Share

Bab 90

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-04-15 14:14:06

Langit mendung menggantung di atas Desa Petir, seolah menyimpan amarah yang tak terucap. Di jalan menuju balai desa, kerumunan warga berkumpul dengan kain ikat kepala dan berteriak: “Turunkan Pajak! Rakyat Tertindas!”

Seorang petani tua bernama Pak Suryo berdiri di tengah kerumunan. Suaranya serak, tapi cukup lantang:

“Cucu-cucuku kelaparan, ladang tak laku dijual, semua dagang ke pasar baru di Kali Bening. Kami ingin pindah saja ke sana, ke desa yang rakyatnya dihargai!”

Seorang pemuda berseru, “Di Kali Bening, tanah subur! Di sini, yang subur hanya pajak!”

Kerumunan bergemuruh.

Tapi saat warga mendatangi Balai Desa Petir, yang mereka dapati hanyalah Kades Wiroguno duduk di kursi rotan sambil menghisap tembakau kering. Di sekelilingnya berdiri para pengawal desa.

“Protes ini sia-sia,” katanya dengan nada dingin. “Pajak itu sudah ditetapkan… Demi pembangunan desa kita juga.”

Seorang Wanita dengan baju kain rami maju dengan mata berair.

“Pembangunan apa, Pak Lurah? Rumah kami roboh tak
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 203

    Cahaya pagi menembus sela-sela jendela bengkel kecil di belakang pabrik Bukit Batu. Di atas meja dari kayu jati tua, Raka tengah mencampur cairan kental berwarna abu-abu kehijauan ke dalam mangkuk tanah liat. Di sekelilingnya ada abu dari kayu lempung, bubuk batu kapur, dan cairan getah pohon yang disuling semalaman.Ia mengaduk pelan, mengamati perubahan warna dan kekentalannya.“Ini yang keempat belas kalinya, Tuan Raka…” ujar Lao sambil duduk di ambang pintu. “Kau yakin bahan ini bukan racikan untuk menambal perahu?”Raka tersenyum tipis. “Bukan. Ini… bisa jadi temuan terpenting setelah semen. Kau lihat dinding belakang gudang yang sempat retak itu?”Lao mengangguk.“Aku tambal pakai campuran ini semalam. Dan pagi ini, batu bata yang baru ditempel tidak bisa lagi dipisahkan. Bahkan saat kuhantam dengan palu.”Lao berdiri. “Kau serius Tuan?”“Lihat sendiri.”Mereka berdua berjalan ke dinding belakang. Di sana, garis bekas retakan tampak samar, hampir menyatu dengan permukaan asli. L

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 202

    Asap tipis mengepul dari cerobong pabrik kecil yang baru selesai dibangun di lereng Bukit Batu. Gema palu, denting logam, dan suara roda pemutar terdengar dari pagi hingga petang. Desa Kali Bening, yang dulunya hanya dikenal karena hasil hutan dan aliran sungainya yang jernih, kini mulai dikenal karena satu hal baru semen.Di dalam bangunan beratap jerami tebal, para pekerja sibuk menggiling batu kelabu menjadi bubuk halus. Mereka mencampurnya dengan air dan bahan tambahan yang ditemukan dari sekitar hutan dan lereng bukit. Di dekat tungku pembakaran, Nara memberi aba-aba.“Jaga panasnya! Jangan terlalu tinggi. Kalau adonan gosong, dia retak saat mengeras!”Sementara itu, Lao sibuk mengawasi karung-karung hasil produksi yang mulai menggunung. “Ini sudah bisa digunakan untuk pondasi rumah-rumah baru,” gumamnya. “Kita bisa bangun dapur umum, lumbung cadangan, bahkan jembatan kecil…”Di antara semua kesibukan itu, Raka hampir tak terlihat di balai desa. Ia lebih sering berada di lokasi p

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 201

    Kota Giri Amerta. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan ketika Raka berdiri di tepi pelabuhan yang sedang dibangun. Di hadapannya, ratusan pekerja sudah mulai mengangkat balok kayu, menyusun batu, dan menarik tali tambang untuk mengangkat barang. Namun dari semua itu, satu hal yang kini menjadi beban pikirannya: campuran pengikat bangunan.“Telur sudah menipis, Tuan Raka,” ujar Gana, salah satu pengawas bangunan, sambil menyerahkan catatan persediaan.Raka menerima kertas itu, menelusuri angka-angka yang tercatat dengan kening mengerut. “Kita butuh seribu lebih untuk minggu depan saja,” gumamnya. “Padahal ayam-ayam peternakan baru bisa bertelur dua hari sekali.”“Warga juga mulai mengeluh. Telur-telur habis diborong untuk bahan bangunan. Dapur rumah tangga jadi kosong.”Raka memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam. “Kalau begini terus, kita bisa menyelesaikan satu pelabuhan… tapi membuat rakyat kelaparan.”Ia menoleh ke arah Gana. “Kumpulkan para pengrajin, ilmuwan, d

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 200

    Angin laut dari Teluk Penyu berhembus lembut di pagi hari. Cahaya matahari menyelinap di antara tiang-tiang layar yang berdiri gagah di pelabuhan. Dermaga batu telah rampung seluruhnya, dan hari itu menjadi hari yang istimewa bagi rakyat Kali Bening.Lima kapal besar bersandar bersamaan di pelabuhan yang megah itu. Bendera dagang dari negeri jauh berkibar berdampingan dengan bendera merah-putih milik Desa Kali Bening dan Desa Anggur. Para buruh sibuk menurunkan karung-karung rempah, tong minyak ikan, dan peti kayu berisi barang logam dari negeri selatan.Di atas menara suar, Kapten Wira memandang ke arah laut dengan bangga.“Kalau dulu kita hanya bisa lihat perahu kecil hilir-mudik,” katanya sambil tersenyum pada anak buahnya, “kini kita jadi tempat bersandarnya kapal-kapal dari empat penjuru angin.”Sementara itu di Balai Utama Desa, suasana sangat berbeda—hangat dan penuh kegembiraan. Rakyat dari berbagai dusun berkumpul. Anak-anak berlari di halaman, para ibu tersenyum dan membawa

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 199

    Syahbandar Goro, pemimpin pelabuhan Teluk Penyu, tiba di istana dengan pakaian basah embun dan langkah cepat.Ia dibawa langsung ke hadapan Raka, yang pagi itu tengah berdiri di beranda atas istana, memandang ke arah selatan sambil menggenggam peta tua peninggalan ayahandanya.“Hamba laporkan, Duli,” Goro menunduk hormat, napasnya terengah. “Pelabuhan Teluk Penyu kini berdiri dengan dua dermaga batu baru, menara suar telah menyala setiap malam, dan... arus kapal dagang semakin padat.”Raka menoleh pelan, lalu menatap mata Goro dengan tajam.“Berapa kapal bersandar kemarin?”“Empat belas, Tuan. Tujuh dari tanah seberang, tiga dari wilayah barat, sisanya dari desa-desa dalam negeri.”Raka terdiam. Jemarinya mengetuk peta di tangannya, tepat di titik kecil bertuliskan Kali Bening.“Bagus kita akan segera mewujudkan sebuah kota baru di, kali bening.”Sementara itu di Balairung Kadipaten Kemusuk, para adipati berkumpul dalam suasana tak nyaman. Peta dan surat kabar dagang berserakan di ata

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 198

    Desa Anggur telah resmi bergabung dengan Kali Bening.Kabar itu meledak seperti petir siang bolong di ruang pertemuan istana Surya Manggala. Para pejabat saling pandang. Sebagian mengernyit, sebagian lain mengepalkan tangan.Raja Mahesa Warman duduk diam, wajahnya tegang namun tak menunjukkan emosi. Di sekelilingnya, suara sumbang mulai bermunculan.“Raka terlalu jauh melangkah, Baginda,” ujar Adipati Wira, pejabat tua dari Kadipaten Kemusuk. “Kini ia menguasai pantai utara dan selatan. Jika tak segera dibatasi, ia bisa... berdiri di atas kepala kita semua.”Raja menggeleng pelan.“Ia bekerja, sementara kalian sibuk membatasi. Kali Bening dan Anggur hanya menambal celah yang kalian tinggalkan.”Patih Maheswara menimpali, hati-hati, “Namun api iri mulai menyala, Duli. Jika desa lain ikut-ikutan, maka istana bisa kehilangan kendali.”“Tidak mengapa mahapatih, jika semua desa berlaku demikian maka, kemajuan kerajaan surya manggala semakin terkenal di mata para saudagar dan Kerajaan tetan

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 197

    Teluk Penyu dipenuhi suara peluit dan teriakan mandor. Suasana jalanan yang sudah keras dilapisi dengan semen batu kapur membuat suasana semakin asri di tambah dupa kayu malam yang menyegarkan.Di atas gerobak, batu bata merah, kayu jati, dan genting merah tersusun rapi. Aroma tanah basah dan getah kayu berpadu dengan garam laut dan peluh para pekerja. Namun semua itu hilang karena harum dari dupa kayu malam yang selalu menyala di seluruh wilayah desa kali bening dan desa anggur.Di kejauhan, menara suar pertama telah berdiri kokoh di atas tebing karang. Api di puncaknya belum dinyalakan, namun bentuknya saja sudah cukup menjadi penanda Kali Bening kini bukan lagi desa biasa.Di bawah menara, Raka berdiri bersama Kepala Tukang Andra dan Kepala penjaga Vano.“Benteng akan kita bangun memanjang ke arah timur, mengikuti garis pantai,” ujar Raka sambil menunjuk pada denah di atas papan kayu besar.Andra mengangguk mantap. “Genteng merah sudah datang dua gerobak pagi tadi, dan logam untuk

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 196

    Di kejauhan, burung camar berputar-putar di langit, seolah menyambut para pelaut dan pedagang yang mulai berdatangan.Kini, Pelabuhan Teluk Penyu berdiri megah—dermaga dari batu pualam dan kayu jati yang ditambat kuat dengan rantai besi. Bendera Kali Bening berkibar di atas menara mercu suar. Panji dengan lambang singa kini bukan hanya simbol desa, tapi tanda pengaruh yang menjalar di jalur laut selatan.Di bibir pelabuhan, Raka berdiri bersama Nakhoda Rosi dan Kapten Darma, memandangi satu per satu kapal dagang yang mulai bersandar. Suara roda peti kemas berderak di antara para kuli yang sibuk bongkar muat.“Tiga kapal dari Luar Aruna, dua dari Pelabuhan Rembang, dan satu dari kerajaan Lamusi,” lapor Darma dengan tenang, tangannya memegang daftar manifest.Raka mengangguk pelan, suaranya lirih namun penuh kepastian.“Blokade dari Kadipaten Kemusuk hanya mempercepat keputusan yang sebenarnya sudah harus kita ambil sejak lama.”Nakhoda Rosi menimpali dengan senyum puas.“Dulu mereka pi

  • Hidup Kembali di Zaman Kuno   Bab 195

    Mentari pagi menyinari Desa Kali Bening yang kini nyaris tak dikenali lagi dari bentuknya yang dulu. Di kejauhan, tembok pertahanan berlapis tiga berdiri angkuh, melingkupi seluruh desa seperti perisai raksasa. Setiap lapisan dibangun dengan batu andesit yang diperkuat bata merah, serta dijaga oleh pasukan bersenjata lengkap.Di puncak-puncak menara penjaga, laras tiga meriam sedang mengintai cakrawala, seperti mata naga yang tak pernah tidur.“Kanda Raka... sejujurnya, kau tak lagi membangun sebuah desa,” ujar Aina sambil menyapu pandangan dari menara utama ke arah horizon. “Yang kau dirikan ini… benteng.”Raka menatap peta di hadapannya, lalu tersenyum tipis. Suaranya tenang namun penuh makna.“Jika damai ingin dipertahankan, maka tembok perdamaian harus lebih kokoh dari niat siapa pun untuk menyerang. Yang kubangun ini, bukan benteng untuk menyerang... tapi pelindung bagi ribuan jiwa.”“Dan jangan kuatir, semua ini akan baik-baik saja aku membangun ini untuk melindungi Kerajaan dar

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status