"Eh! Ayo! Ayo! Jangan menghabiskan waktu kita hanya untuk berdiam diri saja disini. Ayo, kita mulai pergi untuk mencari wahana permainan." Ucap Barra memecahkan suasana yang mulai tidak karuan, sambil mencoba menggandeng tangan Laura seraya berkenalan dan berusaha menjadi dekat dengan gadis kecil itu.
"Eh iya? Erin... Siapa laki-laki itu?" Bisik Ryan kepadaku karena penasaran melihat pria di hadapannya itu.
"Barra Alexander. Ssttt!" Jawabku kepada Ryan, serta segera memberikan isyarat kepadanya untuk diam.
"What's!!!" Teriak Ryan yang kaget sambil berusaha menutup mulutnya, supaya bisa diam.
“Barra!? Barra Alexander!? Artis populer itu?? Woaahh! Bagaimana kamu bisa mengenal orang, seperti dirinya?” Ujar Ryan yang masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Ssstt... Aku akan menceritakan semuanya nanti." Bisikku singkat kepada Ryan, berusaha mencegah Ryan yang kemungkinan akan berisik untuk mencari tahu.
Kami semu
Tak terasa, hari kelulusanku akhirnya tiba. Hari ini, aku resmi lulus dari tingkat sekolah menengah atas. Aku pun mulai bersiap untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, seperti yang aku dan orang tuaku cita-citakan. Perguruan tinggi yang aku dambakan mulai membuka sesi pendaftaran. Aku pun langsung bersiap dan mengikuti tes yang diadakan. Akhirnya, sesuai dengan apa yang aku harapkan, aku berhasil lulus untuk masuk ke perguruan tinggi tersebut, sesuai dengan jurusan yang aku pilih. Namun, kegembiraan yang aku rasakan seketika pudar ketika melihat beberapa biaya yang harus dibayarkan. Bisnis Laundry orang tuaku sebenarnya mulai mengalami penurunan sejak bulan lalu, dikarenakan kejadian dimana beberapa baju pelanggan menjadi rusak dan robek karena mesin cuci yang tampak sudah tua itu. Karena kejadian itu, Ayah dan Ibu harus mengganti rugi kepada beberapa pelanggan. Lalu, karena kejadian itu, pelanggan mereka pun mulai menjadi berkurang. Saat ini, aku merasa me
Mulai hari ini, aku akan mulai menginap di rumah Barra. Ya, aku harus tinggal bersama Artis itu mulai sekarang. Aku tahu bahwa hal ini pasti akan sangat canggung bagi kami berdua. Tapi, apa boleh buat?? Pokoknya, aku harus bekerja dengan baik, supaya aku bisa meringankan beban yang aku dan keluargaku sedang rasakan ini. Ya, aku harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. “Kamu jangan berbuat yang aneh-aneh ya, Rin. Perlihatkan sikap terbaikmu di depan Barra. Jangan berani-berani kamu merepotkannya. Kamu harus selalu menemani dan membantu Barra, mengerti??” Ucap Ibu yang terus memberikan nasehat kepadaku. “Bu? Anak Ibu itu sebenarnya aku atau Barra? Seharusnya, Ibu berkata kepadaku untuk hati-hati dan menjaga diri, bukan?? Karena harus tinggal bersama seorang pria yang sebenarnya masih asing bagiku. Apa Ibu sama sekali tidak mengkhawatirkanku??” Ujarku yang lama-kelamaan menjadi kesal dengan ucapan Ibu. “Eh! Bukan seperti itu. Ibu berkata seperti ini, ka
01.15 “Astaga! Tulangku seperti remuk semua. Padahal... yang aku lakukan hanya melihat dan menunggumu saja, dan kamu yang bekerja serta tampil untuk melakukan segalanya. Tapi, mengapa aku terlihat jauh lebih lelah daripada dirimu?? Woahh! Bisa-bisanya kamu terlihat baik-baik saja setelah melakukan semua pekerjaan ini.” Ujarku yang tubuhnya terkulai lemas di atas sofa. “Ya, itu mungkin karena kamu belum terbiasa saja dengan semua ini. Sebenarnya semua pekerjaan, apapun itu, pasti melelahkan. Hanya terbiasa atau tidaknya kita melakukan pekerjaan tersebut, itulah yang membuat berbeda. Namun, jangan terlalu memaksakan dirimu, Rin! Aku tahu, pasti sangat berat untuk membagi waktu antara pekerjaanmu sebagai Manajerku dan kuliahmu.” Jawab Barra. “Em. Aku pasti bisa melakukan ini semua. Ya, aku hanya perlu terbiasa saja dengan semua ini.” Ujarku dengan penuh rasa semangat. “Ya, semoga kamu bisa cepat terbiasa dengan semua ini, ya...” Ujar Bar
“Astaga! Mereka berdua masih melakukan hal yang sama, seperti tadi!?” Ujar Barra yang kaget dengan apa yang dilihatnya saat berjalan turun dari lantai atas. “Hwuh~ Sampai saat ini, aku juga masih tidak paham dengan pikiran mereka berdua.” Celetuk Naomi dengan wajah pasrah. Aku dan Ryan masih juga berselisih pendapat di saat Naomi dan Barra sudah turun dari rooftop. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ryan dan Naomi ternyata berpacaran sekarang. Sebenarnya, aku bukannya tidak suka atau tidak menyetujui hubungan mereka. Tentu saja, aku ikut senang mendengar bahwa sahabatku, Ryan bisa menemukan pasangan yang begitu cantik dan baik. Sahabatku, Naomi juga beruntung mendapatkan Ryan yang benar-benar tulus menyayanginya. Namun, aku hanya masih terlalu kaget saja dengan kenyataan itu sekarang. Lagipula, aku juga mengakui bahwa aku rindu untuk bercanda dan bertengkar kecil dengan Ryan, seperti ini. *** “Sebentar! Mereka berd
Hari ini, Barra benar-benar memulai untuk shooting drama terbarunya itu. Di tengah-tengah waktu shooting, aku melihat Barra sedang duduk berduaan dengan Hera di ruang tata rias. Mereka terlihat berbincang dengan begitu intim sehingga membuat langkah kakiku yang berniat ingin bertemu Barra, seketika menjadi terhenti. Aku hanya mampu berjalan sampai di depan pintu, dan kemudian melihat mereka yang sedang seru mengobrol dari kejauhan. Keakraban mereka berdua terasa ganjal bagiku. Aku seketika menjadi penasaran dengan hubungan mereka. Keduanya tidak tampak seperti seorang rekan kerja saat ini. Tatapan mata Barra pada wanita itu begitu terlihat berbeda bagiku. Peran mereka berdua sebagai pasangan kekasih di drama tampaknya terwujud sampai ke kehidupan nyata mereka. Ya, mereka tampak seperti dua orang yang saling tertarik satu sama lain, sebagai seorang pria dan wanita. “Em. Aku yakin, Barra pasti ada rasa dengan wanita itu. Huh! Mengapa terlihat sekali!?” Batink
“Halo, Erin. Ini aku, Felly, Manajer Hera. Maaf, jika aku harus mengganggu waktumu malam-malam begini.” Jawab Kak Felly, yang merupakan Manajer Kak Hera. “Ohh! Kak Felly... Ahh tidak kok, Kakak tidak mengganggu. Hmm... Ada apa memangnya, Kak?” Ucapku kepada Kak Felly. “Begini... Aku sedang mencari Hera sekarang. Namun, aku tidak menemukannya saat aku datang ke restoran, tempat para pemain drama berkumpul. Lalu, aku mendengar ada staf yang mengatakan bahwa dia melihat Hera dan Barra tampak memesan kamar hotel di tempat mereka makan ini. Barra juga belum pulang ke rumah sekarang, bukan??” Jelas Kak Felly yang kemudian menanyakan keberadaan Barra. “Em. Barra... dia juga belum pulang, Kak.” Jawabku yang tiba-tiba merasa lemas, karena membayangkan berbagai hal yang kemungkinan dapat terjadi. Kak Felly memintaku untuk datang ke hotel tersebut untuk bersama-sama mencari mereka berdua. Aku segera berangkat ke ke tempat yang disebutkan Kak Felly di telepon. Se
“Barra? Ada kiriman dokumen untukmu!” Ucapku yang menerima kiriman paket untuk Barra tadi. Barra menerima dokumen yang aku berikan itu dan langsung membukanya untuk melihat apa yang ada didalamnya. Dia membaca isi dokumen itu dengan serius. Lalu, wajahnya yang serius tiba-tiba berubah menjadi murung dan kemudian menjadi tampak begitu marah. “Ada apa?” Tanyaku yang penasaran dengan apa yang Barra baca sehingga wajahnya menjadi begitu serius. Barra hanya terdiam. Dia benar-benar tidak menanggapi pertanyaanku. Dia bahkan terlihat seperti tidak mendengar suaraku. Dia sepertinya benar-benar terkejut dan kesal hingga tidak dapat mendengar suaraku. Aku pun akhirnya tidak berani untuk menanyakan hal itu. Barra sepertinya butuh waktu untuk dirinya sendiri. Hal itu sepertinya bukan urusan yang pantas untuk aku tahu. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke kamarku. Namun, langkah kakiku terhenti ketika melihat jarum di jam dinding yang menunjukkan pukul 14.00. Sek
Jadwal Barra hari ini kosong. Karena itu, aku meminta izin kepadanya untuk tidur di rumahaku malam ini. Aku benar-benar sudah kangen dengan Ayah, Ibu, dan anak menyebalkan itu. Setelah mendapat lampu hijau dari Barra, aku pun segera bergegas untuk bersiap pulang ke rumahku. “Aku pergi sekarang, ya?” Teriakku kepada Barra. yang sepertinya masih berada di dalam kamar mandi. “Iya, hati-hati!” Jawab Barra dengan agak berteriak agar aku bisa mendengar suaranya. Aku segera pergi dengan rasa hati yang gembira, membayangkan wajah Ibu dan Ayah di rumah. Namun, aku sepertinya sudah lupa dengan perilaku menyebalkan Ibuku karena sudah lama tidak bertemu dengannya. “Ayah!” Ucapku sambil memeluk Ayah yang sedang menyantap sarapannya. “Eh? Apa ini? Mengapa kamu datang kemari!? Ada apa? Ibu sudah bilang jika kamu butuh apa-apa, Ibu yang akan mengantarkannya ke sana, bukan?? Ibu sudah bilang kepadamu agar tidak meninggalkan Barra selama Rio belum pulang, bukan