Hasna berulang kali menyembunyikan wajah di dada Kenan. Dia tak ingin para tamu di pesta ulang tahun salah satu relasi Kenan melihat rautnya yang kini memerah. Bagaimana tidak? Pria itu tanpa tahu malu menggendongnya ala bridal, hanya karena dia mengeluh pergelangan kakinya sakit sebab terlalu lama memakai sepatu hak tinggi. Hasna sudah berbisik minta diturunkan, alih-alih pria semakin merapatkan tubuh si wanita ke dadanya."Duduk di sini." Kenan menurunkan Hasna, lalu mendudukkannya di atas kursi. Dia lalu berjongkok melepas sepatu tinggi yang menjadi alas kaki si wanita."Eh, jangan. Aku bisa sendiri." Hasna bermaksud mencegah, tetapi urung melihat sorot mata Kenan yang tegas yang seakan melarangnya bergerak.Hasna kembali menegakkan tubuhnya dan membiarkan Kenan membuka tali sepatu hak tinggi miliknya. Dia sedikit mengenyit saat sepatu itu dilepas."Sakit?" tanya Kenan, seraya menengadah menatap Hasna.Hasna meringis. "Dikit."Kenan menganjur napas panjang. "Lain kali enggak usah p
Tidak semua angan-angan anak manusia harus berjalan sesuai keinginan, terkadang Tuhan membelokkan apa yang sudah direncanakan dengan matang. Kita wajib ikhtiar berjuang menggapai keinginan, tetapi ketetapan Yang Mahakuasa adalah mutlak tak tergugat. Hal itu yang coba diterima oleh Naya. Tiga bulan lebih berlalu, gadis itu terlihat baik-baik saja. Setidaknya itu yang tampak secara fisik. Bekas luka di wajah dan tubuh sudah berangsur mulai menghilang, kecuali di pergelangan tangan yang menjadi keloid. Namun, tidak ada yang tahu luka batinnya. Bila sepanjang hari tersenyum riang, saat gelap menyelimuti bumi, dia akan menangis sepanjang malam. Dadanya masih saja sakit mengenang cinta tak berbalas. Cinta yang sejak kecil telah dia tempatkan di relung hati paling dalam. Nama Kenan telah terukir indah di sanubarinya. Sejak Salwa mengatakan, si pria pernah memberi napas buatan agar Naya terselamatkan, gadis tersebut menisbatkan nama Kenan sebagai raja di hatinya. Hanya pria itu yang selalu d
Mak Rusli heran melihat perubahan yang terjadi pada Naya. Pulang berlibur, gadis itu bukan bertambah riang, tetapi makin sering mengurung diri di dalam kamar. Dia hanya keluar bila dipanggil untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Selebihnya dia akan menghabiskan waktu di dalam kamar. Entah apa yang dia pikirkan. Berkali-kali Mak Rusli bertanya, tetapi putrinya hanya diam seribu bahasa, seperti orang bisu dan tuli.Pria paruh baya itu mencoba menebak, apakah Naya masih terpengaruh dengan pupusnya harapan menikah dengan Kenan? Tetapi, dia sudah terlihat baik-baik saja, bahkan mulai sering berinteraksi dengan orang lain. Namun, sejak kepulangan dari Lembah Harau, Naya seolah-olah menghindar dari ayahnya. Setiap Mak Rusli mencoba membuka percakapan, gadis itu cepat-cepat naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Seperti hari ini, seharian Mak Rusli tidak melihat sang putri. Rasa cemas menggelayuti hatinya. Kejadian berapa bulan yang lalu terbayang-bayang di tempurung kepalanya.
Kenan tak habis pikir, apa yang membuat Mak Rusli bersikeras memintanya pulang ke Padang? Hal penting apa yang tak bisa dibicarakan lewat telepon? Bahkan, Kakak mamanya itu mengatakan, apa yang hendak disampaikan perihal hidup dan mati."Ngelamun apa?" Hasna meletakkan secangkir kopi panas ke meja makan.Kenan tak menjawab. Dia malah memperhatikan Hasna yang sudah berpakaian rapi, harus turun ke dapur membuatkan sarapan untuknya. Menggunakan celemek merah, dan sandal rumahan, wanita itu justru terlihat sangat cekatan. Tangannya lincah menggoreng telur mata sapi di atas kompor, sementara matanya juga awas memperhatikan toaster, menjaga agar roti tak gosong."Kamu enggak takut bau asep?" Kenan akhirnya tak tahan untuk bertanya.Hasna menoleh sebentar sembari melempar senyum. "Enggaklah. Kalau udah bawaannya cantik, pasti wangi aja kecium di hidung."Kenan tertawa pelan. Istrinya itu tidak saja aneh, tapi juga menderita sindrom narsis akut."Siapa bilang kamu cantik? Menurutku enggak sa
"Semua ini salah Uda!" Naya berteriak, seraya menuding Kenan dengan telunjuk. Wajahnya basah bersimbah air mata dengan sorot seakan hendak melubangi dada Kenan. Mulut gadis itu terus meracau menyalahkan pria tersebut. Walaupun sang supir sudah menjelaskan kalau Mak Rusli kecelakaan karena kurang berhati-hati saat menyeberang jalan.Akan tetapi, Naya tetap menyalahkan Kenan. Dia berkata, seandainya sang ayah tidak menjemput pria itu ke bandara, pasti ayahnya baik-baik saja. Naya seperti orang gila. Dia terus saja berteriak menyalahkan Kenan. Tak ada lagi si gadis lembut dan bertata krama, wajahnya garang dengan sinar mata mengandung bibit kebencian untuk Kenan. "Udah harus tanggung jawab! Cuma Ayah yang Naya punya. Kenapa Uda tega membuat Naya seperti ini? Udalah sumber masalah. Uda sumber penderitaanku" Susah payah keluarga Naya dari pihak almarhum ibunya menenangkan gadis itu. Meminta dia beristigfar, alih-alih Naya malah maju dengan cepat menyerang Kenan. Dia memukul-mukul dada
Sepanjang penerbangan dari Padang ke Jakarta, Kenan diam seribu bahasa. Dia tak berminat berbicara dengan Naya yang duduk di sebelahnya. Kepala pria itu berat memikirkan reaksi Hasna. Meski pernikahan dengan si wanita tidak pernah direncanakan dan baru seumur jagung, tak pernah terlintas di pikirannya untuk menyakiti Hasna. Apalagi dua minggu belakangan ini hubungan mereka sangat manis. Andai ada jalan keluar selain menikahi Naya, pasti dia akan memilih jalan itu.Namun, Naya terlalu keras kepala. Gadis itu sangat pandai mengintimidasi. Mempermainkan pikiran Kenan seolah-olah dia yang bersalah. Menggunakan ancaman bunuh diri bila kemauannya tak dituruti. Kenan bisa saja tak peduli, tetapi nurani pria itu tak bisa membiarkan si gadis berbuat nekat. Dan dia yakin, Naya mampu melakukannya. Seseorang yang sudah terobsesi pada orang yang dia sukai, sanggup melakukan apa saja."Uda kenapa diam saja?" Naya bertanya. Dia tak tahan didiamkan begitu saja. Setelah pernikahan siri kilat mereka,
"Sebaiknya kamu tanya langsung ke Kenan. Apa alasan Naya tinggal lama-lama di rumah kamu. Enggak logis banget, dia punya warisan banyak, kok, malah numpang."Refan memberi saran setelah mendengar keluhan Hasna. Awalnya temannya itu tak mau bercerita, tetapi melihat raut kusut Hasna, membuatnya penasaran. "Percuma nanya, jawaban Kenan selalu aja sama. Sangat beresiko membiarkan gadis itu seorang diri." Hasna menjawab dengan malas. Dia meletakkan kepalanya begitu saja ke atas meja kerja. Semangatnya tak ada lagi sejak Naya mulai mengintervensi hidupnya. Bahkan, gadis itu sekarang bekerja di kantor pusat Kenan di bagian administrasi. Karena satu kantor, keduanya kerap pergi dan pulang bersama-sama. Hasna tak menampik ada cemburu terbersit di hatinya. Namun, dia mencoba mengusir pikiran itu. Meski belum bertahun-tahun mengenal Kenan, Hasna yakin pria itu tipe setia. Lagipula, Naya adalah sepupu si pria, tidak mungkin Kenan tega berbuat yang aneh-aneh di belakangnya."Ya, tanya lagi samp
Sepanjang perjalanan pulang, Hasna hanya diam. Tatapan matanya kosong. Dia hidup, tetapi mati. Takdir sungguh senang bermain dengan hatinya. Susah payah bangkit mengutip patahan hati, lalu merekatnya dengan tekun agar mampu mencintai lagi. Namun, saat dia kembali meletakkan kepercayaan dan membiarkan Kenan menjelajah masuk ke hatinya, pria itu justru melukai lebih dalam. Apalagi saat melihat sorot mata Naya yang seolah-olah mengejeknya. Hasna menolak ajakan Kenan berbicara di dalam hotel. Pantang baginya masuk ke tempat yang mungkin saja sudah ditiduri mereka berdua."Kamu baik-baik aja?" Refan yang mengendarai mobil, melirik sebentar ke arah Hasna.Hasna bergeming. Dia tak punya kekuatan meski untuk menggerakkan bibirnya saja."Sebaiknya kita mampir dulu ke suatu tempat. Kamu butuh berpikir jernih sebelum menghadapi Kenan."Hasna tak menjawab. Dia tak peduli Refan membawanya ke mana. Dia menutup kelopak mata, membiarkan semilir angin mengeringkan air mata yang luruh di pipinya. Hasna