Share

Bab 204

Penulis: Bhay Hamid
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-24 12:38:15

Desa Kali Bening tampak bersih seperti lembaran kain putih yang baru dicuci. Angin berhembus pelan, membawa harum dari bunga-bunga liar yang bermekaran di tepi sungai. Di balai pertemuan desa, beberapa pejabat sudah duduk melingkar di bawah atap bambu yang teduh. Mereka menunggu Kades Raka yang kabarnya akan mengumumkan sesuatu yang besar.

Tak lama, Raka muncul mengenakan pakaian sederhana berwarna tanah liat, tangannya masih sedikit berdebu. Ia tersenyum lebar sambil membawa sebongkah batu aneh yang tampak keras dan padat.

Raka: “Kalian pasti bertanya-tanya apa yang sedang kami racik di belakang rumah besar itu. Hari ini, aku akan jawab semuanya.”

Para pejabat saling pandang. Beberapa dari mereka—terutama Wargan, kepala pembangunan, dan Badran, penjaga gudang bahan bangunan—mengangguk pelan.

Wargan: “Kami melihat batu itu, Tuan Raka. Keras sekali. Tak seperti tanah liat yang biasa dipakai. Apa itu?”

Raka: “Itu yang kita sebut semen alami. Campuran dari batu kapur, abu vulkanik, dan a
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 206

    Suasana pagi di Balai Utama Desa Kali Bening dipenuhi kesunyian yang tegang. Semua pejabat desa telah berkumpul. Di hadapan mereka, Kades Raka berdiri di sisi sebuah meja kayu panjang, di atasnya terhampar beberapa keping logam emas dan perak. Setiap keping bersinar keemasan dan keperakan, dengan satu ukiran yang mencolok gambar seekor penyu sedang berenang mengitari matahari.Raka: “Mulai hari ini, desa kita tak lagi bergantung pada koin dari luar. Ini... adalah milik kita. Mata uang kita. Simbol kemandirian dan persatuan.”Para pejabat saling pandang Goro mengangkat satu keping emas, mengamatinya.Goro: “Ini... beratnya pas. Ukirannya rapi. Dari mana tuan dapat perajin sebagus ini?”Raka: “Bengkel Lembah Ketam telah kutugasi dua musim lalu. Mereka bekerja dalam diam, menyiapkan ini semua.”Genta: “Luar biasa, tuan Raka. Tapi... apakah dunia luar akan terima uang ini?”Raka tersenyum, seolah sudah memikirkan hal itu jauh sebelum yang lain.Raka: “Orang-orang akan percaya jika kita du

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 205

    Pagi baru saja menyingkapkan cahaya ketika deru ombak mengalun tenang di Teluk Penyu. Kabut tipis menggantung di atas air, menciptakan siluet kapal-kapal yang mulai bersandar. Di ujung dermaga, Kapten Ranu berdiri sambil memandangi langit. Pria berperawakan kekar itu menarik napas dalam.Kapten Ranu: “Lihatlah ini... dulu tempat ini hanya ladang ilalang dan batu karang. Sekarang... kapal dari seberang lautan mulai datang satu demi satu.”Di sisi lain dermaga, Paman Galuh, tokoh tua yang dulu memimpin kelompok tukang batu, mengamati tiang pancang yang baru dibangun. Ia menepuk-nepuk kayu penyangga yang kini diselimuti pelat besi buatan bengkel Raka.Paman Galuh: “Tiang-tiang ini berdiri lebih kokoh dari yang pernah kupasang di hidupku. Anak-anak muda itu... mereka bekerja seolah-olah pelabuhan ini akan berdiri seribu tahun.”Kapten Ranu: “Dan mungkin memang akan. Karena dermaga yang satu lagi di Sungai Kali Bening juga sudah selesai. Kini kapal dari pedalaman bisa langsung sambung ke l

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 204

    Desa Kali Bening tampak bersih seperti lembaran kain putih yang baru dicuci. Angin berhembus pelan, membawa harum dari bunga-bunga liar yang bermekaran di tepi sungai. Di balai pertemuan desa, beberapa pejabat sudah duduk melingkar di bawah atap bambu yang teduh. Mereka menunggu Kades Raka yang kabarnya akan mengumumkan sesuatu yang besar.Tak lama, Raka muncul mengenakan pakaian sederhana berwarna tanah liat, tangannya masih sedikit berdebu. Ia tersenyum lebar sambil membawa sebongkah batu aneh yang tampak keras dan padat.Raka: “Kalian pasti bertanya-tanya apa yang sedang kami racik di belakang rumah besar itu. Hari ini, aku akan jawab semuanya.”Para pejabat saling pandang. Beberapa dari mereka—terutama Wargan, kepala pembangunan, dan Badran, penjaga gudang bahan bangunan—mengangguk pelan.Wargan: “Kami melihat batu itu, Tuan Raka. Keras sekali. Tak seperti tanah liat yang biasa dipakai. Apa itu?”Raka: “Itu yang kita sebut semen alami. Campuran dari batu kapur, abu vulkanik, dan a

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 203

    Cahaya pagi menembus sela-sela jendela bengkel kecil di belakang pabrik Bukit Batu. Di atas meja dari kayu jati tua, Raka tengah mencampur cairan kental berwarna abu-abu kehijauan ke dalam mangkuk tanah liat. Di sekelilingnya ada abu dari kayu lempung, bubuk batu kapur, dan cairan getah pohon yang disuling semalaman.Ia mengaduk pelan, mengamati perubahan warna dan kekentalannya.“Ini yang keempat belas kalinya, Tuan Raka…” ujar Lao sambil duduk di ambang pintu. “Kau yakin bahan ini bukan racikan untuk menambal perahu?”Raka tersenyum tipis. “Bukan. Ini… bisa jadi temuan terpenting setelah semen. Kau lihat dinding belakang gudang yang sempat retak itu?”Lao mengangguk.“Aku tambal pakai campuran ini semalam. Dan pagi ini, batu bata yang baru ditempel tidak bisa lagi dipisahkan. Bahkan saat kuhantam dengan palu.”Lao berdiri. “Kau serius Tuan?”“Lihat sendiri.”Mereka berdua berjalan ke dinding belakang. Di sana, garis bekas retakan tampak samar, hampir menyatu dengan permukaan asli. L

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 202

    Asap tipis mengepul dari cerobong pabrik kecil yang baru selesai dibangun di lereng Bukit Batu. Gema palu, denting logam, dan suara roda pemutar terdengar dari pagi hingga petang. Desa Kali Bening, yang dulunya hanya dikenal karena hasil hutan dan aliran sungainya yang jernih, kini mulai dikenal karena satu hal baru semen.Di dalam bangunan beratap jerami tebal, para pekerja sibuk menggiling batu kelabu menjadi bubuk halus. Mereka mencampurnya dengan air dan bahan tambahan yang ditemukan dari sekitar hutan dan lereng bukit. Di dekat tungku pembakaran, Nara memberi aba-aba.“Jaga panasnya! Jangan terlalu tinggi. Kalau adonan gosong, dia retak saat mengeras!”Sementara itu, Lao sibuk mengawasi karung-karung hasil produksi yang mulai menggunung. “Ini sudah bisa digunakan untuk pondasi rumah-rumah baru,” gumamnya. “Kita bisa bangun dapur umum, lumbung cadangan, bahkan jembatan kecil…”Di antara semua kesibukan itu, Raka hampir tak terlihat di balai desa. Ia lebih sering berada di lokasi p

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 201

    Kota Giri Amerta. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan ketika Raka berdiri di tepi pelabuhan yang sedang dibangun. Di hadapannya, ratusan pekerja sudah mulai mengangkat balok kayu, menyusun batu, dan menarik tali tambang untuk mengangkat barang. Namun dari semua itu, satu hal yang kini menjadi beban pikirannya: campuran pengikat bangunan.“Telur sudah menipis, Tuan Raka,” ujar Gana, salah satu pengawas bangunan, sambil menyerahkan catatan persediaan.Raka menerima kertas itu, menelusuri angka-angka yang tercatat dengan kening mengerut. “Kita butuh seribu lebih untuk minggu depan saja,” gumamnya. “Padahal ayam-ayam peternakan baru bisa bertelur dua hari sekali.”“Warga juga mulai mengeluh. Telur-telur habis diborong untuk bahan bangunan. Dapur rumah tangga jadi kosong.”Raka memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. “Kalau begini terus, kita bisa menyelesaikan satu pelabuhan… tapi membuat rakyat kelaparan.”Ia menoleh ke arah Gana. “Kumpulkan para pengrajin, ilmuwan, d

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 200

    Angin laut dari Teluk Penyu berhembus lembut di pagi hari. Cahaya matahari menyelinap di antara tiang-tiang layar yang berdiri gagah di pelabuhan. Dermaga batu telah rampung seluruhnya, dan hari itu menjadi hari yang istimewa bagi rakyat Kali Bening.Lima kapal besar bersandar bersamaan di pelabuhan yang megah itu. Bendera dagang dari negeri jauh berkibar berdampingan dengan bendera merah-putih milik Desa Kali Bening dan Desa Anggur. Para buruh sibuk menurunkan karung-karung rempah, tong minyak ikan, dan peti kayu berisi barang logam dari negeri selatan.Di atas menara suar, Kapten Wira memandang ke arah laut dengan bangga.“Kalau dulu kita hanya bisa lihat perahu kecil hilir-mudik,” katanya sambil tersenyum pada anak buahnya, “kini kita jadi tempat bersandarnya kapal-kapal dari empat penjuru angin.”Sementara itu di Balai Utama Desa, suasana sangat berbeda—hangat dan penuh kegembiraan. Rakyat dari berbagai dusun berkumpul. Anak-anak berlari di halaman, para ibu tersenyum dan membawa

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 199

    Syahbandar Goro, pemimpin pelabuhan Teluk Penyu, tiba di istana dengan pakaian basah embun dan langkah cepat.Ia dibawa langsung ke hadapan Raka, yang pagi itu tengah berdiri di beranda atas istana, memandang ke arah selatan sambil menggenggam peta tua peninggalan ayahandanya.“Hamba laporkan, Duli,” Goro menunduk hormat, napasnya terengah. “Pelabuhan Teluk Penyu kini berdiri dengan dua dermaga batu baru, menara suar telah menyala setiap malam, dan... arus kapal dagang semakin padat.”Raka menoleh pelan, lalu menatap mata Goro dengan tajam.“Berapa kapal bersandar kemarin?”“Empat belas, Tuan. Tujuh dari tanah seberang, tiga dari wilayah barat, sisanya dari desa-desa dalam negeri.”Raka terdiam. Jemarinya mengetuk peta di tangannya, tepat di titik kecil bertuliskan Kali Bening.“Bagus kita akan segera mewujudkan sebuah kota baru di, kali bening.”Sementara itu di Balairung Kadipaten Kemusuk, para adipati berkumpul dalam suasana tak nyaman. Peta dan surat kabar dagang berserakan di ata

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 198

    Desa Anggur telah resmi bergabung dengan Kali Bening.Kabar itu meledak seperti petir siang bolong di ruang pertemuan istana Surya Manggala. Para pejabat saling pandang. Sebagian mengernyit, sebagian lain mengepalkan tangan.Raja Mahesa Warman duduk diam, wajahnya tegang namun tak menunjukkan emosi. Di sekelilingnya, suara sumbang mulai bermunculan.“Raka terlalu jauh melangkah, Baginda,” ujar Adipati Wira, pejabat tua dari Kadipaten Kemusuk. “Kini ia menguasai pantai utara dan selatan. Jika tak segera dibatasi, ia bisa... berdiri di atas kepala kita semua.”Raja menggeleng pelan.“Ia bekerja, sementara kalian sibuk membatasi. Kali Bening dan Anggur hanya menambal celah yang kalian tinggalkan.”Patih Maheswara menimpali, hati-hati, “Namun api iri mulai menyala, Duli. Jika desa lain ikut-ikutan, maka istana bisa kehilangan kendali.”“Tidak mengapa mahapatih, jika semua desa berlaku demikian maka, kemajuan kerajaan surya manggala semakin terkenal di mata para saudagar dan Kerajaan tetan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status