Suasana di Balairung Utama Giri Amerta pagi itu tidak seperti biasanya. Angin berembus pelan dari celah jendela tinggi, membawa aroma kayu cendana dan perkamen segel kerajaan. Di hadapan Raka, terhampar surat resmi dengan cap emas Kerajaan Surya Manggala, yang baru saja dibacakan oleh Ki Aryo dan Ki Anom, dua pejabat tinggi kerajaan yang datang sebagai utusan.“Kami datang bukan untuk sekadar basa-basi, Raka,” ujar Ki Aryo dengan suara berat. “Atas titah Raja Mahesa Warman, engkau diangkat sebagai Pemimpin Wilayah Otonom Timur, dengan hak istimewa serta gelar kehormatan.”Ki Anom menimpali, “Dengan pengakuan ini, engkau dan Giri Amerta kembali di bawah panji resmi kerajaan. Kau hanya tinggal mengangguk.”Namun Raka tidak segera menjawab. Ia menatap Ki Aryo dan Ki Anom dengan tenang, lalu melirik ke arah Tomi dan Nyi Sura, penasihat Giri Amerta yang berdiri tak jauh darinya.Ia lalu tersenyum tipis dan berkata, “Aku tidak butuh gelar, Ki Aryo. Giri Amerta tidak dibangun untuk mengejar
Pagi belum sempurna menyibak kabut di pelataran Istana Surya Manggala. Di sebuah ruangan dengan dinding berlapis kain songket dan kayu cendana, Raja Mahesa Warman duduk diam di atas singgasananya yang megah namun sepi. Usianya memang belum sepenuhnya menua, namun uban di janggutnya tak bisa lagi ditutupi.Ia hanya mengelus jenggot yang mulai memutih itu pelan, matanya kosong menatap lukisan tua di dinding lukisan peta kerajaan dengan dua wilayah yang dahulu dianggap sepele Desa Kali Bening dan Desa Anggur.“Kalau dulu aku tak memblokade mereka… barangkali dua desa itu sudah jadi tulang punggung kerajaan ini,” gumam Mahesa Warman lirih, lebih kepada dirinya sendiri.Duduk bersila tak jauh darinya, Mahapatih Maheswara, lelaki tua bijak dengan tatapan tajam namun tenang, mendengar dengan seksama. Ia adalah satu dari sedikit orang yang masih setia sejak Mahesa Warman muda.“Paduka…” ucap Maheswara perlahan. “Penyesalan adalah anak dari keputusan yang lahir tanpa musyawarah yang jernih. Ta
Mentari belum tinggi saat Raka menaiki meBaja balai kota, sebuah meBaja batu yang menjulang di jantung Giri Amerta, kota yang dulu hanyalah dua desa kecil Kali Bening dan Desa Anggur.Di sisinya, Tomi, sahabatnya sejak masa awal perjuangan, membawa teropong baja buatan para pandai logam Giri Amerta yang kini semakin lihai mencipta alat-alat pengintai dan perang.“Lihat ke barat daya, Tom. Di meBaja keempat, Meriam Besi mulai terpasang penuh,” ucap Raka sambil mengamati garis pertahanan luar kota.Tomi mengangkat teropong dan mengangguk kagum. “Meriam itu... buatan para pandai dari Dusun Damar, bukan? Ki Wira dan anak-anaknya bekerja siang malam sejak musim dingin.”“Benar. Dengan bubuk mesiu yang kini bisa kita hasilkan sendiri, kita tak perlu lagi bergantung pada jalur perdagangan dari utara,” jawab Raka, senyumnya tipis namun penuh keyakinan.Dari meBaja tinggi itu, mereka bisa melihat barisan meBaja pengawas di sepanjang dinding kota. Masing-masing kini dilengkapi panah api yang si
Malam itu, angin dari timur membawa hawa lembab yang menusuk tulang. Di bawah langit tanpa bulan, dua sosok berjubah gelap menyusup melewati rimbunnya hutan Kosambi yang membentang di perbatasan Giri Amerta. Langkah mereka ringan, seperti bayangan yang tak ingin diketahui keberadaannya. Keduanya adalah mata-mata yang dikirim oleh Ki Aryo dan Ki Anom, dua bangsawan istana lama yang hatinya semakin panas menyaksikan kejayaan Giri Amerta di bawah kepemimpinan Raka.“Ki Baja, kita tak boleh terlalu lama di sini. Pengawal mereka bukan orang sembarangan,” bisik salah satu dari mereka, Ki Sura, sambil mengamati dinding kota dari balik rerimbunan.“Tenang, Ki. Kita harus membawa kabar yang bisa mengguncang meja-meja rapat mereka,” jawab Ki Baja, sembari menajamkan penglihatan ke arah meBaja pengawas yang berdiri gagah di kejauhan.Dari tempat tersembunyi itu, mereka mencatat dengan mata kepala sendiri—penjagaan di Giri Amerta bukan sekadar formalitas. Di setiap penjuru tampak prajurit bersenj
Langit di atas Istana Surya Manggala dipenuhi mendung, seakan mencerminkan suasana hati para pembesar kerajaan yang tengah bersidang di Balairung Agung. Ruangan megah dengan tiang-tiang batu hitam itu dipenuhi oleh suara-suara tinggi yang saling bersahutan.Di antara kerumunan, berdirilah seorang lelaki paruh baya, mengenakan jubah panjang warna coklat tua dengan ikat kepala perak berukir lambang Kadipaten Kemusuk. Dialah Aryo, pejabat tinggi dari selatan barat kerajaan."Paduka Raja dan para sesepuh yang mulia," ucap Aryo lantang setelah diminta bicara, "telah tiba masanya kita waspada terhadap geliat Giri Amerta. Daerah itu telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru yang... jika dibiarkan, bisa mencederai kewibawaan pusat!"Beberapa pejabat menoleh, saling pandang. Di sisi kanan ruangan, Ki Jumanta, penasihat istana berambut putih yang dikenal kalem, mengelus jenggotnya. Sedangkan Ki Brama, pengurus urusan kas kerajaan, tampak mengernyitkan dahi.Nyi Ratri, satu-satunya pejabat wa
Di balairung Kadipaten Kemusuk yang bergemuruh oleh teriakan prajurit berlatih, Adipati Wiryo duduk di singgasananya dengan wajah tegang. Surat yang baru saja dibacanya telah membuat darahnya mendidih. Surat itu datang dari Ki Aryo, pejabat utusannya yang mengawasi perkembangan di Giri Amerta.“Raka telah mendirikan dewan kota dan membentuk pemerintahan sendiri. Ia mengangkat lima belas pejabat muda dan kini memerintah layaknya raja kecil. Pengaruhnya menyebar cepat ke wilayah sekitar.”Adipati Wiryo mengepal tangannya.“Anak muda itu sudah melampaui batas. Hari ini membentuk kota, besok bisa-bisa memproklamirkan kerajaan sendiri!”Ki Sontro, panglima Kadipaten Kemusuk, melangkah maju dengan kepala tertunduk.“Titah, Adipati?”“Kumpulkan lima kompi pasukan. Kita siagakan di perbatasan selatan. Biar si Raka tahu, langit Kemusuk belum runtuh!”Sementara itu, di Kota Giri Amerta, langit pagi berselimut awan tipis. Raka dan Cakra berdiri di atas menara batu benteng barat. Mata mereka meny