Share

Bab 7: Suami Mesum

Matahari masih malu-malu menampakkan sebagian sinarnya. Alia terbangun dari tidur nyenyaknya pagi ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menghirup udara pagi yang terasa sangat segar. Sesaat ia tersentak saat terbangun dan menyadari berada di dalam kamar kedua orang tuanya. Tapi ia segera sadar bahwa tadi malam dirinya memang tidur bersama sang mamih guna menghindari malam pertamanya bersama si om. Entah tidur di mana sang papih semalam. Alia terkikik mengingat kejadian itu.

‘Maafkan anakmu yang durhaka ini, Pih,’ gumam Alia.

Alia mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut kamar, tidak ada siapa-siapa di kamar itu selain dirinya. Mungkin sang mamih sudah turun ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Memang di rumah itu yang menyiapkan sarapan selalu sang mamih, bukan asisten rumah tangganya.

Kemudian Alia bergegas keluar kamar dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Ia berjalan mengendap-endap seperti maling yang ketakutan jika tertangkap basah. Dibukanya pelan-pelan kenop pintu kamar sambil kepalanya melongok sedikit ke dalam kamar untuk memastikan ada siapa di dalam kamar itu.

Kosong, tidak ada siapa-siapa di dalam kamarnya. Setelah memastikan si om tidak berada di dalam kamar, ia melangkah masuk ke dalam kamar dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lupa ia membawa baju ganti dari dalam lemari pakaiannya. Ia menyalakan keran air hangat di dalam bath tub-nya. Setelah air hangat memenuhi bath tub, ia menuangkan beberapa tetes aromaterapi ke dalamnya dan mulai menanggalkan seluruh pakaiannya untuk merendam tubuhnya di dalam air hangat itu.

Ah, seger!

Ketika sedang asyik berendam, tidak terasa matanya terpejam untuk beberapa saat. Ia merasakan tubuhnya nyaman di dalam air hangat. Ia membuka kedua matanya saat terdengar pintu kamar mandi dibuka oleh seseorang.

“Aaaaaa!!!” teriak Alia, ia sontak kaget saat mendapati Reyvan muncul dari balik pintu kamar mandi dan tengah melihat tubuh polosnya dengan ekspresi yang sulit dimengerti. Ia tidak menyadari bahwa pintu kamar mandi lupa ia kunci dari dalam ketika masuk tadi.

'Sial, gue lupa kunci kamar mandi tadi,' runtuk Alia dalam hati.

“Ngapain Om masuk ke kamar mandi? Mau ngintipin aku mandi, ya?” sembur Alia, ia menutup dadanya dengan kedua tangannya.

“Siapa yang mau ngintipin kamu?” tampik Reyvan, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. “Saya kira nggak ada siapa-siapa di dalam kamar mandi,” kilahnya lagi.

“Alasan!” geram Alia, “yaudah sekarang cepetan keluar, ngapain masih berdiri di situ?” dengusnya lagi kesal. Dalam hati, ia mengeluarkan sumpah serapah karena tubuh polosnya secara tidak langsung sudah dilihat oleh Reyvan.

Reyvan segera membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari kamar mandi dengan menutup pintu agak keras sehingga menimbulkan suara dentuman yang cukup kencang.

“Dasar om-om mesum!” jerit Alia. Ia kesal, kesal, kesal.

Alia langsung membilas tubuhnya dengan cepat lalu memakai bajunya yang tadi sudah ia ambil di dalam lemari pakaiannya. Untungnya ia masih ingat membawa baju ganti ke dalam kamar mandi. Kalau tidak, apa jadinya nanti jika si om mesum masih berada di dalam kamar. Ia melangkah keluar kamar mandi dan mendapati Reyvan yang sedang duduk di tepi ranjang sambil memainkan ponselnya.

‘Tuh kan, si om masih di dalam kamar!’ gerutu Alia kesal.

Dengan raut wajah yang masih kesal, Alia berjalan menuju meja riasnya. Mendudukkan tubuhnya di kursi yang berada di depan meja rias, mengambil sisir dari dalam laci, lalu menyisir rambutnya yang panjang.

Dari pantulan cermin, Alia bisa melihat dengan jelas bahwa suaminya masih asik dengan ponselnya. Ia mengumpat, kenapa dirinya harus menikah dengan laki-laki semenyebalkan itu.

Reyvan beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi setelah menaruh ponsel miliknya di atas meja nakas samping tempat tidur.

Beberapa menit berlalu, Reyvan keluar dari dalam kamar mandi hanya dengan memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.

Alia memalingkan wajahnya saat pantulan cermin menampilkan Reyvan tanpa memakai baju. Terlihat otot-ototnya yang kekar terpampang di sana.

‘Ternyata si om rajin nge-gym juga,’ kata Alia membatin saat melihat dada sixpack suaminya.

Sesaat ia terpaku, baru kali ini melihat laki-laki lain bertelanjang dada selain papihnya. Tapi sedetik kemudian ia segera sadar. “Kenapa Om nggak pakai baju, sih?” sembur Alia. Matanya yang masih suci, kini sudah ternoda.

“Baju saya di dalam tas,” jawab Reyvan datar, ia mengambil sebuah kaos dari dalam tas hitam miliknya yang kemarin ia bawa dari rumahnya. Tanpa malu, Reyvan memakai kaos itu di dalam kamar yang masih bisa dilihat oleh Alia dari pantulan cermin. Saat Reyvan hendak membuka handuk yang melilit pinggangnya, Alia hampir saja terpekik tapi ia segera membungkam mulutnya saat sadar suaminya telah memakai celana pendek di balik handuk itu.

“Kamu kenapa?” tanya Reyvan datar saat melihat Alia menghembuskan napas panjangnya sambil menutup mata.

‘Aduh, jantung gue hampir copot!’ batin Alia. Jantungnya berpacu dengan kencang sambil membayangkan hal apa yang terjadi kalau tadi Reyvan tidak memakai apa-apa di balik handuknya. Ia jadi malu sendiri.

“Om bisa pakai baju di dalam kamar mandi nggak sih?” tanya Alia ketus.

“Emangnya kenapa?” Reyvan balik bertanya.

“Emangnya Om nggak malu ya pakai baju di depan aku?” tanya Alia lagi emosi.

“Emangnya salah kalau saya pakai baju di depan is-tri sa-ya?” lagi-lagi Reyvan menjawab pertanyaan Alia dengan pertanyaan lagi dan menekan kata ‘istri saya’ di akhir kalimatnya.

Alia kesal, percuma juga mendebat seorang dosen seperti suaminya. Pasti suaminya itu pandai berkelit dan tidak mau kalah.

Alia keluar kamar dengan menghentakkan kakinya. “Terserah Om, deh!” dengusnya kesal.

***

“Udah bangun, Al?” tanya Melati saat Alia mendudukkan tubuhnya di atas kursi yang berada di ruang makan.

Alia hanya tersenyum. Pagi-pagi mood-nya sudah hancur karena bertengkar dengan suaminya tadi.

“Kok mukanya cemberut?” tanya Bagas mengangkat alisnya, “bukankah semalam tidur kamu nyenyak karena kamu udah menyabotase kamar Papih,” cicitnya lagi.

Alia tertawa kecil sambil menangkup kedua tangannya di atas dada. “Maafkan hamba, Yang Mulia Raja,” selorohnya sambil terkikik.

“Tumben banget semalam kamu pingin tidur sama Mamih?” tanya Bagas, masih penasaran dengan alasan putrinya. “Papih jadi tidur di sofa, deh.”

“Ya ampun … maaf ya Pih, soalnya—” Belum sempat Alia menjawab pertanyaan sang papih, seseorang yang sangat menyebalkan sudah muncul dan langsung duduk di kursi samping dirinya.

“Selamat pagi, Pih, Mih,” sapa Reyvan pada kedua mertuanya.

Alia mendengus kesal. ‘Apa itu tadi? Si om manggil papih dan mamih? Itu kan papih dan mamih gue!’ desisnya, ia memutar bola matanya malas.

Apakah Alia lupa kalau yang dia sebut om itu sekarang sudah sah menjadi suaminya? Otomatis orang tua Alia adalah orang tuanya Reyvan juga, kan?!

“Pagi juga, Rey,” sahut Melati.

“Gimana tidurnya, Rey?” tanya Bagas, “pasti semalam tidur kamu nggak nyenyak karena nyariin guling hidup yang tiba-tiba hilang, ya?” tanyanya lagi menggoda.

Sudut kedua alis Alia berkerut, mencerna kata-kata sang papih barusan. ‘Si om nyariin guling hidup? Maksudnya?’ gumamnya tidak mengerti.

Reyvan hanya tertawa kecil menanggapi godaan sang mertua. Dirinya malah bersyukur semalam Alia tidak berada di dalam kamar karena ia sendiri pun masih segan kalau harus tidur berdua di dalam kamar dan berdekatan dengan seorang wanita walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Ia merasa belum terbiasa.

“Rey, hari ini kamu jadi pulang ke apartement kamu?” tanya Melati sambil mengolesi selai pada lembaran roti yang berada di hadapannya. Kebiasaan di rumah itu adalah mereka hanya memakan roti untuk sarapan.

“Jadi, Mih. Besok Rey harus ke kampus pagi-pagi soalnya. Ada mahasiswa yang mau bimbingan skripsi,” jawab Reyvan sambil melirik istrinya yang duduk di sampingnya.

Alia bersorak dalam hati. ‘Yes, hari ini si om pulang ke apartemennya. Otomatis gue nggak bakal ketemu dia lagi di rumah ini,’ batinnya senang. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan dirinya akan single kembali tanpa suami.

“Siapkan barang-barang kamu, Al. Nanti siang kita pindah,” ujar Reyvan melirik istrinya lagi.

Alia menganga. ‘Apa? Kenapa si om harus membawanya ikut serta pulang ke apartemennya juga?’

“Apa? Aku masih mau tinggal di sini!” seru Alia sambil menyilangkan kedua tangannya di atas dada, “kalau Om mau pulang, pulang aja sendiri!” semburnya lagi.

“Saya tidak suka dibantah. Bukankah kemarin Papih bilang kalau perintah suami harus dituruti?” Reyvan menatap tajam ke arahnya.

Alia bangkit lalu melingkarkan tangannya di pundak sang papih. “Pih, Alia masih mau tinggal di sini.” rajuknya manja.

“Karena sekarang tanggung jawab Papih udah pindah ke tangan Reyvan, jadi kamu harus nurut sama Reyvan,” jawab Bagas tegas. Sebenarnya ia pun ingin Alia tetap tinggal di rumah ini, namun suaminya lebih berhak atas hidup putrinya itu sekarang.

Karena tidak mendapatkan pembelaan apapun dari sang papih, Alia beranjak menghampiri sang mamih dan menyandarkan kepalanya di pundaknya. “Mih, boleh ya Alia tinggal di sini. Sebulan aja, deh. Atau seminggu, deh. Alia masih mau di sini,” rengeknya, matanya sudah mulai berkaca-kaca. Tidak mungkin ‘kan kalau dirinya akan langsung meninggalkan rumahnya bersama orang yang tidak dicintainya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana suasana yang akan terjadi kalau nanti mereka tinggal dalam atap yang sama tanpa ada cinta. Dan juga ia pasti akan merasa kesepian, tidak ada tempat untuk berkeluh kesah lagi.

“Kamu itu udah jadi tanggung jawab suamimu, Al. Kami nggak berhak melarangnya lagi,” jawab Melati, ia menyimpan pisau untuk mengupas buah yang sedang ia pegang lalu mengusap lembut rambut putrinya yang berada di pundaknya.

“Iya Al, kamu harus ikut apa kata Reyvan selagi itu hal yang benar. Dosa loh kalau kamu membantah,” kata Bagas menimpali.

“Lagian kamu masih bisa main ke sini, kan,” ujar Melati lagi.

Alia memberengut. Ia hanya bisa pasrah, tidak ada gunanya lagi berdebat dengan orang tuanya. Dengan langkah kesal dan menghentak-hentakan kakinya, ia kembali ke kursinya untuk sarapan. Pagi ini mood-nya benar-benar hancur. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si om mesum.

“Ayo, sekarang kita sarapan dulu!” ajak Bagas.

“Kamu mau sarapan nasi, Rey?” tanya Melati pada menantunya. Ia takut menantunya tidak terbiasa makan roti di pagi hari.

“Oh … nggak usah, Mih. Roti udah cukup, kok. Rey nggak biasa makan yang berat kalau pagi,” beber Reyvan.

“Tuh Al, denger. Reyvan nggak biasa makan yang berat-berat kalau sarapan. Kamu harus inget kalau nanti mau nyiapin sarapan untuk Reyvan,” imbuh Melati pada putrinya.

“Iya, Mih,” sahut Alia ketus.

‘Siapa juga yang mau bikinin si om sarapan? Emangnya gue pembantu dia? Kalau mau dibikinin sarapan, nyari pembantu aja sana!’ sulut Alia dalam hati.

“Saya tau lho, kalau kamu sedang menggerutu,” bisik Reyvan di telinga Alia.

“Eh, siapa yang lagi ngegerutu? Dasar sok tau!” kilah Alia sambil memeletkan lidahnya ke arah suaminya.

Untung sang mamih dan sang papih tidak melihat kelakuannya yang tidak sopan terhadap suaminya. Kalau tahu, Alia pasti akan mendapat ceramah tujuh hari tujuh malam sampai kupingnya panas.

***

Setelah sarapan, penghuni rumah ini kembali menjalani aktivitasnya masing-masing. Bagas belum pergi ke kantor karena ingin melihat putrinya itu pergi meninggalkan rumahnya.

Alia kembali ke kamarnya untuk menyiapkan barang-barangnya. Dibukanya pintu kamar itu dengan sedikit kasar, ia sebal karena orang tuanya menginginkan ia pindah siang ini.

Saat memasuki kamar, terlihat Reyvan sedang berbaring di sofa yang berada di kamarnya sambil memainkan ponselnya.

“Kenapa harus pindah hari ini sih, Om?” runtuk Alia kesal, “kalau mau pulang, ya pulang aja sendiri,” lanjutnya lagi.

Reyvan bangun dari posisinya berbaring lalu menghembuskan napasnya berat. Ia berjalan menhampiri istrinya yang masih mematung di depan pintu walaupun pintu kamar itu sudah tertutup.

Melihat suaminya yang berjalan semakin mendekatinya, membuat Alia berjalan mundur sampai tubuhnya membentur pintu. Ia sudah tidak bisa bergerak kemana-mana lagi karena Reyvan mengunci pergerakannya dengan merentangkan kedua tangannya di samping kanan dan kiri Alia.

“Kamu belum paham juga dengan omongan papih dan mamih tadi?” Reyvan menatap tajam ke arah istrinya. “Apa nanti saya harus memberikan mata kuliah pemahaman untuk kamu?” tanyanya lagi.

Alia bisa merasakan aroma mint yang menguar dari mulut suaminya karena kini jarak mereka hanya beberapa senti saja.

“Ta—tapi, aku belum mau pindah dari sini,” jawab Alia terbata, ia gugup dengan jarak mereka yang sedekat ini. Ini adalah kali pertama dirinya berdekatan sedekat itu dengan lawan jenis walaupun dirinya pernah pacaran dengan Aldo selama tiga tahun. Tapi ia selalu membentangkan jarak lebar agar Aldo tidak melampaui batasnya.

Reyvan semakin mendekatkan wajahnya yang membuat jantung Alia semakin berdegup kencang. Alia memejamkan matanya saat Reyvan seperti hendak mencium bibirnya.

“Itu urusan kamu,” bisik Reyvan tepat di telinga Alia sambil menyentil keningnya.

Alia terlonjak kaget sambil kesakitan memegangi keningnya. Wajahnya memerah saat menyadari sudah berpikiran yang tidak-tidak tadi. Ia pikir suaminya akan menciumnya dengan jarak yang sedekat tadi. Tapi ternyata ia malah mendapatkan hadiah sentilan di keningnya.

Reyvan kembali berjalan menuju sofa dan mendudukkan tubuhnya di sana. “Cepat, bereskan barang-barang kamu,” kata Reyvan.

Alia melangkah menuju lemari pakaiannya untuk membereskan pakaiannya sambil tangannya masih mengusap-usap keningnya yang masih terasa sakit. Belum apa-apa, dirinya sudah terkena KDRT.

‘Dasar om-om mesum!’ pekik Alia dalam hati. Kesal!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ashev Maulana
ko gak bisa di buka bab selanjutnya? padahal koin banyak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status