Share

Bab 3. #gracehill

Desa Grace Hill, Sewarang. Javva Tengah.

400 km dari Akarta.

06:30 AM

Di mana hartamu berada, di situlah hatimu berada.

Itulah kalimat yang akan dibaca oleh siapa pun yang melintasi gerbang Bukit Anugerah. Daerah tersebut dibangun oleh seorang misionaris nasrani yang dibantu oleh para penduduk sekitar pada tahun 90-an, tertulis pada peta dengan sebutan Grace Hill.

Sejarah yang sebenarnya bukan ditujukan untuk penyebaran agama, akan tetapi Bukit Anugerah pernah mengalami musibah kebakaran dahsyat pada suatu malam, seluruh wilayah perbukitan yang dipenuhi pepohonan tinggi habis dilahap api yang berkobar hingga dini hari.

Pemadam kebakaran berlokasi sangat jauh dan penduduk sekitar tidak memiliki cukup daya untuk menanggulangi kebakaran hutan tersebut yang menyebar begitu cepat oleh karena iklim ekstrim.

Tidak sedikit jumlah korban luka maupun jiwa, akan tetapi ada sebuah keluarga dimana bayinya berhasil diselamatkan oleh Kasih Karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Seakan dijaga oleh malaikat Tuhan itu sendiri, api yang menyambar habis seluruh pemukiman warga menyisakan sebuah pondok di atas bukit dimana bayi tersebut berada. Bahkan api berkobar di pepohonan sekitarnya namun tidak merambat ke daerah rumah tersebut.

Tidak diketahui keberadaan kedua orang tua bayi itu setelah insiden melanda. Warga menduga mereka melarikan diri akibat rasa malu, menyelamatkan harta mereka terlebih dahulu dan melupakan bayi mereka yang menangis seorang diri.

Keluarga yang tinggal di rumah tersebut memang cukup asing dan memisahkan diri dari penduduk lokal.

Misionaris bernama Christopher L. Longfellow, akhirnya memutuskan untuk merawat bayi itu dan menamainya Grace Light Hill karena mendapati jenis kelaminnya perempuan dan ditemukan di dalam rumah di atas bukit.

Dua puluh tahun telah berlalu.

Kini gadis tersebut telah tumbuh dewasa, kuat, ceria, serta menjadi bunga desa.

Rumah di atas bukit pun telah menjadi ikon wisata, terbuka sebagai tempat ibadah, sekaligus tempat tinggal Grace sewaktu Bapa Chris pergi untuk melayani para jemaat di kota lain.

Ukuran tubuh Grace yang mungil seringkali disangka anak kecil berusia dua belas tahun, padahal usianya sudah lebih dari dua puluh tahun. Namun hal tersebut tidaklah menjadi batu sandungan baginya, akan tetapi keuntungan tersendiri.

Karena setiap orang yang pada awalnya meremehkan Grace, menjadi takjub akan tatanan bahasa yang rapih serta pola pikir yang sudah matang.

Dari segi emosional maupun personal, Grace termasuk introvert yang mudah bergaul dengan siapa pun yang ia temui.

Tidak heran, banyak pemuda yang mengincar Grace namun undur diri tatkala berbicara padanya.

Grace hidup dengan biaya yang awalnya ditanggung Bapa Chris selaku orang tua asuhnya, sumbangsih masyarakat sekitar, hingga pada akhirnya Grace bertekad untuk membiayai hidupnya sendiri saat ia menginjak usia remaja.

Ia bahkan memiliki sebidang tanah, peternakan sederhana, serta kebun sayur kecil yang sah secara surat saat berusia lima belas tahun dari hasil tabungannya sendiri.

Saat ini ia sedang menekuni kuliah jurusan farmasi, bermodalkan tunjangan dari Bapa Chris dan sebagian dari hasil usahanya sendiri berjualan sayur, buah, dan komoditi lainnya secara berkeliling maupun daring. Grace menempuh sejauh kurang lebih 60 km setiap harinya pulang pergi untuk mengambil jadwal kuliah malam.

"Kamu yakin tidak ingin mengajukan beasiswa?" Tanya seorang ibu kepada Grace sembari ia membayar sekeranjang tomat segar yang dibawa Grace di pagi hari yang sejuk itu. Matahari masih belum sepenuhnya muncul.

"Aku sedang mengusahakannya, Bu Lola." Senyuman Grace yang manis selalu dapat menghibur siapa pun yang menjadi lawan bicaranya. "Akan tetapi aku masih perlu banyak belajar dulu. Kupikir, tidak akan mudah juga kalau hanya bermodalkan pengetahuanku yang terbatas ini."

Bu Lola tertawa kecil. "Grace, Grace. Kamu ini rendah hati sekali sih, Nak!" Sembari memeriksa sayur dan buah lain di sepeda kayuh yang dimodifikasi Grace menjadi 'sayur mayur keliling' yang terkenal murah dan berkualitas di desanya.

"Andai aku memiliki anak perempuan sepertimu, Nak~" Bu Lola mengambil wortel, memisahkannya dari beberapa sayuran lain yang sedang dipegangnya. "Anakku setiap hari taunya hanya rebahan, pacaran, rebahan, pacaran..."

Grace tertawa kecil sembari memperhatikan dan menghitung barang apa saja yang telah dipisahkan ibu tersebut dengan maksud ketika ditanya total pembeliannya nanti, ia dapat langsung memberikan angka yang tepat.

"Ngomong-ngomong kamu belum ada pacar, Grace?" Bisik Bu Lola tersebut seolah-olah ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan mereka.

Grace yang sedang menjumlahkan total belanjaan Bu Lola tiba-tiba pecah konsentrasinya.

"Eh, Ah, totalnya, umm... Maaf, kenapa, Bu?" Jawab Grace terbata-bata.

"Belum ada cowok?" Bu Lola menekankan.

Grace berusaha menahan tawa mengingat bahwa Bu Lola ialah orang kesekian yang melontarkan pertanyaan tersebut pada dirinya.

"Belum memikirkan hal tersebut, Bu." Jawab Grace polos, "karena kuliah saja belum selesai, mengajukan beasiswa saja belum terlaksana."

"Ya kan bisa sambil jalan, Grace," timpal Bu Lola dengan semangat karena ingin segera menjodohkan Grace dengan seseorang. "Mau saya kenalkan?"

"Ah, terima kasih Bu. Tapi, aku benar-benar ingin fokus dulu dengan kuliah," senyum Grace segera merekah namun dalam hati kecilnya, ia berharap untuk menyudahi pembicaraan tersebut dan segera beranjak pergi. "Jadi, ada lagi yang ingin dibelanjakan, Bu?"

"Iya, sudah. Berapa ya, Grace?" Jawab Bu Lola sembari membuka dompetnya.

"Totalnya seratus ribu dan ibu dapat bonus kantong belanja dariku ya," balas Grace dengan mengeluarkan kantong belanja hijau ramah lingkungan yang ia rancang dan desain sendiri. "Pakai ini dapat mengurangi sampah plastik, Bu."

"Memang canggih benar anak muda satu ini," sambil tersenyum, Bu Lola menyerahkan lembaran seratus ribu dan selembar dua puluh ribu. "Nih, ibu tambahkan sedikit ya."

"Eh, jangan Bu!" Grace sungkan. "Ini gratis kok."

"Ah, anggap saja berkat lebih dari Tuhan, Nak." Bu Lola memaksa dengan lembut. "Jangan tolak rejeki, nanti Yang Maha Kuasa marah loh."

"Ya ampun, terima kasih banyak loh Bu~" Grace menerima dengan senang hati, memasukkan uang hasil jualannya ke dalam dompet kecil bertuliskan namanya.

Sebelum Bu Lola beranjak pergi, ia sempat memberikan sedikit wejangan pada Grace.

"Nak Grace," Bu Lola memulai. "Ingat, rejeki jangan ditolak. Apalagi jika kamu bertemu jodoh ya, siapa tahu nanti di jalan kamu ketabrak jodohmu."

Grace tersenyum kecil, mengangguk.

"Eh, ibu ndak main-main loh," logat daerah Bu Lola terdengar. "Usiamu sudah cukup matang untuk memiliki pasangan. Walau kamu masih terlihat imut-imut begitu."

"Iya, Bu. Terima kasih atas doa dan perhatiannya ya, Bu." Grace membalas dengan perasaan senang bercampur bingung. Karena memang apa yang ia ungkapkan ialah kebenaran, saat ini fokusnya hanyalah kuliah dan berjualan.

Karena 'harta' Grace yang paling berharga ialah ilmunya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status