Tanganku melayang menyentuh pipi Mas Hanif dan Mbak Seli hingga kemerahan."Meeting katamu? meeting apa pacaran?!" tanyaku berteriak.Kulihat orang-orang memperhatikan kami dari kejauhan, tapi aku tak masalah biarlah kedua manusia itu merasa malu."Kamu juga, Seli, punya hati ga hah! Lihat ini aku lagi mengandung anak Mas Hanif, tega kamu masih deketin dia, kamu bilang takkan mendekati suamiku lagi, apa buktinya?! Dasar pelakor!" teriakku menghardik.Mbak Seli ketakutan, beberapa kali mulutnya menganga hendak memberi penjelasan. Namun, suaraku selalu lantang memotong ucapannya."Hei kalian semua! Lihatlah perempuan ini, dia kurang ajar berani-beraninya selingkuh dengan suami orang, lihatlah perutku ini, aku sedang mengandung anak dia, tapi mereka malah enak-enakan pacaran di belakang!" teriakku kalap.Aku maju satu langkah lalu menjambak rambut Mbak Seli yang panjangnya hanya sebahu, perempuan itu meringis kesakitan sambil menangis."Sudah, Kirana, ayo kita pulang," sergah Mas Hanif s
(POV KIRANA)Apa maumu, Mas?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya."Aku mau kamu terima Seli jadi yang kedua, dia tak masalah meski kunikahi secara sederhana, dia ga minta pesta mewah dia hanya ingin kita sah agar ga terjadi zina." Begitu jawaban Mas Hanif.Mataku terpejam menahan perih, kukira ia akan minta maaf karena ketahuan selingkuh, nyatanya ia semakin menjadi malah izin minta nikah.Betul-betul mirip dengan apa yang dulu dialami Mbak Risti. Setelah hubunganku dan Mas Hanif ketahuan Mas Hanif bukan minta maaf, dia malah minta izin menikahiku.Saat itu aku tahu Mbak Risti menolak minta diceraikan dan Mas Lutfi pun menceraikan tanpa pikir panjang, saat itu aku merasa di atas angin dan merasa paling bahagia.Ternyata semua kesedihan Mbak Risti kini berbalik padaku, rasanya ingin menjerit saking sakit."Gimana, Kirana? kamu mau kasih izin Hanif nikah lagi apa engga?" tanya ibu mertuaku.Dia juga sama gilanya, anak buat salah bukan ditegur malah diam saja."Aku ga bakalan kasih izin, l
Itulah isi pesannya, tak cukup di situ ternyata Bu Sisca mengirimkan pesan lagi.[Ini tuh karma, karena kamu dulu juga jadi pelakor bagi Mbak Risti. Aku sarankan kamu bertaubat sama Allah, kalau engga adzab kamu akan lebih pedih dari ini]Aku semakin tergugu membaca pesan Bu Sisca yang nyelekit itu, dia pun mengirim pesan lagi, tak ada habis-habisnya memojokkanku.[Lihatlah hidup Mbak Risti sekarang, dia bahagia dengan suami barunya, lah kamu malah diselingkuhi sama suamimu, itulah namanya karma. Maaf ya Kirana, aku ga maksud menghujat hanya menyuruh kamu tobat]Kesal sekali dengan Bu Sisca ini, apa haknya mengatur-atur hidupku, saudara bukan. Aku memilih mengabaikan pesan darinya, malas meladeni lebih baik kuhubungi Mbak Seli.Tak menunggu waktu lama telpon tersambung."Halo, ini siapa ya?" Rupanya ia belum tahu ini nomorku."Aku adalah istri Mas Hanif, lelaki yang kamu pacari selama ini, murahan juga kamu ini ya, sudah tahu laki beristri malah dilayani," jawabku sinis."Jaga bicaram
(POV Risti)Aku memandang Kirana dari kejauhan, wanita itu nampak seperti kesakitan dan butuh pertolongan. Benar saja sebelah tangannya melambai ke arahku, sementara tangan yang lain memegang erat ke pintu.Aku gegas berjalan cepat dan masuk ke gerbang rumahnya, dari dekat kelihatan sekali wanita itu sedang meringis kesakitan."Kirana, kamu kenapa?" tanyaku panikWalau di hati masih ada benci tetap saja aku punya nurani sebagai sesama manusia."Mbak, tolong aku, sakit banget, tolong bawa ke rumah sakit," ujarnya terbata-bata sambil meringis."Aku ga kuat, Mbak, sakit banget." Kirana duduk di lantai."Mas Hanif ke mana?" tanyaku sambil celingukan."Ga ada, Mbak tolong telponin ambulans ya aku mau ke rumah sakit," pintanya lagi.Aku mengangguk lalu merogoh ponsel yang tersimpan di saku baju.Beberapa menit kemudian ambulans datang, Kirana digotong masuk ke dalam mobil, karena tak ada siapapun di rumahnya terpaksa aku yang ikut ke rumah sakit"Bu Yani, aku mau nganter Kirana dulu ya ke r
Ditanya bukannya jawab ia malah menangis dan dengan cepat jemari lentik itu menghapusnya."Aku ... aku mau minta maaf, Mbak. Sekarang aku merasakan gimana sakitnya dikhianati." Kirana sesenggukan.Aku segera masuk ke dalam mengambil sekotak tissue di ruang tamu, lalu menyimpan benda itu di hadapan Kirana, kasihan juga dia ngelap ingus pakai tangan."Kamu udah tahu 'kan kalau mas Hanif nikah lagi?" tanyaku dengan suara pelan.Ia menganggukkan kepala lalu melanjutkan isak tangisnya, ia tergugu sebagaimana aku dulu tergugu karena Mas Hanif lebih memilih Kirana dan membuangku.Benar ternyata balasan Allah itu setimpal, dan aku cukup beruntung bisa menyaksikan semuanya, mungkin inilah hikmah tetanggaan dengan mantan."Mas Hanif mencintai Seli, dan kurang ajarnya Seli juga melayani sudah tahu Mas Hanif punya istri," ujar Kirana disertai isak tangis.'Dulu juga kamu gitu, sudah tahu Mas Hanif punya istri tetap saja kamu layani,' ucapku dalam hati, karena sekarang aku tak berani lagi menghuj
Kutarik napas dan mengembuskannya perlahan, hanya dengan cara itu rasa sakit di perut ini bisa diatasi. Untungnya tak berselang lama Mas Lutfi datang."Mas, tolong perutku sakit kayanya mau lahiran deh," ucapku sambil meringis.Wajah Mas Lutfi langsung panik."Duh gimana ini? mana mobil Mas mogok lagi di bengkel.""Pesan grab aja, Mas," sahutku sambil meringis memegang perut "Hape Mas juga lobet lagi.""Pake hapeku, ya ampuun!" Jengkel sekali rasanya, aku yang mau melahirkan dia yang panik.Sambil menunggu mobil pesanan datang aku jalan-jalan santai di teras, satu tas besar perlengkapan bayi dan melahirkan sudah siap dipegang Mas Lutfi.Tiba-tiba ada Kirana masuk ke pekarangan rumahku, mungkin sejak tadi ia memperhatikanku dari dalam rumahnya."Mbak Risti kenapa?" tanya wanita itu."Udah mules-mules, kayanya mau lahiran deh.""Ya udah cepet ke rumah sakit, Mbak, nunggu apa lagi," ujar Kirana.Sekarang ia berubah jadi baik terhadapku, tak sinis seperti dahulu, syukurlah lama-lama tak
"Saya bantu ya, Bu," ucap dokter Diana, lalu ia membantu membenarkan posisi bayi sedangkan Mas Lutfi membantu melepas kancing bajuku."Tenang ya, Yang, ucap bismillah," bisik Mas Lutfi.Hisapan perama bayi itu terasa ngilu di ujung payud*r*ku, rasanya perih sekali."Aduh, Mas, sakit, aduh sakit." Aku meringis."Sakit, Yang, sakit lepas." Di saat yang bersamaan Mas Lutfi pun meringis, hingga dokter Diana keheranan."Bapak kenapa?" tanya dokter Diana dengan tatapan aneh."E-eh maaf, Yang," ujarku, ternyata barusan aku kembali mencengkram sel*ngkang*n Mas Lutfi pantas saja ia ikutan meringis lagi."Tega kamu, Yang," balas Mas Lutfi sambil mendelikkan mata."Ya maaf, abis gimana lagi sakit banget ini," ujarku masih meringis."Awal-awal menyusui memang begitu Bu Risti, nanti kalau terbiasa juga ga bakal terasa apa-apa," sahut Dokter Diana."Awalnya doang yang sakit, Yang, nanti juga lama-lama enak," celetuk Mas Lutfi membuatku mengulum senyum, begitu pula dengan Dokter Diana."Apanya yang
"Iya nih, Bapak sama Ibu gimana sih, di sini 'kan ga ada kebun, mau nyambit rumput di mana? masa iya order lewat go food," sahut Mas Lutfi tak kalah bingung."Lah, gimana ini, Pak?" Ibu mertua melirik suaminya yang nampak garuk-garuk kepala.Lelaki tua yang mengenakan kopiah hitam itu diam tak bicara, mungkin ia juga bingung harus gimana."Gini aja, suruh orang di kampung ambil rumput yang banyak, terus rumput itu diangkut ke sini, ga apa-apa biar aku yang bayar sewa orang dan mobilnya," sahut Mas Lutfi."Nah gitu saja udah ya, Pak, dari pada bingung." Ibu bicara.Akhirnya ada solusi juga untuk masalah kambing ini. Gudang belakang rumah disulap menjadi kandang kambing yang sebentar lagi akan di sembelih itu."Mas, ga kebayang kotoran kambing itu nanti kaya apa, siapa yang mau bersihin?" bisikku saat menyaksikan gudang dibereskan oleh bapak dan ART kami."Itu kita pikirin nanti yang penting kambing ini punya tempat tinggal dulu, kasihan kalau tidur di luar tar masuk angin, susah ngerok