"J—John?!" Grace syok bukan main, ia tidak menyangka doanya tidak dikabulkan.
Sementara John sendiri tidak tahu harus berterima kasih kepada siapa—Tuhan yang mana—untuk pertemuan kali keduanya dengan Maria seperti apa yang diingininya.
"Yep, kita ketemu lagi," dengan penuh semangat, John melayangkan pandangan di balik kacamata hitam miliknya ke kiri dan kanan dan bertanya, "Maria, kata anak-anak yang barusan gue tanya ... di sini ada yang namanya Grace?"
Grace masih terdiam mematung, berusaha mengatur pernafasan karena dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Perasaan seolah ingin meninju dan berkata kasar, akan tetapi ia menahan diri karena itu perilaku yang tidak baik dan kemungkinan akan direkam lagi oleh John.
Alih-alih menjawab pertanyaan John, Grace masih berusaha menyembunyikan identitasnya, nama aslinya sendiri.
"Tolong," Grace membuka mulutnya setelah ia berhasil mengerahkan pikirannya untuk berpikir jernih. "Tolong hapus
Setiap manusia memiliki harganya masing-masing. Harga di sini bukan hanya merujuk pada harga diri, sikap menghargai, atau penghargaan terhadap prestasi tertentu. Akan tetapi nilai yang akan diberikan seseorang terhadap yang lain atas hasil atau usaha yang dilakukannya, dicapainya, dan dibayarnya. John telah membayar harga yang cukup mahal atas gaya hidupnya, gengsinya, dan juga segala apa yang dilakukannya di sosial media dan kehidupan nyata. Dengan taruhan, dengan foya-foya, dan dengan tindakan sembrononya seperti hari ini. "Jadi gimana, bro?" John menatap tajam Wawan yang berada hanya beberapa jengkal dari dirinya. "Kurang?" Wawan yang tersulut emosi segera mengepalkan tinjunya dan mengarahkan ke wajah John. Akan tetapi publik tidak pernah mengetahui bahwa John terlatih secara fisik untuk membela diri sejak kecil. Bahkan dilatih khusus dan langsung oleh para master bela diri. Wushu adalah salah satu cabang ilmu bela diri, bahkan men
Wajah Grace menjadi kemerahan. Bukan hanya karena perasaannya saja yang bergejolak, namun ia sendiri tidak yakin harus menjawab apa. Dalam alam bawah sadar pikirannya, ia merasa perkataan John tulus, tanpa ada maksud tersembunyi. Namun kejadian yang telah menimpanya membuat ia harus memasang tameng hati akan apa pun yang dilontarkan John. Termasuk kalimat 'penyesalannya' yang berujung video yang ia minta Grace rekam alih-alih meminta maaf langsung. Grace tetap tidak mempercayai sikap John. "Tidak perlu," Grace menurunkan ponsel milik John dan berjalan menuju arah pria tersebut yang sedang berjongkok di samping bangkai sepeda miliknya. "Kamu udah cukup membuat masalah, jadi tolong—ini, ponselmu. Kamu sebaiknya pulang, aku harus melanjutkan pekerjaanku." John menerima ponsel miliknya tanpa menoleh karena ia sedang memperhatikan bagian-bagian apa saja yang rusak pada sepeda tersebut. Kemudian ia bangkit berdiri dan mengantongi ponsel miliknya, melirik sejenak ke
Jam di dinding terus berdetak, tanpa disadari waktu sudah menunjukkan pukul 17:10 waktu setempat. Grace yang sibuk menghafal cara menghitung resep harus segera menyimpan buku yang dipinjamnya dari tempat kuliahnya. Ia bergegas untuk mandi, tetapi ketika hendak mengambil handuknya, Grace mendengar deru mobil John di kejauhan. Ia berhenti sejenak untuk mendengarkan, tetapi dengan cepat menggelengkan kepalanya dan pergi ke kamar mandi. "Aku harus berkonsentrasi untuk ujian nanti," kata Grace pada dirinya sendiri sambil menyalakan air di bak mandi. Namun, ia juga memiliki pemikiran lain ketika memutar keran, Grace menyadari bahwa sepedanya belum diperbaiki. Karena kejadian hari ini antara John dan Wawan—kekasih Sheila, Grace tidak enak menghubungi Sheila untuk mengajaknya pergi kuliah bersama. "Hmph! Itu semua karena pria sombong itu—" Setelah selesai membersihkan tubuhnya, Grace merasa bahwa dia membutuhkan bantuan Sheila bagaim
"Oh, jadi ini cewek kampung yang lu bicarain, J?" Gadis berambut pendek sebahu dengan tatapan setajam elang itu menatap Grace dari atas ke bawah. Mengenakan pakaian seksi yang menampilkan belahan dadanya, wanita itu seolah tidak merasa dingin sama sekali walau udara terasa dingin berkabut di malam hari. John tidak menjawab, ia melepas lengan gadis yang mengapitnya lalu berjalan mendekati Grace yang sedang memegangi kartu debit Bapa Chris. "Lu yakin mau nginep di sini?" John menantang Grace karena ia menduga bahwa gadis desa itu akan membayar biaya penginapan dengan kartu debit yang sedang dipegangnya. "Ga perlu sombong gitu lah," Grace angkat suara karena kesal diremehkan John. "Aku tau kamu kaya raya. Tempat ini juga milikmu—tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya nilai orang." "Wow, tajem juga mulutnya." Gadis berpakain seksi itu melirik ke arah John, seakan ingin menyaksikan apa balasan yang akan dilontarkan John. "Dua kamar
Perbedaan paling signifikan ketika menyambut pagi bagi Grace ialah, ia tidak mendengarkan kicauan burung dari jarak dekat serta dirinya mengalami kekurangan tidur sehingga tubuhnya merasa pegal-pegal. "Mungkin karena ini bukan kamarku sendiri kali ya," Grace bergumam dalam hati sambil memperhatikan langit-langit yang berjarak lumayan tinggi yang disinari penerangan remang berwarna kuning dari kedua sisi tempat tidurnya. "Kenapa semakin besar, aku merasa semakin ga nyaman ya...." Langit dan udara di sekitar pegunungan jauh lebih terasa dingin dari yang biasa dirasakan Grace di rumahnya. Jam di ponsel miliknya menunjukkan pukul 06.10 sementara kabut tebal masih menyelimuti pemandangan di luar dan tentunya cahaya matahari belum terlihat sama sekali. Udara dingin menyelimuti setiap sudut ruangan, untungnya kamar Grace dilengkapi dengan penghangat ruangan praktis yang selalu menyesuaikan suhu ruangan kamar agar tidak terlalu dingin. Dalam kondisi seperti
Setelah menyelesaikan semangkuk bakso hangat, Grace merasa cukup kuat untuk berjalan. Segera setelah itu ia bangkit berdiri dan berpamitan dengan sopan pada John. Sebelum melangkahkan kakinya keluar dari bangku, John menangkap lengan Grace."Gue anter," John menahan Grace."Ga usah, aku bisa jalan sendiri pulang, sekalian olahraga," Grace segera menampik permintaan John untuk mengantarnya ke rumah. "Terima kasih."John masih tidak melepaskan genggamannya, ia menatap Grace tanpa berkedip. "Lu buang sepeda itu, I'm okay. It's your choice anyway. Tapi gue ga nyaman kalau liat lu harus ngorbanin diri gitu.""Ngorbanin diri? Maksudnya?""Lu pikir jarak dari sini ke gereja itu berapa meter?""Ya ga tau lah, ga pernah ngitungin.""That's why, think." John melepaskan genggamannya dan menunjuk ke arah pelipisnya."Sok banget sih," Grace mulai merasa sebal dan merasa direndahkan. "Kalau mau debat, aku ga ada waktu layan
Beberapa hari setelah 'perpisahan singkat' dirinya dengan Grace, John kembali melanjutkan misi serta goal yang ia telah simpan dalam ponselnya.John telah mengambil langkah awal bekerja sama dengan Kim, walau pada dasarnya ia terganggu dengan cara Kim beserta timnya memanfaatkan fasilitas penginapan yang John berikan gratis pada mereka untuk kepentingan pribadi.Langkah selanjutnya ia memberitahukan setiap anggota tim permainan daring JJGAMING untuk datang dan melakukan vlog bersamanya, kali ini John yang memanfaatkan peluang. Ia mengetahui kapasitas Kim beserta tim sinematografi untuk memberikan arahan secara cuma-cuma ketika mereka melakukan syuting.John memang tidak bodoh hanya saja ia perlu melihat situasi dan kondisi hati Kim yang terkenal cukuppicky dalam memilih mitra bisnis, bisa saja ia membatalkan secara sepihak apabila kondisi hatinya terganggu.Di lain waktu, John telah menghubungi kontraktor, beserta arsitek dan interior desai
Desa Grace Hill memang terkenal oleh suasananya yang sejuk dan damai, namun semenjak proyek konstruksi JJWORLD dilaksanakan, banyak mobil angkutan besar yang hilir-mudik dari kota dan memadati jalan raya menuju lokasi vila yang berada di puncak gunung. Selain mengganggu suasana sekitar dengan asap kendaraannya, iring-iringan mobil konstruksi tersebut cukup meresahkan warga yang terbiasa dengan suasana jalanan yang terbilang sepi, bebas plusi, serta banyak anak-anak yang berjalan kaki. Itulah salah satu faktor yang tidak dipikirkan oleh John sebelumnya, ia hanya memusatkan perhatiannya pada aspek pembangunan, jika berurusan dengan surat izin, John dengan mudahnya mengatasi hal tersebut melalui sumber keuangan miliknya. Seluruh proses dapat berjalan dengan lancar, tanpa masalah birokrasi oleh pemerintah setempat karena adanya kucuran dana 'tambahan' yang dikeluarkan oleh John dan harganya tidaklah main-main. Dengan kata lain, John seolah 'membeli' wilayah dan o