejak era masih sama-sama memakai popok hingga mimpi basah dan bertahan hingga saat ini.
“Iya.” Danish menjawab setelah menyelesaikan ritual sesi pertama.
Patung hidup di hadapannya itu berdecak kecil, seolah tidak meyakini jawaban yang dilontarkan Danish barusan. “Coba ulang gimana strateginya?”
Danish termenung untuk beberapa detik pertama, masih dengan tangan memegangi botol sunblock, sedikit informasi, Danish dan kemampuan berpikir juga mengingatnya sangat tidak bisa diandalkan. Gara-gara terlalu fokus pada produk perawatan kulit, semua strategi perang dan cara mereka untuk kabur dari medan tempur menguap dari kepala.
Pemuda pecinta perawatan tubuh itu mengerjap beberapa kali dan menatap Aryan bolak-balik dengan botol krim pelindung matahari yang tengah dipegangnya saat ini, lalu meringis.
“Boleh ulang sekali lagi, Yan?”
“Si tai!”
Aryan mengumpatnya. Manusia irit bicara yang hobinya menyembunyikan seluruh tubuh itu keluar dan membanting pintu mobil sambil menepuk dada ketika satu orang yang lain, sudah di luar sejak tadi, memberikan isyarat padanya untuk absen muka. Dua teman Danish itu sepertinya sedang berbalas pantun dengan para berandal yang berjejal di hadapan mereka sekarang.
Sementara menunggu teman-temannya melakukan negosiasi dengan tim lawan, Danish cepat-cepat menyelesaikan ritual lainnya, menggulung celana panjang hingga ke paha dan mengoles sunblock merata hingga ke tempat terdalam. Dia sangat meyakini bahwa panas matahari sanggup membakar kulitnya yang hanya dilapis kain katun ini.
Danish mendengar suara siulan tiga kali, yang tandanya pertarungan akan segera dimulai dan dia harus bersiap keluar dari mobil sekarang sembari membereskan peralatan ritualnya.
“Eh, bangsat, lo masih di situ? Lama banget, keburu udahan, woy!”
“Si boncel kampret,” umpat Danish pelan yang dia yakini tidak akan didengar oleh seseorang di luar sana karena orang itu baru saja membuatnya kaget hingga botol sunblock yang Danish pegang jatuh ke bawah jok. “Sabar,” ucapnya sambil keluar dari mobil dan merasakan aura peperangan sudah sangat pekat di udara.
Danish sangat menyukai suasananya. “Aset gue perlu dilindungi, safety comes first,” ujarnya sambil membelai kulit wajahnya yang pasti sudah aman terlindungi kali ini.
“Pakai kondom aja lo sekalian, biar aman!” Angga—si boncel tadi, temannya, sama dengan si patung hidup, mengomel.
Ya, maksudnya bukan pengaman yang itu, kan? Apa jadinya jika seorang pemimpin tawuran pakai kondom di sekujur badan? Angga kadang memang ada-ada saja.
Danish tersenyum sekilas pada dua temannya yang berdiri penuh gaya di sisi kiri mobil, Aryan membalas dingin dan Angga menyunggingkan senyuman miring sambil menikmati kudapan favoritnya—Nabati SIP rasa keju dengan bungkus berwana kuning.
Lalu Danish mengepalkan tangan di udara dan berlari kencang menembus kerumunan yang riuh oleh teriakan penuh semangat peperangan. “Mana Agung?!” tanyanya pada salah satu anak buah Konoha yang ada di dekatnya sambil sibuk menghalau pukulan balok kayu yang bertubi-tubi mencoba untuk mengenai tubuhnya.
Dia mengayunkan pukulan seringan bulu yang mampu membuat lawannya terjengkang jatuh, sebagai penganut aliran karate Kyoksukin, Danish melancarkan pukulan dan tendangan ke arah lawan tanpa ampun. Lalu berlari lagi di tengah kerumunan untuk mencari target yang sesungguhnya—Agung, pemimpin pasukan SMK Zamrad yang sudah berani-beraninya mengeroyok Oliver, salah satu anggota Konoha yang paling berjasa.
“Woy, banci!” teriaknya ketika melihat sosok dekil dengan deretan gigi menonjol itu tengah melakukan baku hantam dengan beberapa anak Konoha yang mengerubunginya.
Danish kesulitan untuk mencapai Agung, banyak kuman di jalanan yang terlebih dahulu harus ia kibaskan. Tangannya tetap terkepal sebagai bentuk pertahanan siaga, secara mendadak Danish melakukan spinning backfist saat merasakan seseorang datang dari arah belakang, dan kakinya bergerak memutar ke arah lain memakai teknik dwi hurigi, melompat memutar membentuk gesture seperti mengait untuk menyerang ke arah leher lawan.
Dan kembali berlari membelah kerumunan dengan tinju serta kaki yang bergerak semena-mena, mengenai kaki, perut dan bawah perut, leher, punggung hingga kepala lawan-lawan kecilnya. Danish dilahirkan untuk jadi petarung ulung, bertarung dengan tangan kosong adalah nama tengahnya dan dia menyukai julukan itu. Tidak peduli lawan-lawannya datang dengan persenjataan ramah lingkungan, Danish lebih mengandalkan kedua tangan dan kakinya sebagai aset yang utuh.
“Setan!” umpatnya ketika merasakan pukulan balok kayu di belakang tubuh. Danish berbalik, melayangkan tinju bertubi dan dengan kepekaan berlebih segera menyimpan fokus tenaga di kedua kaki sambil berputar ke arah yang lain, melayangkan tendangan tornado dan langsung membuat lawannya terjengkang jauh.
“Banci-banci emang doyannya main belakang, ya.” Pemuda itu mengibaskan debu yang sedikit menempel di lengan baju dan kembali melayangkan tinju tanpa ampun ke segala penjuru.
Danish terengah, tapi merasakan kepuasan yang tidak bisa didapatkannya dari hal lain ketika melakukan kegiatan ini. Langkahnya semakin mantap mendekati pimpinan lawan dan segera mengambil kuda-kuda cepat untuk melompat hingga kakinya mengenai tubuh Agung yang dipenuhi kerumunan. Semua anak Konoha di sana menyingkir, memberinya jalan, Agung adalah miliknya.
“Buset, ini mau ngajak berantem apa ngelenong? Bedak lo medok amat kayak doger monyet perempatan.”
“Berisik!”
Danish segera melayangkan pukulan sekaligus tendangan bertubi, menyatukan teknik Muay thai dan taekwondo yang sudah lama dia pelajari, menyerang Agung yang masih sempat-sempatnya menyombongkan diri di hadapannya saat ini. Pemuda hitam dekil itu terjengkang jatuh dan Danish melompat ke depan untuk menahan tubuhnya, memegangi kerah baju dan melancarkan serangan lebih lanjut.
“Sial,” umpatnya kasar ketika punggung tangan dan tulangnya nyeri karena mengenai gigi Agung yang ingin selalu eksis dalam kondisi apa saja. “Jigong lo bau, setan!”
Danish bangkit dan mengayunkan kakinya sampai Agung berguling dan meringis kesakitan. Sepertinya cukup, Agung tidak bisa bangun hingga kawanannya datang memberi pertolongan. Danish sengaja memberikan service istimewa kepadanya karena, Agung membawa empat orang anak buahnya dan mengepung Oliver lalu menyerempetnya dengan motor jam 5 pagi tadi.
Dan Oliv—begitu mereka memanggilnya, adalah anggota Konoha paling loyal yang pernah Danish temui. Oliv selalu berada di garda terdepan bersamanya, memecah kerumunan, berani berdarah, meski kemampuan beladirinya belum seberapa hebat. Dia merasa harus bertanggung jawab atas Oliv dan membalaskan dendamnya. Danish berdiri di tengah medan peperangan, tangannya di pinggang dan memutar leher untuk relaksasi sejenak.
Pandangannya menyapu keadaan sekitar, Konoha hampir aman, musuh mulai tumbang dan hanya bersisa kurang dan setengahnya saja. Harusnya, mereka mundur sekarang karena Agung—pemimpinnya sudah tumbang hanya dengan beberapa kali pukulan ringan.
“Danish!”
Terlambat, Danish hanya sempat menangkis pukulan balok itu agar tidak mengenai tengkorak kepalanya namun berhasil memukul keras tangan yang ia jadikan perisai. Sementara ujung balok yang membentuk sudut runcing mengenai pipi mulus bening bercahaya miliknya dan menyebabkan rasa perih juga beberapa titik darah yang merembes mengenai jari-jari tangan ketika dia memeriksa keadaan.
“BANGSAT!” umpatnya keras lalu memungut balok dengan sebelah tangan sedangkan tangan lain memegang batu sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Danish mengunci tatapannya pada target yang melukai kulit mulus beningnya barusan, berlari membabi buta tak peduli teriakan menggema bersahut-sahutan memanggil-manggil namanya. Dia mengayunkan balok dan memukul siapa pun yang menghalanginya dengan batu besar di tangan. Danish kesurupan. Selalu begitu ketika tahu bahwa ada bagian kulitnya yang terluka. Dia tidak terima.
“Danish!”
“Nish, udah!”
“Danish, udah woy!”
“Hokage, itu Danish di sana!”
Bahkan saat ini geng Konoha justru membelot untuk menahan serangan yang akan dia lancarkan pada si pembuat luka di pipinya. Mereka menahannya, sedangkan sasaran target Danish meneriakkan kata ampun sejak tadi, meskipun Danish tentu akan mengabaikannya.
“Awas!” teriaknya seperti orang kesetanan, napasnya terengah. Danish sungguh-sungguh marah. “Awas atau gue hajar kalian semua!” Dia mengulang, masih dengan amarah yang sama.
“Jangan, Nish! Mati anak orang!”
“Ntar lo di penjara!”
“Peduli setan!” umpatnya kencang. “AWAS!”
Danish kembali akan mengayunkan tongkat balok di tangannya ketika tiba-tiba saja ada tepukan pelan di pipinya yang terluka, Angga datang dengan plester di tangan. Danish buru-buru menghalau dan menolaknya, luka di wajah adalah masalah besar, dia tidak akan membiarkan si pembuat luka itu lepas dengan mudah dan hidup tenang.
“Setan, lo diem dulu!”
“Bangke!” Danish hampir terjengkang saat tangan Angga melingkari lehernya dan membawa posisi tubuh mereka sejajar berhubung Angga dan tinggi badannya yang menyedihkan itu tidak bisa diajak kerjasama bahkan saat Danish sibuk bertarung. Dia harusnya diam saja seperti biasa dan mengawasi keadaan sambil makan Nabati SIP keju yang begitu dia suka.
“Nih, udah aman. Udah ganteng lagi lo sekarang,” ucapnya disertai senyuman ringan setelah menempel plester di wajah Danish dengan sempurna.
“Gambar apa nih plesternya?” Danish—sempat-sempatnya bertanya. Dia mengusap luka yang kini sudah tertutup itu, pilihan terbaik memang, daripada lukanya kemasukan debu dan kotoran lalu dia infeksi dan sesuatu yang buruk harus menimpa wajahnya yang maha suci ini.
“Gambar lope, biar soswit kayak kita berdua.” Angga tertawa. “Udah, ah nggak usah baper lo! Buang tuh balok, malu-maluin aja,” kata Angga terakhir kali setelah menepuk pelan pipinya dan bertingkah sangat so sweet yang entah kenapa selalu bisa membuat Danish luluh begitu saja.
Dia segera membuang persenjataan yang ada di tangannya sekarang, lalu anak-anak Konoha yang menghadangnya mulai berpencar kembali, tidak lagi bermaksud menghalangi. Danish tersenyum miring, ingat betul siapa yang melukainya dan menyingsingkan lengan baju untuk kembali mengejar orang itu.
“Mata dibalas mata!” teriaknya disertai sorak sorai gemuruh para anggota peperangan yang semakin terbakar semangat melihat musuh mulai berjatuhan dan diperkirakan beberapa detik kemudian akan mundur teratur meninggalkan arena tawuran.
Namun tawa dan sorak kemenangan yang bergaung itu tidak berlangsung lama, alarm dalam kepala Danish menyala ketika suara klakson sedan mewah Aryan sayup-sayup terdengar di antara kerumunan yang mulai ricuh dan sibuk menyelamatkan diri tanpa memandang pasukan. Danish berlari memutar arah, dia ingat Jalur yang harus dilaluinya untuk keluar dari arena tawuran dan Aryan sudah menunggu di titik jemput untuk jadi penyelamatnya—seperti biasa.
“Amankan diri, cepat lari dan sembunyi!” teriak Danish terakhir kali sebelum dia menyelip ke sela-sela bangunan dan ruko di kawasan itu untuk mencari jalan pintas demi menemui Aryan yang sudah menunggunya.
Klakson mobil Aryan kembali terdengar untuk menunjukkan tanda-tanda keberadaan. Dia melihat Angga berlarian dari arah lain dengan kaki tidak seberapa panjang dan berniat untuk membopong sahabatnya itu—kalau boleh. Tapi sembilan detik berikutnya mereka berhasil mengamankan diri ditandai dengan bunyi pintu mobil yang berdebum dan deru mesin yang melaju kencang dalam kemudi Aryan.
Mendadak, patung hidup itu bisa jadi pembalap ulung di saat-saat terdesak seperti sekarang. “Kita ke markas, harus cek keadaan anak-anak gimana,” ucap Angga kemudian.
Mereka harus selamat, ah, bukan. Mereka semua pasti selamat. Danish meyakininya.
ªªª
“Teh, kata Ibu cepet turun. Ayah mau berangkat!”“Iya, sebentar.”Sayna menyemprot hair spray sekali lagi ke poninya yang masih setengah kering, penempatan waktu yang pas adalah koentji, agar poninya nanti tetap kokoh dan tidak goyah walau ada badai melanda sekalipun. Kemudian setelah memastikan semuanya siap, sunscreen, moisturaizer, pelembab bibir dan setting spray terpasang sempurna di wajah, dia segera menyambar tasnya dan berlari menuruni anak tangga.“Tuh nya, udah dibilangin kalau bangun tidur teh langsung bangun! Jangan mantengin Hp dulu, giliran udah mepet gini buru-buru semua.”Perkenalkan, beliau adalah ibu kandung Sayna. Linda Widya Monalisa, seorang kepala sekolah di salah satu SMP terakreditasi A daerah Jakarta Selatan. Sangat disiplin, menghargai waktu dan menyayangi sekolah juga murid-murid didiknya sepenuh hati.“Iya, Ibunda, maaf. Teteh
Pertarungan hari ini adalah gagal—dalam kacamata Danish. Karena dia dapat oleh-oleh goresan halus di pipi yang membuatnya jengkel sendiri. Ketika plester dibuka, Danish bisa melihat lukanya memenjang, untung tipis jadi tidak perlu operasi plastik. Karena ya... kalau sampai lukanya lebih dalam daripada ini, Danish pasti akan segera melakukan tindakan yang lebih serius dari sekedar menutupinya dengan plester bergambar hati.“Bagaimana perasaan Anda, nyet? Perlu kita antar ke Thailand buat operasi?”“Operasi apaan?” Danish keheranan.“Operasi kelamin.”“Tai!” Danish mengumpat Angga yang bertingkah seolah-olah tengah menjadi reporter dengan menyodorkan botol air mineral sebagai mikrofon ke hadapannya. Lalu dia tertawa keras, Angga dan Aryan mungkin tidak mengerti apa yang Danish rasakan saat ini. Mereka tidak tahu, karena... mereka nyaris memiliki segalanya.Aryan yang kaya dan pintar, begitu
Akhir-akhir ini murid-murid SMA Nyusu dihebohkan dengan kabar simpang siur dari seorang gadis cupu yang baru saja menyatakan cinta pada salah satu bintang idola di sekolah. Dan kabar buruknya, si tersangka menempati kelas 2 IPA 3, kelas yang sama dengan Sayna. Gadis itu bernama Hanin, salah satu murid terpintar di sini, namanya selalu berjejer di urutan atas, tapi Hanin kurang suka bergaul dengan teman sekelas. Teman-temannya justru terdampar di kelas IPS dan orang yang disukainya malah berada di kelas sebelah, 2 IPA 1, Aryandra Yasa.Sayna tidak tahu kenapa Hanin jauh-jauh menyukai bintang di kelas lain sementara di kelas mereka sendiri sudah ada bintang seterang Danish Adiswara. Eh, barusan dia bilang apa? Danish bintang? Duh, semoga tidak ada yang mendengar suara-suara absurd dari kepalanya ini.Danish, hari ini ada plester yang menempel di pipinya. Plester bergambar dinosaurus, itu pasti karena kemarin. Sayna tahu kenapa Danish tidak datang latihan ke klub taekwond
“Kak Danish!”“Hai ...” Danish menyapa kerumunan anak kelas satu yang... kalau tidak terlalu pede sih, memang setiap pagi berjaga di sana demi menantikan kedatangannya, juga Aryan dan Angga. Mereka bilang, tiga anak Konoha adalah sumber asupan vitamin dan gizi di pagi hari agar semangat ke sekolah. Danish bangga karena pamornya mengalahkan Energen maupun Coco Crunch.“Kak Danish, mukanya bening banget kayak ubin masjid yang udah disemprot disinfektan. Suci, bersih, steril ...”Tawa anak-anak itu menggema, sementara Danish hanya menyunggingkan senyum dan terus berjalan menuju kelas. Dia datang agak terlalu siang karena sudah banyak orang di sekolah hari ini, tidak bisa bertemu dengan Sayna pagi-pagi.Danish berdiri di depan cermin kelas yang seukuran dengan tubuhnya, merapikan rambut, mencoba mengabaikan jerit-jerit kecil tertahan dari anak perempuan di kelas. Yang Danish tidak paham, sampai kapan mereka tidak t
Kepala Danish rasanya berasap setelah mengerjakan dua jam penuh pelajaran Matematika bagian Matriks. Kalau saat pelajaran Fisika ada trampolin di dalam kepalanya, hingga membuat rumus-rumus itu memantul, kali ini sepertinya ada yang sedang menggoreng lele di sana. Apinya besar dan panas, persis penjual pece lele kebanyakan di sepanjang jalan Danish pulang. Selain harus menghitung dan menyebutkan jumlah Ordo, dia juga harus mempelajari tentang transpose. Ada yang paham di sini? Danish pusing, dia harus belajar dua kali lipat lebih banyak dan lebih keras dari orang-orang kebanyakan untuk membuatnya benar-benar mengerti. Sebab Danish memang sepayah itu. Katanya ya, kecerdasan itu diturunkan oleh ibu kandung. Berarti ibunya Danish pilih kasih karena hanya menurunkan kecerdasannya pada Dinara. Sementara Danish kebagian remahannya pun tidak. Semuanya dibawa oleh Dinara yang tamak akan kepintaran. Untung saja Danish ganteng paripurna. Jadi itu semua tidak masalah, s
“Sayna, gue boleh mampir ke rumah lo nggak, kebetulan kan ki—”“Nggak boleh,” jawab gadis berponi itu dingin. Tipe orang yang tidak suka berpura-pura atau tidak enakan pada ajakan orang lain kira-kira merasa dirinya kurang nyaman.“Kenapa?”“Keluarga gue takut sama anjing.”Lalu dia pergi, begitu saja, meninggalkan pemuda yang tadi mengajaknya bicara sambil membawa sebungkus Twisko rasa jagung bakar dan tangan kirinya menggenggam minuman dengan label Teh Kotak.Danish memerhatikannya saat itu sambil sibuk menahan tawa, sekitar tiga tahun yang lalu, saat pertama kali mereka bertemu di klub taekwondo. Gadis itu bernama Sayna Lalisa Ghissani, Danish baru mengetahuinya beberapa waktu kemudian. Dan Sayna adalah gadis paling aneh yang dia kenal. Sayna tidak ramah, tidak pada siapa pun, termasuk kepadanya.Padahal Danish kurang apa? Kurang ganteng? Tidak mungkin. Kurang baik? Rasanya tidak. Kura
“Nggak pulang bareng gue aja?” tanya Danish pada gadis itu. Hari beranjak malam, matahari sudah terbirit dari kaki langit, lampu-lampu jalan mulai menyala, dan Danish menghabiskan waktu satu jam di tukang kunci—bersama gadis itu. Mereka duduk berjauhan dan sesekali melempar obrolan. Sampai... semuanya selesai dan Danish merasakan ketidakrelaan sebab artinya dia dan Sayna harus berpisah. Lebay sekali, ya Tuhan... “Jaketnya cuma satu,” jawab Sayna berdalih. “Dan ini udah mau malam, dingin kalau yang pakai cuma salah satu dari kita aja. Gue udah pesen takol.” Gadis itu membuka jaket dan menyampirkannya di bahu Danish. Anehnya, Danish merasa itu bukan hal yang asing, padahal biasanya dia selalu menghindari sentuhan dari anak-anak perempuan. Apalagi yang dibonceng di belakangnya, Danish selalu bergidik geli kalau salah satu dari mereka mencoba memegang pinggang, atau bahkan hanya bersandar pada tas sekolahnya. Dia selalu cari
“Nggak semudah itu, Ferguso,” jawabnya setelah menghabiskan dua porsi es krim dan waffle padahal tadi seingat Danish gadis itu bilang bahwa dia sudah makan. Apakah waffle bukan makanan? Pencuci mulut saja? “Terus? Gue harus gimana biar kita bisa pacaran?” Sayna tampak memikirkan sesuatu, dan Danish penasaran dengan pemikiran gadis itu. Mengejutkan sekali hari ini, tiba-tiba saja Danish mengutakan perasaannya secepat dia menyadari perasaan itu beberapa hari yang lalu. “Gue nggak mau lo ikut tawuran, ngumpul sama anak geng—” “Oke.” Danish memotongnya cepat. Semudah itu memang, asal demi Sayna, hanya Sayna, karena Sayna. Lagipula dia tahu bahwa hal-hal yang Sayna larang memang tidak baik. “Dan nggak ikut remedial terus,” sambungnya lagi, yang justru membuat Danish terperangah. “Gimana caranya gue nggak ikut remedial kalau nilai gue nggak cukup? Nggak lulus KKM?” Dia kebingungan.