Share

Bab 4. #somewhere_i_belong

Akarta Selatan

03:21 AM

Deruan Lamborgeenie Veneyes Roadster berwarna hitam yang dikendarai JJ melintasi jembatan layang Semanggis malam itu ditemani cahaya bulan yang telah meredup karena posisinya sudah hampir tergantikan matahari terbit.

Berpacu dengan kecepatan tinggi sambil menyetel musik berjudul 'somewhere I belong' dengan volume yang begitu keras—memicu adrenalin serta menenangkan jiwa dan pikiran John.

Itulah yang sering dilakukan John, terkadang dikendarainya sendiri tanpa arah. Di lain waktu berpacu dengan beberapa temannya dalam jarak tertentu dengan atau tanpa taruhan.

Lambo miliknya ini tidak pernah ia pertaruhkan karena mesin di dalamnya terhitung jauh lebih mahal berkali lipat dibanding harga Lambo itu sendiri. Teknisi yang menangani mobil tersebut didatangkan langsung dari negara dimana Lambo itu kali pertama diresmikan.

Alasan sebenarnya John tidak pernah mempertaruhkan mobil sport tersebut merupakan pemberian papanya kali pertama dalam hidupnya setelah berhasil memenangkan medali emas untuk kejuaraan olimpiade science semasa ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Medali tersebut masih menggantung di bagian kaca spion dalam. Ia sempat merenung sejenak mengapa dulu ia begitu rajin sekolah dan memiliki cita-cita ingin menjadi dokter.

John pada waktu kecil ingin membantu anak lainnya agar tidak kehilangan ibu mereka apabila sakit. Ia tidak ingin apa yang dirasakannya, dirasakan orang lain.

Lamunan John terhenti ketika ponsel miliknya bergetar.

"Kau dimana? Keadaan papa semakin parah."

Pesan kakaknya tersebut muncul di layar LCD 10 inci yang terhubung dengan ponsel John dan terletak di bagian tengah dasbor.

John menghela nafas, tiba-tiba terbersit dalam pikirannya untuk segera meminta harta warisan yang merupakan hak miliknya sebelum semuanya direngut oleh kakaknya. Papanya dalam keadaan sekarat, toh tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga.

John lebih takut jika ayahnya memutuskan untuk mempercayakan seluruh hartanya kepada Matthias daripada ia kehilangan sosok sang ayah.

***

45 menit kemudian.

John tiba di depan pintu gerbang rumahnya. Deruan suara Lambo miliknya senyap saat ia turun dari mobilnya dengan pintu mobil yang terbuka ke atas bagaikan sayap elang diikuti desisan pegas.

Salah satu asisten rumah tangga menghampirinya sambil tertunduk.

"Rupanya papa masih hidup." Tanya John sembari berjalan masuk tanpa menoleh sedikit pun karena fokusnya mengarah pada lampu kamar di lantai tiga yang masih menyala, "gue mau nemuin dia. Sekarang."

Asisten tersebut mencoba untuk berbicara secara sangat sopan namun sungkan sambil berjalan mengikuti John. "Tuan Muda, maaf. Bukankah ada baiknya jika Tuan menjenguknya siang nanti?"

John berhenti. Berbalik. "Lu masih mau kerja di sini?"

Asisten itu pun bergidik. "Ma, maaf Tuan Muda."

John melanjutkan perjalanannya, membuka pintu kembar rumahnya. Suara deritan halus terdengar cukup jelas. Ia disambut dengan lampu ruangan yang hanya sebagian menyala. Dapat kita dibayangkan betapa dinginnya rumah yang begitu besar tersebut.

Menaiki anak tangga kembar satu per satu, John masih sempat mengecek ponsel miliknya.

2 missed calls dari Matthias.

Dilanjutkan oleh lorong dan anak tangga lain, akhirnya John tiba di depan pintu kamar pak Jos yang dijaga oleh beberapa bodyguard lengkap dengan jas, namun tidak mengenakan kacamata hitam seperti stereotip pada umumnya di film.

Sempat tersirat dalam benak John kalau ayahnya tidak lain seorang mafia atau sejenisnya. Pintu dibukakan dan John melihat Matthias tengah duduk di samping ayah mereka, memegang sebuah berkas dengan pakaian masih tetap rapih dan formal layaknya ia berada di kantor.

Alat penyambung hidup pak Jos masih terinstalasi dengan baik, monitor kerap mengontrol tiap detak jantungnya; tanda bahwa beliau masih hidup—hanya saja tidak sadarkan diri.

"You gotta be kidding me," John memulai, "jam segini, udah mau ngantor?"

"Sedikit pun, J..." Matthias membalas tanpa menoleh pada adiknya, "sedikit saja, kau tidak bisa lihat situasi?"

"Situasi apaan? Papa sekarat dan—" kata-kata John terpotong oleh Matthias.

"Diam, berengsek!!" Bentak Matthias.

John terhenyak, tidak biasanya Matthias lepas kendali dan berkata kasar seperti itu. Sosok kakak yang selalu tampil dengan karisma luar biasa, tutur kata yang terjaga dengan baik dan sopan, nampak 180° berbeda. Seperti orang lain.

"Kau tidak tahu? Sebelum papa koma sore tadi, beliau sudah menandatangani harta warisan yang selalu kau minta itu!" Matthias melanjutkan dan melempar berkas yang ia pegang ke arah John, "dan kau—bajing*n, kau pasti saat itu sedang main, kan?!"

John melihat berkas atau dokumen tersebut yang telah dipungutnya, belum beranjak untuk berdiri dan menjawab pertanyaan Matthias, wajah John nampak berubah. Ya, sama sekali tidak ada kesan sedih, melainkan seperti memenangkan lotre.

"Puas, Jo?! PUAS?!" Matthias semakin geram melihat John yang tidak merespon apapun. Kecuali gestur yang menunjukkan bahwa ia nampak senang mengamati angka-angka serta tulisan yang tertera pada dokumen tersebut semua atas namanya.

"Matt," John memulai, melipat dokumen tersebut sambil melirik kakaknya yang sedang terbakar emosi. "Kenapa sewot banget sih? Toh lu juga dapet kan. Get over it, bro."

Matt yang sudah sangat emosi, mendekati John, menarik kerah baju adiknya dengan tangan kanannya dan tangan kiri yang hendak melayangkan tinjunya yang tertahan.

"Apa?" John menantang dengan tatapan sinis, "jangan pura-pura baik lah. Dari dulu gue muak liat gaya lu yang selalu sok baik di hadapan semua orang, bro."

Matthias melepaskan cengkeramannya. John membetulkan posisi pakaiannya sementara melanjutkan, "sebagian besar harta papa, gimana juga lu yang akan dapat, ya kan? Lu anak pertama, gue cuma si bungsu yang durhaka."

"Yeah, adik yang sama sekali ga ada gunanya," Matthias membelakanginya, menatap ayah mereka yang terbaring. "Semua tanggung jawab perusahaan, membersihkan nama baik yang sempat tercoreng, tampil di hadapan publik mewakili papa: bukankah itu semua yang kulakukan?"

"Yap! You are the fuc*ing HERO, Matt," sindir John. "I am not belong here anymore, am I?"

"Terserah, Jo. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, bukan?" Jawab Matthias atas pertanyaan John mengenai dirinya yang sudah tidak perlu berada disana.

Lebih tepatnya, John hendak undur diri dan meninggalkan rumahnya, meninggalkan Matthias, meninggalkan ayahnya, segala kenangan dan hal yang telah membuatnya bosan di Akarta, kota tempat ia dilahirkan, dibesarkan dan diabaikan.

"Ok kalau begitu—" John menyeringai, memperhatikan kembali lembaran dokumen yang ia pegang. "So long, suckers!"

Membuka pintu kamar ayahnya, tanpa ragu John melangkah keluar dan membulatkan tekad untuk pergi. Gone for good, pikirnya.

JJ telah menerima warisan berupa dana di kartu VVIP miliknya yang hanya bisa dimiliki seseorang dengan kekayaan minimal 10 juta USD. Beberapa aset, properti atas namanya, surat berharga, tanah dan kekayaan lainnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status