Butiran salju menabrak jendela istal latihan para kesatria muda. Di sudut ruangan yang mulai lembap dan gelap, Aryo Wiroguno duduk menyandar pada dinding batu, tangannya menggenggam cangkir tanah liat berisi arak hangat yang sudah tak lagi mengepul.Di atas meja kayu, beberapa gulungan naskah laporan latihan masih terbuka, tapi sejak tadi Aryo tak membaca sepatah huruf pun. Pikirannya penuh. Bukan oleh strategi tempur, bukan oleh rencana pelatihan... tapi oleh satu nama yang kini kian menggema di seluruh penjuru kerajaan.Raka.Ia menggeram pelan, membanting pelan cangkir ke atas meja. Di seberangnya, seorang sahabat lamanya, Prajurit Utama Lodra, hanya mengangkat alis.Lodra berkata sambil mengangkat bahu, “Jangan katakan kau masih kesal soal pemanggilan itu.”Aryo mendengus, menatap Lodra dengan mata merah oleh amarah yang ditahan,“Kesal? Kau kira bagaimana perasaanku saat mendengar si anak desa itu lolos dari tuduhan kudeta? Dia bisa berbicara seperti pendeta tua—tenang, licin, da
Lima hari yang melelahkan akhirnya berujung pada panorama yang tak disangka.Kuda-kuda yang menggigil digiring perlahan menembus gerbang besar Desa Kali Bening. Benteng batu yang kokoh berdiri menjulang, dihiasi ukiran-ukiran halus yang menceritakan sejarah desa dan simbol-simbol kearifan lokal. Dari balik kabut tipis musim dingin, tampak atap-atap rumah warga yang rapi dan megah, mengepulkan asap hangat dari perapian mereka.Tuan Damar menarik kendali kudanya, menatap sekeliling dengan mata membelalak takjub."Ini... benar-benar desa?" gumamnya lirih. "Atau aku telah sampai ke kota kecil yang tersembunyi dari mata dunia?"Raka, yang menunggang kuda di sampingnya, tersenyum tipis. "Ini Kali Bening, tuan. Hanya desa yang dipelihara dengan sungguh-sungguh oleh orang-orang yang mencintainya."Damar menoleh padanya, masih tak percaya. "Tak pernah kulihat rumah warga desa dengan dua lantai... atau jalan desa tanpa genangan es di musim begini. Tak masuk di akal."Raka mengangkat tangan, mem
Sejak kembali dari kematian, Raka tak lagi sama.Ia bukan sekadar pemuda desa dari Kali Bening—namanya perlahan menjadi bisik-bisik di antara bangsawan dan prajurit. Banyak yang tak tahu persis apa yang terjadi selama ia "tidak bernyawa" itu. Namun setelah ia terbangun dari mati suri di pertapaan Gunung Kendalisada, mata Raka berubah. Tatapannya tajam, menyimpan ribuan rahasia dan seolah mampu menembus isi hati siapa pun yang berani menantangnya."Pemuda itu bukan Raka yang dulu," bisik Mahapatih Maheswara kepada Raja Mahesa Warman di balairung istana.“Sejak ia memgikuti ujian Kerajaan dan menjadi siswa terbaik dan memecahkan rekor 100 tahun milik raja angung raja manggala, aku sudah mendapat wirasat bahwa ia akan menjadi pemuda yang kuat.”Sang raja yang tengah menatap peta wilayah kerajaan hanya mengangguk pelan. "Aku tahu."Mahapatih menoleh, menatap mata pemimpinnya. "Tapi paduka belum tahu sepenuhnya seberapa jauh perbedaan itu."“Ia berkembang sangat cepat, bahkan desa kali ben
Musim dingin menyelimuti tanah Surya Manggala. Salju tipis turun perlahan, menyelimuti atap rumah dan ranting-ranting pohon. Desa Kali Bening yang dahulu sunyi, kini menjadi bahan pembicaraan para pejabat di kota madya dan kecamatan Kemusuk.Di dalam sebuah pendopo bertiang kayu jati, Pejabat Kota Madya Utama, Tumenggung Wira Atmaka, menatap peta wilayah dengan wajah masam.“Kau tahu, sejak anak muda dari Kali Bening itu muncul... pendapatan dari kawasan selatan menyusut drastis,” gumamnya sambil menunjuk daerah yang dimaksud.Pejabat Kecamatan Kemusuk, Jagabaya Lodra, menyeringai sinis. “Bandit-bandit kita tak bisa lagi leluasa meminta ‘upeti jaga jalan’. Semua jalan dibersihkan oleh pasukan jaga desa.”Wira Atmaka mengangguk pelan. “Laporan terakhir menyebutkan, Kali Bening bahkan memiliki penjaga desa yang terlatih. Lengkap dengan aturan ronda dan pengawasan hasil bumi.”Lodra mencibir. “Apa yang bisa dilakukan pemuda kampung itu? Cuma karena ia bisa bela diri dan punya sedikit pas
Pagi itu salju tebal menutupi atap-atap genting merah desa kali bening, angin dari utara membawa kabar buruk ke Kali Bening. Sebuah surat resmi dari pejabat kecamatan Kemusuk dan kota madya utama tiba di balai desa.Raka membuka gulungan surat itu dengan tenang, dikelilingi para pengawal dan beberapa pemuka warga. Matanya menelusuri tulisan yang tercetak rapi, tapi isinya menyesakkan dada.“Mulai bulan ini, setiap usaha yang berjalan di wilayah Kali Bening dikenai sanksi administratif karena dianggap tidak sesuai jalur hukum wilayah kota madya, dan wajib membayar pajak tambahan sebesar tiga kali lipat dari ketentuan biasa.”Pandu mengumpat pelan. “Ini... ini tidak masuk akal, Tuan! Kita ini cuma desa!”Raka tetap tenang. Ia menggulung kembali surat itu dan meletakkannya di meja.“Kalau mereka ingin menjatuhkan kita dengan beban, maka kita tak perlu melawan beban itu… kita tinggal membuangnya.”Warga yang hadir saling berpandangan. Mereka berbicara dan mengeluarkan asap dari mulut mere
“Baginda hari ini, adalah penyatuan ulang Kerajaan kita dan para pakar ilmuan banyak yang terbunuh sehingga kita kekurangan ilmuan.” “Segenting apa Patih.” “Dari lima ratus cendikiawan kita hanya tersisa tiga orang saja. Dalam beberapa pertempuran mereka menjadi tulang punggung Kerajaan untuk membantu peperangan dan menulis Sejarah peperangan, hingga tidak meninggalkan sisa dari mereka kecuali hanya tiga orang dan buku-buku catatan yang begitu banyak.” “Bagaimana dengan seleksi di penjuru negeri. Segera buat perekrutan secepatnya atau buat seleksi para anak muda untuk menjadi cendikiawan terpelajar. “Setiap warga yang mampu menghasilkan cendikiawan murni maka dia akan mendapatkan imbalan seribu koine mas.” Per bulannya. ‘’ Untuk beberapa tahun kedepan Kerajaan harus pulih Kembali seperti masa kejayaan Raja Warman.” Kita jangan mengulang kejadian konyol seperti penghianat itu yang telah membuat Raja Warman tewas dan menyebabkan pertikaian dan perpecahan ini.” “Sehingga merug
Ingatan Raka begitu terus menerawang apa yang sebenarnya terjadi kapada dirinya dan kepada ketiga istrinya ini. Setelah mendengarkan cerita ini mereka begitu senang dan melihat pancaran kedewasaan muncul dari wajah Raka. “Kanda apakah semua ini sudah cukup menjelaskan keadaan kita saat ini.” “Sudah cukup aku sedikit mengingatnya.” Aku sangat berutang budi kepada kalian bertiga. Raka menatap dengan lekat tiga gadis cantik di depannya dengan begitu teliti hingga tidak terlewatkan satu incipun dan memperhatikan bagitu semangat. “Kamu kemarilah Raka memanggil gadis yang di sebelah kirinya dan menyurunya duduk di sebelah kiri Raka. “Coba kulihat tangan mu.” Raka memegang tangan yang begitu sempurna putih bersih dan harum. Kamu sedang haid sepertinya.” Gadis itu pun merah padam dan tersipu malu. Kali ini pertama dalam hidupnya ai di puji oleh lelaki yang begitu tampan dan berwibawa setelah bangun dari mati surinya. Dizaman ini laki-laki diberikan istri lebih dari tiga. Sehingga hal it
“Kanda, bagaimana buruan nya hari ini.”“Tidak terlalu buruk di ujung des aini ada sebuah safana dengan pohon-pohon kecil beserta rumput yang bagus untuk bersembunyi dan memiliki banyak hewan liar disana serta aku dapat membidik dengan baik satu ekor kijang Jantan ini.”Aina begitu terkejut Ketika Raka menunjukkan arah busurnya ke samping pagar rumah mereka yang reot.“Wah kijang ini cukup untuk kita berempat sampai dua hari kedepan.”Kemudian bagaimana dengan beras kita apakah masih ada?” Ujar RakaAndini…kemari kakak mau menanyakan sesuatu padamu.”“Iya kak sebentar aku kedepan.” Andini tergopoh-gopoh hingga kakinya tersandung dan langsung di sambut dengan sigap oleh Raka.Mata mereka saling memanah dan raka merasakan empuk di tangannya sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan. Namun suara Aina membuat mereka berdua tersada.Momen yang membagongkan dan membuat libido siapapun segera membuncah dan ingin segera rasanya melanjutkannya di ranjang panas.Aihhh pikiran ini selalu….Kemudian
Pagi itu salju tebal menutupi atap-atap genting merah desa kali bening, angin dari utara membawa kabar buruk ke Kali Bening. Sebuah surat resmi dari pejabat kecamatan Kemusuk dan kota madya utama tiba di balai desa.Raka membuka gulungan surat itu dengan tenang, dikelilingi para pengawal dan beberapa pemuka warga. Matanya menelusuri tulisan yang tercetak rapi, tapi isinya menyesakkan dada.“Mulai bulan ini, setiap usaha yang berjalan di wilayah Kali Bening dikenai sanksi administratif karena dianggap tidak sesuai jalur hukum wilayah kota madya, dan wajib membayar pajak tambahan sebesar tiga kali lipat dari ketentuan biasa.”Pandu mengumpat pelan. “Ini... ini tidak masuk akal, Tuan! Kita ini cuma desa!”Raka tetap tenang. Ia menggulung kembali surat itu dan meletakkannya di meja.“Kalau mereka ingin menjatuhkan kita dengan beban, maka kita tak perlu melawan beban itu… kita tinggal membuangnya.”Warga yang hadir saling berpandangan. Mereka berbicara dan mengeluarkan asap dari mulut mere
Musim dingin menyelimuti tanah Surya Manggala. Salju tipis turun perlahan, menyelimuti atap rumah dan ranting-ranting pohon. Desa Kali Bening yang dahulu sunyi, kini menjadi bahan pembicaraan para pejabat di kota madya dan kecamatan Kemusuk.Di dalam sebuah pendopo bertiang kayu jati, Pejabat Kota Madya Utama, Tumenggung Wira Atmaka, menatap peta wilayah dengan wajah masam.“Kau tahu, sejak anak muda dari Kali Bening itu muncul... pendapatan dari kawasan selatan menyusut drastis,” gumamnya sambil menunjuk daerah yang dimaksud.Pejabat Kecamatan Kemusuk, Jagabaya Lodra, menyeringai sinis. “Bandit-bandit kita tak bisa lagi leluasa meminta ‘upeti jaga jalan’. Semua jalan dibersihkan oleh pasukan jaga desa.”Wira Atmaka mengangguk pelan. “Laporan terakhir menyebutkan, Kali Bening bahkan memiliki penjaga desa yang terlatih. Lengkap dengan aturan ronda dan pengawasan hasil bumi.”Lodra mencibir. “Apa yang bisa dilakukan pemuda kampung itu? Cuma karena ia bisa bela diri dan punya sedikit pas
Sejak kembali dari kematian, Raka tak lagi sama.Ia bukan sekadar pemuda desa dari Kali Bening—namanya perlahan menjadi bisik-bisik di antara bangsawan dan prajurit. Banyak yang tak tahu persis apa yang terjadi selama ia "tidak bernyawa" itu. Namun setelah ia terbangun dari mati suri di pertapaan Gunung Kendalisada, mata Raka berubah. Tatapannya tajam, menyimpan ribuan rahasia dan seolah mampu menembus isi hati siapa pun yang berani menantangnya."Pemuda itu bukan Raka yang dulu," bisik Mahapatih Maheswara kepada Raja Mahesa Warman di balairung istana.“Sejak ia memgikuti ujian Kerajaan dan menjadi siswa terbaik dan memecahkan rekor 100 tahun milik raja angung raja manggala, aku sudah mendapat wirasat bahwa ia akan menjadi pemuda yang kuat.”Sang raja yang tengah menatap peta wilayah kerajaan hanya mengangguk pelan. "Aku tahu."Mahapatih menoleh, menatap mata pemimpinnya. "Tapi paduka belum tahu sepenuhnya seberapa jauh perbedaan itu."“Ia berkembang sangat cepat, bahkan desa kali ben
Lima hari yang melelahkan akhirnya berujung pada panorama yang tak disangka.Kuda-kuda yang menggigil digiring perlahan menembus gerbang besar Desa Kali Bening. Benteng batu yang kokoh berdiri menjulang, dihiasi ukiran-ukiran halus yang menceritakan sejarah desa dan simbol-simbol kearifan lokal. Dari balik kabut tipis musim dingin, tampak atap-atap rumah warga yang rapi dan megah, mengepulkan asap hangat dari perapian mereka.Tuan Damar menarik kendali kudanya, menatap sekeliling dengan mata membelalak takjub."Ini... benar-benar desa?" gumamnya lirih. "Atau aku telah sampai ke kota kecil yang tersembunyi dari mata dunia?"Raka, yang menunggang kuda di sampingnya, tersenyum tipis. "Ini Kali Bening, tuan. Hanya desa yang dipelihara dengan sungguh-sungguh oleh orang-orang yang mencintainya."Damar menoleh padanya, masih tak percaya. "Tak pernah kulihat rumah warga desa dengan dua lantai... atau jalan desa tanpa genangan es di musim begini. Tak masuk di akal."Raka mengangkat tangan, mem
Butiran salju menabrak jendela istal latihan para kesatria muda. Di sudut ruangan yang mulai lembap dan gelap, Aryo Wiroguno duduk menyandar pada dinding batu, tangannya menggenggam cangkir tanah liat berisi arak hangat yang sudah tak lagi mengepul.Di atas meja kayu, beberapa gulungan naskah laporan latihan masih terbuka, tapi sejak tadi Aryo tak membaca sepatah huruf pun. Pikirannya penuh. Bukan oleh strategi tempur, bukan oleh rencana pelatihan... tapi oleh satu nama yang kini kian menggema di seluruh penjuru kerajaan.Raka.Ia menggeram pelan, membanting pelan cangkir ke atas meja. Di seberangnya, seorang sahabat lamanya, Prajurit Utama Lodra, hanya mengangkat alis.Lodra berkata sambil mengangkat bahu, “Jangan katakan kau masih kesal soal pemanggilan itu.”Aryo mendengus, menatap Lodra dengan mata merah oleh amarah yang ditahan,“Kesal? Kau kira bagaimana perasaanku saat mendengar si anak desa itu lolos dari tuduhan kudeta? Dia bisa berbicara seperti pendeta tua—tenang, licin, da
Kerajaan Surya Manggala dipenuhi awan kelabu saat langkah-langkah Raka bergema di lorong panjang istana. Suasana ruang sidang agung telah dipenuhi para pejabat tinggi, beberapa mengenakan jubah ungu lambang penguasa daerah, sebagian lagi berselubung kain gelap pertanda penasihat senior kerajaan. Di tengah ruangan, berdiri Mahapatih Maheswara, matanya tajam menatap Raka yang melangkah mantap ke hadapan mereka.Mahapatih Maheswara menyapa dengan suara berat,“Raka kau sebagai kades Kali Bening, kau telah kami panggil untuk menjelaskan desas-desus yang mencemaskan, kau merupakan lulusan terbaik Kerajaan saat ini. Benarkah kau hendak membangun kekuatan tandingan dan berniat menggoyahkan Surya Manggala?”Beberapa pejabat bergumam pelan. Tatapan-tatapan tajam menyelidik tiap gerak Raka. Namun pemuda itu berdiri tegak, tidak gentar.Raka menatap lurus ke arah Mahapatih, lalu menjawab dengan tenang, “Tuanku Mahapatih, sungguh hamba tak pernah berniat demikian. Hamba hanya seorang kepala desa
Pagi itu, salju masih mengguyur Desa Kali Bening. Seluruh atap rumah memutih, jalan-jalan tetap hangat oleh uap bawah tanah, namun hawa di udara terasa berbeda. Tidak hanya dingin karena musim, tapi dingin karena berita yang perlahan menyusup seperti angin menusuk tulang.Di balai utama desa, Raka duduk di ruang rapat bersama Goro dan Mirna. Kertas-kertas laporan masih tersusun di depannya saat Tomi, kepala penjaga gerbang desa, masuk dengan langkah cepat namun tetap sopan.“Ampun, Tuan Raka…” ucapnya sambil menunduk. Napasnya masih terlihat membeku di udara.Raka menoleh. “Ada apa pagi-pagi begini, Tomi?”Tomi mendekat dan berbisik pelan: “Ada kabar dari pos luar. Beberapa pedagang menyebar bisik-bisik aneh. Dan… satu hal yang lebih berat: Aryo Wiroguno dari pusat menyampaikan ke para pejabat, bahwa Tuan… ingin mendirikan kerajaan baru.”Sunyi mendadak menyelimuti ruangan. Goro dan Mirna saling berpandangan, wajah mereka menegang.Raka mendongak perlahan. “Apa katanya persis?”Tomi m
Pagi itu, Balai Desa Kali Bening penuh sesak. Ruangan utama dipenuhi para kepala dusun, perwakilan pedagang lokal, dan belasan pedagang dari luar desa yang duduk dengan gelisah. Suara hujan salju di atap beradu dengan ketegangan yang menggantung di udara.Di hadapan mereka, Raka berdiri tegak, mengenakan jubah tebal warna hitam tua dengan lambang daun cemara bersulam benang emas di dadanya. Di sampingnya, Mirna membawa gulungan laporan pelanggaran dari dua pasar desa."Tak satu pun dari kalian dapat berdagang di desa ini jika menipu rakyat kami," ucap Raka lantang, suaranya tegas namun tenang. "Mengurangi takaran, menjual barang palsu, memalsukan segel pasar, semuanya sudah cukup."Salah satu pedagang dari luar, lelaki setengah baya bernama Kalen, mencoba membela diri.“Kami hanya mencari untung, Tuan Raka. Kalau barang dari luar mahal, tentu kami harus menyesuaikan harga.”Raka meliriknya tajam, kemudian melangkah mendekat. “Untung tak boleh lahir dari dusta. Kalau semua rakyat dibod
Mentari pagi menyibak salju yang menggantung rendah di atas Kali Bening. Angin berhembus pelan membawa aroma salju basah dan daun cemara. Dari jauh, suara ketukan pintu kayu terdengar berat dan mantap.“Tuan Raka, ada tamu,” ucap salah satu penjaga rumah sambil membuka pintu depan perlahan.Raka tengah bersiap ke balai desa, namun belum sempat melangkah, dari arah pelataran muncul seorang lelaki tua berjanggut putih dengan jubah wol coklat—Zeno, sang kepala dusun lama merupakan paman sendiri bagi Raka.Namun bukan Raka yang menyambut lebih dahulu. Dari dalam rumah, Anugra keluar lebih dulu, dan begitu matanya menangkap wajah Zeno, ia langsung berlari kecil, lalu memeluknya erat.“Zeno! Wahai Zeno! Lama tak kulihat wajah tuamu!”“Dan aku juga, Tuan Anugra. Kita sama-sama menua rupanya... Tapi lihatlah, berkat anak muda satu ini,” Zeno menepuk bahu Raka yang baru mendekat, “kita tak perlu hidup dari nasi karak dan upah mandor lagi.”Anugra tertawa keras, menepuk pundak sahabat lamanya.