Kenan sangat kesal. Hari ini dia kembali mencari Hasna ke studio foto, tetapi lagi-lagi wanita itu tidak ada di sana. Dan yang membuat pria itu meradang adalah, salah seorang karyawan Hasna mengatakan bahwa istrinya itu sedang ada proyek di kota Surabaya. Bagaimana bisa Hasna pergi tanpa pamit padanya? Prilaku istrinya belakangan ini memang seringkali membuat kesal. Wanita itu seakan-akan menantang untuk terus berkonfrontasi. Mereka jarang bicara, bahkan untuk sarapan di meja yang sama pun tidak pernah dilakukan lagi. Sejak kehadiran Naya, keadaan rumah tangga mereka bagai api dalam sekam.Saat salah seorang karyawan Hasna menjelaskan tentang proyek apa yang sedang ditangani istrinya di Surabaya, Kenan segera mencari tahu di instagram. Dia membuka akunnya yang sudah berlumut. Kenan memang tak terlalu aktif di media sosialnya akhir-akhir ini. Pikiran yang kacau membuatnya menyerahkan promosi di sosial media kepada bagian pemasaran. Itu pun khusus instagram outlet ayam gepreknya.Dahi
Kenan menyugar rambutnya. Hampir saja pertahanannya jebol karena godaan Naya. Ternyata imannya tak sekuat yang dia pikirkan. Andai saja telepon pintarnya tak berdering, mungkin saat ini dia sudah mendaki kenikmatan yang kemudian akan mengantarkan pada neraka dunia. Sikap gadis tersebut tak bisa diprediksi, membuat Kenan harus bertindak segera. Dia sudah berpikir seharian ini, untuk mengembalikan kepada keluarga almarhum Ibu Naya. Seharusnya, memang merekalah yang bertanggung jawab atas gadis tersebut. Mengingat teleponnya, Kenan merogoh kantong celana bahan. Dia penasaran siapa yang menelepon tengah malam buta seperti ini. Terlihat nama Salwa sebagai pemanggil di layar. Dahi pria itu berkerut, apakah terjadi sesuatu pada adiknya? Ingin mendapat jawaban, dia memutuskan menelepon balik."Ada apa, Salwa?" Kenan bertanya setelah panggilan terhubung."Enggak ada pa-pa, Kak. Aku kebangun karna mimpi buruk, trus ingat Kakak. Jadi, aku telepon. Kakak baik-baik aja, kan?" Terdengar suara lemb
Hasna masih bertahan dalam mobil Refan. Setelah dua hari di Surabaya, rasanya malas sekali kembali ke rumah sendiri. Dia bahkan tinggal di studio foto selama dua hari. Bangunan yang berada di pusat kota Jakarta itu adalah rumah kedua baginya. Bila dikejar dead line atau sedang bermasalah, dia lebih suka tinggal di sana. Selain lantai dasar yang diperuntukkan untuk kantor, lantai dua disulapnya menjadi kamar pribadi yang sangat nyaman. Dengan kaca lebar dan besar menghadap jalan raya, Hasna bebas menikmati kerlip lampu-lampu kendaraan yang berlalu-lalang. Bagian atap kamarnya, sebagian dipasangi atap transparan, hingga saat tidur pun dia bebas mengamati langit malam.Hasna menatap dengan wajah murung rumah berlantai dua di hadapan. Dua pilar seperti raksasa menyangga bagian depan. Deretan bunga-bunga hias yang dulu menjadi favoritnya, kini tak lagi tersentuh. Gemericik dari air mancur kecil di samping rumah tak lagi mampu menyejukkan hati Hasna."Kamu enggak mau masuk?" tanya Refan den
Kenan tersentak saat sinar matahari menyentuh wajahnya tiba-tiba. Dia refleks menjadikan telapak tangan sebagai tameng, agar cahaya terang itu tidak menusuk retina. Setelah matanya menyesuaikan dengan cahaya di dalam kamar yang seketika benderang, dahinya berkerut melihat Naya berdiri di dekat jendela sambil tersenyum."Selamat pagi Uda. Ayo bangun, aku udah siapin sarapan yang spesial buat suamiku tersayang."Kenan menyibak selimut dengan kesal. Satu minggu setelah dia menjatuhkan talak kepada Hasna, bukannya merasa tenang, hidupnya semakin kacau. Dia mulai jarang ke kantor. Untuk urusan kelancaran usaha diserahkan ke orang-orang kepercayaannya."Uda, ditanya, kok, malah diam." Naya mendekat, sambil menyentuh lengan Kenan.Alih-alih Kenan menanggapi, dia menepis tangan Naya. "Dengar! Aku enggak suka kamu masuk kamar aku." Dia membuka pintu kamar. "Keluar!" titahnya dengan nada dingin.Naya tertawa sumbang, wajahnya yang semula ceria, memerah mendengar pengusiran Kenan. "Uda bercanda
Kenan tergopoh-gopoh menghampiri meja resepsionis rumah sakit. "Permisi, suster! Korban kecelakaan atas nama Naya Rusli di mana?" Wajahnya menyiratkan kecemasan yang luar biasa. Baru saja menutup pagar rumah, teleponnya berdering mengabarkan gadis itu mengalami kecelakaan. Parahnya, si gadis mengendarai mobil rental yang keadaannya rusak parah."Sebentar, Pak," ujar sang perawat seraya mengecek data pasien di komputer di hadapan. "Pasien atas nama Naya yang kecelakaan itu, ya, Pak?"Kenan mengangguk."Pasien ada di ruang IGD. Lewat di situ, Pak." Sang perawat menunjukkan arah ke mana Kenan harus berjalan.Pria itu mengucapkan terima kasih, lalu bergegas mengikuti petunjuk arah dari perawat tadi. Jantung pria itu bertalu-talu. Bagaimanapun, Naya tetaplah tanggung jawabnya. Jika terjadi sesuatu dengan gadis itu, tentu dia akan sangat merasa bersalah. Namun, yang jadi pertanyaan, untuk apa Naya merental mobil sementara gadis tersebut bisa menggunakan mobilnya?Langkah Kenan melambat meli
Kota Jakarta diguyur hujan seharian. Rumput basah yang dihiasi warna cokelat dari daun-daun akasia yang gugur diembus angin kencang semalam, menciptakan korelasi warna yang tidak seimbang, tapi cukup mampu membuat teduh mata memandang. Warna saga di ujung cakrawala, perlahan menepi dan memburam ditutupi awan-awan kelabu yang menggantung. Langit masih mendung menyisakan derai gerimis tipis yang tempiasnya jatuh ke tubuh Kenan.Lagi dan lagi Kenan datang ke rumah sakit. Tiga hari berlalu sejak kecelakaan yang menimpa Hasna, dia belum bisa menemui wanita itu. Setiap kali keinginan itu datang, langkahnya seakan dipaku oleh rasa bersalah. Pada akhirnya dia hanya mampu berdiri termangu di depan ruang IGD. Kenan mulai terbiasa dengan aroma obat-obatnya yang menusuk penciumannya. Kedatangan pria itu hanya untuk mencari tahu bagaimana perkembangan Hasna, yang telah dipindahkan ke ruang perawatan. Dia terlalu malu untuk meminta izin kepada Hasan. Apalagi mengingat sorot Indah yang seolah-olah
Hasna berharap bulan Desember tak pernah ada, pasti lebam-lebam di dadanya juga tak akan tercipta. Juga berharap tak pernah mengenal kata cinta. Dua kali membuka hati, selalu kecewa menjadi muara. Andai saja tiada sang ayah menjadi penguat, mungkin saat ini dia tinggal nama. Bukan berarti dia pecundang, memilih menyelesaikan dengan cara hina, tetapi luka di dada terlalu dalam hingga menyeretnya dalam pusaran lara. "Ini takdir. Kita dipaksa berdiri di tengah-tengah pusaran samsara dan parahnya, tidak bisa menolak. Hanya menerima pasrah hantaman dari keperkasaan garis nasib." Hasan menasehati sang putri yang duduk termangu di atas kursi roda. Keadaan Hasna sudah lebih baik. Dia hanya butuh beberapa kali terapi dan pengobatan rutin agar kembali pulih seperti sedia kala. Namun, pria itu tahu. Luka batin putrinya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali baik-baik saja. Saat luka itu sembuh, bukan berarti lupa. Benaknya akan menyimpan ingatan tersebut menjadi kenangan paling kelabu yang
Susah payah Hasna menahan air mata agar tak jatuh di ruang perawatan Naya. Dia bergegas keluar dari tempat itu, menolak bantuan Salwa mengantar kembali ke kamarnya. Dia seolah-olah punya kekuatan lebih untuk menghindar lebih cepat. Napasnya memburu, dia menggerakkan kursi roda dengan gesit. Namun, bukan ke kamarnya. Hasna justru membelokkan kursi roda ke taman rumah sakit. Di bawah pohon akasia yang berdaun rimbun, sepi dari lalu-lalang orang, dia menghentikan gerakan tangannya. Genangan air di kelopak mata, akhirnya luruh jua. Tetes-tetes tangis menderas di pipi Hasna, sementara bibirnya bergetar menahan isak. Dia tak tahu apa yang tengah dirasakan. Semua rasa padu di dada. Kasihan, marah, dan benci. Dia tak bisa mendefenisikan, hanya ingin marah pada nasib yang tengah dilakoni. Salahkah jika belum mampu memaafkan Naya? Dia hanya manusia. Tak mudah bersikap baik-baik saja, sedangkan hatinya sudah tak berbentuk lagi, hancur berkeping-keping. Hasna lelah berpura-pura tegar. Selalu me