Share

6

Pagi ini Laras dan Sasa sudah berada di kedai, pengunjung tidak sebanyak biasanya karena rintik hujan yang turun sejak subuh tadi. 

Mendudukkan anaknya di karpet yang di penuhi mainan Laras langsung berkutat dengan beberapa lembar kertas di meja kerjanya. Pembukaan cabang baru masih dalam proses penyelesaian membuat pekerjaannya cukup padat di tambah hari ini adalah akhir bulan membuat ia di sibukkan dengan pembukuan.

"Gila, gue beneran bisa gila" Sonya mendudukan pantatnya di sofa setelah masuk ruangan tanpa mengetuk pintu dulu membuat Laras keheranan. Pasalnya sahabatnya itu sudah bilang tidak bisa masuk kerja hari ini. Tapi pagi ini Sonya sudah sampai di toko dengan wajah nelangsa.

"Lo kenapa dateng-dateng meracau gak jelas?" tanya Laras.

"Gue pusing ras, bunda berulah lagi." 

Sonya menjawab dengan kedua bahu merosot, dia benar-benar pusing. Kepulangannya kemarin adalah kesalahan.

"Ada apa lagi?"

Laras memilih bangkit dari kursi kerjanya dan menyusul Sonya duduk di sofa. Ia merasa kasihan melihat raut wajah sahabatnya ini yang terlihat sedang tidak baik-baik saja.

"Gue di jodohin. Dan Lo tau siapa laki-laki itu?" Tanya sonya menjeda kalimatnya sebentar.

"Senaa, mantan gue," sambungnya lagi dengan nada pasrah. 

"Ya bagus dong. Gue tau Lo belum bisa move on dari dia."

"Gue gak mau seatap sama pengkhianat," balas Sonya dengan penekanan di akhir kalimat. 

Ia benar-benar muak dengan bundanya, bisa-bisanya ia dijodohkan dengan Sena yang saat ini sangat ia benci. Padahal bundanya juga tau bagaimana sifat asli laki-laki itu.

Mantannya itu memang tidak memiliki kecacatan apapun, otak cemerlang, karir mapan, berasal dari keluarga baik-baik dan tentu saja wajah rupawan. Namun satu yang tidak di miliki. "Kesetiaan"

Laras menghembuskan nafas pelan. Berbicara dengan Sonya memang memerlukan kesabaran. Sahabatnya ini adalah salah satu orang terkeras kepala sekaligus tersadis yang ia kenal. Namun biarpun begitu persahabatan mereka sudah terjalin cukup lama. Ia terkadang heran dengan dirinya sendiri bagaimana bisa ia bertemu dan berteman dengan orang model Sonya begini. Sifatnya sungguh berbanding terbalik dengan dirinya.

"Denger gue nte. Semua itu masa lalu, lagian dulu lo sendiri yang gak mau denger penjelasan dari dia kan. Gue kenal lo dengan baik, kalau pakai nasehat gue, lebih baik jangan gegabah dulu nolak perjodohan ini. Toh gak ada salahnya kasih kesempatan kedua," nasihat Laras bijak.

"Ngomong enak, lo gak ngerasain di posisi gue ras," balas Sonya sengit. Dia kesini untuk menenangkan fikiran dan batinnya sendiri. Tapi bukannya mendapat yang di inginkan malah ia merasa di pojokan begini. 

Laras menghembuskan nafas pelan, tangannya mengusap dada meminta dirinya untuk bersabar. "Bicarakan baik-baik sama tante dulu. Lo juga udah cukup tua untuk menikah," ucap Laras dengan kekehan diakhir kalimat. 

"Sialan," umpat Sonya pelan.

*****

David tiba di rumah orang tuanya saat malam menjelang. Tidak biasanya ia pulang karena sedari SMA ia memilih tinggal sendiri di apartemen miliknya. 

Bukan apa-apa hanya saja ia tidak terlalu suka di atur sekalipun itu orang tuanya sendiri. David lebih suka mandiri dan hidup sesuai keinginannya.

Segera saja ia naik ke lantai atas menuju kamarnya. Membersihkan tubuh terlebih dahulu sebelum turun ke lantai bawah untuk makan malam bersama.

Rumah ini terasa semakin sepi karena adiknya juga melanjutkan kuliah ke luar kota. David dua bersaudara dan dia adalah anak pertama.

Tak heran ia selalu menjadi harapan orang tuanya. Bukan berarti adiknya tidak demikian, tetapi beban yang di pikul David lebih besar dari pada sang adik. Ia memiliki kewajiban untuk memegang perusahaan keluarga kelak. Maka dari itu sedari dulu ia sudah di haruskan belajar tentang bisinis dari papanya.

Papanya adalah tipe orang tua yang tegas dan galak. Itulah salah satu alasan kenapa ia enggan pulang ke rumah. David tidak suka di atur dan di kekang.

"Lhoh, mama kira kamu lupa masih punya orang tua."

Sindiran mamanya membuat David jengah. Terkadang ia binggung sendiri harus bagaimana menghadapi sikap sang mama. Padahal baru dua hari kemarin mereka bertemu.

Mamanya pun juga sering menerornya dengan telefon. Sungguh bukan apa-apa hanya saja terkadang ia jengah juga karena, oh ayolah dia bukan anak kecil lagi. 

David memilih merangkul bahu mama nya dan berjalan menuju meja makan yang sudah ada papanya tengah duduk manis di sana. 

Makanan kesukaannya pun sudah terhidang memenuhi meja makan. Tadi sore ia mengabari sang mama akan pulang ke rumah, alhasil seperti yang saat ini ia lihat. Mamanya menyambut dengan berbagai makanan lezat kesukaannya.

"Duduk mas, mama gak akan buat kamu kesel lagi."

David menurut dan mulai menyuapkan sesendok nasi beserta lauknya yang baru saja dinambilkan sang mama.

Suasana meja makan hening karena memang sudah menjadi kebiasaan di keluarga mereka, tak ada pembicaraan saat makan tengah berlangsung. Orang tuanya memang tegas menerapkan unggah unguh dan kesopanan, mengingat ke dua orang tuanya sama-sama berasal dari solo yang masih kental dengan budaya Jawanya.

Meneguk segelas air putih David berniat segera bangkit berdiri, namun urung saat mendengar pertanyaan sang papa.

"Bagaimana kabar perusahaan mas?"

Hal itulah yang pertama papa nya tanyakan. Mereka memang jarang sekali berkomunikasi. Sejak kecil David memang tidak terlalu dekat dengan papanya. 

Kebalikan dengan adiknya yang bisa begitu akrab bercengkrama dengan papa mereka. Berbeda dengannya yang memilih diam jika tidak di ajak berbicara terlebih dahulu.

"Lancar pa, kerja sama dengan perusahaan om Adam juga berjalan dengan baik."

"Syukur kalau begitu. Sebetulnya papa ingin membicarakan sesuatu padamu. Tapi papa fikir sekarang bukan waktu yang tepat."

"Papa bisa bicarakan sekarang, aku tidak akan lembur malam ini."

"Kita bicara di ruangan papa," pinta Wira.

David segera bangkit berdiri meninggalkan papanya yang saat ini tengah berdebat kecil dengan sang mama. 

Mamanya itu memang wanita dengan tingkat kekepoan tertinggi menurutnya. Lihat saja sekarang sang ayah harus membujuk mamanya terlebih dahulu agar mereka bisa berbicara berdua saja .

Ia yakin ada hal penting yang ingin papanya sampaikan, mengingat mamanya saja tidak boleh tau apa yang akan mereka bicarakan.

Ia juga sedikit heran namun mencoba bersikap biasa saja. Toh ia tidak melakukan dosa besar. Ia menjalankan perusahan dengan baik dan juga tidak berbuat kesalahan yang patut di takutkan.

"Jawab jujur pertanyaan papa nanti."

David membalikkan tubuhnya dmelihat pemandangan malam di jendela ruang kerja papanya yang masih terbuka.

Segera saja ia melangkah menuju sofa dan mendudukan dirinya di sana berhadapan dengan sang papa.

"Apa benar kamu pernah memiliki kekasih yang namanya Laras sewaktu kuliah dulu?"

David tertegun sejenak namun mampu menguasai dirinya dan kembali bersikap biasa. Sekarang bukan waktunya untuk menanyakan dari mana papanya tau tentang hal ini.

"Hanya jawab benar atau tidak, papa tidak ingin ada kebohongan di sini."

David menatap mata papanya yang memancarkan ketegasan. Ia tak mungkin bisa berbohong di situasi seperti ini. Menarik nafas panjang merilekskan diri terlebih dahulu sebelum menjawab.

"Benar pa, Laras adik tingkatku semasa kuliah dulu."

"Sekarang sudah putus?" tanya Wira.

Seakan belum puas papanya kembali mengajukan pertanyaan yang menurutnya bukan sesuatu hal yang penting. Apakah papanya sedang mencurigai sesuatu?

"Sudah, sejak aku lulus dulu. Kami tidak komunikasi sampai sekarang," jawab David.

"Ada apa? Tumben papa menanyakan hal seperti ini," sambung David lagi.

"Bukan sesuatu yang penting, papa menemukan foto dengan tulisan nama di belakangnya, di map yang kemarin asisten kamu kirimkan ke papa."

"Papa kira dia kekasih kamu, mengingat gimana mama kamu dan banyak orang luar mencurigai kamu penyuka sesama jenis."

"Ternyata bukan, awalnya papa ingin kalian segera menikah untuk mematahkan rumor itu."

David menghembuskan nafas dalam, sampai saat ini pun ia merasa terganggu dengan rumor yang beredar. Bahkan mamanya mempercayai bahwa ia memang seperti itu.

"David masih waras untuk tidak melakukan itu pa."

"Papa percaya."

Papanya menepuk bahunya lembut sebelum meninggalkannya yang tengah merenung.

Apakah ia kenalkan saja orang tuanya pada Riana. Jujur saja ia mulai jengah dengan tuduhan orang-orang padanya. Memuakkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status