Key bertemu Ilmi. Keduanya berjalan beriringan. Sudah saatnya Key menceritakan keinginannya menjadi suami bohongan untuk Zena.
“Katakan sejujurnya bro. Apa alasan lu pengen membantu sampai segitunya?” “Kenapa ya bro? Gue cuman merasa dia itu ... Cantik." Ilmi terbatuk mendengarnya. "Dari sekian banyak cewek cantik yang kita lihat semasa perjalanan. Pas di Bali, di ibukota, dan di Jogja, lu malah jatuh hati ke gadis kampung? Ternyata selera lu ayam kampung?" "Apaan sih lu, ayam kampung adanya di sono noh, di warung makan." Karena kesal, Key menghajar pundak Ilmi. Ilmi tidak ingin kalah dan balas menangkis tinju-tinju Key. "Heaaa!!" Keduanya berkelahi bohongan. Tingkah konyol mereka tidak mengurangi aura wibawa yang terpancar dari diri masing-masing. "Cukup! Cukup!" "Kenapa, takut? Segitu saja kemampuanmu dokter muda?! Asal tahu saja, gua bisa--" Key menyemprot bibir bocor Ilmi dengan semprotan cabai. "ASU." "Lu bisa diem gak? Gue serius." Key menyimpan lagi semprotan cabainya. Tidak jauh dari sana Key menemukan seorang santriwati yang tangannya terluka akibat terlilit benang layang-layang. Tanpa meminta izin, Key yang gila pengobatan langsung mengobati siswi yang terluka itu dan memberikan senyum paling menawannya. "Lagi-lagi tebar pesona ... " Gerutu Ilmi yang merasa kalah saing. Setelah mengobati santriwati itu, Key memberinya sebutir obat penambah darah, "simpanlah untuk berjaga-jaga. Kalau kamu merasa pusing, artinya kamu kekurangan darah." Key menatap genangan darah di depan santriwati itu. Obat penambah darah yang dia berikan setidaknya cukup untuk mengembalikan sebagian besar darah yang terbuang dari tubuh sang gadis. Merasa terbantu, gadis itu menatap Key lekat. Kemarin, dia melihat Key melakukan hal yang sama untuk Zena. Membuatnya berpikir, Key adalah dokter yang dikirim untuk mengurusi santriwan dan santriwati disini. "Apa kamu dokter baru yang dipekerjakan disini?" Tanya gadis itu polos. Ilmi sangat gemas padanya sampai menahan tangannya. Key menatap Ilmu tajam. Memberi tanda agar Ilmu mengurungkan niatnya menyentuh pipi gadis itu. Ilmi terus menggerutu melihat Key yang makin populer. Dalam seminggu, popularitas Key akan melejit. Namanya akan terdengar sampai ke luar pesantren dan saat itulah Ilmi akan tantrum setiap kali melihat sahabatnya itu didekati oleh perempuan. "Kalau lu iri, pelajarilah sesuatu yang berguna dan praktikkan. Lu kan jago fotografi, nah gimana kalau lu kumpulin foto santri-santri yang anda disini. Bikin album fotografi potrait yang bagus pasti akan melejitkan namamu." Ilmi tampaknya memikirkan saran Key. Dia segera mengambil kamera Sony A7R IV yang tersimpan di dalam koper. Melihat kawannya mengeluarkan kamera yang super bagus, Key tidak tahan untuk tidak berceloteh, "kamera baru nih. Berapa harganya?" "Hehee jangan iri ya. 30 juta." Key refleks menjulurkan lidah. Mencemooh keterangan tidak jujur Ilmi. "30 juta matamu. Kamera itu setidaknya 45 juta." "Bisa saja kalau penjualnya anak buah ayahku. Aku beli ini dengan uang tabunganku sendiri." Lagi-lagi Key menjulurkan lidah tanda mengejek. "Kalau tidak percaya tidak apa-apa." Ilmi mengabaikan Key yang terus menjulurkan lidah. Walaupun kesal, Ilmi tetap berkawan dengan Key. Katanya pada Key yang terus menjulurkan lidah, "woi anjing, jalan lu lambat banget." "Gue bukan anjing! Cih, lu nantang gue?" Lagi-lagi kedua santri impor itu berkelahi. Seorang ustadz menegur mereka. Menjewer telinga keduanya dengan sangat keras. "Kalian berdua tidak henti-hentinya bertengkar. Kalau mau jadi jagoan di depan saja. Usir keluarga Zena si pembuat onar itu!" "Keluarga Zena?" "Si pembuat onar?" Ucap dua pemuda itu bersamaan. Key segera melepaskan diri dari jeweran si ustadz lalu membungkuk meminta maaf. Ilmi meniru teladan Key. "Maaf pak ustadz, kami janji tidak akan bertengkar lagi. Ayo Ilmi! Siapkan lensa kamera." "Oke," sahut Ilmi. Masalah yang dihadapi orang itu entah mengapa membuat Ilmi bersemangat. **** "Zena, ayo pulang sama papa," Cara Hanum membujuk Zena sangat menyedihkan. Bahkan penculik yang memberi sebatang lollipop lebih effort dari ini. Gus Karim berusaha melerai, tapi Hanum mencengkeram tangan Zena sangat kuat. Tidak akan longgar sampai Zena menginjakkan kaki di rumah. Tiba-tiba blitz kamera menimpa wajah Hanum. Mengubah corak merah di wajah pria kejam itu menjadi coklat kembali. "Ups, maaf," ucap Ilmi tanpa rasa bersalah. Ilmi mengambil beberapa jepretan lagi, blitz kamera sengaja dibuat seterang mungkin agar mengganggu pandangan. Ilmi pun tertawa melihat hasil jepretnya. "Hahahaa wajah anda semakin dipotret semakin jelek pak." "Hushh! Diam kamu Ilmi!" Tegur Gus Karim. Beliau tidak ingin anak-anak lain meniru sifat bar-bar, tidak tahu malu, yang melekat pada diri Ilmi. Ceklek! Untuk kesekian kalinya blitz terang benderang menyapu bersih wajah mereka. Ayah Zena yang memang lemah terhadap cahaya terang mencoba mengambil kamera Ilmi. Katanya dengan sangat kasar, "matikan blitz sialan itu, atau aku hancurkan." Tapi Ilmi dengan nada setengah bercanda justru menantang balik, "coba saja pakde. Tangan pakde aja mencengkeram si Zena, mana bisa mengejar saya, Hahahaa." Selepas mengatakan itu Ilmi lari ke samping Gus Karim. "Maaf Gus, saya enggak tahan dengan sikap mereka yang kasar pada perempuan. Walaupun mereka keluarga Zena, bukan berarti seluruh tubuh Zena halal diperlakukan kasar oleh mereka kan?" Gus Karim mengangguk. "Benar kata anak didik saya. Selain itu, saya sudah berjanji akan melindungi Zena dari orang-orang yang berniat mencelakainya. Jadi lepaskan tangan Zena sekarang atau saya terpaksa bertindak tegas." Ayah Zena yang bernama Hanum menatap tajam anak gadisnya. Kebohongan apa yang Zena katakan sampai membuat Gus Karim dan dua anak didiknya membelanya mati-matian. "Zena! Jujur pada ayah! Kamu bilang apa ke mereka?" "Maaf ayah. Zena menceritakan semua kelakuan ayah dan ibu dari secara sepihak. Tapi ayah tidak perlu khawatir. Aku kabur dari rumah itu benar. Tapi aku melakukannya karena sudah punya calon suami yang sedang menuntut ilmu di pesantren." Hanum ingin muntah mendengarnya. Calon suami Zena anak pesantren? Apa yang bisa diberikan pria yang hanya makan 2 kali sehari, minum dari air sumur, memakai baju yang sama selama 2 - 3 hari. Apa yang bisa mereka lakukan untuk membahagiakan putrinya? "Kamu yakin Zena? Mereka itu kan miskin-miskin." Senyum di wajah Ilmi menghilang mendengar tuduhan ayah Zena. "Aku tidak peduli mau dia kaya atau miskin, setidaknya dia ganteng ... Dan dia bisa diandalkan untuk membina hubungan yang sehat. Orangnya penyayang ... Dan ... Dan ... Serba bisa." Zena merangkai kata untuk pria yang bahkan tidak diketahui identitasnya. Zena berharap dengan melakukan itu, ayahnya akan membiarkannya hidup bebas. "Aku enggak mau tinggal bersama kalian lagi. Kalian selalu memaksaku menikah. Masalahnya, semua pacarku kabur saat tahu ayah seorang dukun." Hanum baru tahu soal itu. Selama ini dia mengira alasan hubungan asmara Zena tidak pernah berhasil tidak jauh-jauh dari permasalahan sikap Zena yang tomboi seperti laki-laki. Sebenarnya, justru sifat tomboi itulah yang membuat Zena memiliki daya tarik lebih di mata pemuda-pemuda desa. Mereka menyukai gadis yang kuat dan mandiri. "Ayah tidak setuju kamu menikah dengan pemuda pesantren! Pulang sekarang juga!!" Zena berontak hebat, "enggak mau! jangan paksa aku!" Key yang berniat menolong dihalangi oleh Iz dan Sam, justru Ilmi lah yang berhasil membebaskan gadis itu dengan cara nekat memukul tangan Hanum. Yang terjadi selanjutnya mengejutkan semua orang. Zena memeluk tangan Ilmi, lalu berkata, "selamatkan aku sayang! kamu berjanji padaku akan melindungiku dari keluargaku kalau melayanimu kemarin malam!" "APA????" ini reaksi Hanum. "APA?!?!" dan ini Key. Pengakuan ngawur Zena membuat kedua lelaki itu tantrum.Zena memutuskan pindah dari rumahnya saat ini. Baru saja gadis kecil kita mendapatkan pekerjaan baru di toko kue. Jadi mulai besok Zena akan bekerja sebagai koki kue di toko kue tersebut. "Terima kasih karena sudah mau menampung saya selama beberapa hari disini." Ucap Zena sambil menyalami mbak Rara. "Iya. Sayang sekali kamu gagal di tes itu." "Iya. Mau bagaimana lagi." Zena sudah ikhlas. Mungkin posisi asisten manajer Rara memang tidak ditakdirkan untuknya. "Sekarang kamu mau tinggal dimana?" Zena tidak sungkan menjelaskan semuanya pada Rara. Biar bagaimanapun Rara adalah orang pertama yang bersedia menampungnya. Memberikannya tempat tinggal gratis dengan perjanjian memotong gaji. Mungkin jika Zena sukses dalam tes itu, alur kehidupannya akan berbeda. "Sampai jumpa lagi mbaj Rara. Saya akan memasak kue mulai hari ini." Mbak Rara melambaikan
"Jadi kamu si pegawai baru itu. Sayang sekali sayang gak bisa ospek kamu, padahal perploncoan itu penting." Seorang pegawai senior menghampiri Zena. Menyadarkan gadis kita dari lamunannya. "Apa yang kamu pikirkan?" Zena tersipu. Berkata jujur hanya akan membuatnya semakin malu. "Saya cuma sedang gugup." Tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa gugup sama sekali. "Zena?" Mbak Rara memanggil Zena. Dengan segera menghampiri bosnya. "Sudah siap mengikuti tes? Kalau berhasil posisi Asisten Manajer saya akan jatuh ke tangan kamu." "Sudah siap bos. Kalau akan membuat kerajinan tangan dari kayu untuk mengenang hari kerja pertama saya di Malaysia." sahut Zena dengan emosinya yang terkontrol dengan baik. Penting untuk bersikap sopan dan mengontrol luapan emosi agar tidak dianggap kasar. Budaya kerja Malaysia mungkin tidak ada bedanya dengan budaya kerja Indonesia, hanya bahasanya saja yang berbeda.
* POV ZENA * Pertama kali menginjakkan kaki diluar negeri, aku gugup setengah mati. "Mbak .... Kita mau tinggal dimana?" tanyaku pada mbak Rara. Orang yang menjemputku ketika turun dari pesawat. "Ke kontrakan kamu." Jawab mbak Rara dingin. Aku mengederkan pandangan ke sekitar. Bandara ini sangat canggih. Hampir semuanya dikerjakan oleh mesin. Tenaga manusia hanya diperlukan di bagian keamanan saja. Kami naik taksi ke tempat tujuan. Wanita ini adalah pengganti wanita yang mengajakku merantau. Sejauh yang aku tahu, wanita ini adalah agen pemandu perjalanan. Sikapnya yang dingin seolah menunjukkan ketidaksukaannya pada perantau sepertiku. "Jangan salah sangka, saya bukannya tidak menyukai anda. Saya hanya sedang liburan dan juga sedang sakit gigi." Ucapnya. Aku mengangguk. Apa ekspresiku terlalu mudah dibaca? Aku dan Giska berpisah saat menurun
Tanpa sadar aku mengedipkan mata padanya. “Apa kamu tidak ingin mengajakku jalan-jalan? Kamu sedang sibuk ya?” Aku sengaja mengetesnya. Apa dia masih punya perasaan padaku atau tidak. Kalau masih ada, dia pasti menerima ajakanku atau minimal membuat janji temu nanti. Senang melihatnya salah tingkah. Untung saja tidak ada orang lain di ruangan ini, kalau ada, apalagi itu staf rumah sakit, mereka bisa terkejut setengah mati melihat dokter yang biasanya berwibawa itu menjadi ciut ketika berhadapan denganku. “Kamu datang di saat yang tidak tepat. Aku sedang sibuk sekarang.” Gumam Key. Tampak raut wajah yang letih. “Maaf. Aku kangen banget sama kamu. Apa kamu punya waktu luang? Bagaimana kalau healing sambil jalan-jalan?” Tawarku. “Darimana ... Kamu tahu aku bekerja disini?” Gampang saja, bertanya pada orang-orang. Bagi introvert sepertimu bertanya mungkin adalah tindakan yang asing. Dasar oppa penyendiri!
“Kenapa tidak mengabari kami? Ayah bisa menyiapkan reuni keluarga terbaik sepanjang hidupmu. Benar kan? Iz, Sam.”Iz dan Sam. Kedua pamanku datang dengan gaya seorang koboi. Tapi yang mereka tunggang bukan kuda melainkan kerbau.“Kembalilah ke keluarga Zena. Kami tidak sejahat yang kau pikirkan.” Kata paman Iz.“Justru sebaliknya. Kami akan memberimu sebuah perusahaan kalau pulang sekarang. Ini rahasia keluarga kita. Selama ini kamu tidak tidak tahu keluarga kita punya perusahaan kan?” Timpal paman Sam dengan delusinya.Perusahaan apa? Kalau keluarga kami punya perusahaan tidak mungkin ayahku berprofesi sebagai dukun.“Diam kalian dua pengangguran! Jangan ikut campur.” Bentakku lantang.Aku memberi kode pada si botak dan si gondrong. Sebenarnya aku tidak ingat nama mereka, jadi kupanggil saja demikian.Kusuruh mereka mendekat karena instingku berkata: akan terjadi pertempuran sebentar lagi.“Zena! Jangan kurang ajar! Mereka pamanmu.”“Tap
“Sa-saya tidak melakukan apa-apa, sumpah!”Kalau tidak melakukan apa-apa kenapa takut aku mengecek kamera pengawas? Syarif semakin mencurigakan. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.Kamera pengawas sudah di tanganku. “Aku tidak akan melaporkanmu kalau kamu tidak sengaja. Jadi tenanglah! Ataukah mungkin ... Kamu memang sengaja tidur di sebelahku tadi malam?”“Tidak! Sleep Walking lah penyebabnya, hanya itu!”Ketika aku menyalakan kamera pengawas, terlihat gambar baterai kosong. Sial. Gagal sudah keinginanku meluruskan masalah ini.Syarif tampak bernafas lega. Huh, kau tunggu saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di dekatku lagi. Bayangkan ada yang melihat kami keluar dari kamar yang sama pagi ini. Betapa malunya aku kalau sampai Okky tahu.“Keluar! Mau itu Sleep Walking atau sengaja, intinya kamu sudah tidur di sebelahku tanpa izin. Jangan kira kamu bisa lolos dari masalah ini.” Ucapku pada Syarif yang baru keluar dari toilet.Sikap san