Share

Bab 6 - Uang Lamaran

Author: MeowMoe
last update Last Updated: 2023-10-23 14:16:03

“Dua miliar.”

Aku berusaha menahan diri untuk terlihat tenang walau sebenarnya sangat kaget. Aku memang sudah terbiasa melihat uang kas di divisiku yang bahkan sampai ratusan miliar, namun hanya dalam data. Aku belum pernah melihat uang 1 miliar di depan mataku sendiri, terutama di rumahku.

'Dan ini 2 miliar? Luar biasa... Jadi 2 miliar sebanyak ini toh tumpukannya?'

“Jadi... Apa menjadi pengawal pribadi memang memiliki bayaran besar?” tanyaku lagi.

Steven tampak ragu sebelum akhirnya mengangguk. “Lumayan,” sahutnya kemudian.

“Kau yakin ini bukan uang hasil kejahatan, kan?”

“Tidak. Sudah saya katakan kalau saya tidak pernah melakukan hal seperti itu.”

Aku memicingkan mata, sengaja memberikan tatapan curiga padanya. “Apa kau pernah membunuh seseorang dalam tugasmu? Maksudku…, kau memiliki senjata api.” Melihatnya tampak ragu menjawab pertanyaanku, membuatku kembali merasa takut. “K-kau... Apa kau pernah melakukannya?!”

Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kalau pembunuhan yang dilakukan tim termasuk dalam hitungan, berarti saya terhitung pernah melakukannya.”

“Maksudku dengan tanganmu sendiri,” aku cepat meluruskannya. Aku benar-benar ingin tahu dengan siapa aku akan berbagi rumah. Bahkan kamar, mungkin?

“Tidak. Saya belum pernah melakukannya.”

“Bagus! Dan tolong jangan pernah melakukannya,” sahutku cepat.

Setahuku, seseorang yang sudah pernah melakukan pembunuhan tidak akan merasa canggung untuk mengulangi perbuatannya. Maksudku, aku tidak ingin dia melakukannya padaku juga suatu saat nanti. Ingat, aku berniat untuk menceraikannya dalam waktu dekat dan takut jika dia akan membunuhku setelah aku melakukannya.

Steven tersenyum canggung, lalu mengangguk setuju. “Kalau Anda yang memintanya, saya akan berusaha.”

“Ya.”

'Hah? Kenapa harus mematuhiku? Oh... Benar juga, aku kan istrinya. Astaga, jadi dia benar-benar akan menganggapku sebagai istri yang sesungguhnya?'

Aku menatap kembali pada tumpukan uang. “Sebaiknya simpan kembali uang ini. Kita mungkin akan dirampok kalau ada yang tahu kau memiliki uang sebanyak ini,” saranku, walau ada sedikit rasa penyesalan dalam hatiku.

'Tsk…, andai Mama mengizinkannya melakukan lamaran… uang ini pasti akan… Haaaaahhh…, sudahlah…,' sesalku, yang tidak terpikir jika lamaran resmi itu sampai terlaksana, uang ini akan seperti uang darinya untuk membeli diriku.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, aku akhirnya menoleh pada Steven yang sedang menatap bingung padaku.

“Ini uang Anda. Silahkan kalau Anda mau menyimpannya,” sahutnya setelah bertemu pandang denganku.

“Ya. Sebaiknya seperti... A-apa?! Uangku?!” Aku sedikit histeris ketika menyadari maksudnya.

Aku menatapnya dengan mata terbuka lebar sementara ia terlihat menahan tawa.

“Saya memang ingin memberikannya pada Anda sejak awal. Sayang sekali ibu Anda tidak memberikan kesempatan.”

Aku menatap tumpukan uang itu lagi… lagi… dan lagi dan... Apa aku mau menolaknya? Tentu tidak. Aku tidak seperti itu. Terserah kalau ada orang yang mengataiku mau menikah hanya karena uang. Mereka tidak tahu, aku dinikahkan paksa dan kebetulan mendapat uang ini. Kucing dalam karung yang kupilih ternyata sangat manis! ―aku bahkan lupa kalau ibu tiriku lah yang memilihkannya untukku.

Aku menoleh lagi padanya, ingat kalau dia adalah pria yang langsung kutolak saat tahu kalau dirinya jauh lebih muda dariku dan pengangguran. Kalau waktu itu aku tahu dia akan memberiku uang 2 miliar, apa aku akan menerimanya? Tentu saja!

'Hohoho… Hmmm… Apa aku pensiun saja ya dari pekerjaanku? Tapi aku harus membayar pajak, kan? Hnnn? Apa uang yang di dapat dari lamaran juga harus membayar pajak? Tidak, kan?'

“Anda ingin saya membantu untuk menyimpannya?” tanya Steven membuyarkan lamunanku.

“Ya...? Tidak. Aku akan menyimpannya sendiri. Terima kasih.”

“Maksud saya, akan lebih baik kalau saya membantu Anda memindahkannya ke brankas. Saya lihat Anda memilikinya di kamar.”

“…Oh... K-kau benar. Kalau begitu, tolong bantu aku memindahkannya.”

❀❀❀

Aku tersadar dari pingsan sekitar pukul 6 pagi dan sekarang sudah pukul 9 pagi. Butuh waktu satu setengah jam untuk memindahkan tumpukan uang itu ke dalam kamar. Untungnya aku kebetulan memiliki banyak waktu luang karena hari ini hari Sabtu dan aku sedang libur bekerja.

Setelah kami selesai memindahkan semua uang, Steven memintaku untuk mengantarnya membeli pakaian tambahan untuknya dan kami pun pergi ke toko baju terdekat yang kutahu.

Aku melihatnya memilih pakaian dengan asal. Dia tampak tidak memedulikan harga atau kualitas pakaian yang dibelinya. Asalkan ukurannya cocok, dia langsung mengambilnya.

'Apa dia tidak masalah kalau pakaiannya tidak nyaman di kulit? Ah, terserahlah…, yang penting kami akan cepat pulang. Ada banyak uang yang kutinggalkan di rumah.'

Aku sebenarnya ingin membayarkan pakaian itu, hitung-hitung sebagai hadiah dariku untuknya. Namun Steven sudah terlebih dahulu membayarnya menggunakan sebuah kartu debit ―atau aku yang sengaja membuka ritsleting dompetku dengan lambat?

Setelah dari toko pakaian Steven juga mengajakku makan di luar dan aku membawanya ke rumah makan Cina yang pernah kulihat dalam perjalanan ke kantor. Aku sebenarnya memilih toko pakaian dan rumah makan secara asal karena aku juga baru 1 minggu tinggal di daerah ini.

“Makanlah,” ucap Steven, “Anda belum makan sejak kemarin, kan?”

“Ah... Benar juga.” Aku sendiri sampai lupa kalau aku belum makan sama sekali sejak kemarin pagi.

Sebenarnya, saat ini aku telah melupakan segalanya. Dalam ingatanku hanya ada bergepok-gepok uang yang ada di brankas, terutama yang kusimpan di lemari pakaian. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya.

Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Pepatah yang pernah kudengar itu memang benar adanya. Aku bahkan meletakkan pikiranku juga di sana.

'Harusnya aku membeli brankas yang lebih besar beberapa buah. Bagaimana kalau ada yang masuk dan mencuri uang yang kusimpan di lemari?' Memikirkannya membuatku sakit kepala hingga tanpa sadar memijat-mijat kepalaku dengan ujung belakang sendok.

Aku baru tersadar setelah mendengar Steven tertawa sambil menatap ke arahku. Aku menoleh ke belakang, namun di belakangku hanya ada tembok dengan sebuah poster ayam goreng besar.

'Dia menertawakan poster ini? Memang lucu sih.'

“Anda terlihat sangat gelisah,” ucap Steven seakan mengerti kegundahanku.

'Oh… Dia menertawakanku.'

Aku menoleh ke kanan kiri, melihat apakah ada pengunjung lain yang sedang memerhatikan kami, lalu menarik bangku lebih dekat ke meja dan berbicara padanya dengan suara pelan. “Aku agak mengkhawatirkan uangnya. Bagaimana kalau kita pulang saja setelah makan?”

“Saya sudah selesai.”

Tatapanku beralih pada piring makannya yang sudah kosong. 'Hah? Kapan dia menghabiskannya?'

“Kalau begitu ayo kita pulang,” ajakku dengan semangat sambil memundurkan kembali kursi dan langsung berdiri.

“Anda baru makan beberapa suap.”

Aku akhirnya duduk kembali. Mendekatkan wajahku pada wajahnya, lalu berbicara, “Aku bisa membeli restoran ini selama uang itu masih ada. Kalau uang itu hilang, aku mungkin tidak akan semangat makan lagi.” Aku sedikit mengeluh padanya agar bisa segera pulang ke rumah, tapi dia malah tertawa.

Aku menatapnya kesal. Entah apa yang dia tertawakan namun aku hanya merasa kesal. “Aku pulang sekarang,” ucapku sedikit merajuk karena dia hanya tertawa dan sepertinya masih belum berniat beranjak dari kursinya.

“Tunggu. Tolong jangan khawatirkan uangnya.”

“Kau mungkin tidak khawatir karena kau...,” aku terkesiap. “Apa kau akan mengganti kalau uangnya hilang?”

Dia mengangguk.

Aku masih menatapnya, mengamati ekspresi wajahnya untuk menilai apakah dia hanya asal bicara atau tidak.

'Gila! Dia serius?'

Aku pun mengambil sendok dan garpu lagi lalu makan dengan lahap, cepat, dan tak tahu malu.

Sampai jam 7 pagi tadi aku masih tidak memercayainya dan sekarang aku percaya padanya setelah dia memberiku uang 2 miliar.

'Ha... Siapa sih yang tidak silau dengan uang sebanyak itu?' Jalan pikiranku memang tidak bisa ditebak, bahkan oleh diriku sendiri.

“Apa yang kau lihat?” tanyaku saat tidak sengaja bertemu pandang dengannya.

Steven tersenyum lembut lalu menggeleng.

“Apa kau menertawakanku?”

“Tidak... Saya cuma tidak menyangka akan menikah dengan wanita seperti Anda.”

Uhuk...!

Kata-katanya membuatku teringat kembali akan perbedaan usia kami yang terlampau jauh, membuatku tersedak nasi yang baru kusuap ke mulutku.

Steven dengan cekatan memberikan air minum dan tisu padaku. Gerakannya bahkan lebih cepat dariku yang seharusnya lebih responsif karena akulah yang tersedak.

“Apa kau sekarang menyesalinya?” tanyaku setelah meredakan batuk-batukku.

“Mana mungkin saya menyesal? Justru saya hampir tidak percaya bisa menikahi wanita secantik dan semanis Anda.”

“...”

“...”

'Kyaa... Pujianmu sangat memabukkan.' Aku tersipu kegirangan dalam hati

Untung saja mulutku sedang kosong. Jika tidak aku pasti akan tersedak lagi ―yah, untung saja aku tidak tersedak udara.

MeowMoe

Terima kasih sudah membaca... Terima kasih juga yang sudah memberi dukungan (vote, komentar, dan memberi rate bintang 5) Dukung terus ya... Thank You <3 Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_ Kalau berkenan follow I6 author ya : @meowmoe21 @_meowmoe_

| 2
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bagus Wibowo
gaaasss poooolllll
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Thank You

    Hai, Reader… Author mengucapkan terima kasih banyak dengan sepenuh hati atas kesabarannya saat menantikan setiap episode lanjutan selama dua bulan ini. Semua dukungan, komentar dan ulasan yang sudah kalian berikan adalah penyemangat bagi Author ketika menyelesaikan keseluruhan cerita ini, tentu saja itu sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan. Terima kasih yang tak terhingga untuk semua Reader di mana saja berada, yang sangat Author kasihi, karena tetap setia meluangkan waktu dan segalanya untuk membaca karya pertama Author hingga di akhir cerita. Walau sebenarnya cerita ini masih sangat jauh dari kata sempurna, Author berharap semoga novel “Hidup Bersama Yang Tak Terduga!” dapat tetap melekat dan memberikan kesan di hati para Reader. Akhir kata, dengan tak henti-hentinya Author berterima kasih kembali kepada semua Reader yang tetap bersedia meluangkan waktu menemani dan memberikan semangat baik berupa dukungan vote, komentar, dan ulasan di karya-karya Author yang berikutnya.

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 130 - Bersyukur

    “Hais… bisakah tidak mengatakannya selantang itu?” protesku pada Bertha.Bukannya aku pelit, hanya saja pertanyaannya tadi membuat sekumpulan ibu-ibu penggosip yang sejak tadi sibuk menjelek-jelekkan salah satu teman mereka —yang sepertinya tidak sedang ikut berkumpul dengan mereka—, sekarang menoleh ke arahku.Bertha dan Karin tertawa terbahak melihat reaksiku, aku tahu mereka sengaja melakukannya karena merasa kesal dengan obrolan ‘tinggi’ ibu-ibu sosialita itu, terutama saat membicarakan teman mereka yang sepertinya hidup dalam kesusahan.“Kalau begitu akan saya panggilkan manajer di sini untuk memberikan pelayanan spesial untuk Anda, Nyonya,” kata Nayla yang kemudian berdiri dan membungkukkan tubuhnya ke arahku sebelum beranjak pergi menuju meja pemesanan.‘Mereka semua gila, aku kan belum bilang bawa atau tidak, malah sudah seyakin itu.’Tidak lama sang manajer datang bersama dengan Nayla dan membawakan daftar menu eksklusif kepada kami semua.Aku menyerahkan black card dari dompe

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 129 - Berkumpulnya Geng Semenjana

    “Cuma dia pria terbaik di antara banyaknya pria yang mendekatiku,” jawab Nina malu-malu.Aku ingat siapa Adrian, pria yang akhirnya berhasil memikat hati dan menikahi Nina. Dia adalah pria yang pernah Nina acuhkan dulu saat beberapa kali berkunjung ke rumah ayahku. Meskipun pernah diabaikan oleh Nina selama hampir dua jam, ternyata perasaannya pada Nina tetap tidak berubah.Aku benar-benar tidak menyangka jika Adrian masih menyimpan perasaannya pada Nina selama bertahun-tahun, dia memang luar biasa gigih.‘Hmmm… Steven juga sama seperti itu, menyimpan perasaan selama bertahun-tahun.’Adrian adalah pria yang baik dan sopan. Dia juga orang yang mandiri dan sudah memiliki pekerjaan begitu lulus dari kuliah —sebagai pekerja kantoran pada umumnya.Nina dulu menganggap Adrian sangat kurang dalam hal ketampanan hingga tidak menanggapi pernyataan cintanya. Tapi, jika diperhatikan sungguh-sungguh, sebenarnya Adrian pria yang manis, bersih, juga rapi.“Lagian memang karena Kak Steven selalu berh

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 128 - Pengusaha Sukses

    “Apa kabar, Ayah?” tanyaku pada ayahku yang sedang mengajari Chloe memasang umpan di mata pancingnya.“Seperti yang kau lihat, keadaan ayah luar biasa baik,” jawabnya sembari merentangkan kedua tangan dan memintaku datang mendekat untuk memeluknya. “Bagaimana denganmu, apa kau tidak lelah melakukan perjalanan jauh dengan perut besar seperti ini?”“Aku memang sedikit lelah, tapi aku juga merindukan kalian. Mulai minggu depan hingga waktu lahiran tiba, aku akan istirahat dan tidak berkunjung ke sini untuk sementara waktu,” jelasku padanya.Hanya itu yang kami bicarakan karena Chloe sudah memintanya lagi untuk melanjutkan mengajarinya memasang umpan di mata pancing.“Itu cacing, kan? Apa tidak ada umpan buatan? Kalau tidak salah aku pernah melihat orang menjual umpan buatan,” protesku merasa geli melihat cacing yang Chloe pegang dengan berani.“Bagaimana kami bisa membelinya? Kau pikir Olly dan keluarganya membuka toko perlengkapan memancing di sini?” sahut ayahku sembari melambaikan tang

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 127 - Pulang Kampung

    “Hore… pesawat… pesawat…” Sorak Chloe sambil bertepuk tangan begitu kami tiba di bandara.Saat ini kami sekeluarga akan bepergian ke kampung halaman Steven, tentu saja ke Kota Green Borneo yang menarik hati. Kami memang sering sekali ke sana. Jika ku hitung-hitung, hampir setiap minggu kami pergi ke kota itu atas permintaanku karena aku sangat menyukai rumah panggung yang ada di sana.Omong-omong soal rumah panggung, ayahku dan ibu tiriku —atau ibu mertuaku?— sudah dua tahun ini tinggal di rumah yang dihadiahkan ayah mertuaku untuknya. Yah, ayahku memang sangat pemaaf, dia tetap mencintai istrinya walau dulu pernah disakiti.“Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, kita harus membuka hati untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua kepada siapa saja yang sungguh-sungguh menyesali perbuatannya,” kata ayahku kala itu, ketika aku merasa bingung bagaimana harus bersikap pada Camila yang merupakan ibu tiri sekaligus ibu mertuaku juga karena dia adalah ibu kandung Steven.Steven s

  • Hidup Bersama Yang Tak Terduga!   Bab 126 - Chloe Ophelia Steve

    “Chloe…, ada lihat ponsel Mama?” seruku sembari menuruni tangga dari lantai atas ke arah gadis mungil yang sedang asik bermain mobil-mobilan bersama Leon —putra Sofi dan Lintang.‘Oh astaga, boneka kembali terabaikan,’ aku memungut boneka yang tergeletak begitu saja di ujung tangga dan membawakannya pada Chloe.“Chloe Ophelia Steve,” ucapku menyebut namanya dengan lengkap karena merasa gemas pada kesukaannya yang selalu saja memainkan mobil-mobilan dan juga robot-robotan milik Leon. Aku menyerahkan boneka kelinci itu ke arah tangannya, “Ada lihat ponsel mama?”Chloe menghentikan permainannya dan menunduk memperhatikan boneka kelinci yang ada di tangannya. Ia lalu mendudukkan kelinci itu di sofa yang ada di belakangnya, “Rabbit lelah, istirahat dulu,” sahutnya mengabaikan pertanyaanku.Bukan tanpa alasan jika aku menanyakan dimana ponselku pada anak umur 4 tahun ini. Bagaimana tidak, hampir semua barang-barangku berpindah dari tempatnya. Lipstik ku pernah tersimpan di kulkas olehnya, is

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status